NovelToon NovelToon

Jaga Saksena Pendekar Peniup Bledeg

Bab 1 dan 2. Keluar Pulau

Gugusan ribuan pulau di belahan bumi bagian selatan itu diselimuti energi kegelapan.

Yang kuat menindas yang lemah. Yang kaya memperbudak yang miskin.

Perampokan, pembegalan, pemerkosaan, perburuan sesama manusia untuk dijadikan budak bahkan dimakan dagingnya, dan juga penjajahan terjadi di mana-mana.

Berita inilah yang didengar oleh seorang raja diraja sebuah kerajaan besar, kuat, dan berperadaban maju nun jauh di barat laut sana.

Demi menindaklanjuti berita yang sampai padanya, Sang Raja yang bijaksana mengumpulkan para penasihatnya yang disebut Dewan Empat Puluh Wali.

Sebelum memutuskan tindakan apa yang akan diambil, Dewan 40 Wali berkhlawat (menyepi) bersama selama tiga hari tiga malam.

Di malam ke 3, mereka mendapat penglihatan bahwa gugusan ribuan daratan yang jauh di tenggara sana bisa dibuka hanya oleh pemuda asli, anak negeri (pribumi_pen).

Seorang pemuda yang memilik tanda lahir khusus pada guratan di tangannya.

Dalam penglihatan itu pula ditunjukkan di mana pemuda tersebut bisa ditemukan.

Maka akhirnya, Dewan 40 Wali sepakat memutuskan dengan suara bulat, bahwa harus ada salah satu wali yang pergi ke sana.

Tujuannya jelas, mengambil putra asli daerah tersebut sebagai murid untuk digembleng lahir bathin dengan keilmuan tingkat tinggi guna menjalankan misi.

***

Di salah satu hutan rimba daratan Jawadwipa, salah satu pulau besar di gugusan ribuan daratan.

"Byung ... kau sungguh meninggalkanku. Maka, aku pun akan meninggalkanmu!"

Dinaungi bayangan pohon sebab matahari tengah tepat berada di atas kepala, seorang bocah berusia sekitar 10 tahun yang tengah bersimpuh di depan sebuah pusara berkata dengan tenang.

Pusara yang digalinya sendiri untuk mengebumikan seorang perempuan tua yang baru saja meninggal dunia dini hari tadi. Si bocah memanggilnya; Byung.

Tidak ada yang tampak aneh dari penampilan si bocah kecuali pakaiannya lusuh menghitam dan rambut gondrong yang kusut. Bahkan jika mau memperhatikan dengan seksama ada ketampanan tak biasa di wajahnya yang kotor.

"Selamat tinggal Byung, satu saat nanti aku akan menjengukmu di sini. Aku pergi."

Bocah itu bangkit lalu berjalan ke arah utara. Menurut Byungnya, jauh di utara sana ada dunia ramai. Akan tetapi untuk ke sana akan banyak sekali rintangan.

Rintangan pertama adalah menyeberangi sungai besar.

"Sungai besar itu, tidak lagi masalah bagiku!" gumam bocah menyungging senyum.

Si bocah tidak terlihat sedih, padahal byungnya baru saja meninggal dunia. Itu karena menurut perempuan tua -yang mengasuhnya sejak kecil di tengah hutan_, kematian hanyalah berpindah alam. Jika semasa hidup berbuat baik, bersikap baik, maka kematian adalah gerbang menuju alam kebahagiaan yang kekal abadi selamanya. Dan sebaliknya.

Maka, si bocah meyakini itu sepenuhnya. Tak ada keraguan sedikit pun di hatinya.

"Byung adalah orang terbaik yang pernah kukenal." Demikian yang bocah itu sering katakan.

Dan apa yang si bocah katakan sepenuhnya benar, sebab sejak dirinya kecil hingga saat ini hanya Byung satu-satunya orang yang ia kenal. Tak ada orang lain.

Itu bisa terjadi sebab si bocah tinggal di sebuah daratan cukup luas yang dikelilingi sungai lebar nan dalam. Jika dikira-kira, lebarnya sekitar empat ratus depa.

Sebenarnya sungai besar tersebut mengalir satu arah, hanya saja entah kenapa seperti bercabang lalu kembali bersatu lagi. Sehingga di tengah cabang tersebut terdapat sebuah daratan di tengah hamparan sungai, mirip pulau kecil.

Si bocah ketika berusia sekitar 8 tahun pernah bertanya, "Byung, kenapa kita bisa tinggal di tengah sungai seperti ini. Apakah kita jatuh dari langit?!"

Jawaban sang Byung sungguh tak terduga, "Benar, Ngger ...."

"Kenapa kita tidak mati, bukankah jatuh dari ketinggian itu sakit?!"

"Itulah keajaiban dari Sang Maha Kuasa."

"Byung sering sekali menyebut Sang Maha Kuasa. Sebenarnya siapa Dia, Byung?!"

"Dia, yang tidak bisa dijangkau akal pikiran kita tetapi ada. Dia yang menciptakan segala yang bisa dilihat mata. Dia yang tidak ada sesuatu pun yang menyerupaiNya ...."

Si bocah terus mendengarkan seksama apa yang diucapkan oleh Byungnya tanpa menyela. Itulah yang diajarkan Sang Byung, "dengarkan ketika ada orang berkata."

"Apa kau bisa memahaminya, ngGer?!"

"Tidak Byung," polos si bocah menjawab.

"Ngger Jaga Saksenaaaa ...." sang Byung kehabisan kata. "Lebih baik sekarang kau berlatih sana, sebelum mengail ikan untuk makan malam nanti."

Demikianlah keseharian Jaga Saksena dan Sang Byung. Mengobrol, belajar, memancing, dan berlatih.

Yang disebut berlatih adalah mencari kayu bakar untuk dibelah menggunakan kampak batu. Sebuah batu pipih yang diikatkan pada sebuah batang kayu. Sedangkan tali pengikat terbuat dari kulit pohon yang tumbuh di pulau kecil.

Selain membuat kayu bakar, Jaga Saksena juga diam-diam berlatih berenang dan angkat beban. Ini dilakukan untuk menghilangkan kebosanan.

Untuk berlatih berenang, Jaga Saksena menggunakan kulit kayu yang dipilin, mengikatkan ujung tali ke pohon di dekat sungai, lalu mengikat tubuhnya sendiri dengan ujung tali lainnya.

"Jika ikan saja bisa berenang, mengapa aku seorang manusia yang berakal tidak?!" ucapnya kala itu.

Untung saja, sungai besar yang mengelilingi daratan tersebut tidak didiami oleh buaya. Memang aneh, tetapi itulah kenyataannya.

Bertambah usia, Jaga Saksena semakin mahir berenang.

Sebenarnya, bukannya sang Byung tidak tahu bahwa Jaga Saksena sering berlatih berenang. Akan tetapi perempuan tua itu membiarkannya saja. Bahkan sang Byung bergumam, "Satu saat nanti, kau harus keluar dari tempat ini, Ngger. Jadilah anak yang kuat!"

***

Byurr!

Jaga Saksena terjun dengan menirukan gaya ikan bayong. Meluruskan tangan ke atas dengan dua telapak tangan ditangkupkan lalu meloncat.

Tak butuh lama bagi Jaga Saksena untuk mencapai sisi lain sungai.

"Selamat datang dunia luar! Aku akan melihatmuuu ...!" teriak Jaga Saksena keras.

"Ikikikikik!"

Terdengar suara monyet-monyet kecil di ujung pohon menyahuti atau mungkin memperingati. Entahlah, Jaga Saksena tidak mengerti apa yang monyet-monyet itu suarakan.

"Hiks!Hiks!Hiks! Kalian menyambutku?!" tanya Jaga sekenanya sembari berjalan mumpung belum malam.

Bukan Jaga Saksena takut kegelapan, tetapi demi memastikan dirinya terus melangkah ke utara maka diperlukan panduan matahari.

Sebenarnya Jaga Saksena juga diajari melihat bintang utara sebagai penentu arah kala malam, akan tetapi di tengah hutan lebat dirinya akan kesulitan melihat langit.

"Ikikikik!"

Diiringi suara monyet-monyet, Jaga Saksena terus berjalan, membelah lebatnya hutan. Sesekali kapak batunya terayun untuk membuka jalan. Hingga,

"Sepi ...." ucap Jaga Saksena berhenti melangkah lalu mendongak, sebab tak lagi mendengar suara monyet-monyet.

"Ah biarlah, mungkin mereka lelah!"

Kembali Jaga Saksena melangkahkan kaki. Namun,

"Ghhhhrrr ...!"

'Suara apa itu?!' batin Jaga Saksena sembari mempererat genggaman tangan pada gagang kapak batu, mata menajam melihat ke sumber suara di balik pohon besar yang dikelilingi semak belukar.

"Ghhhhrrr ...!"

'Apa pun itu, sebaiknya aku menghindarinya!'

Si bocah membelok arah ke barat, bermaksud berjalan seratus langkah sebelum kembali menuju utara.

Namun, tiba-tiba dari balik semak _di mana suara geraman berasal_ mencuat seekor hewan buas besar bergigi dan berkuku tajam yang langsung meloncat tinggi hendak menerkam.

"Babiiii ...!"

Jaga Saksena berlari kencang. Semak yang tumbuh di antara pepohonan yang terkadang berduri tidak ia hiraukan lagi.

Tentu saja hewan yang sebenarnya jenis harimau _sebab memiliki warna loreng khas di bulunya_ itu tidak ingin melepas mangsanya begitu saja sehingga langsung mengejar.

Kejar-kejaran pun terjadi. Hebatnya si bocah mampu melaju dengan cepat, menelusupi lebatnya tetumbuhan sehingga sang harimau belum mampu menjamahnya.

Terus berlari, si bocah melupakan arah. Karena yang ada dalam pikirannya sekarang hanyalah bagaimana cara untuk lolos dari buruan hewan pemangsa tersebut.

"Hosh ...! Hosh ...!"

Napas si bocah mulai memburu ngos-ngosan.

'Padahal aku sudah melatih tubuhku untuk hal seperti ini! Tapi sepertinya aku kurang bekerja kerass! Aku harus bisaa!' batin Jaga Saksena memompa semangat dan tenaga.

Entah berapa lama waktu berlalu. Entah berapa jauh jarak ditempuh.

Pakaian si bocah telah robek di sana sini. Hanya baju usang yang telah sekian lama tidak pernah ganti tentu saja lapuk dimakan usia.

Pun pembalut kaki si bocah yang terbuat dari kulit ular, tidak cukup kuat menahan gesekan berlebih kala berlari kencang.

Darah dari luka akibat terkena duri tetumbuhan yang merambat di antara pepohonan mulai memenuhi sekujur tubuh Jaga Saksena.

'Babi itu terus mengejarku! Eh babi atau kucing ya?! Ah peduli!'

Jaga Saksena memang telah diajarkan nama-nama hewan. Hanya saja karena tidak pernah melihatnya sehingga lupa. Sebab di pulau kecil yang selama ini ia huni bersama byung, hewan besar yang ada paling ular.

Dalam larinya sampailah Jaga Saksena di tempat sedikit bersih dari semak perdu sebab tanah di daerah tersebut berbatu.

Saat itulah, di depan sana, Jaga Saksena melihat pohon cukup besar yang tumbuh miring.

Tidak pikir panjang, bocah itu berlari menuju pohon tersebut lalu memanjatnya dengan berlari hingga ketika makin tinggi, si bocah harus menjatuhkan diri memeluk pokok batang pohon.

Saat yang sama ketika Jaga Saksena memeluk pohon, harimau pengejar sampai di pangkal pohon. Dan ternyata, dengan mudah si raja rimba tersebut ikut memanjat.

'Kau tidak akan bisa mengejarku!'

Jaga Saksena menyeringai lalu memanjat ke sebuah cabang kecil tinggi yang tumbuh lurus ke atas.

Benar saja, ketika sampai di cabang pohon di mana Jaga Saksena memanjat, si raja rimba harus menggeram-geram marah karena tak bisa memanjat cabang yang kecil.

"Kejar aku kalau kau bisa!" teriak Jaga Saksena dengan terlebih dahulu mengatur napasnya yang ngos-ngosannya. Kemudian, "hahahaha!" ia tertawa puas sebab berhasil mempecundangi si hewan buas.

Si raja rimba mendongak, sembari mengeluarkan suara geraman marah, menatap dendam pada mangsa kecilnya seolah ingin berkata,

"Tunggulah pembalasanku. Akan kucabik-cabik tubuhmu sebelum kumasukkan dalam perutku!!"

"Sudahlah! Pergi saja kau sana! Cari mangsa lain yang lebih enak dagingnya. Dagingku pahit!"

Jaga Saksena berseru sembari mengibas-ngibaskan tangan kanan yang memegang kampak batu.

Alih-alih pergi, si raja rimba malah merendahkan pantat, dan,

"Whoi whoi! Kenapa kau malah duduk!! Ah dasar babi sialan!"

Jaga Saksena tidak memperhitungkan bahwa sang pengejar bisa saja akan menungguinya.

'Celaka! Aku bisa terjatuh jika harus terus menahan tubuhku sendiri terlalu lama di cabang sekecil ini!' Jaga Saksena terus berpikir. Hingga, Jaga Saksena memutuskan untuk mengusir paksa si raja rimba.

'Terpaksa aku harus melemparkan kapakku! Ini satu-satunya harapanku!'

Menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskan pelan, Jaga Saksena mengumpulkan sisa-sisa tenaga. Kemudian ia memposisikan diri sebaik mungkin guna membidik kepala si raja rimba yang sesekali mendongak ke atas.

Meyakinkan diri pasti berhasil, Jaga Saksena berteriak,

"Pergilah kau babi!"

Jaga Saksena menahan tubuh dengan dua kaki dan satu tangan kiri, kemudian melemparkan kuat-kuat kapak batu menggunakan tangan kanan ke bawah.

Saat yang sama sebab teriakan Jaga, sang harimau mendongak. Dan ....

Bletak! Tepat sekali, bagian tajam kapak menghajar tepat bagian pangkal hidung harimau. Meski tidak menancap, luka yang ditimbulkan cukup dalam.

Si raja rimba bangkit dari duduknya, menggeram keras, membuat luka yang diderita mengeluarkan darah deras.

Panik melihat darahnya sendiri, harimau besar itu ngacir turun kemudian pergi.

"Huffftt ...."

Bernapas lega, Jaga Saksena mulai turun perlahan. Sampai di pokok pohon yang miring, si bocah memeriksa keadaan sekitar. Memastikan hewan buas pengejarnya tidak bersembunyi di balik sesuatu di bawah sana. Sekaligus mencari di mana tadi kapaknya jatuh.

'Di sana rupanya.'

Kapak jatuh cukup jauh, mungkin sebab terpental setelah menghajar kepala sang macan.

'Sebaiknya aku turun sekarang dan mencari tempat aman untuk mengobati luka-lukaku!'

***

"Auhh!!"

Jaga Saksena yang telah berada di atas pohon besar tinggi bercabang-cabang tengah membubuhi lukanya dengan dedaunan yang telah ia hancurkan dengan cara mengunyahnya. Sebuah pengobatan yang diajarkan byung.

Luka terparah ada di kaki kanan. Alas kulit yang membalut kaki robek besar. Mungkin sebab terkena batu tajam kala Jaga Saksena lari.

Semua luka telah dibalur, kini si bocah memperhatikan sekitar.

"Aku tadi berlari ke mana? Jangan-jangan aku ke arah barat!" ucap Jaga Saksena sembari menatap silau matahari yang mulai berwarna jingga di ufuk barat.

'Ya sudahlah, besok aku lanjutkan ke arah utara. Sebaiknya sekarang aku beristirahat.'

Bekerja keras sepanjang hari _dari menggali liang lahat hingga berlari dari kejaran harimau_ membuat tubuh bocah berusia 10 an tahun itu berasa lelah. Belum lagi perut yang mulai bernyanyi minta diisi.

Jaga Saksena membuka kantong dari kulit ular yang ia selempangkan di punggungnya.

'Perbekalan ikan asapku hanya lima ekor. Sebaiknya aku makan besok pagi saja. Untuk sekarang aku akan tidur untuk menahan lapar.'

Jaga Saksena merapatkan kembali kantong kulit ularnya, urung mengambil ikan asap.

Selama di pulau kecil, makanan sehari-hari Jaga Saksena dan byung adalah ikan yang di dapat dari sungai besar di sekitar. Terutama di pertemuan aliran sungai. Ikan sangat melimpah di sana.

Ikan-ikan yang diambil kemudian diawetkan dengan cara diasapi.

Ikan yang telah diasapi cukup tahan lama, hingga satu purnama.

Ketika Byung mulai sakit panas menggigil hingga mengantarkan pada kematian, Jaga Saksena tidak sempat mencari ikan. Sepanjang siang dan malam bocah itu menungguinya. Sehingga persediaan makanan hanya tinggal beberapa ekor ikan saja.

Ikan yang tidak terlalu besar, hanya sebesar lengan anak seusia 6 tahun-an.

Bocah yang telah memejamkan mata sembari duduk menyandar pada pokok pohon besar itu tidak menyadari. Seekor hewan _sebesar pohon pinang, sepanjang empat tombak_ yang membelit pokok pohon tengah mengawasinya dari atas sana.

Bab 3. Bertahan Hidup

Kelelahan membuat Jaga Saksena mudah saja hanyut dalam tidur yang lelap.

"Sssss ...!"

Saat itulah, perlahan tapi pasti, hewan sebesar pohon pinang yang tak lain adalah ular sanca kembang mendekati kepala si bocah.

Bisa dipastikan, sekali caplok, masuklah kepala anak berusia 10 tahunan tersebut ke dalam rongga mulut si ular.

Hanya tinggal satu depa lagi. Ular sanca kembang pun berhenti untuk bersiap menggunakan jurus "hap" nya. Dan ....

Crakk!

Bersamaan dengan mulut ular yang menganga meluncur ke bawah, tangan kanan si bocah membacokkan kapak batunya.

Sontak, ular sanca kembang besar itu menarik diri.

"Mengganggu orang tidur saja! Pergi atau aku kuliti tubuhmu!" bentak Jaga Saksena berdiri mengacungkan kapak batu yang berlumur darah.

Kalau cuma ular, si bocah tak ada takut-takutnya meski besar. Ular adalah mainannya sehari-hari.

Untuk sesaat ular sanca kembang itu menatap si bocah kemudian membalik kepala, merambat ke atas lalu pergi melewati cabang besar menuju pohon lain.

Pohon-pohon yang berdekatan membuat ular jenis ini mampu berpindah dari satu pohon ke pohon lain melalu cabang-cabang yang saling bertemu.

***

Pagi hari datang bersambut cicitan burung kutilang.

Jaga Saksena terbangun, memeriksa lukanya yang ternyata telah mengering. Daya tubuh yang baik dibantu ramuan yang mangkus (mujarab_pen).

"Aku harus mencari ular untuk kuambil kulitnya. Ular semalam terlalu besar, aku akan kuwalahan untuk membunuhnya. Untuk saja dia takut pada gertakanku. Hehehehe!"

'Sebaiknya aku makan dulu.'

Membuka perbekalannya, Jaga Saksena makan dengan lahap. Tidak butuh waktu lama untuk menghabiskan satu ikan asap hingga tulang-tulangnya.

'Ingin rasanya aku makan dua, tetapi aku tidak tahu kapan menemukan sungai lagi. Mungkin aku harus mencoba menangkap hewan lain untuk kumakan. Jika tidak, aku akan benar-benar kehabisan perbekalan!'

Menutup kembali perbekalan makanannya yang kini tinggal 4 ekor ikan, Jaga Saksena turun dari pohon.

Sampai di bawah, dengan kapak batu, bocah itu memotong salah satu pohon yang mirip rotan. Dari sanalah keluar air yang bisa diminum.

"Segaarrr ...!"

Jaga Saksena memandang ke sinar matahari yang menelusup masuk melewati celah rimbunnya dedaunan hutan.

"Matahari ada di sana, berarti aku harus ke sana!"

Jaga Saksena melangkah perlahan, selain karena luka di kaki dan alas kaki yang robek juga untuk memperhatikan keadaan sekitar guna mencari ular.

Tak lama berjalan, Jaga Saksena menemukan sebuah lubang di tanah bersemak. Jaga hapal betul itu adalah sarang ular.

Dengan cekatan bocah itu memotong dahan bercabang.

Hanya butuh beberapa tindakan, ular sebesar lengan berwarna hitam mengkilat yang tengah tidur nyenyak telah berada dalam cengkeraman Jaga Saksena.

"Maafkan aku, Ular. Tetapi aku butuh kulitmu."

Cepat, Jaga menggebuk kepala ular memakai bagian tumpul kapak batu lalu memotongnya.

Mengelupas kulit ular dari bawah kepala dengan terlebih dahulu membuang kepalanya, memungkinkan Jaga Saksena mendapatkan kulit ular secara utuh.

"Lumayan, ini sangat cukup di kakiku. Tinggal mencari tempat yang terkena sinar matahari untuk menjemurnya."

Jaga Saksena hanya mengambil kulit ular, sedang dagingnya ia buang lalu melangkah melanjutkan perjalanan.

Ular, meski hanya sebesar lengan, kulitnya mampu menampung kaki pemilik lengan. Untuk dijadikan pelindung kaki, Jaga Saksena hanya perlu mengeringkannya, lalu memotong sepanjang dua jengkal untuk kemudian diikat ujungnya dengan tali.

Tali yang digunakan juga kulit kering yang dipotong kecil panjang.

Lama berjalan, akhirnya si bocah menemukan ruangan terbuka yang di sinari panas matahari. Meski tidak luas cukuplah untuk mengeringkan kulit ular.

"Sambil menunggu aku akan berlatih menguatkan tanganku."

Jaga Saksena melangkah ke sebuah pohon. Memasang kaki kokoh,

Bugh! Bugh! Bugh! Bugh!

Bocah itu mulai memukul dengan irama detak jantungnya. Terus menerus dengan sabar dan telaten.

Matahari tepat di atas kepala ketika Jaga Saksena merasakan lelah sehingga menghentikan pukulannya.

"Hufft ...!"

Merebahkan diri di dekat kulit ular yang tengah ia jemur Jaga Saksena menghembus napas keras.

"Byung, kau pasti tengah makan enak di sana sebagaimana yang kau ceritakan dulu padaku. Andai aku sudah di sana aku akan minta makan nasi saja."

Tetiba Jaga Saksena terdiam, lalu melanjutkan,

"Jika hanya nasi kenapa harus menunggu di surga ...?! Bukankah di luar sana kata Byung ada?!"

Jaga Saksena memang belum pernah makan nasi, padahal menurut Byung, nasi adalah makanan terenak. Orang-orang kaya tidak dikatakan makan kalau tanpa nasi. Karena nasi adalah sumber kekuatan juga sumber kenyang.

Mengingat hal tersebut, Jaga Saksena segera bangun untuk memeriksa kulit ular yang ia jemur.

"Hemmm .... baru sedikit mengering. jika kupakai sekarang maka akan mudah sobek. Aku harus cari cara lain agar cepat bisa melanjutkan perjalanan."

Jaga Saksena memutar otak hingga,

"Ah ... ha!"

Cepat bocah kecil itu memanjat menuju sebuah pohon yang berdaun lebar. Memetik beberapa daun lalu menggunakannya sebagai pembungkus ikan asap kemudian mengikat dengan tali kulit kecil panjang.

"Sekarang aku bisa menggunakan kantong makanan ini sebagai alas kaki!"

Dengan gembira, Jaga Saksena akhirnya melanjutkan perjalanan. Tak lupa kulit ular yang belum kering ia bawa pula.

Sembari melangkah, Jaga Saksena memanjat harap,

'Semoga tidak lagi ada hewan buas mengejarku!'

*

Harapan Jaga Saksena terkabul, hingga matahari terbenam tak ada satu pun hewan buas menghadang.

"Terimakasih Yang Maha Kuasa!" ucap Jaga mulai memanjat pohon besar untuk bermalam.

Kukuruyuk!

"Perutku minta diisi! Ah lapar sekali rasanya!"

Jaga Saksena menimbang apakah akan makan atau tidak. Sehari di masa pertumbuhan hanya makan satu ikan sungguh menyiksa.

Akhirnya, Jaga Saksena memutuskan memakan satu ekor ikan lagi.

**

Waktu berjalan cepat. Jaga terus mengambil arah utara. Hewan-hewan buas selalu ada tetapi dengan cerdik Jaga bisa menghindarinya.

Hewan buas adalah rintangan kedua yang harus dilewati, dan Jaga Saksena sejauh ini bisa mengatasinya.

Di malam ke empat perjalanan, bekal Jaga Saksena benar-benar telah habis.

"Untuk malam ini _meski lapar_ aku harus bertahan. Besok pagi jika tidak ada hewan buruan maka terpaksa aku akan makan daging ular!"

Jaga mengusap perutnya, mencoba berdamai dengannya agar tidak berisik meminta makan.

Seperti biasa, untuk bermalam Jaga Saksena memilih menginap di atas pohon.

Saat Jaga Saksena memilih dahan yang tepat guna menopang tubuhnya, mata bocah itu melihat api di kejauhan. Meski tampak kecil, gelap malam membantu api mudah terlihat.

"Api?! Apakah aku sudah hampir sampai?! Tak sia-sia perjalananku! Aku harus cepat tidur agar besok kekuatanku kembali sempurna!"

Bersemangat Jaga Saksena berusaha memejamkan mata. Rasa lelah segera menyergapnya dalam lelap tidur.

***

Cukup jauh di utara, api pembakaran membara. Orang-orang yang tampak hanya memakai penutup di bagian perabot kelelakian dan kewanitaannya duduk memutar.

Sesekali tangan mereka mengacung ke angkasa dengan posisi jari-jari terbuka lalu menunduk sepenuhnya hingga tangan menyentuh tanah.

Tubuh para lelaki berurap sesuatu berwarna hitam, berbeda para wanitanya yang berurap putih. Mungkin itu sejenis ramuan guna menangkal nyamuk, semut atau binatang hutan kecil lainnya. Penampilan yang tidak terlalu menyeramkan.

Tidak ketika melihat apa yang ada di atas api membara, sebuah tongkat panjang yang menusuk sebuah jasad manusia!

Ya, mereka adalah suku pemakan daging manusia.

Bab 4. Godaan

Pagi yang cerah secerah hati Jaga Saksena.

"Para manusia! Aku datang!" teriaknya keras sembari berjalan cepat menelusupi lebatnya hutan belantara.

Setengah hari berjalan, tak bisa dicegah terdengar nyanyian perut Jaga diiringi tenaga yang tetiba menurun.

Rasa lapar yang terlupakan oleh semangat tetiba menyerang!

"Aku harus cari makanan dulu!"

Jaga Saksena berhenti, memutar pandangan ke atas, berharap ada pohon berbuah yang bisa dimakan.

Tidak menemukan apa pun, telinga Jaga Saksena menangkap suara pergerakan di balik semak-semak.

Jaga Saksena mengambil dua batu kecil di dekat kaki, menyelipkan satu di pakaiannya lalu yang satunya ia lempar ke sumber suara sembari bersiap memanjat ke pohon kecil terdekat.

Krosak!

"Hewan kecil apa itu?! Hasss ... larinya terlalu cepat!"

Berburu di hutan lebat tidak semudah membalik telapak tangan. Hewan-hewan seperti kelinci hutan dengan mudah menelusup ke semak perdu lebat lalu hilang entah ke mana.

Kruuukk!

Mengusap perutnya yang lapar, Jaga Saksena kembali berjalan. Hingga,

"Apa itu!" seru Jaga Saksena seraya mendekat dengan hati-hati.

Sebuah bulatan besar di dalam semak belukar yang telah dibentuk sedemikian rupa hingga membentuk sarang. Ketika Jaga Saksena masuk ke sana, matanya membeliak.

"Telur, hahahaha!"

Girang bukan main Jaga Saksena mendapati lima butir telur sebesar dua kepalan tangannya.

"Ternyata ini sarang burung, tetapi kenapa di bawah bukan di atas pohon?!" Jaga Saksena berbicara sendiri sambil menimang satu butir telur besar.

"Maafkan aku pemilik sarang, ijinkan aku mengambil dua telurmu untuk kumakan!"

Berkata demikian, Jaga Saksena menyeruput mentah dua telur dengan terlebih dahulu melubangi cangkangnya dengan ujung kapak batu.

"Kenyaaaang ...!"

"Koaak!"

Kaget oleh suara keras, Jaga Saksena langsung bangkit bersiap berlari.

Benar saja, seekor burung besar dengan kaki dan leher panjang tengah berlari ke Jaga Saksena, menerabas semak-semak yang tumbuh di antara pepohonan.

"Aku hanya mengambil dua sajaaaa ...!"

Jaga Saksena lari terbirit-birit.

"Koakk!"

Burung yang tidak bisa terbang itu mengejar dengan kecepatan luar biasa. Sepertinya dia benar-benar marah akibat telurnya dicuri.

Dengan paruh siap menghantam kepala buruannya, si burung besar berleher panjang semakin memperpendek jarak. Dan ....

Cruk!

Hantaman paruh burung menancap dangkal di sebuah pohon. Rupanya Jaga Saksena berhasil lolos dengan melompat ke atas, menancapkan kapak pada batang pohon untuk dijadikan pegangan lalu memanjat.

Cara jitu yang kembali menyelamatkan nyawa Jaga Saksena dari incaran hewan buas. Sebab beberapa hari ini, cara inilah yang ia pake untuk menghindari hewan-hewan buas.

"Sini naik kalau kau berani!" ejek Jaga pada si burung yang mendongak menatap marah padanya.

"Koakk!!"

"Sudah kukatakan, aku hanya mengambil dua telurmu saja. Kau bisa bertelur lagi apa susahnya?!" teriak Jaga Saksena.

"Koakk!"

"Terserah kaulah!"

Jaga Saksena ongkang-ongkang di atas cabang pohon yang mampu menahan berat tubuhnya.

"Koakk!"

"Cepatlah balik sana! Telurmu bisa dimakan ular!" Jaga Saksena meliuk-liukkan tangannya menirukan gerakan ular.

"Koakk!" masih marah, burung terus mengacungkan paruhnya.

"Kau tidak perlu berterima kasih padaku. Sebagai sesama makhluk sudah sepatutnya saling mengingatkan!"

"Koakk!"

"Iya sudah kurestui, pergi sana!"

"Koakk!"

"Apa lagi?! Aku tidak punya apa-apa untuk bekalmu!" Jaga Saksena seakan berbincang dengan burung tersebut meski sebenarnya tidak nyambung.

"Koakk!"

"Oh ada, kau memaksaku! Ini!"

Wett!

Jaga Saksena teringat masih menyimpan satu batu. Dengan cepat ia menyambit kepala burung besar berleher panjang tersebut.

Klotak!

"Koakk!"

Meski tidak melukai, lemparan batu yang tepat mengenai bawah mata cukup membuat si burung kaget.

"Mau lagi?!" teriak Jaga Saksena hanya menggertak karena hanya itu yang bisa ia lemparkan, sebab kapak batu tertancap di bawah ketika ia gunakan untuk awalan memanjat pohon.

"Koakk!"

Dengan penuh amarah terpendam, si burung membalik badan lalu pergi. Naluri hewaninya tidak bisa meninggalkan sarang terlalu lama.

"Hahaha! Aneh juga itu burung. Mau pergi setelah kuberi bekal. Eh, burung atau ayam ya? Kenapa dia tidak bisa terbang?"

Sambil bertanya-tanya, Jaga Saksena memastikan burung itu benar-benar pergi.

Merasa aman, bocah itu perlahan turun. Mengambil kapak batunya kembali sebelum melanjutkan perjalanan.

*

Sinar matahari yang menerobos celah hutan telah berwarna jingga. Namun Jaga Saksena belum juga mencapai sebuah pemukiman yang ditengarai semalam menyalakan api.

Jaga Saksena belum bisa memperkirakan jarak. Ia tidak tahu, api semalam yang ia lihat kecil sebenarnya merupakan kobaran api yang besar. Artinya jaraknya sangat jauh.

"Aku akan memanjat lebih tinggi nanti malam. Mungkin aku salah lihat!" gumam Jaga Saksena sembari terus berjalan menunggu petang benar-benar datang.

Malam pun tiba. Kembali Jaga Saksena berdiam diri di atas pohon, hanya berteman suara binatang malam hutan dan pekatnya kegelapan, membuatnya benar-benar merindukan pertemuan dengan manusia lain.

"Sebaiknya aku tidur, merindukan mereka belum tentu baik bagiku. Lagi, menurut Byung ada manusia jahat dan ada manusia baik. Belum tentu pula aku bertemu manusia baik." Jaga Saksena menghibur diri, agar lelap segera menjemputnya.

Lebb!

Mengendaplah rasa Jaga Saksena, lelap dalam tidur dan memasuki alam mimpi.

"Hai manusia! Bangun!"

Jaga Saksena kaget oleh sebuah bentakan keras.

"Monyet! Ganggu orang tidur saja!"

"Hahahaha! Aku tahu kau memiliki keinginan kuat. Aku akan mengabulkan permintaanmu tetapi dengan satu syarat!"

"Kau siapa?! Wujudmu saja tak jelas mau mewujudkan keinginan orang!" ketus Jaga Saksena sembari mengamati bentuk bayangan hitam besar yang melayang di depannya.

"Aku Dewa Kegelapan penguasa hutan ini. Akulah yang patut disembah. Kau hanya perlu menyembahku, memberikan pengorbanan untukku maka semua keinginanmu akan kukabulkan!"

"Menyembahmu?!"

"Iya!"

"Kau pikir kau lebih tampan dariku?!"

Dengan sangat percaya diri Jaga Saksena membandingkan dirinya dengan sosok bayangan hitam besar. Setidaknya Jaga Saksena pernah mendapat pujian tampan meski itu hanya pujian dari Byungnya.

"Bocah! Ini bukan masalah tampan! Dengarkan baik-baik. Aku akan memberimu segala kemudahan, segala apa yang kau inginkan. Tetapi dengan satu syarat, sembahlah aku!"

"Baiklah, aku ingin kau menciptakan matahari untuk menyaingi matahari Sang Pencipta!"

"Hahaha!" Sosok hitam besar tertawa sebelum berkata. "Mudah! Lihatlah ini!"

Bayangan hitam besar mulai mengeluarkan suara aneh, sesuatu yang tidak dipahami oleh Jaga Saksena, mantra.

"Lihatlah ke langit!" seru si bayangan hitam besar menunjuk ke langit. "Matahari telah ada dua!"

Tak membantah, Jaga Saksena pun melihat ke langit untuk kemudian mengernyit dahi. 'Mana mataharinya?'

Jaga Saksena hanya melihat kerlip bintang kecil. Mungkin di sebelah timur ada bulan yang tidak sempurna tetapi tertutup rimbunnya dedaunan pepohonan.

"Sebenarnya kau ini apa?! Menurut Byung selain manusia ada golongan jin atau belis. Tapi Byung tidak bercerita ada belis goblok sepertimu."

"Goblok?!"

"Iya goblok! Jelas-jelas di langit gelap tidak ada matahari. Apalagi dua matahari. Pergi! Pergi! Mengganggu orang tidur saja!"

"Ba-bagaimana mungkin?" Sosok hitam tergagap, sihir yang ia gunakan barusan ternyata tidak bisa mempengaruhi si bocah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!