NovelToon NovelToon

Mentari di Langit Malam

Zeta

“Apa kamu masih sering mimpi buruk?”

Kubuka perlahan mataku dan tetap diam membisu sembari menatap tajam sepasang mata yang sedari tadi mencoba mencari jawaban atas semua pertanyaan yang diajukan kepadaku. Aku sendiri tidak tahu jawaban atas semua pertanyaan yang telah dia tanyakan, lebih tepatnya aku tidak ingin mencari tahu jawabannya di dalam diriku. Sepasang mata itu masih terus membalas tatapan tajam milikku, seolah dia akan kalah jika berhenti menatapku.

“Halo?” sapanya ketus.

“Laki-laki bermata biru yang selalu muncul dalam mimpiku, kemarin tidak muncul. Mimpi buruk yang aku kira berasal darinya, ternyata aku salah. Ketidakhadirannya tidak membuatku berhenti memiliki mimpi buruk,” jawabku membuatnya terdiam.

Psikiater itu kembali menatap mataku. Dia mencoba menyelami kembali mataku, mencari kebenaran dari jawabanku. Tidak ada yang akan dia temukan hanya dengan menyelami mataku. Aku sendiri sudah tidak tahu kapan terakhir kali mataku bisa menunjukkan sebuah cerita. Aku sudah menghapus semua cerita yang ada di mataku dan mengisinya dengan sebuah kekosongan. Dulu, banyak orang yang mengatakan jika aku adalah sebuah buku berjalan karena semua cerita, rahasia, dan perasaanku sangat mudah dibaca tetetapi sekarang semua orang mengatakan bahwa mereka tidak tahu lagi apapun tentangku. Jika aku bisa, aku juga ingin mengatakan ‘aku juga tidak tahu apapun tentang diriku’.

Irene Jasmine Allison adalah nama psikiater itu, yang juga merupakan kakak sepupuku. Aku sudah berkonsultasi ataupun melakukan konseling dengannya selama tiga tahun terakhir dan tidak ada kemajuan apapun. Aku tahu cepat atau lambat dia akan menyerah tetapi aku juga tahu ‘menyerah’ bukanlah kata yang akan dia ucapkan dengan mudah.

Irene selalu mengatakan bahwa manusia pasti akan selalu melakukan kesalahan. Tidak ada satupun manusia di dunia ini yang luput dari kesalahan, yang membedakan setiap kesalahan hanyalah cara setiap manusia menyikapi kesalahan itu. Caraku untuk menyikapi kesalahan terbesar yang telah aku lakukan hanyalah mencoba melupakan semuanya. Hanya dengan melupakan semua kesalahan itu, akan membuatku bisa menjalani kehidupanku kembali. Tetapi, bagi keluargaku ‘melupakan’ bukanlah cara terbaik untukku menjalani hidup.

“All the Light We Cannot See, bacalah buku itu. Aku tahu kamu masih suka membaca buku. Kamu masih menjadi Zeta yang selama ini aku kenal,” ucapnya diikuti sebuah senyum kecil.

Aku hanya terdiam membisu, tidak tahu apa yang harus aku ucapkan atau lakukan.

Tetapi, benarkah aku masih menjadi seseorang yang dia kenal?

...-----...

Zeta, sebuah nama yang dulu sangat aku sukai karena merupakan gabungan nama panggilan kedua orang tuaku. Sebuah bukti cinta mereka dan karena itu aku sangat menyukai namaku, nama yang akan selamanya melekat dalam diri dan hidupku. Tetapi, bukti cinta yang aku banggakan itu juga merupakan sebuah kebohongan terbesar dalam hidupku. Aku mengalami kecelakaan 4 tahun lalu yang membuatku kehilangan pendengaran, bukan hanya pendengaran tetapi juga penglihatan. Baru 2 tahun yang lalu, aku mendapat donor mata dari seseorang yang sudah mengalami kematian otak selama 4 tahun. Bahkan untuk mendapatkan kembali hidupku, aku mendapatkannya dari kemalangan orang lain.

Usiaku saat ini 22 tahun dan aku mengalami kecelakaan diusia 18 tahun. Usia dimana aku baru mengetahui apa mimpiku dan usia dimana aku harus merelakan mimpiku. Tidak sepenuhnya merelakan karena sekarang aku mempelajari kembali mimpiku diusia 18 tahun. Mimpiku adalah menjadi seorang pianis, sangat ironis bukan untuk seseorang yang kehilangan pendengarannya. Sebenarnya tidak terlalu ironis karena aku tidak sepenuhnya kehilangan pendengaran, hanya sebagian tetetapi tetap saja sebagian itu cukup membuatku kehilangan separuh duniaku.

“Maaf, aku terlambat,” ucap laki-laki yang sekarang duduk di sebelahku.

“Aku juga baru selesai,” jawabku sembari membalas tatapan hangat miliknya.

Laki-laki itu atau aku harus menyebutnya ‘suami’. Suamiku memakaikan syal ke leherku, dia juga memakaikan sarung tangan ke kedua tanganku. Sekarang aku tahu alasan keterlambatannya. Aku sudah tidak tahu berapa banyak syal dan sarung tangan yang dia belikan untukku selama musim dingin. Aku berhenti menghitungnya sejak tahun lalu karena sudah banyak syal dan sarung tangan di dalam lemariku. Aku juga sudah lelah menyuruhnya untuk berhenti membeli syal ataupun sarung tangan karena dia tetap melakukan apa yang dia inginkan.

Aku dan suamiku menikah saat usia kami 20 tahun. Dia adalah tunangan sekaligus teman masa kecilku. Bagi kebanyakan orang, menikah dengan tunangan yang sudah diatur sejak kami masih berada di dalam kandungan bukanlah hal yang mengejutkan tetapi bagiku semua hal itu tetap mengejutkan karena aku tidak tahu siapa yang aku cintai saat itu dan apakah dia memang mencintaiku terlebih dengan kondisi terbaruku. Banyak orang menghadiri pernikahan kami dan dengan mulut mereka mengucapkan selamat tetapi mata mereka menunjukkan ‘ah.. kasihan dia, harus menikah dengan seorang tuna rungu’.

Keenan Alexander Parker, nama suamiku. Nama yang selalu menghiasi hari-hariku dan nama yang membuatku bertanya-tanya akan sebuah penyesalan karena aku juga satu diantara sekian banyak orang yang ikut menyayangkan keputusannya menikah denganku diusia yang masih sangat muda dan juga dengan kondisiku. Aku memberi dia kesempatan untuk lari dari tanggung jawab menikahiku karena dengan wajah, kepintaran, dan kekayaan yang dia miliki, tidak akan sulit baginya untuk mencari penggantiku. Bukannya berlari meninggalkanku, dia justru berlari mendekat kepadaku dan mengusulkan mempercepat pernikahan. Bahkan keluargaku dan keluarganya sama-sama terkejut dengan keputusan yang dia buat. Keputusan yang terkesan terburu-buru tetapi tidak ada keraguan di dalamnya.

“Apa yang Irene katakan?”

Ken, nama panggilannya, memegang erat tanganku dan kami berjalan meninggalkan ruang psikiater. Aku tidak menyukai genggaman tangannya, sangat erat dan membuatku sesak. Dia seakan sedang menahanku agar tidak lari darinya. Kalaupun aku lari, aku akan langsung ditemukan entah oleh keluargaku ataupun olehnya dan semua hanya akan sia-sia saat dimana aku berpikir untuk lari darinya.

“All the Light We Cannot See, dia menyarankanku membaca buku itu.”

“Haruskah kita beli sekarang?”

Aku menggeleng.

“Kenapa?”

“Aku lelah.”

Ken melepaskan genggamannya dan menghadapkan tubuhnya ke arahku. Lagi-lagi mata penuh kebahagiaan yang dia tunjukan padaku. Aku ingin sekali saja melihat mata penuh kesedihan miliknya tetapi dia tidak pernah menunjukkannya pada siapapun lagi sejak saat dimana kehidupanku berubah. Aku pernah bertanya alasannya dan dia hanya menjawab karena dia ingin hanya berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Alasan yang sangat klasik dan membuatku berhenti menerka jawaban yang sebenarnya.

“Kalau begitu, aku akan membelikannya besok. Sekarang kita pulang dan istirahat.”

...-----...

Keenan

“Bagaimana konsultasi kemarin?”

“Ayah, Zeta lupa tidak memakai alat bantu dengar,” jawab Ken.

Aku tetap bisa mendengar apa yang ayahku tanyakan. Aku hanya tidak ingin menjawabnya. Sudah 3 tahun, aku selalu sengaja melupakan alat bantu dengar saat akan bertemu dengan ayah. Aku hanya belum ingin berbicara lebih banyak dengan ayahku. Banyak alasan yang membuatku belum ingin berbicara dengannya, alasan yang membuatku ingin melupakan semua hal yang terjadi di masa lalu.

Keluargaku dan Keluarga Ken adalah keluarga yang cukup berada, lebih dari sekadar berada aku rasa. Bisnis yang dijalankan keluargaku dan keluarga Ken memang berbeda tetapi dengan pernikahan kami berbagai merger perusahaan telah dilakukan. Pusat bisnis keluarga kami berada di London tetapi sejak 3 tahun lalu ayah memindahkan sebagian ke Korea, hanya karena aku menginginkan tinggal di Korea. Saat aku memutuskan akan tinggal di Korea, aku tidak mengira ayah juga akan ikut tetetapi yang lebih mengejutkan adalah Ken yang juga mengikutiku pindah ke Korea, satu hal yang sampai sekarang belum bisa aku pahami. Walaupun ayah ikut pindah ke Korea, beliau lebih sering melakukan perjalanan bisnis ke London dan bertemu dengan kakak-kakakku. Bisa dikatakan hanya aku dan Ken yang selalu berada di rumah.

“Sampai kapan kamu akan mengabaikan Ayah?”

“Ayah, Zeta ingin hidup,” jawabku diikuti keheningan yang mencekam.

Semua mata tertuju kepadaku, bukan hanya mata milik ayah dan Ken tetetapi juga mata para pelayan dan pengawal. Aku hanya bisa membalas satu tatapan yaitu tatapan milik ayah, beliau meletakkan pisau dan garpu ke atas piring dan memberikan sebuah tanda agar semua orang meninggalkan ruang makan dan menyisakan kami bertiga.

“Apa maksudmu, Zeta?”

“Zeta ingin melupakan semuanya. Zeta lelah dan Zeta ingin hidup, terlepas dari semua hal yang telah terjadi. Karena itu, Zeta mohon pada Ayah untuk berhenti membuat Zeta menerima masa lalu yang menyakitkan itu.”

Ayah terdiam, beliau hanya menghembuskan nafas dan terus menatap mataku. Tatapan yang mencari keyakinan dari ucapanku atau mungkin tatapan bersalah.

“Ahh… sekarang sudah pukul 7, waktu bagi Zeta dan Ken berangkat kuliah. Bolehkah Ken membawa Zeta, Ayah?” potong Ken sebelum suasana menjadi lebih suram.

Ayah tetap diam dan hanya menganggukkan kepalanya. Ken menggapai tanganku dan menggenggamnya. Kami berjalan meninggalkan ayah yang sekarang juga mulai berjalan menuju ruang kerjanya. Aku rasa kalimat yang aku ucapkan cukup membuat ayah terkejut. Selama ini, aku selalu menutup rapat mulutku kecuali pada Ken dan Irene, bahkan orang-orang sampai mengira aku kehilangan kemampuan bicaraku.

Bukan hal yang mudah bagiku untuk membuka mulutku, aku membutuhkan keberanian yang besar hanya untuk mengucapkan satu kata. Aku membutuhkan sebuah alasan yang kuat kenapa aku harus membuka mulutku, dimana alasan itu baru aku temukan pada Ken dan Irene.

Ken melepaskan tanganku. Dia mengambil tas milikku dan miliknya sebelum kembali meraih tanganku. Kami menuju halaman depan dimana sebuah mobil sudah menunggu.

...-----...

“Sepertinya aku bisa mati membeku.”

Aku mengabaikan kalimat Ken dan memilih melihat jalanan yang mulai berubah menjadi putih. Musim dingin yang penuh penantian sudah datang. Aku bahkan tidak melihat salju pertama turun dan aku sudah harus menantikan sebuah kehangatan. Sepertinya musim dingin tahun ini akan lebih dingin dari sebelumnya. Setidaknya aku tidak perlu membuat permohonan diturunnya salju pertama karena semua hanya akan sia-sia seperti 2 tahun lalu. Permohonan dan doa yang aku ucapkan 2 tahun lalu tidak ada yang terkabul.

Beberapa orang sedang membersihkan salju yang menghalangi jalanan. Aku ingin tahu apakah mereka kedinginan ataukah mereka sudah terbiasa dengan dinginnya salju. Bagi sebagian orang, kebiasaan mereka menjadi gaya hidup dan cara mereka untuk beradaptasi tetapi kenapa sampai saat ini aku masih belum bisa beradaptasi dengan musim dingin yang sudah aku lalui selama 22 tahun dalam hidupku. Aku selalu memikirkan alasan kenapa aku belum bisa beradaptasi dengan musim dingin dan aku menemukan sebuah hipotesa konyol.

‘Mungkin hatiku ikut menjadi dingin bersama dengan turunnya salju’

Disaat aku ingin berada lebih lama di dalam pikiranku, pasti selalu ada gangguan dan aku tidak akan pernah bisa menghilangkan gangguan itu sampai akhir hidupku. Kualihkan pandanganku pada Ken yang sekarang sedang memakaikan sarung tangan ke tanganku. Dia selalu melupakan sarung tangan miliknya tetapi dia tidak pernah melupakan untuk memakaikan sarung tangan kepadaku. Kutarik tanganku dengan paksa setelah sarung tangan terpasang di tanganku yang membuat Ken terkejut. Dia menatapku dan aku menatap matanya sekilas sebelum kualihkan pandanganku pada kaca spion dimana supir dan pengawal sedang melihat kami.

Kubuka tasku dan kuambil sepasang sarung tangan berwarna hitam. Aku baru membelinya kemarin sebelum melakukan konseling dengan Irene. Sebenarnya aku tidak sengaja melihat sebuah toko yang menjual berbagai pernak-pernik lucu dan aku menemukan sebuah sarung tangan yang sama sekali tidak lucu, lebih terkesan dingin. Sesuatu yang dingin berada diantara sesuatu yang lucu adalah hal yang aneh. Dan sarung tangan hitam itu mengingatkanku pada kepribadian Ken.

“Haruskah aku memakaikannya?” tanyaku saat Ken hanya menatap sarung tangan itu.

Ken langsung mengambil sarung tangan dari tanganku dan memakainya.

“Terima kasih,” ucapnya dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.

Aku kembali mengamati jalanan yang masih cukup lengang. Aku dan Ken selalu memilih untuk berangkat pagi. Aku tidak tahu sejak kapan, yang aku tahu semua itu berawal dariku.

Di hari pertama kuliah, semua mata tertuju padaku. Berita tentang anak konglomerat dan suaminya yang memutuskan untuk kuliah di Korea sudah menyebar dengan sangat cepat dan menjadikanku topik hangat selama lebih dari satu bulan. Terlebih kisah cinta antara aku dan Ken yang dianggap sebagai sebuah kisah cinta paling romantis ikut berperan menjadikan kami mahasiswa baru yang penuh dengan perhatian. Semua hal itu membuat kepalaku sakit dan aku memutuskan untuk berangkat lebih pagi dari siapapun. Awalnya hanya aku seorang tetapi lambat laun aku tahu jika Ken selalu mengikutiku dengan mobil lainnya.

“Kemana kami harus pergi terlebih dahulu, apakah ke jurusan musik atau kedokteran?”

Pertanyaan supir memecah hening. Aku tetap menatap jalanan dan Ken yang menjawab. Aku tidak terlalu mendengarkan apa yang mereka bicarakan, aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri.

“Kamu gila? Kamu ada ujian dan kamu justru ke jurusanku?” tanyaku begitu sadar sudah ada di depan pintu masuk jurusan musik.

“Aku ingin mengantarmu. Ujianku jam 10 dan sekarang masih jam 8. Oh.. dan kamu ingat aku ujian,” ucapnya dengan wajah jahil.

Aku terdiam dan langsung keluar mobil. Aku melangkahkan kakiku menuju ruang musik. Aku tahu Ken terus mengikuti dari belakang, dia selalu melakukannya, entah saat berangkat atau pulang kuliah. Dia tidak pernah menggenggam tanganku dan berjalan sejajar denganku saat kami berada di lingkungan kampus. Aku tidak tahu apa alasannya dan tidak ingin tahu tetapi aku rasa sekarang sudah waktunya dia berhenti melakukan hal itu. Kuhentikan langkah kakiku dan berjalan menghampiri Ken.

“Kenapa kamu selalu berjalan di belakangku?”

“Karena kamu tidak suka berjalan denganku di kampus?” jawabnya ragu.

“Darimana pikiran konyol itu muncul?”

"Saat acara penyambutan mahasiswa baru, kamu tidak nyaman saat orang-orang membicarakan kita.”

Terkadang aku tidak paham jalan pikirannya, dia selalu memikirkan pendapatnya sendiri tanpa menanyakannya terlebih dahulu kepadaku. Hanya karena aku merasa tidak nyaman bukan berarti aku membencinya. Kutatap tajam matanya dan langsung menarik tangannya ke dalam genggaman tanganku. Ini kali pertama aku mengambil langkah untuk mendekat padanya. Aku tidak tahu apa alasanku melakukan semua ini, sepertinya aku mulai ingin menikmati hidupku dan dia sudah menjadi bagian dari hidupku bahkan dari sebelum kami berdua lahir.

Kami terus melangkahkan kaki menuju ruang musik, beberapa mahasiswa yang bermalam di kampus mulai keluar dari ruangan untuk sekadar mencuci wajah mereka atau hanya ingin menghirup udara lain. Mereka tentunya terkejut begitu melihat kami berjalan berdampingan. Aku rasa sebentar lagi akan bermunculan gosip-gosip baru. Sejujurnya aku cukup menikmati gosip-gosip tentangku dan Ken yang ada di universitas. Sangat menyenangkan mendengar cerita yang bahkan tidak pernah terpikirkan olehku dan Ken.

“Kamu tidak apa?” tanya Ken begitu aku duduk.

“Belajarlah. Kamu belum belajar apapun untuk ujian nanti.”

Ken tersenyum tipis dan mulai membuka buku tebal kedokteran miliknya. Aku juga mulai membaca kembali catatan kuliah sebelumnya. Bagi keluarga pebisnis, pilihan jurusan yang diambil Ken cukup membuat ayahnya menentangnya. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan hingga akhirnya pilihannya disetujui. Banyak orang yang menanyakan alasan Ken lebih memilih menjadi dokter daripada menjadi penerus ayahnya kepadaku. Aku tidak tahu alasannya dan aku tidak ingin menanyakannya.

Bukan karena aku tidak ingin ikut campur dalam hidupnya tetapi karena aku takut akan jawaban yang akan keluar dari mulutnya, jawaban yang tidak ingin aku dengar. Bagiku sendiri, seorang Ken yang dahulu selalu melakukan apapun yang diinginkannya dan tidak memiliki mimpi sekarang berubah menjadi seseorang yang memiliki tujuan, itu semua sudah cukup. Tidak perlu sebuah pertanyaan untuk memotivasinya dan tidak perlu sebuah motivasi untuk meyakinkannya, dia sudah menjadi seseorang yang bertanggung jawab untuk hidupnya sendiri. Dan juga aku masih belum ingin terlibat lebih jauh dalam hidupnya. Aku rasa pernikahan kami bukan sesuatu yang bisa mendorongku untuk masuk ke dalam hidupnya lebih jauh.

Perlahan kelas menjadi ramai dan aku dengan bodohnya melupakan alat bantu dengar milikku. Kualihkan pandanganku pada Ken yang sangat serius membaca buku berisi penuh gambar anatomi tubuh manusia. Beberapa orang menatap kami dan tersenyum begitu aku balas menatap mereka. Aku hanya bisa menggaruk leherku yang tidak gatal.

Kulihat jam di dinding, 15 menit lagi pukul 9, aku akan menunggu sampai pukul 9 untuk menyuruh Ken pergi ke jurusannya.

“Ken, sudah pukul 9.”

“Ah…aku merasa otakku akan meledak,” ucapnya sembari membereskan buku-bukunya yang berantakan dan aku ikut membantunya.

“Oh…sudah banyak orang ternyata, maafkan aku karena sudah masuk ruangan kalian. Aku mohon jaga istriku,” ucapnya sebelum meninggalkan ruangan musik.

Orang-orang di kelas hanya tertawa dan beberapa mengacungkan ibu jari mereka kepada Ken. Aku tahu sebenarnya mereka ingin dekat dengan kami tetetapi aku selalu menjaga jarak dengan mereka. Aku tahu betapa baiknya mereka semua tetetapi aku masih belum bisa membuka hidupku untuk orang-orang baru. Seseorang memanggilku dan menunjuk ke arah pintu. Kualihkan pandanganku dan disana Ken berdiri menatapku. Aku kira dia sudah pergi daritadi. Tepat sebelum aku akan berdiri, dia melangkahkan kakinya menuju arahku dan mencium keningku, membuat kelas yang sudah setengah ramai menjadi sangat ramai.

“Maafkan aku tidak bisa menjemputmu. Sampai jumpa di rumah.”

...-----...

Arti Nada

“Sepertinya hari ini dimulai dengan kebahagiaan di kelas ini karena beberapa orang sudah menunjukkan romansa cinta.”

Kalimat pembuka yang sungguh aku benci tetapi disukai oleh sebagian mahasiswa di kelas. Dosen itu selalu memulai kelas dengan kalimat sindiran untukku. Bukan sindiran sebenarnya, lebih seperti ejekan bagiku. Entahlah, aku tidak tahu apa yang ada dipikiran wanita berusia 30 tahun. Dosen itu mulai mengulang beberapa materi yang telah disampaikan dipertemuan sebelumnya. Beberapa mahasiswa menjawab pertanyaan yang diajukan olehnya dan aku hanya mengamati turunnya salju di luar. Padahal baru pukul 10 dan salju sudah mulai turun kembali.

Jasmine Alexander Quinn, aku tidak tahu alasan pastinya mengapa seorang pianis terkenal sepertinya memutuskan untuk pensiun dini dan mengajar di sebuah universitas. Aku hanya tahu, dialah salah satu alasanku memutuskan untuk kembali menekuni mimpi yang sudah aku buang.

Aku bertemu dengannya sehari setelah aku terbangun dari operasi. Pertemuan singkat yang membuat hubungan kami menjadi hubungan benci dan cinta. Jika aku diberi kesempatan lagi, aku akan tetap memilih untuk bertemu dengannya sehari setelah operasi mataku karena dia salah satu alasanku tetap hidup hingga saat ini.

“Apa yang kamu lihat, Zeta?”

Semua yang ada di ruangan ini ikut mengalihkan pandangan mereka keluar jendela termasuk dosen itu. Sekitar 5 menit, satu kelas hanya memandangi salju yang turun untuk bertemu dengan teman lamanya yaitu tanah.

“Cukup melihat saljunya. Tugas pembuatan lagu kemarin sudah saya cek.”

Suara keluhan mulai terdengar. Aku tahu betapa sulitnya membuat sebuah lagu, inspirasi untuk menemukan sebuah nada bukanlah hal yang mudah ditemukan ataupun dibeli dan karena itu aku sangat tahu alasan suasana kelas yang berubah 180 derajat. Bahkan beberapa anak sudah mulai menutup telinga mereka dengan earphone. Mereka tidak ingin mendengar karya mereka dikritik di depan banyak orang.

“Seperti biasa, Zeta mendapat nilai tertinggi,” ucapnya sembari tersenyum ke arahku diikuti tepuk tangan teman-teman.

“Apakah hari ini kita bisa mendengar permainan piano milikmu?”

Tidak.

Aku seharusnya menjawab pertanyaannya tetapi mulutku terkunci rapat. Hingga saat ini, aku tidak pernah menunjukan permainan pianoku kepada siapapun selain dosen-dosen saat ujian berlangsung. Aku selalu meminta ujian secara terpisah dan menghindari permainan di depan umum. Mungkin terdengar tidak adil bagi sebagian orang karena aku melihat permainan mereka tetapi aku sendiri tidak pernah menghadiri ujian umum hanya untuk mendengarkan permainan orang lain. Aku tidak ingin mendengar lantunan melodi dari tangan orang lain. Bukan karena permainan mereka yang buruk tetapi karena aku takut jika aku akan membandingkannya dengan permainanku dan menemukan fakta bahwa permainan pianoku sangat buruk.

“Baiklah, sepertinya belum saatnya. Ibu selalu memiliki satu pertanyaan untukmu, kenapa semua nada milikmu adalah kesedihan? Bahkan nada bahagia yang kamu buat juga terdengar menyedihkan.”

“Bagaimana bisa nada bahagia terdengar menyedihkan?” tanya seseorang.

“Good point. Bolehkah seseorang memainkan partitur ini?”

Hanya anggukan yang aku berikan sebagai jawaban. Salah satu mahasiswa terbaik dipilih untuk memainkannya. Alunan nada yang aku buat musim lalu perlahan mulai mengisi ruang-ruang kosong di hatiku. Aku melepaskan alat bantu dengar dan kembali menatap jauh keluar jendela. Aku sudah memainkan nada-nada itu ratusan kali di dalam kepalaku dan aku sudah lelah mendengarnya. Nada bahagia yang awalnya aku ciptakan berubah menjadi nada sendu dan nada sendu itu lama-kelamaan berubah menjadi nada penuh amarah. Aku hanya ingin menganggap nada itu sebagai nada bahagia dan tidak ingin mendengarnya lagi hanya untuk mengingatkan betapa menyedihkannya nada-nada yang telah aku buat.

Ting…

Akhir yang sempurna, bahkan lebih sempurna dari yang pernah aku mainkan.

“Bagaimana?” tanya Dosen Jasmine begitu nada-nada sudah tidak terdengar.

“Ada sebuah perasaan yang tertinggal saat kita merasakan kebahagiaan. Penyesalan?”

“Kecewa?” timpal mahasiswa lainnya.

“Rasa bersalah pada diri sendiri?” timpal yang lainnya.

Beberapa anak lainnya mulai menyuarakan pendapat mereka. Terkadang aku merasa kelas yang diajar olehnya lebih seperti pasar pada saat diskon berlangsung, sangat ramai.

“Entahlah, Ibu rasa hanya sang penulis yang tahu. Bukankah begitu, Zeta?”

“….”

“Sepertinya Zeta masih belum mau membuka hatinya untuk kita. Kalau begitu, untuk menghabiskan sisa 1 jam kuliah, keluarlah dan buatlah nada tentang salju. Jangan lupa untuk memasukkan perasaan kalian saat melihat salju turun. Ingat, jangan lupa memasukkan perasaan kalian,” tutup Bu Jasmine diiringi keluhan satu kelas.

...-----...

Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima.

Apakah jarak lima langkah cukup untuk melindungi seseorang?

Atau apakah jarak lima langkah terlalu dekat untuk melindungi seseorang?

Aku selalu menghitung jarak para pengawal saat mereka mengikutiku dan Ken. Mereka selalu berjalan lima langkah di belakangku, walaupun aku tidak tahu bagaimana dengan Ken jika dia pergi seorang diri. Kuhentikan langkah kakiku di depan sebuah café. Aku ingin masuk ke dalam tetapi aku tidak berani jika harus masuk seorang diri.

“Kamu ingin masuk?”

“Irene!” pekikku terkejut.

“Ayo masuk.”

Aku masih terdiam, tidak mengikutinya masuk ke dalam café.

“Aku bersumpah kali ini aku tidak mengikutimu. Kali ini kita ditakdirkan untuk bertemu,” ucapnya sembari menarik tubuhku masuk ke dalam café.

Irene memesan beberapa makanan dan minuman. Aku rasa dia sudah menyerah menyuruhku memesan. Dia selalu mengatakan jika memesan adalah salah satu terapi yang harus aku jalani agar mulutku tidak berkarat. Tetapi, usahanya selalu gagal entah karena akhirnya Ken yang memesan atau karena aku memesan menggunakan secarik kertas.

Kembali kuamati beberapa pengawal yang mengikutiku. Dua berada di dalam café dan dua berada di luar café. Bukankah udara cukup dingin untuk berdiri di jalanan yang baru dituruni salju?

“Apa kamu tahu jika Kesha pulang?”

“….”

“Benar, bagaimana mungkin kamu tahu. Dia pulang hari ini dan menyuruhku menunggunya di café ini. Dia mengatakan hal yang tidak masuk akal dalam e-mail yang dia kirim.”

“E-mail?” tanyaku membuka mulut untuk kali pertama kali sejak masuk café.

“Dia mengatakan akan membawa tunangannya. Aku bahkan tidak tahu jika dia sudah bertunangan. Akhirnya aku bertanya pada ibuku dan ternyata masih calon tunangan. Mereka akan bertunangan diakhir musim dingin ini.”

“Kenapa?” tanyaku sembari menyeruput cokelat panas.

“Kenapa?” tanyanya bingung.

“Kenapa di akhir musim dingin?” balasku membuatnya sedikit berpikir.

“Permintaan pihak laki-laki, jika tidak diawal maka diakhir musim dingin. Tetapi kenapa kata ‘awal dan akhir musim dingin’ mengingatkanku padamu?”

Benar juga, aku selalu memulai semuanya diawal ataupun diakhir musim dingin. Pertunanganku dengan Ken dilakukan diawal musim dingin begitu juga dengan operasi mataku. Pernikahan, kepindahanku ke Korea, dan keputusanku bermain piano kembali, aku lakukan semuanya diakhir musim dingin. Aku rasa aku melakukan semua itu karena pertengahan musim dingin terlalu dingin untuk sebuah acara yang penuh kehangatan.

“Ah… benar, aku lupa jika Kesha hanya mau bertemu denganku,” lanjutnya begitu melihatku tetap diam membisu.

“Apa Kesha masih marah padaku?” tanyaku akhirnya.

“Semua orang pasti akan marah jika diperlakukan seperti itu.”

Apa yang dikatakannya memang benar, tidak seharusnya aku mempermalukan Kesha di depan umum. Sudahlah, aku tidak ingin membahas apapun terkait masa laluku.

“Milikmu,” ucap Irene sembari menyodorkan sepiring crepe cake kepadaku.

Tepat saat aku akan memasukan crepe cake ke dalam mulutku, dua pengawal menghampiriku. Aku rasa tidak masalah untukku memakan sepotong crepe cake. Aku mengamati kedua pengawalku yang sekarang sedang menatap tajam ke arah lain.

Jadi, masalahnya ada pada crepe cake yang akan masuk ke dalam mulutku atau hal yang sekarang sedang mereka lihat?

Kualihkan pandanganku ke arah Irene yang sekarang juga diam membisu, sama dengan pengawalku. Aku rasa mereka melihat sesuatu yang tidak seharusnya dilihat. Tepat saat aku akan membalikkan tubuhku, sebuah tangan menarik wajahku.

“Apa yang kamu lakukan?” tanyaku terkejut kepada Irene.

“Oh? Aku rasa kamu harus pulang. Bukankah begitu Tuan Lee dan Tuan Stephen?”

Hening. Tidak ada jawaban apapun dari kedua pengawalku.

“Oh!!! Ireneeeee!!!” teriak seseorang membuat Tuan Lee yang sebelumnya ingin mengatakan sesuatu kembali menutup rapat mulutnya.

“Kesha?” celetuk Irene sembari melepas tangannya dari wajahku.

Nada yang canggung. Siapapun tahu bagaimana canggungnya nada itu. Kualihkan pandanganku pada Tuan Lee dan Tuan Stephen yang sekarang sedang membereskan barang-barang milikku. Gerakan waspada. Siapapun akan paham alasan dibalik munculnya gerakan itu. Aku tidak tahu bagaimana nada canggung dan gerakan waspada itu bisa muncul, aku hanya tahu kedua hal itu berhubungan dengan kemunculan Kesha.

Kali ini aku memutar kepalaku ke arah pemilik suara bernada tinggi itu. Bukan hanya satu wajah yang aku lihat, ada dua wajah dimana ada satu wajah terkejut dan satu wajah penasaran. Wajah sepupuku dan wajah calon tunangannya. Ada dua pasang mata yang aku tatap, mata berwarna hijau yang sudah lama tidak aku lihat dan mata berwarna biru yang penuh akan rasa ingin tahu.

“Aku rasa kali ini aku tidak akan selamat,” gumam Irene sebelum meninggalkanku menghampiri Kesha.

...-----...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!