Jaga Saksena Pendekar Peniup Bledeg
Gugusan ribuan pulau di belahan bumi bagian selatan itu diselimuti energi kegelapan.
Yang kuat menindas yang lemah. Yang kaya memperbudak yang miskin.
Perampokan, pembegalan, pemerkosaan, perburuan sesama manusia untuk dijadikan budak bahkan dimakan dagingnya, dan juga penjajahan terjadi di mana-mana.
Berita inilah yang didengar oleh seorang raja diraja sebuah kerajaan besar, kuat, dan berperadaban maju nun jauh di barat laut sana.
Demi menindaklanjuti berita yang sampai padanya, Sang Raja yang bijaksana mengumpulkan para penasihatnya yang disebut Dewan Empat Puluh Wali.
Sebelum memutuskan tindakan apa yang akan diambil, Dewan 40 Wali berkhlawat (menyepi) bersama selama tiga hari tiga malam.
Di malam ke 3, mereka mendapat penglihatan bahwa gugusan ribuan daratan yang jauh di tenggara sana bisa dibuka hanya oleh pemuda asli, anak negeri (pribumi_pen).
Seorang pemuda yang memilik tanda lahir khusus pada guratan di tangannya.
Dalam penglihatan itu pula ditunjukkan di mana pemuda tersebut bisa ditemukan.
Maka akhirnya, Dewan 40 Wali sepakat memutuskan dengan suara bulat, bahwa harus ada salah satu wali yang pergi ke sana.
Tujuannya jelas, mengambil putra asli daerah tersebut sebagai murid untuk digembleng lahir bathin dengan keilmuan tingkat tinggi guna menjalankan misi.
***
Di salah satu hutan rimba daratan Jawadwipa, salah satu pulau besar di gugusan ribuan daratan.
"Byung ... kau sungguh meninggalkanku. Maka, aku pun akan meninggalkanmu!"
Dinaungi bayangan pohon sebab matahari tengah tepat berada di atas kepala, seorang bocah berusia sekitar 10 tahun yang tengah bersimpuh di depan sebuah pusara berkata dengan tenang.
Pusara yang digalinya sendiri untuk mengebumikan seorang perempuan tua yang baru saja meninggal dunia dini hari tadi. Si bocah memanggilnya; Byung.
Tidak ada yang tampak aneh dari penampilan si bocah kecuali pakaiannya lusuh menghitam dan rambut gondrong yang kusut. Bahkan jika mau memperhatikan dengan seksama ada ketampanan tak biasa di wajahnya yang kotor.
"Selamat tinggal Byung, satu saat nanti aku akan menjengukmu di sini. Aku pergi."
Bocah itu bangkit lalu berjalan ke arah utara. Menurut Byungnya, jauh di utara sana ada dunia ramai. Akan tetapi untuk ke sana akan banyak sekali rintangan.
Rintangan pertama adalah menyeberangi sungai besar.
"Sungai besar itu, tidak lagi masalah bagiku!" gumam bocah menyungging senyum.
Si bocah tidak terlihat sedih, padahal byungnya baru saja meninggal dunia. Itu karena menurut perempuan tua -yang mengasuhnya sejak kecil di tengah hutan_, kematian hanyalah berpindah alam. Jika semasa hidup berbuat baik, bersikap baik, maka kematian adalah gerbang menuju alam kebahagiaan yang kekal abadi selamanya. Dan sebaliknya.
Maka, si bocah meyakini itu sepenuhnya. Tak ada keraguan sedikit pun di hatinya.
"Byung adalah orang terbaik yang pernah kukenal." Demikian yang bocah itu sering katakan.
Dan apa yang si bocah katakan sepenuhnya benar, sebab sejak dirinya kecil hingga saat ini hanya Byung satu-satunya orang yang ia kenal. Tak ada orang lain.
Itu bisa terjadi sebab si bocah tinggal di sebuah daratan cukup luas yang dikelilingi sungai lebar nan dalam. Jika dikira-kira, lebarnya sekitar empat ratus depa.
Sebenarnya sungai besar tersebut mengalir satu arah, hanya saja entah kenapa seperti bercabang lalu kembali bersatu lagi. Sehingga di tengah cabang tersebut terdapat sebuah daratan di tengah hamparan sungai, mirip pulau kecil.
Si bocah ketika berusia sekitar 8 tahun pernah bertanya, "Byung, kenapa kita bisa tinggal di tengah sungai seperti ini. Apakah kita jatuh dari langit?!"
Jawaban sang Byung sungguh tak terduga, "Benar, Ngger ...."
"Kenapa kita tidak mati, bukankah jatuh dari ketinggian itu sakit?!"
"Itulah keajaiban dari Sang Maha Kuasa."
"Byung sering sekali menyebut Sang Maha Kuasa. Sebenarnya siapa Dia, Byung?!"
"Dia, yang tidak bisa dijangkau akal pikiran kita tetapi ada. Dia yang menciptakan segala yang bisa dilihat mata. Dia yang tidak ada sesuatu pun yang menyerupaiNya ...."
Si bocah terus mendengarkan seksama apa yang diucapkan oleh Byungnya tanpa menyela. Itulah yang diajarkan Sang Byung, "dengarkan ketika ada orang berkata."
"Apa kau bisa memahaminya, ngGer?!"
"Tidak Byung," polos si bocah menjawab.
"Ngger Jaga Saksenaaaa ...." sang Byung kehabisan kata. "Lebih baik sekarang kau berlatih sana, sebelum mengail ikan untuk makan malam nanti."
Demikianlah keseharian Jaga Saksena dan Sang Byung. Mengobrol, belajar, memancing, dan berlatih.
Yang disebut berlatih adalah mencari kayu bakar untuk dibelah menggunakan kampak batu. Sebuah batu pipih yang diikatkan pada sebuah batang kayu. Sedangkan tali pengikat terbuat dari kulit pohon yang tumbuh di pulau kecil.
Selain membuat kayu bakar, Jaga Saksena juga diam-diam berlatih berenang dan angkat beban. Ini dilakukan untuk menghilangkan kebosanan.
Untuk berlatih berenang, Jaga Saksena menggunakan kulit kayu yang dipilin, mengikatkan ujung tali ke pohon di dekat sungai, lalu mengikat tubuhnya sendiri dengan ujung tali lainnya.
"Jika ikan saja bisa berenang, mengapa aku seorang manusia yang berakal tidak?!" ucapnya kala itu.
Untung saja, sungai besar yang mengelilingi daratan tersebut tidak didiami oleh buaya. Memang aneh, tetapi itulah kenyataannya.
Bertambah usia, Jaga Saksena semakin mahir berenang.
Sebenarnya, bukannya sang Byung tidak tahu bahwa Jaga Saksena sering berlatih berenang. Akan tetapi perempuan tua itu membiarkannya saja. Bahkan sang Byung bergumam, "Satu saat nanti, kau harus keluar dari tempat ini, Ngger. Jadilah anak yang kuat!"
***
Byurr!
Jaga Saksena terjun dengan menirukan gaya ikan bayong. Meluruskan tangan ke atas dengan dua telapak tangan ditangkupkan lalu meloncat.
Tak butuh lama bagi Jaga Saksena untuk mencapai sisi lain sungai.
"Selamat datang dunia luar! Aku akan melihatmuuu ...!" teriak Jaga Saksena keras.
"Ikikikikik!"
Terdengar suara monyet-monyet kecil di ujung pohon menyahuti atau mungkin memperingati. Entahlah, Jaga Saksena tidak mengerti apa yang monyet-monyet itu suarakan.
"Hiks!Hiks!Hiks! Kalian menyambutku?!" tanya Jaga sekenanya sembari berjalan mumpung belum malam.
Bukan Jaga Saksena takut kegelapan, tetapi demi memastikan dirinya terus melangkah ke utara maka diperlukan panduan matahari.
Sebenarnya Jaga Saksena juga diajari melihat bintang utara sebagai penentu arah kala malam, akan tetapi di tengah hutan lebat dirinya akan kesulitan melihat langit.
"Ikikikik!"
Diiringi suara monyet-monyet, Jaga Saksena terus berjalan, membelah lebatnya hutan. Sesekali kapak batunya terayun untuk membuka jalan. Hingga,
"Sepi ...." ucap Jaga Saksena berhenti melangkah lalu mendongak, sebab tak lagi mendengar suara monyet-monyet.
"Ah biarlah, mungkin mereka lelah!"
Kembali Jaga Saksena melangkahkan kaki. Namun,
"Ghhhhrrr ...!"
'Suara apa itu?!' batin Jaga Saksena sembari mempererat genggaman tangan pada gagang kapak batu, mata menajam melihat ke sumber suara di balik pohon besar yang dikelilingi semak belukar.
"Ghhhhrrr ...!"
'Apa pun itu, sebaiknya aku menghindarinya!'
Si bocah membelok arah ke barat, bermaksud berjalan seratus langkah sebelum kembali menuju utara.
Namun, tiba-tiba dari balik semak _di mana suara geraman berasal_ mencuat seekor hewan buas besar bergigi dan berkuku tajam yang langsung meloncat tinggi hendak menerkam.
"Babiiii ...!"
Jaga Saksena berlari kencang. Semak yang tumbuh di antara pepohonan yang terkadang berduri tidak ia hiraukan lagi.
Tentu saja hewan yang sebenarnya jenis harimau _sebab memiliki warna loreng khas di bulunya_ itu tidak ingin melepas mangsanya begitu saja sehingga langsung mengejar.
Kejar-kejaran pun terjadi. Hebatnya si bocah mampu melaju dengan cepat, menelusupi lebatnya tetumbuhan sehingga sang harimau belum mampu menjamahnya.
Terus berlari, si bocah melupakan arah. Karena yang ada dalam pikirannya sekarang hanyalah bagaimana cara untuk lolos dari buruan hewan pemangsa tersebut.
"Hosh ...! Hosh ...!"
Napas si bocah mulai memburu ngos-ngosan.
'Padahal aku sudah melatih tubuhku untuk hal seperti ini! Tapi sepertinya aku kurang bekerja kerass! Aku harus bisaa!' batin Jaga Saksena memompa semangat dan tenaga.
Entah berapa lama waktu berlalu. Entah berapa jauh jarak ditempuh.
Pakaian si bocah telah robek di sana sini. Hanya baju usang yang telah sekian lama tidak pernah ganti tentu saja lapuk dimakan usia.
Pun pembalut kaki si bocah yang terbuat dari kulit ular, tidak cukup kuat menahan gesekan berlebih kala berlari kencang.
Darah dari luka akibat terkena duri tetumbuhan yang merambat di antara pepohonan mulai memenuhi sekujur tubuh Jaga Saksena.
'Babi itu terus mengejarku! Eh babi atau kucing ya?! Ah peduli!'
Jaga Saksena memang telah diajarkan nama-nama hewan. Hanya saja karena tidak pernah melihatnya sehingga lupa. Sebab di pulau kecil yang selama ini ia huni bersama byung, hewan besar yang ada paling ular.
Dalam larinya sampailah Jaga Saksena di tempat sedikit bersih dari semak perdu sebab tanah di daerah tersebut berbatu.
Saat itulah, di depan sana, Jaga Saksena melihat pohon cukup besar yang tumbuh miring.
Tidak pikir panjang, bocah itu berlari menuju pohon tersebut lalu memanjatnya dengan berlari hingga ketika makin tinggi, si bocah harus menjatuhkan diri memeluk pokok batang pohon.
Saat yang sama ketika Jaga Saksena memeluk pohon, harimau pengejar sampai di pangkal pohon. Dan ternyata, dengan mudah si raja rimba tersebut ikut memanjat.
'Kau tidak akan bisa mengejarku!'
Jaga Saksena menyeringai lalu memanjat ke sebuah cabang kecil tinggi yang tumbuh lurus ke atas.
Benar saja, ketika sampai di cabang pohon di mana Jaga Saksena memanjat, si raja rimba harus menggeram-geram marah karena tak bisa memanjat cabang yang kecil.
"Kejar aku kalau kau bisa!" teriak Jaga Saksena dengan terlebih dahulu mengatur napasnya yang ngos-ngosannya. Kemudian, "hahahaha!" ia tertawa puas sebab berhasil mempecundangi si hewan buas.
Si raja rimba mendongak, sembari mengeluarkan suara geraman marah, menatap dendam pada mangsa kecilnya seolah ingin berkata,
"Tunggulah pembalasanku. Akan kucabik-cabik tubuhmu sebelum kumasukkan dalam perutku!!"
"Sudahlah! Pergi saja kau sana! Cari mangsa lain yang lebih enak dagingnya. Dagingku pahit!"
Jaga Saksena berseru sembari mengibas-ngibaskan tangan kanan yang memegang kampak batu.
Alih-alih pergi, si raja rimba malah merendahkan pantat, dan,
"Whoi whoi! Kenapa kau malah duduk!! Ah dasar babi sialan!"
Jaga Saksena tidak memperhitungkan bahwa sang pengejar bisa saja akan menungguinya.
'Celaka! Aku bisa terjatuh jika harus terus menahan tubuhku sendiri terlalu lama di cabang sekecil ini!' Jaga Saksena terus berpikir. Hingga, Jaga Saksena memutuskan untuk mengusir paksa si raja rimba.
'Terpaksa aku harus melemparkan kapakku! Ini satu-satunya harapanku!'
Menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskan pelan, Jaga Saksena mengumpulkan sisa-sisa tenaga. Kemudian ia memposisikan diri sebaik mungkin guna membidik kepala si raja rimba yang sesekali mendongak ke atas.
Meyakinkan diri pasti berhasil, Jaga Saksena berteriak,
"Pergilah kau babi!"
Jaga Saksena menahan tubuh dengan dua kaki dan satu tangan kiri, kemudian melemparkan kuat-kuat kapak batu menggunakan tangan kanan ke bawah.
Saat yang sama sebab teriakan Jaga, sang harimau mendongak. Dan ....
Bletak! Tepat sekali, bagian tajam kapak menghajar tepat bagian pangkal hidung harimau. Meski tidak menancap, luka yang ditimbulkan cukup dalam.
Si raja rimba bangkit dari duduknya, menggeram keras, membuat luka yang diderita mengeluarkan darah deras.
Panik melihat darahnya sendiri, harimau besar itu ngacir turun kemudian pergi.
"Huffftt ...."
Bernapas lega, Jaga Saksena mulai turun perlahan. Sampai di pokok pohon yang miring, si bocah memeriksa keadaan sekitar. Memastikan hewan buas pengejarnya tidak bersembunyi di balik sesuatu di bawah sana. Sekaligus mencari di mana tadi kapaknya jatuh.
'Di sana rupanya.'
Kapak jatuh cukup jauh, mungkin sebab terpental setelah menghajar kepala sang macan.
'Sebaiknya aku turun sekarang dan mencari tempat aman untuk mengobati luka-lukaku!'
***
"Auhh!!"
Jaga Saksena yang telah berada di atas pohon besar tinggi bercabang-cabang tengah membubuhi lukanya dengan dedaunan yang telah ia hancurkan dengan cara mengunyahnya. Sebuah pengobatan yang diajarkan byung.
Luka terparah ada di kaki kanan. Alas kulit yang membalut kaki robek besar. Mungkin sebab terkena batu tajam kala Jaga Saksena lari.
Semua luka telah dibalur, kini si bocah memperhatikan sekitar.
"Aku tadi berlari ke mana? Jangan-jangan aku ke arah barat!" ucap Jaga Saksena sembari menatap silau matahari yang mulai berwarna jingga di ufuk barat.
'Ya sudahlah, besok aku lanjutkan ke arah utara. Sebaiknya sekarang aku beristirahat.'
Bekerja keras sepanjang hari _dari menggali liang lahat hingga berlari dari kejaran harimau_ membuat tubuh bocah berusia 10 an tahun itu berasa lelah. Belum lagi perut yang mulai bernyanyi minta diisi.
Jaga Saksena membuka kantong dari kulit ular yang ia selempangkan di punggungnya.
'Perbekalan ikan asapku hanya lima ekor. Sebaiknya aku makan besok pagi saja. Untuk sekarang aku akan tidur untuk menahan lapar.'
Jaga Saksena merapatkan kembali kantong kulit ularnya, urung mengambil ikan asap.
Selama di pulau kecil, makanan sehari-hari Jaga Saksena dan byung adalah ikan yang di dapat dari sungai besar di sekitar. Terutama di pertemuan aliran sungai. Ikan sangat melimpah di sana.
Ikan-ikan yang diambil kemudian diawetkan dengan cara diasapi.
Ikan yang telah diasapi cukup tahan lama, hingga satu purnama.
Ketika Byung mulai sakit panas menggigil hingga mengantarkan pada kematian, Jaga Saksena tidak sempat mencari ikan. Sepanjang siang dan malam bocah itu menungguinya. Sehingga persediaan makanan hanya tinggal beberapa ekor ikan saja.
Ikan yang tidak terlalu besar, hanya sebesar lengan anak seusia 6 tahun-an.
Bocah yang telah memejamkan mata sembari duduk menyandar pada pokok pohon besar itu tidak menyadari. Seekor hewan _sebesar pohon pinang, sepanjang empat tombak_ yang membelit pokok pohon tengah mengawasinya dari atas sana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Arjy Cool
Disana Rupanya.....
Jhhhhooooooooooooooooooozzzzzz....
2022-12-15
0
🐼 𝓚𝓮𝓷𝓬𝓪𝓷𝓪 𝓦𝓪𝓷𝓰𝓲
mulai penasaran, wokeh.. lanjut lah !
2022-12-13
1
🗣🇮🇩Joe Handoyo🦅
Perjuangan yang melelahkan 😁
2022-12-12
0