“Sepertinya hari ini dimulai dengan kebahagiaan di kelas ini karena beberapa orang sudah menunjukkan romansa cinta.”
Kalimat pembuka yang sungguh aku benci tetapi disukai oleh sebagian mahasiswa di kelas. Dosen itu selalu memulai kelas dengan kalimat sindiran untukku. Bukan sindiran sebenarnya, lebih seperti ejekan bagiku. Entahlah, aku tidak tahu apa yang ada dipikiran wanita berusia 30 tahun. Dosen itu mulai mengulang beberapa materi yang telah disampaikan dipertemuan sebelumnya. Beberapa mahasiswa menjawab pertanyaan yang diajukan olehnya dan aku hanya mengamati turunnya salju di luar. Padahal baru pukul 10 dan salju sudah mulai turun kembali.
Jasmine Alexander Quinn, aku tidak tahu alasan pastinya mengapa seorang pianis terkenal sepertinya memutuskan untuk pensiun dini dan mengajar di sebuah universitas. Aku hanya tahu, dialah salah satu alasanku memutuskan untuk kembali menekuni mimpi yang sudah aku buang.
Aku bertemu dengannya sehari setelah aku terbangun dari operasi. Pertemuan singkat yang membuat hubungan kami menjadi hubungan benci dan cinta. Jika aku diberi kesempatan lagi, aku akan tetap memilih untuk bertemu dengannya sehari setelah operasi mataku karena dia salah satu alasanku tetap hidup hingga saat ini.
“Apa yang kamu lihat, Zeta?”
Semua yang ada di ruangan ini ikut mengalihkan pandangan mereka keluar jendela termasuk dosen itu. Sekitar 5 menit, satu kelas hanya memandangi salju yang turun untuk bertemu dengan teman lamanya yaitu tanah.
“Cukup melihat saljunya. Tugas pembuatan lagu kemarin sudah saya cek.”
Suara keluhan mulai terdengar. Aku tahu betapa sulitnya membuat sebuah lagu, inspirasi untuk menemukan sebuah nada bukanlah hal yang mudah ditemukan ataupun dibeli dan karena itu aku sangat tahu alasan suasana kelas yang berubah 180 derajat. Bahkan beberapa anak sudah mulai menutup telinga mereka dengan earphone. Mereka tidak ingin mendengar karya mereka dikritik di depan banyak orang.
“Seperti biasa, Zeta mendapat nilai tertinggi,” ucapnya sembari tersenyum ke arahku diikuti tepuk tangan teman-teman.
“Apakah hari ini kita bisa mendengar permainan piano milikmu?”
Tidak.
Aku seharusnya menjawab pertanyaannya tetapi mulutku terkunci rapat. Hingga saat ini, aku tidak pernah menunjukan permainan pianoku kepada siapapun selain dosen-dosen saat ujian berlangsung. Aku selalu meminta ujian secara terpisah dan menghindari permainan di depan umum. Mungkin terdengar tidak adil bagi sebagian orang karena aku melihat permainan mereka tetapi aku sendiri tidak pernah menghadiri ujian umum hanya untuk mendengarkan permainan orang lain. Aku tidak ingin mendengar lantunan melodi dari tangan orang lain. Bukan karena permainan mereka yang buruk tetapi karena aku takut jika aku akan membandingkannya dengan permainanku dan menemukan fakta bahwa permainan pianoku sangat buruk.
“Baiklah, sepertinya belum saatnya. Ibu selalu memiliki satu pertanyaan untukmu, kenapa semua nada milikmu adalah kesedihan? Bahkan nada bahagia yang kamu buat juga terdengar menyedihkan.”
“Bagaimana bisa nada bahagia terdengar menyedihkan?” tanya seseorang.
“Good point. Bolehkah seseorang memainkan partitur ini?”
Hanya anggukan yang aku berikan sebagai jawaban. Salah satu mahasiswa terbaik dipilih untuk memainkannya. Alunan nada yang aku buat musim lalu perlahan mulai mengisi ruang-ruang kosong di hatiku. Aku melepaskan alat bantu dengar dan kembali menatap jauh keluar jendela. Aku sudah memainkan nada-nada itu ratusan kali di dalam kepalaku dan aku sudah lelah mendengarnya. Nada bahagia yang awalnya aku ciptakan berubah menjadi nada sendu dan nada sendu itu lama-kelamaan berubah menjadi nada penuh amarah. Aku hanya ingin menganggap nada itu sebagai nada bahagia dan tidak ingin mendengarnya lagi hanya untuk mengingatkan betapa menyedihkannya nada-nada yang telah aku buat.
Ting…
Akhir yang sempurna, bahkan lebih sempurna dari yang pernah aku mainkan.
“Bagaimana?” tanya Dosen Jasmine begitu nada-nada sudah tidak terdengar.
“Ada sebuah perasaan yang tertinggal saat kita merasakan kebahagiaan. Penyesalan?”
“Kecewa?” timpal mahasiswa lainnya.
“Rasa bersalah pada diri sendiri?” timpal yang lainnya.
Beberapa anak lainnya mulai menyuarakan pendapat mereka. Terkadang aku merasa kelas yang diajar olehnya lebih seperti pasar pada saat diskon berlangsung, sangat ramai.
“Entahlah, Ibu rasa hanya sang penulis yang tahu. Bukankah begitu, Zeta?”
“….”
“Sepertinya Zeta masih belum mau membuka hatinya untuk kita. Kalau begitu, untuk menghabiskan sisa 1 jam kuliah, keluarlah dan buatlah nada tentang salju. Jangan lupa untuk memasukkan perasaan kalian saat melihat salju turun. Ingat, jangan lupa memasukkan perasaan kalian,” tutup Bu Jasmine diiringi keluhan satu kelas.
...-----...
Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima.
Apakah jarak lima langkah cukup untuk melindungi seseorang?
Atau apakah jarak lima langkah terlalu dekat untuk melindungi seseorang?
Aku selalu menghitung jarak para pengawal saat mereka mengikutiku dan Ken. Mereka selalu berjalan lima langkah di belakangku, walaupun aku tidak tahu bagaimana dengan Ken jika dia pergi seorang diri. Kuhentikan langkah kakiku di depan sebuah café. Aku ingin masuk ke dalam tetapi aku tidak berani jika harus masuk seorang diri.
“Kamu ingin masuk?”
“Irene!” pekikku terkejut.
“Ayo masuk.”
Aku masih terdiam, tidak mengikutinya masuk ke dalam café.
“Aku bersumpah kali ini aku tidak mengikutimu. Kali ini kita ditakdirkan untuk bertemu,” ucapnya sembari menarik tubuhku masuk ke dalam café.
Irene memesan beberapa makanan dan minuman. Aku rasa dia sudah menyerah menyuruhku memesan. Dia selalu mengatakan jika memesan adalah salah satu terapi yang harus aku jalani agar mulutku tidak berkarat. Tetapi, usahanya selalu gagal entah karena akhirnya Ken yang memesan atau karena aku memesan menggunakan secarik kertas.
Kembali kuamati beberapa pengawal yang mengikutiku. Dua berada di dalam café dan dua berada di luar café. Bukankah udara cukup dingin untuk berdiri di jalanan yang baru dituruni salju?
“Apa kamu tahu jika Kesha pulang?”
“….”
“Benar, bagaimana mungkin kamu tahu. Dia pulang hari ini dan menyuruhku menunggunya di café ini. Dia mengatakan hal yang tidak masuk akal dalam e-mail yang dia kirim.”
“E-mail?” tanyaku membuka mulut untuk kali pertama kali sejak masuk café.
“Dia mengatakan akan membawa tunangannya. Aku bahkan tidak tahu jika dia sudah bertunangan. Akhirnya aku bertanya pada ibuku dan ternyata masih calon tunangan. Mereka akan bertunangan diakhir musim dingin ini.”
“Kenapa?” tanyaku sembari menyeruput cokelat panas.
“Kenapa?” tanyanya bingung.
“Kenapa di akhir musim dingin?” balasku membuatnya sedikit berpikir.
“Permintaan pihak laki-laki, jika tidak diawal maka diakhir musim dingin. Tetapi kenapa kata ‘awal dan akhir musim dingin’ mengingatkanku padamu?”
Benar juga, aku selalu memulai semuanya diawal ataupun diakhir musim dingin. Pertunanganku dengan Ken dilakukan diawal musim dingin begitu juga dengan operasi mataku. Pernikahan, kepindahanku ke Korea, dan keputusanku bermain piano kembali, aku lakukan semuanya diakhir musim dingin. Aku rasa aku melakukan semua itu karena pertengahan musim dingin terlalu dingin untuk sebuah acara yang penuh kehangatan.
“Ah… benar, aku lupa jika Kesha hanya mau bertemu denganku,” lanjutnya begitu melihatku tetap diam membisu.
“Apa Kesha masih marah padaku?” tanyaku akhirnya.
“Semua orang pasti akan marah jika diperlakukan seperti itu.”
Apa yang dikatakannya memang benar, tidak seharusnya aku mempermalukan Kesha di depan umum. Sudahlah, aku tidak ingin membahas apapun terkait masa laluku.
“Milikmu,” ucap Irene sembari menyodorkan sepiring crepe cake kepadaku.
Tepat saat aku akan memasukan crepe cake ke dalam mulutku, dua pengawal menghampiriku. Aku rasa tidak masalah untukku memakan sepotong crepe cake. Aku mengamati kedua pengawalku yang sekarang sedang menatap tajam ke arah lain.
Jadi, masalahnya ada pada crepe cake yang akan masuk ke dalam mulutku atau hal yang sekarang sedang mereka lihat?
Kualihkan pandanganku ke arah Irene yang sekarang juga diam membisu, sama dengan pengawalku. Aku rasa mereka melihat sesuatu yang tidak seharusnya dilihat. Tepat saat aku akan membalikkan tubuhku, sebuah tangan menarik wajahku.
“Apa yang kamu lakukan?” tanyaku terkejut kepada Irene.
“Oh? Aku rasa kamu harus pulang. Bukankah begitu Tuan Lee dan Tuan Stephen?”
Hening. Tidak ada jawaban apapun dari kedua pengawalku.
“Oh!!! Ireneeeee!!!” teriak seseorang membuat Tuan Lee yang sebelumnya ingin mengatakan sesuatu kembali menutup rapat mulutnya.
“Kesha?” celetuk Irene sembari melepas tangannya dari wajahku.
Nada yang canggung. Siapapun tahu bagaimana canggungnya nada itu. Kualihkan pandanganku pada Tuan Lee dan Tuan Stephen yang sekarang sedang membereskan barang-barang milikku. Gerakan waspada. Siapapun akan paham alasan dibalik munculnya gerakan itu. Aku tidak tahu bagaimana nada canggung dan gerakan waspada itu bisa muncul, aku hanya tahu kedua hal itu berhubungan dengan kemunculan Kesha.
Kali ini aku memutar kepalaku ke arah pemilik suara bernada tinggi itu. Bukan hanya satu wajah yang aku lihat, ada dua wajah dimana ada satu wajah terkejut dan satu wajah penasaran. Wajah sepupuku dan wajah calon tunangannya. Ada dua pasang mata yang aku tatap, mata berwarna hijau yang sudah lama tidak aku lihat dan mata berwarna biru yang penuh akan rasa ingin tahu.
“Aku rasa kali ini aku tidak akan selamat,” gumam Irene sebelum meninggalkanku menghampiri Kesha.
...-----...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments