Mentari di Langit Malam
“Apa kamu masih sering mimpi buruk?”
Kubuka perlahan mataku dan tetap diam membisu sembari menatap tajam sepasang mata yang sedari tadi mencoba mencari jawaban atas semua pertanyaan yang diajukan kepadaku. Aku sendiri tidak tahu jawaban atas semua pertanyaan yang telah dia tanyakan, lebih tepatnya aku tidak ingin mencari tahu jawabannya di dalam diriku. Sepasang mata itu masih terus membalas tatapan tajam milikku, seolah dia akan kalah jika berhenti menatapku.
“Halo?” sapanya ketus.
“Laki-laki bermata biru yang selalu muncul dalam mimpiku, kemarin tidak muncul. Mimpi buruk yang aku kira berasal darinya, ternyata aku salah. Ketidakhadirannya tidak membuatku berhenti memiliki mimpi buruk,” jawabku membuatnya terdiam.
Psikiater itu kembali menatap mataku. Dia mencoba menyelami kembali mataku, mencari kebenaran dari jawabanku. Tidak ada yang akan dia temukan hanya dengan menyelami mataku. Aku sendiri sudah tidak tahu kapan terakhir kali mataku bisa menunjukkan sebuah cerita. Aku sudah menghapus semua cerita yang ada di mataku dan mengisinya dengan sebuah kekosongan. Dulu, banyak orang yang mengatakan jika aku adalah sebuah buku berjalan karena semua cerita, rahasia, dan perasaanku sangat mudah dibaca tetetapi sekarang semua orang mengatakan bahwa mereka tidak tahu lagi apapun tentangku. Jika aku bisa, aku juga ingin mengatakan ‘aku juga tidak tahu apapun tentang diriku’.
Irene Jasmine Allison adalah nama psikiater itu, yang juga merupakan kakak sepupuku. Aku sudah berkonsultasi ataupun melakukan konseling dengannya selama tiga tahun terakhir dan tidak ada kemajuan apapun. Aku tahu cepat atau lambat dia akan menyerah tetapi aku juga tahu ‘menyerah’ bukanlah kata yang akan dia ucapkan dengan mudah.
Irene selalu mengatakan bahwa manusia pasti akan selalu melakukan kesalahan. Tidak ada satupun manusia di dunia ini yang luput dari kesalahan, yang membedakan setiap kesalahan hanyalah cara setiap manusia menyikapi kesalahan itu. Caraku untuk menyikapi kesalahan terbesar yang telah aku lakukan hanyalah mencoba melupakan semuanya. Hanya dengan melupakan semua kesalahan itu, akan membuatku bisa menjalani kehidupanku kembali. Tetapi, bagi keluargaku ‘melupakan’ bukanlah cara terbaik untukku menjalani hidup.
“All the Light We Cannot See, bacalah buku itu. Aku tahu kamu masih suka membaca buku. Kamu masih menjadi Zeta yang selama ini aku kenal,” ucapnya diikuti sebuah senyum kecil.
Aku hanya terdiam membisu, tidak tahu apa yang harus aku ucapkan atau lakukan.
Tetapi, benarkah aku masih menjadi seseorang yang dia kenal?
...-----...
Zeta, sebuah nama yang dulu sangat aku sukai karena merupakan gabungan nama panggilan kedua orang tuaku. Sebuah bukti cinta mereka dan karena itu aku sangat menyukai namaku, nama yang akan selamanya melekat dalam diri dan hidupku. Tetapi, bukti cinta yang aku banggakan itu juga merupakan sebuah kebohongan terbesar dalam hidupku. Aku mengalami kecelakaan 4 tahun lalu yang membuatku kehilangan pendengaran, bukan hanya pendengaran tetapi juga penglihatan. Baru 2 tahun yang lalu, aku mendapat donor mata dari seseorang yang sudah mengalami kematian otak selama 4 tahun. Bahkan untuk mendapatkan kembali hidupku, aku mendapatkannya dari kemalangan orang lain.
Usiaku saat ini 22 tahun dan aku mengalami kecelakaan diusia 18 tahun. Usia dimana aku baru mengetahui apa mimpiku dan usia dimana aku harus merelakan mimpiku. Tidak sepenuhnya merelakan karena sekarang aku mempelajari kembali mimpiku diusia 18 tahun. Mimpiku adalah menjadi seorang pianis, sangat ironis bukan untuk seseorang yang kehilangan pendengarannya. Sebenarnya tidak terlalu ironis karena aku tidak sepenuhnya kehilangan pendengaran, hanya sebagian tetetapi tetap saja sebagian itu cukup membuatku kehilangan separuh duniaku.
“Maaf, aku terlambat,” ucap laki-laki yang sekarang duduk di sebelahku.
“Aku juga baru selesai,” jawabku sembari membalas tatapan hangat miliknya.
Laki-laki itu atau aku harus menyebutnya ‘suami’. Suamiku memakaikan syal ke leherku, dia juga memakaikan sarung tangan ke kedua tanganku. Sekarang aku tahu alasan keterlambatannya. Aku sudah tidak tahu berapa banyak syal dan sarung tangan yang dia belikan untukku selama musim dingin. Aku berhenti menghitungnya sejak tahun lalu karena sudah banyak syal dan sarung tangan di dalam lemariku. Aku juga sudah lelah menyuruhnya untuk berhenti membeli syal ataupun sarung tangan karena dia tetap melakukan apa yang dia inginkan.
Aku dan suamiku menikah saat usia kami 20 tahun. Dia adalah tunangan sekaligus teman masa kecilku. Bagi kebanyakan orang, menikah dengan tunangan yang sudah diatur sejak kami masih berada di dalam kandungan bukanlah hal yang mengejutkan tetapi bagiku semua hal itu tetap mengejutkan karena aku tidak tahu siapa yang aku cintai saat itu dan apakah dia memang mencintaiku terlebih dengan kondisi terbaruku. Banyak orang menghadiri pernikahan kami dan dengan mulut mereka mengucapkan selamat tetapi mata mereka menunjukkan ‘ah.. kasihan dia, harus menikah dengan seorang tuna rungu’.
Keenan Alexander Parker, nama suamiku. Nama yang selalu menghiasi hari-hariku dan nama yang membuatku bertanya-tanya akan sebuah penyesalan karena aku juga satu diantara sekian banyak orang yang ikut menyayangkan keputusannya menikah denganku diusia yang masih sangat muda dan juga dengan kondisiku. Aku memberi dia kesempatan untuk lari dari tanggung jawab menikahiku karena dengan wajah, kepintaran, dan kekayaan yang dia miliki, tidak akan sulit baginya untuk mencari penggantiku. Bukannya berlari meninggalkanku, dia justru berlari mendekat kepadaku dan mengusulkan mempercepat pernikahan. Bahkan keluargaku dan keluarganya sama-sama terkejut dengan keputusan yang dia buat. Keputusan yang terkesan terburu-buru tetapi tidak ada keraguan di dalamnya.
“Apa yang Irene katakan?”
Ken, nama panggilannya, memegang erat tanganku dan kami berjalan meninggalkan ruang psikiater. Aku tidak menyukai genggaman tangannya, sangat erat dan membuatku sesak. Dia seakan sedang menahanku agar tidak lari darinya. Kalaupun aku lari, aku akan langsung ditemukan entah oleh keluargaku ataupun olehnya dan semua hanya akan sia-sia saat dimana aku berpikir untuk lari darinya.
“All the Light We Cannot See, dia menyarankanku membaca buku itu.”
“Haruskah kita beli sekarang?”
Aku menggeleng.
“Kenapa?”
“Aku lelah.”
Ken melepaskan genggamannya dan menghadapkan tubuhnya ke arahku. Lagi-lagi mata penuh kebahagiaan yang dia tunjukan padaku. Aku ingin sekali saja melihat mata penuh kesedihan miliknya tetapi dia tidak pernah menunjukkannya pada siapapun lagi sejak saat dimana kehidupanku berubah. Aku pernah bertanya alasannya dan dia hanya menjawab karena dia ingin hanya berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Alasan yang sangat klasik dan membuatku berhenti menerka jawaban yang sebenarnya.
“Kalau begitu, aku akan membelikannya besok. Sekarang kita pulang dan istirahat.”
...-----...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments