Note:
Waah kita bertemu lagi nih. Author ngadain give away untuk novel ini hloo.. jangan lupa kasih rating bintang, tap favorit, vote, like dan komen yaa..
******
Di satu kota kecil di Sumatera Utara.
Jam sudah menunjukkan pukul empat lewat lima belas menit. Seorang gadis sedang mengikat kotak plastik di jok motor. Selesai yang satu, dia menumpukkan kotak lain di atasnya. Kemudian mengikat lagi dengan kuat. Dicobanya menggoyangkan kedua kotak itu untuk meyakinkan keamanan. Barang bawaan itu tidak bergeser lagi dari kedudukannya.
"Aku jalan, Kak. Sebentar lagi subuh!" serunya pada seorang wanita yang sedang sibuk dengan pekerjaan, di teras rumahnya.
"Ya! Hati-hati ko di jalan!" sahutnya tanpa menoleh.
"Iya, Kak!" jawab gadis yang sudah duduk di atas sepeda motor bututnya. Dicobanya menyalakan motor dengan starter, tapi tak berhasil. Akhirnya gadis itu turun lagi dan menginjak engkol motor beberapa kali.
Wanita di teras, mengangkat kepalanya melihat hal itu. Pemandangan biasa setiap gadis muda itu akan menjalankan motor.
"Cak ko beli busi baru. Biar tak payah ko engkol-engkol terus," sarannya.
"Tak payah kok, Kak. Anggap aja kek olahraga," sahut gadis itu tersenyum lebar.
"Kereta ko itu yang udah kepayahan. Udah tua kali dia. Tulang-tulangnya udah osteoporosis!" Wanita itu tak kalah sigap menyahuti.
"Pulang nanti langsung kumandikan dan kuselimuti dia, biar encoknya tak kumat!" balas gadis itu tertawa renyah, seiring dengan suara motor menyala.
"Hahahaa ... kalok udah kenak repet Kakak, baru dia mau nyala." Dua wanita itu tertawa kecil.
"Assalamu'alaikum, Kak," pamit gadis itu. Motornya melaju perlahan, keluar dari halaman menuju gang.
"Wa'alaikum salam," sahut wanita itu pelan, sembari tersenyum tipis.
*
*
Udara dingin dini hari sehabis hujan kemarin malam, menggigilkan tulang. Jaket flanel usang yang dikenakannya, tak terlalu bisa diandalkan.
Motor itu terus melaju membelah jalanan yang mulai dilewati beberapa kendaraan. Angkot dan pick up penuh sayur, melintas menuju pasar. Dia menyukai jalanan lengang di pagi subuh. Jauh dari hiruk pikuk suara klakson dan teriakan para pengguna jalan yang jengkel pada kemacetan.
Akhirnya motor itu sampai juga di halaman sebuah mesjid, tepat saat azan subuh berkumandang. Beberapa mobil dan motor sudah terparkir di situ. Dengan segera dikuncinya motor dan berlari menuju toilet wanita. Dalam lima menit, dia sudah keluar lagi. Gadis itu dengan cepat masuk ke mesjid. Hari Minggu biasanya mesjid lebih ramai. Akan sulit mencari saf kosong jika terlalu lambat.
Selesai sholat subuh, gadis itu mendorong motornya ke arah stand jualan.
"Bismillah ...," gumamnya.
Setiap Jumat, Sabtu, dan Minggu pagi, mesjid menyediakan halamannya untuk dipakai sebagai pasar dadakan. Dia adalah penyewa tetap di sana.
Dengan cekatan, tangannya membuka ikatan tali dan menurunkan kotak plastik dari jok motor. Kedua kotak besar itu dipindahkan ke atas meja. Isinya dikeluarkan dan disusun dengan rapi. Semua persiapan itu selesai dalam beberapa menit saja. Dia sudah siap untuk mengais rejeki hari itu.
Perhitungan waktunya akurat. Tak lama menunggu, jamaah mesjid mulai keluar. Suasana makin ramai dengan suara tawar-menawar dan pertanyaan para pembeli.
"Hanna, apa Ko mau lontong untuk sarapan?" tawar seorang wanita muda yang berjualan di sebelah standnya.
"Belom ada uangku, Kak. Pantang berutang pagi-pagi." Senyum Hanna.
"Ah ... kalau sama kau, tak apalah. Macam kita tak kenal aja pon," sahut wanita itu lagi. Hanna hanya tersenyum tipis.
"Macam mana kabar Andung Ipah sekarang? Udah lama kali aku tak ke sana." tanya wanita itu lagi.
"Masih sama, Kak. Namanya juga udah berumor," sahut Hanna. Dia berdiri dari duduk, ketika seorang pembeli datang ke dekat mejanya.
"Boleh tengok dulu kuenya, Kak. Baru masak ini semua. Masih hangat." Hanna menawarkan kue-kue di mejanya.
Orang yang lewat itu berhenti dan memperhatikan kue-kue yang disusun rapi di meja. Tampaknya dia tertarik, hingga memutar tubuhnya ke arah Hanna.
"Kue ini berapa, Kak?" tunjuknya.
"Yang sebelah sini, harga sama semua, seribu lima ratus. Kalau yang sini, dua ribuan, Kak." Hanna menjawab cepat.
"Sama ajalah seribu lima ratus semua," tawar calon pembelinya.
Hanna tersenyum manis. "Ini yang seribu lima ratusan, Kak."
"Aku buat jual lagi, Kak. Kalau beli segitu, gak ada lagi untungnya buatku." Pembeli itu membujuk.
"Kalau segitu, rugi aku, Kak. Tak nutup modalnya," tolak Hanna.
"Ya sudah, kalok tak mau!" orang itu pergi meninggalkan meja Hanna.
Gadis itu tak berlama-lama memikirkan calon pembeli tadi. Seorang ibu paruh baya sedang menghampirinya dan tersenyum lebar.
"Hanna, masih ada kue-kuemu? Ada arisan nanti di rumah. Kue-kuemu paling cocok untuk arisan!" katanya.
"Masih ada, Bu'e. Ibuk pembeli pertama," sahut Hanna ramah.
"Ibuk mau kue yang mana?" tanyanya sambil mengeluarkan kotak karton, untuk mengemas kue-kue pesanan.
Satu jam kemudian.
"Kak, bungkuskan lontong dua ya ...," pesan Hanna pada penjual lontong sayur di sebelah, yang disambut dengan suka cita.
"Kok udah ko bereskan? Apa udah habes semua?" tanya penjual lontong pada Hanna.
"Belom semua, Kak. Sisa ini pesanan Bu Menik. Tadi dia sms, minta dibawakan kalau awak pulang," jelasnya.
"Berarti udah habes la itu," koreksi penjual lontong.
"Hehehe ... kek gitu ya, Kak?" Senyumnya sambil membereskan kotak-kotak plastik ke atas motor.
"Ini, lontongmu." Penjual lontong menyerahkan plastik bungkusan. Hanna meletakkannya dalam kotak plastik di atas motor.
Calon pembeli sebelumnya, datang lagi. "Kok udah dibereskan, Kak? Aku mo beli!" katanya.
"Udah habes, Kak," sahut Hanna sambil mengangkat kotak kue terakhir, dan menyusunnya dalam kotak plastik besar.
"Itu, masih ada!" tunjuknya pada kotak di tangan Hanna.
"Udah pesanan orang ... ini, Kak," jawab Hanna.
"Masih pesanan, kan? Biar untukku aja. Kubayar sekarang. Kakak tak capek-capek lagi ngantarkan barang tu ke tempat lain!" desaknya.
"Maaf, Kak ... gak bisa awak kek gitu. Kakak cari aja di stand si Tiur. Kue-kuenya juga enak, kok." Hanna menunjuk stand lain.
"Ya udh, kalok gak mau. Baru jual kue aja udah sombong kali!" gerutu orang itu sembari pergi.
Hanna tertegun sebentar, sampai penjual lontong menegurnya. Orang itu kenapa?"
"Tak tau aku, Kak," jawab Hanna.
Dia melanjutkan lagi mengikat kotak plastik besar di atas jok motor bututnya. Setelah semua beres, dirapikannya segala sampah dan membuangnya ke tempat sampah.
"Awak pulang duluan ya, Kak," pamit Hanna pada penjual sebelahnya. Dituntunnya motor menuju gerbang mesjid.
"We, awak duluan ya," pamitnya pada pedagang-pedangang lain yang dilewatinya.
"Pecah telor. Ko yang pertama habes hari ini, hebat!" seru salah satu pedangang.
"Ayo semangat! Jangan kalah sama Hanna!" yang lain menyemangati.
"Semangat!" sahut yang lain. Hanna tersenyum sambil mengangkat kepalan tangannya. Kemudian motor kembali didorong ke pintu gerbang mesjid.
"Udah mo pulang?" tanya seorang pria paruh baya.
Hanna memanggilnya Wak Sabar, karena namanya Sabarudin. Selentingan yang didengarnya, dulu Wak Sabar suka pada ibunya. Tapi ibu Hanna terpikat pria kota, yang kemudian menjadi ayahnya.
"Iya, Wak. Udah tinggal ngantarin pesanan Bu Menik," jawab Hanna.
"Cemana Wak Ipah?" tanyanya.
"Masih seperti biasa, Wak," balas Hanna.
"Kalau habis obatnya, bawa aja langsung ke tempat praktek," anjurnya.
"Iya, terima kasih."
Hanna mengangguk, Kemudian mulai mengulang rutinitas menyalakan motor, sebelum bisa berjalan, membelah jalanan yang mulai padat.
*
*
Ket.
Repet : Omelan
******
Hai ... hai ... readers semua. Ini novel ketiga. Mengambil tema berbeda. Sedikit bacaan ringan dan menyegarkan, pelepas penat.
Jangan lupa baca dua novel author lainnya.. 🥰🥰
Setelah melewati liku-liku jalan yang hampir serupa, di kompeks itu, akhirnya Hanna sampai di depan rumah Bu Menik.
"Assalamu'alaikum ...," panggilnya dari depan pagar besi setinggi dada.
Rumah itu asri dan rapi. Ada plang nama salon di sudut halaman, tempat Bu Menik biasa bekerja.
"Assalamu'alaikum ...," panggilnya lagi.
Seorang anak remaja menjulurkan kepala dari arah salon. "Ibu ada di sini!" ujarnya.
Hanna tersenyum lebar. Didorongnya motor ke dekat salon mungil itu. Diambilnya kotak kue yang dipesan Bu Menik tadi dan dibawanya masuk ke dalam salon yang pintunya terbuka lebar.
"Assalamu'alaikum, Bu ...," panggilnya lagi.
"Ah, Hanna! Ada apa?" kali ini yang muncul adalah suami Bu Menik.
"Ibu ada Pak? Awak mo ngantarkan kue pesanan!" jawab Hanna.
"Oh, kek gitu. Berapa semuanya?" tanya pria itu.
"Cuman dua puluh lima ribu aja, Pak," jawab Hanna sopan.
"Sekejap ya ...." Pria itu mengeluarkan dompet dari sakunya dan membayar kue Hanna.
"Ini!" Diserahkannya uang lima puluh ribuan.
Hanna dengan cekatan mengambil kembalian. "Ini kembalinya, Pak. Terima kasih!"
Hanna menyerahkan kotak kue yang dipegangnya pada pria itu. Kemudia berpamitan sambil sedikit menganggukkan kepala. "Permisi."
Ana keluar dari teras salon dan lanjut pulang ke rumah. Sekarang sudah pukul delapan lewat. Kasihan andungnya jika dia terlambat pulang. Tak ada yang akan menyiapkan makan.
Seperempat jam kemudian, dia telah tiba di rumah tua andungnya. Rumah panggung gaya lama. Berdinding kayu yang sebagian besar sudah lapuk dan harus diganti.
Setelah memarkirkan motor butut itu dekat pohon pisang, Hanna melepaskan ikatan kotak-kotak plastik itu. Kemudian mengangkatnya menaiki tangga rumah.
"Assalamu'alaikum, Andung ... Hanna pulang!" lapornya begitu membuka kunci pintu.
"Kok sunyi kali?" pikirnya. Diletakkannya kotak plastik itu di meja kayu, ruang tamu. Dia bergegas mencari andung di kamar. Tapi tak ditemukannya.
"Andung, Andung di mana?" Hanna mulai khawatir.
Dicarinya andung ke kamar sebelah yang telah kosong ditinggal penghuninya. Benar saja. Andungnya tertidur di tempat tidur ibu Hanna.
Hanna melihat andung dengan perasaan sedih. Ada sisa air mata yang mengering di pipi tua dan keriput itu. Wanita tua itu pasti sedang merindukan putri tunggalnya yang telah tiada. Hanna tak ingin mengganggu tidur orang tua itu. Dia membalikkan badan, dan meninggalkan kamar itu dengan hati-hati.
Hanna mengambil bungkus lontong dan menikmati sarapannya dengan lahap. Lontong kuah sayur tauco, dicampur bihun goreng, sambal tempe dan teri kacang, serta kerupuk merah. Itu makanan favoritnya untuk sarapan. Hangat, lezat dan yang penting, mengenyangkan!
Usai sarapan, dilihatnya andung masih tidur memeluk guling. Hanna keluar kamar lagi.
"Waktunya nyuci!" pikirnya.
Gadis bergegas ke dapur dan membereskan semua peralatan makan, dibawa ke kamar mandi dan dicuci. Sudah terlanjur bermain air, Hanna sekalian mencuci pakaian mereka berdua.
Tangannya lincah menarik tali timba. Senandungnya terdengar riang. Diisinya penuh semua ember dengan menimba air di perigi.
Satu jam kemudian, semua pun selesailah. Hanna naik ke rumah setelah menjemur pakaian.
"Andung ... ayok sarapan. Hanna suapin," bujuknya lembut, sambil meletakkan tangan di punggung wanita tua itu.
Andungnya membuka mata karena merasakan sentuhan di punggungnya. "Saatnya makan," kata Hanna lembut, sambil memberi isyarat makan.
Andung memang sudah agak kurang pendengarannya. Tapi Hanna tak mau menambah volume suaranya agar dapat didengar nenek. Dia lebih memilih menambahkan isyarat dalam perkataannya, agar andungnya mengerti. Andung mengangguk dan patuh dibimbing Hanna ke ruang tamu lalu duduk menunggu.
"Apa Andung rindu sama Ibu?" tanya Hanna. Wanita tua itu hanya mengusap-usap kepala Hanna sebagai jawaban. Matanya sedih.
"Kalau Andung tak ada, Kau macam mana ...," ujarnya dengan suara lemah penuh kekhawatiran.
"Andung akan panjang umur, melihat Hanna menikah dan punya cucu yang banyak," hiburnya.
"Andung mau punya cucu berapa?" tanya Hanna tanpa berpikir.
"Ziarah!" kata Andungnya.
"Andung mau ziarah? Ke tempat Atok dan Ibu?" tanya Hanna.
andungnya terus mengangguk-angguk. "Ziarah," ulangnya lagi.
Hanna mengangguk. "Habiskan dulu sarapan, teros Hanna mandikan Andung. Baru kita pigi ziarah." ujarnya. Senyum Hanna mengembang melihat wanita tua itu membalas dengan senyuman pula.
"Assalamu'alaikum, Pak Cek," Hanna memberi salam di telepon.
"Wa'alaikum salam. Ada apa, Hanna?" tanya suara di seberang.
"Andung mau ziarah ke makam Atok dan Ibu. Bisa Pak Cek antar kami naek becak?" tanya Hanna pada Pak Cek Indra.
"Bisa! Ko tunggu aja di sana. Bentar Pak Cek sampek!" hubungan telepon itu terputus.
Hanna membawa andung turun ke teras bawah. Menutup dan mengunci pintu. Memetik beberapa bunga melur dan kenanga kesukaan andungnya di halaman.
Tak menunggu lama, suara becak motor Pak Cek Indra terdengar. Hanna mengangkat kepalanya kemudian membantu neneknya turun dari rumah dan berjalan ke arah becak.
Pak Cek Indra turun dari becaknya dan membantu wanita tua itu. "Apa Uwak rindu sama mantan pacar?" seloroh Pak Cek Indra dengan nada suara sedikit tinggi, agar didengar nenek.
"Hehehe ...." Andung terkekeh mendengar pertanyaan itu. Dengan hati-hati Hanna membimbing andungnya naik ke becak. Kemudian duduk di samping andung dan siap meluncur.
"Kita berangkat ya Wak," kata Pak Cek Indra. Becak pun meluncur keluar lorong, menuju tempat pemakaman umum.
Ini adalah rutinitas Hanna lainnya. Selain mengantar andungnya memeriksakan dada dan kakinya yang sering sakit, Maka Hanna akan mengantar ziarah, kapanpun andung ingin pergi. Urusan lain akan ditunda hingga tiba waktu andungnya beristirahat.
*
*
Dengan telaten Hanna membersihkan rumput-rumput yang dalam dua minggu, telah tumbuh subur kembali. Andung sedang khusuk berdoa. Wajah tua itu sedih, namun tak ada setetespun air mata yang jatuh. Terlihat sekali, wanita tua itu berusaha tegar menerima takdir.
Hanna menunduk menyembunyikan tangisnya. Menaburi makam atok dan ibunya yang terletak bersisian, dengan bunga melur dan kenanga.
"Ibu, Hanna akan selalu menjaga andung. Hanna tidak akan lagi menyusahkan andung dengan pertanyaan tentang ayah. Maafkan Hanna yang terus melukai hati ibu," bisiknya sambil mengelus batu makam.
Hanna merasa menyesal. Sedikit banyak, sikap keras kepalanya lah yang telah membuat ibunya sakit-sakitan. Hampir tiap waktu diteror Hanna dengan pertanyaan tentang ayahnya. Ibunya tak pernah sempat memulihkan luka hatinya, karena terus saja diingatkan oleh putrinya sendiri.
Puncak semua kenakalan Hanna adalah setelah tamat SMA. Hanna berniat meninggalkan rumah, untuk mencari sendiri siapa ayahnya, dan memintanya membiayai kuliah Hanna, karena ibunya tidak mampu.
Dan itu telah menjadi pukulan terbesar bagi wanita rapuh itu. Ibunya ditemukan pingsan di pabrik tempatnya bekerja. Meski telah dirawat di rumah sakit, namun di hari ke dua, ibunya pergi untuk selamanya. Itu adalah titik balik dari seorang Rihanna yang keras kepala, berubah jadi gadis patuh, penuh tanggung jawab dan sabar.
Hanna terpukul dan menyesali setiap perbuatannya, setiap kata pedas menusuk yang melukai hati ibunya sendiri. Hanna mengingat-ingat kalimat penting yang terus diulang-ulang ibunya, setiap kali dia bertanya dengan nada marah dan tak puas.
"Demi hidupmu, kebaikanmu, dan kebahagiaanmu, makanya ibu membawamu pergi."
Hanna tidak pernah tau rahasia apa yang disimpan Ibu, Andung dan Atoknya. Tak seorang pun dari mereka bersedia mengatakan hal yang sebenarnya. Atok membawa pergi rahasia itu ke liang lahat lebih dulu. Kemudian Ibunya juga menyusul pergi.
Hanna menoleh pada neneknya yang telah selesai berdoa. Dia takkan sanggup menanyakan hal itu lagi pada nenek. Hanna tak ingin kehilangan satu-satunya kerabat yang dimilikinya.
Sekarang adalah waktunya untuk berbakti pada nenek. Yang selain itu, harus dilupakan. Dia juga sudah tak hendak kuliah lagi. Sudah sibuk dengan pekerjaannya dan mengumpulkan rupiah.
Hanna menarik sudut bibirnya lebar. "Andung sudah puas curhat sama Atok?" tanyanya jahil.
"Hehehee ...." Neneknya terkekeh sambil mengusap-usap rambut Hanna.
"Andung mau ke mana lagi? Tu ... Pak Cek Indra masih nunggu!" Tunjuk Hanna ke arah becak di jalan keluar.
"Mie sop," celetuk andungnya.
"Andung mau makan mie sop? Ayoklah. Hanna pun kepingin jugak."
Keduanya keluar dari pemakaman sambil bergandengan. Hanna berceloteh riang tentang banyak hal. Agar andung tidak lagi banyak pikiran.
*
Ket:
Andung : nenek
Atok : Kakek
Uwak : panggilan untuk orang yang lebih tua dari orang tua kita.
Pak Cek/Mak Cek : panggilan untuk yang lebih muda dari orang tua kita.
Perigi : Sumur
Mie sop : jajanan berkuah kaldu dengan isi mie dicampur potongan ayam kampung.
************
Note: Jangan lupa kasih rate bintang ⭐, tap ❤ favorite, like 👍, gift🌹 dan komen yaa.. Dan menangkan give away-nya..
Terima kasih 🙏
Sore hari yang tenang. Hanna sedang menyapu halaman rumah yang dipenuhi daun rambutan kering. Pohon itu menghasilkan banyak sampah daun jika tak sering disapu.
Didengarnya pintu pagar berbunyi, disertai suara salam dari orang yang sangat dikenalnya. "Hanna ... assalamu'alaikum!"
Hanna pergi ke halaman depan. "Wa'alaikum salam. Masok aja, Ta. Biar kuangkat dulu jemuran ni!" ujar Hanna.
Temannya yang di depan pagar, menyungkit pengait pintu pagar agar terbuka. Juwita masuk bersama keretanya. Kemudian ikut parkir di halaman, di bawah jendela ruang tamu.
"Andung kok temenong di jendela?" sapa Juwita ramah pada andung yang mengawasinya masuk dari jendela ruang tamu. Dia turun dari motor dan mengambil plastik asoy dari setang kereta.
Gadis itu lincah menaiki tangga rumah. "Assalamu'alaikum, Andung," salamnya dengan suara sedikit keras, agar terdengar oleh andungnya Hanna.
Andung menoleh padanya dan tersenyum. "Wa'alaikum salam. Masuklah!" panggil andung.
Juwita masuk dan duduk di kursi depan orang tua itu. "Awak bawa kueni. Tulang bawakkan dari kampong. Habis panen dia." Gadis itu meletakkan tas plastik yang yang dibawanya.
Tangan keriput andung membuka plastik dan tersenyum. Harum kueni menerbitkan air liurnya. Ditolehnya ke bawah jendela. Hanna masih sibuk di halaman.
"Hanna!" panggilnya sambil melambaikan tangan.
Hanna melihat ke atas, andung melambaikan tangan, memanggilnya.
"Iya," ujarnya.
Dengan berlari kecil, gadis itu menaiki anak tangga. Dalam sekejap dia sudah sampai di sana, ingin bertanya apa yang diinginkan andungnya. Tapi aroma harum yang khas telah membuatnya mengerti.
"Andung mau Hanna kupaskan kueni?" tanyanya. Andung mengangguk.
Hanna berjalan ke ruangan dalam dan meletakkan kain cuciannya. Dia langsung ke dapur mengambil mangkok plastik yang diisi air, piring serta pisau. Semua itu dibawanya ke depan.
Ruang tamu itu kini semerbak dengan aroma wangi khas kueni. Hanna senang melihat andungnya mengambil buah yang sudah diirisnya dari piring dan masuk ke mulut, lalu dikunyah pelan-pelan dengan gigi ompongnya.
"Apa besok Ko ada acara?" tanya Juwita.
"Kalau pagi, Ko kan tahu awak ambil kue. Trus besok giliran di pekan 18 awak jualannya. Jam sembilan atau sepuluh baru sampek rumah." Hannya menjelaskan. "Ada apa rupanya?"
"Apa tak bisa Ko lebih cepat balek? Jam delapan ada pelatihan masak kue di balai desa!" ujar Juwita.
"Wah ... awak mau laa ikot. Tapi kalok pagi kali, tak mungkin la. Jam delapan dimulai, berarti awak mesti pulang jam tujuhan. Padahal pekannya baru buka jam segitu. Tak bisalah!" tolaknya langsung.
"Sayang kali kalok Ko gak ikot. Kabarnya yang dapat pelatihan bisa ajuin ijin usaha kuliner. Dibimbing sampek bisa, katanya." Juwita menjelaskan.
"Kata siapa?" tanya Hannya dengan mulut tertutup biji kueni yang sedang dihisapnya hingga tetes terakhir.
"Jangan kek gitu kali laa, Ko makannya. Masih ada pon itu yang belom dikupas!" repet Juwita melihat tingkah temannya.
"Tinggal sebijik. Buat andung nanti. Ko pun bawaknya sikit kali. Udah tau enak!" canda Hanna.
"Ko ini, kebiasaan kali la." Dengan kesal, Juwita merampas biji kueni yang masih dipegang Hanna.
"Ini, masokkan tempat sampah! Bukan masok mulot lagi!" repetnya kesal sambil memasukkan biji kueni ke plastik sampah.
Hanna dan Andung tertawa melihat Juwita yang kesal. Diangkatnya plastik itu ke dapur, dan membuangnya ke tempat sampah. Juwita sudah hapal rumah ini, saking seringnya datang bertandang. Mereka jadi kawan dekat dan akrab sejak SMP.
"Jadi kek mana besok?" desak Juwita lagi. Atau, liburlah jualan sehari." Idenya muncul.
"Mau makan apa kami, kalau awak libur jualan?" tanya Hanna yang sudah kembali dari mencuci tangan dan mulutnya. Dibersihkannya juga tangan dan mulut andung.
Juwita terdiam. Dia sangat tahu beratnya kehidupan Hanna. Kawannya itulah tulang punggung keluarga ini.
Melihat kawannya murung dan kecewa, Hanna justru menghiburnya dengan senyuman. "Gosah Ko sedih kali kek gitu. Kalau tak bisa, artinya bukan jalan rejeki kami. Gitu kata ustazah Iin kemarin di langgar!"
"Pigi ngaji nya ko sekarang?" tanya Juwita dengan mata membulat tak percaya.
Hanna menggeleng. Awak dengar dari halaman langgar. Pas ngantar pesanan kue ke tempat emaknya Deni yang jadi pengurus pengajian," sahut Hanna jujur.
Juwita mendesah. "Hah ... kukira angin apa yang biken Ko pigi ngaji ke langgar," ejeknya sambil tertawa.
"Aku balek la ya. Udah mo magrib," pamit Juwita. "Aku pulang, Andung." Juwita mencium tangan wanita tua itu.
"Kalau ada info laen, sms awak ya," pesan Hanna.
"Iya, nanti ku sms," Angguk Juwita, kemudian menuruni tangga.
Kesulitan Juwita membantu bisnis Hanna, juga karena gadis itu tak punya ponsel yang memadai untuk bisa ikut jualan online seperti yang sedang booming saat ini.
Lepas mengaji magrib, Hanna membuat nasi goreng untuk makan mereka berdua. Selain kata-kata Hanna, tak terdengar suara lain. Andung sudah menguap sejak masuk waktu Isya. Hanna menemaninya hingga tertidur.
Dia keluar kamar, saat mendengar ponsel berdering. Panggilan dari nomor tak dikenal. Hanna mengangkat telepon. "Hallo!" sapa Hanna.
"Hanna, ini pak kepling. Bapak mau tanya. Apa benar almarhum ibumu namanya Sarita?" tanya suara di seberang.
"Iya, Pak. Ada apa ya?" tanya Hanna heran.
"Andung namanya Saripah kan?" tanya kepling lagi.
"Betol, Pak. Ada apa?" Hanna bertanya sekali lagi. Rasa penasaran mulai muncul di hatinya.
"Ko tunggu di rumah. Bapak mau ke sana sekarang!" kata kepling lagi. Kemudian telepon dimatikan.
"Kok hati jadi tak enak gini ya?" gumam Hanna. Dilihatnya Andung yang tertidur dengan damai.
Sembari menunggu kepling, Hanna membuka pesan-pesan masuk. Ada beberapa pesanan kue yang harus diantarkan esok hari. "Alhamdulillah," lirihnya penuh rasa syukur.
"Assalamu'alaikum!" terdengar panggilan dari halaman. Hanna bangkit dari duduknya dan melihat pintu pagar, melalui jendela kaca. Ada sebuah kereta berhenti di depan pagar yang terkunci.
"Hanna, ini Pak Kepling!" seru pria setengah baya yang sekarang sudah turun dari motornya.
Hanna mengambil bergo usang dan memasangnya di kepala. Rangkaian kunci sudah ada di tangannya. "Ya, tunggu!" sahutnya.
Gadis itu membuka kunci pintu. Lalu turun ke teras mungil, baru berjalan ke pintu pagar.
"Ada apa, pak?" tanya Hanna sopan. Dia tidak serta merta membuka pintu pagar. Ini sudah malam, dan andung sudah tidur.
Pak Kepling sepertinya memahami keengganan Hanna membuka pintu. "Ada tamu jauh yang datang dari Jakarta, dia mencarimu. Bisakah kita bicarakan di teras?" tawar kepling bijak.
Hanna menoleh ragu ke terasnya. tak ada bangku untuk duduk di situ. Hanya ada bok batu setinggi pinggulnya, mengelilingi teras. Dan bok itu sudah dikuasai oleh pot bunga kesayangan andung.
"Masuklah ...."
Hanna membuka kunci pagar dan membuka pintu pagar. Membiarkan dua orang itu masuk. Pak Kepling membawa masuk motornya, sementara tamu jauh yang disebutnya itu, mengiringi dari belakang.
Orang itu memperhatikan rumah itu tanpa sungkan. Lagaknya seperti seorang pengawas ujian yang sedang memeriksa lembar jawaban siswa dan memberi nilai buruk.
Hanna tersinggung melihat ketidak sopanan orang asing itu. Alisnya mengerut dan cemberut. Dia berdiri tepat di depan jalan masuk ke teras, menghadang keduanya untuk melangkah lebih jauh.
Pandangan tak senangnya tidak disembunyikannya pada pria yang mencoba menilai rumahnya.
"Tak perlu ko tengok-tengok kali. Rumah ini tak kujual!" kata Hanna ketus.
Kepling menyadari rasa tidak senang Hanna dari suara dan wajahnya. Digamitnya lengan orang asing itu untuk menyadari situasi.
"Bapak ini bukan mau beli rumahmu," kata kepling meluruskan penilaian Hanna.
"Tros, mo apa datang malam-malan dan mengamati rumah kami? Apa dia mau mencuri setelah Pak Kepling pergi?" tuduh Hanna.
"Bukan begitu juga. Bisakah kita bicara di dalam?" tawar kepling itu kehabisan kata membujuk.
"Sudah malam pak'e." Tolak Hanna tegas.
Pria asing itu sekarang mengarahkan perhatiannya pada Hanna. Pandangan menilai yang tampak jelas di matanya, membuat Hanna emosi.
*
*
Ket.:
Bertandang : bertamu.
Ko : Bentuk ringkas dari kau.
We : Semacam seruan, hei.
Kelen : kalian.
Repet - merepet : omel - mengomel.
kereta : motor.
Becak : kendaraan roda tiga dengan motor sebagai penggerak.
Tulang : paman
Awak : saya.
Pekan : pasar mingguan.
Kueni : sejenis mangga.
Kepling : Kepala Lingkungan (Semacam RW)
Bok : bentuk ringkas dari tembok yang dibangun rendah. Biasa dibangun mengelilingi teras dengan fungsi serba guna. Fungsi utama, menghalangi orang langsung ke muka rumah, bisa juga jadi tempat duduk atau untuk menempatkan tanaman hias.
*******
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!