Usai menyuapkan semua umbi rebus, wanita muda pergi meningalkan Jaga seorang diri.
"Ahh ...! Segar rasanya bisa makan kenyang! Sekarang waktunya kabur!"
Jaga Saksena menguatkan tubuhnya terutama di bagian tangan untuk memutus tali, tetapi sia-sia. Tali terlalu kuat. Demikian juga tali di kaki, bahkan ketika Jaga berusaha menggigitnya.
'Ini terlalu kuat!' gumam hati Jaga Saksena hingga akhirnya hanya bisa berdiam diri.
Waktu terus berjalan, sore menggantikan siang dan kemudian sore pun tergeser oleh malam.
Breg!
Seseorang membuka pintu ketika Jaga Saksena mulai mengantuk.
Tiga orang lelaki masuk.
"Cepat bawa dia!"
"Bagaimana dengan senjatanya?!"
"Biarkan sebagai tanda korban kita bukan orang lemah!"
Seketika rasa kantuk Jaga Saksena hilang oleh kekasaran dua orang yang mencengkeram dua lengannya.
Si bocah dibawa keluar menuju tengah pemukiman di mana api pembakaran telah berkobar-kobar.
"Ikat dia di palang kayu!"
Kali ini yang memberi perintah adalah sang kepala suku.
Dengan cepat dua orang penyeret itu membawa si bocah. Sementara beberapa orang lelaki kekar lain membantu.
Apalah daya kekuatan seorang bocah umuran sepuluh tahun di bawah kekuatan para lelaki besar. Jaga Saksena tak bisa berkutik. Dua tangannya direntangkan kemudian pergelangan tangan diikatkan pada kayu. Demikian juga dengan kakinya.
"Lepaskan! Apa yang kalian lakukan padaku!" teriak Jaga Saksena sembari meronta, mengerahkan kekuatan untuk berusaha melepaskan diri.
Teriakan yang sia-sia. Selain orang-orang itu tidak peduli, mereka juga tidak mengerti perkataan Jaga Saksena. Kecuali wanita muda yang menyuapi Jaga, wajahnya tampak bersimpati meski dia hanya diam dalam barisan para wanita.
'Celakalah aku!"
Jaga Saksena nanar menatap orang-orang yang tampak tersenyum senang ditingkahi obrolan sesama mereka.
'Orang-orang sakit! Bagaimana bisa mereka terlihat senang di atas penderitaanku? Jangan-jangan ....'
Saat pemikiran Jaga Saksena liar menerka apa yang akan terjadi tetiba menyeruak seorang nenek membawa tongkat hitam. Siapa lagi kalau bukan Nenek Seti.
"Malam ini," Seti mulai bicara dengan suara lantang, "Sesembahan kita, Sang Baghala, Dewa Kegelapan, Sang Pelindung, Sang Penolong akan datang. Muncul di hadapan kita semua. Bukan karena permintaan Peko putra dan calon penerus kepala suku. Akan tetapi karena Sang Baghala akan menunjukkan kuasanya pada kita!"
Suasana mendadak syahdu (khusyu'_pen).
"Mari kita mulai pemujaan!" seru Nenek Seti memberi perintah.
Serentak semua duduk bersimpuh menghadap api pemanggangan, sementara Nenek Seti memberi isyarat pada seseorang untuk memasang tengkorak bertanduk pada tiang pancang di belakang api.
Seti maju beberapa langkah untuk kemudian turut duduk bersimpuh, selaku pemimpin ritual yang akan segera dimulai.
"Puja Sang Baghala!" seru Seti mengangkat lurus kedua tangannya dengan jari-jari terbuka.
Hal yang sama dilakukan oleh orang-orang di belakang seti. Mereka mengulang ucapan Seti dan menirukan gerakannya.
"Terimalah sembah kami!" Kembali Nenek Seti berseru sembari menghantamkan jidat dan telapak tangan pada tanah.
Seperti saat pertama, semua kembali mengikuti Seti.
Ketika semua sudah mengikuti, Seti mengangkat kepala dan tangannya kembali seperti gerakan awal. Hanya saja kali ini berbeda seruan,
"Puja Sang Baghala, Sang Penolong kami!"
Jaga Saksena yang melihat itu semua hanya bisa bertanya-tanya dalam hati. 'Apa yang mereka ucapkan? Apa yang mereka lakukan? Apa hubungannya denganku? Apa aku disuruh menonton? Akan tetapi kenapa aku diikat begini rupa?' Dan masih banyak pertanyaan dalam hati Jaga Saksena.
Ketika semua pertanyaan tak ada jawaban, kesadaran Jaga Saksena menyeruak, 'Tidak penting semua pertanyaan itu, yang terpenting aku harus bisa melepaskan diri dan pergi dari tempat ini!'
Sekuat tenaga Jaga Saksena berusaha menggeser tubuhnya ke arah kanan dan ke kiri sembari sedikit menarik ke depan. Bermaksud mengendorkan tali yang mengikat kuat pergelangan tangannya.
Tetapi tali pengikat terbuat dari kulit hewan pilihan yang dipilin kencang sehingga kekuatannya jauh lebih baik dari tali yang terbuat dari kulit pohon.
'Pantas saja mereka mengabaikanku di sini, tali ini sangat kuat! Tanganku telah berdarah tetapi ikatan tali belum juga kendor!'
"Huffft ...."
Jaga Saksena mendesah panjang sebelum kembali menarik napas pelan untuk mengumpulkan kekuatan dan tekad.
Namun,
"Hua hahahaha!"
Suara tawa berat nan serak menggema muncul bersama mewujudnya sosok bayangan hitam besar bermata merah di belakang api yang berkobar.
Bahkan api yang berkobar-kobar tak mampu menerangi wujud sosok hitam besar bertanduk tersebut.
'Bukankah itu belis dungu yang mengganguku malam lalu?! Rupanya orang-orang ini menyembahnya!' Jaga Saksena segera mengenali sosok hitam besar dan mulai sedikit memahami apa yang tengah terjadi.
Saat yang sama, Seti dan semua orang masih menekankan jidat dan tangan ke tanah. Kecuali Peko putra kepala suku.
Peko, lelaki yang memimpin penangkapan Jaga Saksena memandang tajam ke arah sosok tubuh hitam besar. Telah lama pemuda itu menantikan perjumpaan ini sehingga tak akan ia sia-siakan.
"Hahahaha! Akulah Sang Baghala! Penguasa kegelapan! Penguasa hutan rimba ini! Siapa pun yang menyembahku maka akan masuk ke dalam perlindunganku. Dan sebaliknya, siapa pun yang menolakku, maka akan mengalami siksaan pedih dariku!"
Sebab Baghala berbicara bahasa suku Smito, Jaga Saksena tidak mengindahkannya. Ia terus berusaha melonggarkan ikatan meski kini darah makin banyak menetes dari pergelangan tangannya.
"Puja dan bakti kami pada Sang Baghala ...!" seru Seti masih dalam posisi bersujud.
"Hahaha ... kuterima sembah kalian! Angkat kepala kalian dan duduklah! Sekarang, akan kutunjukkan kuasaku pada kalian!"
Semua orang mengangkat kepala untuk duduk bersimpuh dan melihat dewa mereka.
Semua orang segera merasakan ketakutan, karena dewa yang mereka sembah ternyata cukup mengerikan.
Sosok Sang Baghala bergeser mendekat ke bocah kecil di tiang salib.
"Bocah!" sapa Sang Baghala menggunakan bahasa Jaga Saksena, "sekarang kau sudah tahu siapa aku?!"
"Dari awal aku sudah tahu siapa kau!"
Melihat percakapan Sang Baghala dan si bocah _meski tak paham_ Nenek Seti dan semua orang terkagum-kagum. Sebab Sang Baghala bisa berkata dan memahami bahasa si bocah.
"Nah, jika kau sudah tahu. Mengapa kau tidak mau menyembahku?!"
"Ya, karena aku tahu dari awal kau hanyalah belis dungu nan goblok!" enteng saja Jaga Saksena menjawab.
Jawaban ringan, seringan meniup kapuk, tetapi bagi Sang Baghala bagai petir menyambar tepat di telinga.
"Kau sungguh meniupkan petir di telingaku! Maka aku tak segan lagi untuk membakarmu hidup-hidup! Oh ... itu terlalu ringan. Aku akan perintahkan mereka menusukkan tongkat panjang pada anusmu terlebih dahulu hingga tembus ke rongga mulutmu! Setelah itu barulah kuperintahkan mereka memanggangmu! Lalu akan kusuruh mereka memakan dagingmu!"
"Belis biadab! Kau kira aku takut pada gertakanmu, hah?!"
Dituduh menggertak, Sang Baghala terkekeh sebelum berkata,
"Siapa yang menggertakmu?!"
Berkata demikian, Sang Baghala memanggil kepala suku. "Kepala Suku Smito!"
"Hamba menghadap, Sang Baghala!"
"Ke sini dan bawalah tombak pemanggang itu!"
Tak menunggu perintah diulang, Kepala Suku Smito bergegas menyambar tombak lalu mendekat. Dadanya membusung, ada kebanggaan sebab diberi perintah oleh Sang Baghala langsung.
"Kau dekatkan ujung tombak ke anus bocah ini, dan tusuklah saat kuberi perintah!"
"Baik Dewa Kegelapan, sesuai perintahmu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments
Syamsu Alam
hahaaa bocah pemberani
2023-01-01
0
🐼 𝓚𝓮𝓷𝓬𝓪𝓷𝓪 𝓦𝓪𝓷𝓰𝓲
hi hi hi..
Emang pada dasarnya setan dan sejenisnya tidak bisa melakukan apapun tergadap kita manusia kecuali hanya bisa menggoda, itu thok!! Jaga anak Cerdas! 😁😁😅🤭
2022-12-14
2
🗣🇮🇩Joe Handoyo🦅
He he he.. sebelum dikorbankan dikasih makan dulu, baik hati sekali mereka
2022-12-13
0