“Bagaimana konsultasi kemarin?”
“Ayah, Zeta lupa tidak memakai alat bantu dengar,” jawab Ken.
Aku tetap bisa mendengar apa yang ayahku tanyakan. Aku hanya tidak ingin menjawabnya. Sudah 3 tahun, aku selalu sengaja melupakan alat bantu dengar saat akan bertemu dengan ayah. Aku hanya belum ingin berbicara lebih banyak dengan ayahku. Banyak alasan yang membuatku belum ingin berbicara dengannya, alasan yang membuatku ingin melupakan semua hal yang terjadi di masa lalu.
Keluargaku dan Keluarga Ken adalah keluarga yang cukup berada, lebih dari sekadar berada aku rasa. Bisnis yang dijalankan keluargaku dan keluarga Ken memang berbeda tetapi dengan pernikahan kami berbagai merger perusahaan telah dilakukan. Pusat bisnis keluarga kami berada di London tetapi sejak 3 tahun lalu ayah memindahkan sebagian ke Korea, hanya karena aku menginginkan tinggal di Korea. Saat aku memutuskan akan tinggal di Korea, aku tidak mengira ayah juga akan ikut tetetapi yang lebih mengejutkan adalah Ken yang juga mengikutiku pindah ke Korea, satu hal yang sampai sekarang belum bisa aku pahami. Walaupun ayah ikut pindah ke Korea, beliau lebih sering melakukan perjalanan bisnis ke London dan bertemu dengan kakak-kakakku. Bisa dikatakan hanya aku dan Ken yang selalu berada di rumah.
“Sampai kapan kamu akan mengabaikan Ayah?”
“Ayah, Zeta ingin hidup,” jawabku diikuti keheningan yang mencekam.
Semua mata tertuju kepadaku, bukan hanya mata milik ayah dan Ken tetetapi juga mata para pelayan dan pengawal. Aku hanya bisa membalas satu tatapan yaitu tatapan milik ayah, beliau meletakkan pisau dan garpu ke atas piring dan memberikan sebuah tanda agar semua orang meninggalkan ruang makan dan menyisakan kami bertiga.
“Apa maksudmu, Zeta?”
“Zeta ingin melupakan semuanya. Zeta lelah dan Zeta ingin hidup, terlepas dari semua hal yang telah terjadi. Karena itu, Zeta mohon pada Ayah untuk berhenti membuat Zeta menerima masa lalu yang menyakitkan itu.”
Ayah terdiam, beliau hanya menghembuskan nafas dan terus menatap mataku. Tatapan yang mencari keyakinan dari ucapanku atau mungkin tatapan bersalah.
“Ahh… sekarang sudah pukul 7, waktu bagi Zeta dan Ken berangkat kuliah. Bolehkah Ken membawa Zeta, Ayah?” potong Ken sebelum suasana menjadi lebih suram.
Ayah tetap diam dan hanya menganggukkan kepalanya. Ken menggapai tanganku dan menggenggamnya. Kami berjalan meninggalkan ayah yang sekarang juga mulai berjalan menuju ruang kerjanya. Aku rasa kalimat yang aku ucapkan cukup membuat ayah terkejut. Selama ini, aku selalu menutup rapat mulutku kecuali pada Ken dan Irene, bahkan orang-orang sampai mengira aku kehilangan kemampuan bicaraku.
Bukan hal yang mudah bagiku untuk membuka mulutku, aku membutuhkan keberanian yang besar hanya untuk mengucapkan satu kata. Aku membutuhkan sebuah alasan yang kuat kenapa aku harus membuka mulutku, dimana alasan itu baru aku temukan pada Ken dan Irene.
Ken melepaskan tanganku. Dia mengambil tas milikku dan miliknya sebelum kembali meraih tanganku. Kami menuju halaman depan dimana sebuah mobil sudah menunggu.
...-----...
“Sepertinya aku bisa mati membeku.”
Aku mengabaikan kalimat Ken dan memilih melihat jalanan yang mulai berubah menjadi putih. Musim dingin yang penuh penantian sudah datang. Aku bahkan tidak melihat salju pertama turun dan aku sudah harus menantikan sebuah kehangatan. Sepertinya musim dingin tahun ini akan lebih dingin dari sebelumnya. Setidaknya aku tidak perlu membuat permohonan diturunnya salju pertama karena semua hanya akan sia-sia seperti 2 tahun lalu. Permohonan dan doa yang aku ucapkan 2 tahun lalu tidak ada yang terkabul.
Beberapa orang sedang membersihkan salju yang menghalangi jalanan. Aku ingin tahu apakah mereka kedinginan ataukah mereka sudah terbiasa dengan dinginnya salju. Bagi sebagian orang, kebiasaan mereka menjadi gaya hidup dan cara mereka untuk beradaptasi tetapi kenapa sampai saat ini aku masih belum bisa beradaptasi dengan musim dingin yang sudah aku lalui selama 22 tahun dalam hidupku. Aku selalu memikirkan alasan kenapa aku belum bisa beradaptasi dengan musim dingin dan aku menemukan sebuah hipotesa konyol.
‘Mungkin hatiku ikut menjadi dingin bersama dengan turunnya salju’
Disaat aku ingin berada lebih lama di dalam pikiranku, pasti selalu ada gangguan dan aku tidak akan pernah bisa menghilangkan gangguan itu sampai akhir hidupku. Kualihkan pandanganku pada Ken yang sekarang sedang memakaikan sarung tangan ke tanganku. Dia selalu melupakan sarung tangan miliknya tetapi dia tidak pernah melupakan untuk memakaikan sarung tangan kepadaku. Kutarik tanganku dengan paksa setelah sarung tangan terpasang di tanganku yang membuat Ken terkejut. Dia menatapku dan aku menatap matanya sekilas sebelum kualihkan pandanganku pada kaca spion dimana supir dan pengawal sedang melihat kami.
Kubuka tasku dan kuambil sepasang sarung tangan berwarna hitam. Aku baru membelinya kemarin sebelum melakukan konseling dengan Irene. Sebenarnya aku tidak sengaja melihat sebuah toko yang menjual berbagai pernak-pernik lucu dan aku menemukan sebuah sarung tangan yang sama sekali tidak lucu, lebih terkesan dingin. Sesuatu yang dingin berada diantara sesuatu yang lucu adalah hal yang aneh. Dan sarung tangan hitam itu mengingatkanku pada kepribadian Ken.
“Haruskah aku memakaikannya?” tanyaku saat Ken hanya menatap sarung tangan itu.
Ken langsung mengambil sarung tangan dari tanganku dan memakainya.
“Terima kasih,” ucapnya dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.
Aku kembali mengamati jalanan yang masih cukup lengang. Aku dan Ken selalu memilih untuk berangkat pagi. Aku tidak tahu sejak kapan, yang aku tahu semua itu berawal dariku.
Di hari pertama kuliah, semua mata tertuju padaku. Berita tentang anak konglomerat dan suaminya yang memutuskan untuk kuliah di Korea sudah menyebar dengan sangat cepat dan menjadikanku topik hangat selama lebih dari satu bulan. Terlebih kisah cinta antara aku dan Ken yang dianggap sebagai sebuah kisah cinta paling romantis ikut berperan menjadikan kami mahasiswa baru yang penuh dengan perhatian. Semua hal itu membuat kepalaku sakit dan aku memutuskan untuk berangkat lebih pagi dari siapapun. Awalnya hanya aku seorang tetapi lambat laun aku tahu jika Ken selalu mengikutiku dengan mobil lainnya.
“Kemana kami harus pergi terlebih dahulu, apakah ke jurusan musik atau kedokteran?”
Pertanyaan supir memecah hening. Aku tetap menatap jalanan dan Ken yang menjawab. Aku tidak terlalu mendengarkan apa yang mereka bicarakan, aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri.
“Kamu gila? Kamu ada ujian dan kamu justru ke jurusanku?” tanyaku begitu sadar sudah ada di depan pintu masuk jurusan musik.
“Aku ingin mengantarmu. Ujianku jam 10 dan sekarang masih jam 8. Oh.. dan kamu ingat aku ujian,” ucapnya dengan wajah jahil.
Aku terdiam dan langsung keluar mobil. Aku melangkahkan kakiku menuju ruang musik. Aku tahu Ken terus mengikuti dari belakang, dia selalu melakukannya, entah saat berangkat atau pulang kuliah. Dia tidak pernah menggenggam tanganku dan berjalan sejajar denganku saat kami berada di lingkungan kampus. Aku tidak tahu apa alasannya dan tidak ingin tahu tetapi aku rasa sekarang sudah waktunya dia berhenti melakukan hal itu. Kuhentikan langkah kakiku dan berjalan menghampiri Ken.
“Kenapa kamu selalu berjalan di belakangku?”
“Karena kamu tidak suka berjalan denganku di kampus?” jawabnya ragu.
“Darimana pikiran konyol itu muncul?”
"Saat acara penyambutan mahasiswa baru, kamu tidak nyaman saat orang-orang membicarakan kita.”
Terkadang aku tidak paham jalan pikirannya, dia selalu memikirkan pendapatnya sendiri tanpa menanyakannya terlebih dahulu kepadaku. Hanya karena aku merasa tidak nyaman bukan berarti aku membencinya. Kutatap tajam matanya dan langsung menarik tangannya ke dalam genggaman tanganku. Ini kali pertama aku mengambil langkah untuk mendekat padanya. Aku tidak tahu apa alasanku melakukan semua ini, sepertinya aku mulai ingin menikmati hidupku dan dia sudah menjadi bagian dari hidupku bahkan dari sebelum kami berdua lahir.
Kami terus melangkahkan kaki menuju ruang musik, beberapa mahasiswa yang bermalam di kampus mulai keluar dari ruangan untuk sekadar mencuci wajah mereka atau hanya ingin menghirup udara lain. Mereka tentunya terkejut begitu melihat kami berjalan berdampingan. Aku rasa sebentar lagi akan bermunculan gosip-gosip baru. Sejujurnya aku cukup menikmati gosip-gosip tentangku dan Ken yang ada di universitas. Sangat menyenangkan mendengar cerita yang bahkan tidak pernah terpikirkan olehku dan Ken.
“Kamu tidak apa?” tanya Ken begitu aku duduk.
“Belajarlah. Kamu belum belajar apapun untuk ujian nanti.”
Ken tersenyum tipis dan mulai membuka buku tebal kedokteran miliknya. Aku juga mulai membaca kembali catatan kuliah sebelumnya. Bagi keluarga pebisnis, pilihan jurusan yang diambil Ken cukup membuat ayahnya menentangnya. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan hingga akhirnya pilihannya disetujui. Banyak orang yang menanyakan alasan Ken lebih memilih menjadi dokter daripada menjadi penerus ayahnya kepadaku. Aku tidak tahu alasannya dan aku tidak ingin menanyakannya.
Bukan karena aku tidak ingin ikut campur dalam hidupnya tetapi karena aku takut akan jawaban yang akan keluar dari mulutnya, jawaban yang tidak ingin aku dengar. Bagiku sendiri, seorang Ken yang dahulu selalu melakukan apapun yang diinginkannya dan tidak memiliki mimpi sekarang berubah menjadi seseorang yang memiliki tujuan, itu semua sudah cukup. Tidak perlu sebuah pertanyaan untuk memotivasinya dan tidak perlu sebuah motivasi untuk meyakinkannya, dia sudah menjadi seseorang yang bertanggung jawab untuk hidupnya sendiri. Dan juga aku masih belum ingin terlibat lebih jauh dalam hidupnya. Aku rasa pernikahan kami bukan sesuatu yang bisa mendorongku untuk masuk ke dalam hidupnya lebih jauh.
Perlahan kelas menjadi ramai dan aku dengan bodohnya melupakan alat bantu dengar milikku. Kualihkan pandanganku pada Ken yang sangat serius membaca buku berisi penuh gambar anatomi tubuh manusia. Beberapa orang menatap kami dan tersenyum begitu aku balas menatap mereka. Aku hanya bisa menggaruk leherku yang tidak gatal.
Kulihat jam di dinding, 15 menit lagi pukul 9, aku akan menunggu sampai pukul 9 untuk menyuruh Ken pergi ke jurusannya.
“Ken, sudah pukul 9.”
“Ah…aku merasa otakku akan meledak,” ucapnya sembari membereskan buku-bukunya yang berantakan dan aku ikut membantunya.
“Oh…sudah banyak orang ternyata, maafkan aku karena sudah masuk ruangan kalian. Aku mohon jaga istriku,” ucapnya sebelum meninggalkan ruangan musik.
Orang-orang di kelas hanya tertawa dan beberapa mengacungkan ibu jari mereka kepada Ken. Aku tahu sebenarnya mereka ingin dekat dengan kami tetetapi aku selalu menjaga jarak dengan mereka. Aku tahu betapa baiknya mereka semua tetetapi aku masih belum bisa membuka hidupku untuk orang-orang baru. Seseorang memanggilku dan menunjuk ke arah pintu. Kualihkan pandanganku dan disana Ken berdiri menatapku. Aku kira dia sudah pergi daritadi. Tepat sebelum aku akan berdiri, dia melangkahkan kakinya menuju arahku dan mencium keningku, membuat kelas yang sudah setengah ramai menjadi sangat ramai.
“Maafkan aku tidak bisa menjemputmu. Sampai jumpa di rumah.”
...-----...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments