Jaga Saksena kehilangan keseimbangan. Meski tidak pingsan tubuhnya limbung, jatuh.
'Jangan-jangan jamur itu beracun!'
Jaga Saksena sekilas teringat sesuatu. Dulu pernah terjadi, sungai di sekitar pulau kecil kedatangan gerombolan ikan berwarna putih kekuningan. Bentuknya bulat dan seperti tidak bersisik.
Jaga Saksena menangkap beberapa ikan tersebut untuk kemudian ia bakar dan makan. Tak berapa lama Jaga Saksena merasa pusing.
Kata Byung, Jaga Saksena keracunan. Byung segera melalukan tindakan penyelamatan.
Mengingat itu, Jaga Saksena lekas melakukan apa yang pernah Byung lakukan padanya yakni berusaha menguras perut.
"Huakhh!"
Melogok mulutnya sendiri dengan jari telunjuk, Jaga Saksena muntah.
Beberapa kali bocah itu melakukan teknik logok jari, hingga akhirnya muntahan yang keluar berwarna kuning dan terasa sangat pahit.
'Sepertinya sesuatu di perutku telah habis dan ini harusnya keluar lewat jalan belakang!'
Jaga Saksena terkapar, menelentang tubuh beralas rerumputan liar.
'Tubuhku berasa lemas ... untungnya kepala ini sudah mulai mendingan!'
Bocah itu tampak memejam mata, merenungi kecerobohannya. 'Seharusnya aku makan sedikit saja dulu, kerakusan membawa derita! Aku tidak akan pernah mengulanginya!'
Cukup lama Jaga Saksena telentang , berdiam diri hingga ketika merasakan tubuhnya sedikit membaik, Jaga berusaha bangkit.
Terseok-seok melanjutkan perjalanan, Jaga berharap bisa menemukan sesuatu yang aman untuk dimakan.
Dalam hati, Jaga pun memanjat harap pada Yang Maha Kuasa sembari terus berusaha berjalan.
Berjalan dan terus berjalan.
Hingga,
Grosak! Wuutt!
Tetiba dari bawah kaki Jaga Saksena keluar semacam tali yang langsung meringkus tubuhnya sebelum menariknya ke atas.
'Apa ini?!'
Jaga Saksena tidak tahu bahwa dirinya masuk perangkap.
Dalam keadaan lemas akibat lapar dan baru saja keracunan, Jaga Saksena memeriksa tali yang meringkus tubuh.
'Tali ini dari pilinan kulit hewan. Sangat kuat! Aku akan kesulitan hanya untuk memutus satu tali saja! Ahh ....'
Jaga hanya bisa pasrah.
"Mungkin telah tiba waktunya aku akan menyusul Byung. Ah ... belum pun aku bertemu manusia ...."
Jaga Saksena sedikit menyesalkan datangnya kematian padahal dirinya belum bertemu manusia lain.
Saat itulah,
"Uhu! Hu! Hu! Hu!"
"Hah?! Manusia! Woi akhirnya aku bertemu dengan manusia! Hahahaha!"
Jaga Saksena yang telah pasrah bongkokan pada keadaan akhirnya kembali semangat.
"Whai! Turunkan aku, tolong!" lanjut Jaga Saksena berteriak.
"Hu! Gu! Eki wek dope!"
"Apa yang mereka katakan?!" Jaga Saksena mengerut dahi sebab tidak paham bahasa yang diucapkan oleh salah satu dari mereka sambil menunjuk-nunjuk.
"Apa mereka bukan manusia? Jangan-jangan mereka juga hewan yang akan memangsaku! Sungguh bukan waktu yang tepat, aku terlalu lemas untuk melawan mereka saat ini," gumam Jaga menduga-duga.
Tetapi kecurigaan Jaga Saksena segera terkikis ketika tubuhnya diturunkan secara hati-hati dan perlahan.
"Ringkus dia!" seru seorang yang tampaknya adalah pemimpin mereka.
Sebab tidak paham apa yang diucapkan orang, Jaga Saksena yang telah sampai di tanah tersenyum ramah. Namun, tiba-tiba masih dalam kungkungan tali-tali yang menjerat tubuhnya, dua orang meringkus tangan Jaga Saksena lalu mengikatnya kuat.
Tak ketinggalan mereka juga mengikat kencang kaki Jaga Saksena.
"Whai! Whai! Whai! Apa yang kalian lakukan?! Lepaskan!!"
Tak pedulikan teriakan si bocah, sang pemimpin gerombolan laki-laki bercoreng-coreng hitam dan hanya memakai penutup ******** kembali memberi perintah,
"Cepat kita bawa bocah ini ke hadapan Kepala Suku Smito!"
Seorang memasukkan sebuah tongkat cukup panjang di antara sela-sela tali jebakan. Lalu,
Hek!
Masih di dalam tali jebakan, Jaga Saksena digotong rame-rame.
"Hu! Hu! Hu!" seru mereka sembari berjalan cepat meninggalkan lokasi.
'Apa yang hewan-hewan ini perbuat padaku, aku harus mengumpulkan tenaga untuk bisa kabur dari mereka di saat yang tepat!'
Di gotong rame-rame sedemikian rupa, Jaga Saksena berusaha tidak bergerak serta menenangkan hati dan pikiran. Rencananya, Jaga akan menggunakan tenaga yang tersisa nanti, di waktu yang pas.
Rombongan itu terus bergerak, langkah mereka cepat bagai lari kecil. Berkelok-kelok menelusupi jalur yang sepertinya telah biasa mereka lalui.
Cukup lama berjalan, tibalah mereka di sebuah pemukiman yang dikelilingi oleh pagar dari kayu-kayu kecil dan rerantingan.
Rumah-rumah mereka juga terbuat dari batang-batang pohon sebesar lengan yang ditutup dengan dedaunan.
Yang tak diduga Jaga Saksena, kedatangannya disambut meriah oleh penghuni perkampungan. Mereka berjingkrakan bahkan ada yang saling berpelukan.
Jaga Saksena terus memperhatikan tingkah semua orang, juga memperhatikan penampilan mereka.
'Kenapa mereka bertelanjang? Waduh, hanya membalur tubuh dengan warna putih tidak bisa menutupi apa yang seharusnya ditutupi!'
Hingga akhirnya, rombongan menurunkannya di depan sebuah rumah paling besar di antara lainnya.
"Ape! Boce ilo wes ko take!" seru pemimpin rombongan di depan pintu.
Tak lama, keluarlah sosok lelaki yang juga bercoreng-coreng hitam. Ia hanya mengenakan penutup ********. Hanya saja ada bulu-bulu burung berwarna hitam yang menghias kepalanya.
"Hahaha! Peko ira cen dag deng!"
'Sepertinya mereka sedang bicara, hanya saja aku tidak mengerti bahasa mereka! Artinya mereka manusia!'
Jaga Saksena terus memperhatikan apa yang mereka ucapkan, berusaha mengingat-ingat kosa kata yang bisa telinganya tangkap.
Tak lama, seorang nenek datang menghampiri, di tangannya tergenggam tongkat hitam tua.
Jaga Saksena memperhatikan sesuatu yang menggantung di antara buah dada si nenek yang kempes, ada tengkorak kecil bertanduk menggelantung di sana.
Mengangguk-angguk, si nenek berseru. Seruan yang tentu saja tidak dimengerti oleh Jaga Saksena.
"Beri dia makan! Tubuhnya sangat lemah. Sang Baghala tak akan senang korbannya mati sebelum ritual persembahan!"
"Daging atau umbi, Seti?!" tanya lelaki yang memakai bulu burung di kepalanya, dialah sang kepala suku Smito.
"Umbi-umbian. Seorang rendahan sepertinya tidak layak memakan daging seperti kita, manusia pilihan dewa!"
Kepala suku mengangguk lalu memerintahkan untuk menyediakan makanan dan membawa masuk si bocah.
Jaga Saksena di bawa masuk ke dalam rumah paling besar. Tali jebakan dilepas oleh pemimpin rombongan lalu semua orang keluar.
Tak berapa lama, seorang wanita masih muda masuk. Itu terlihat dari kulit serta buah dada yang masih kencang.
Mata Jaga Saksena melotot memandang ke wanita muda, bukan sebab buah kembar kencang di dadanya akan tetapi sebab si wanita muda membawa sebuah wadah dari daun berisi umbi-umbian yang sepertinya telah direbus.
"Waaah! Glegk!" tak kuasa Jaga Saksena untuk tidak menelan air liurnya sendiri.
"Kau makanlah umbi-umbian ini. Agar tubuhmu lebih segar!"
"Apa yang kau katakan?!" Jaga Saksena tidak paham. "Jika kau ingin memberiku makan, lepaskan tanganku!"
Bocah itu menggerakkan dua tangannya yang terikat ke samping, agar si wanita muda tahu dirinya terikat.
"Aku tidak boleh melepas ikatanmu. Baiklah, aku akan menyuapimu!"
Wanita muda itu mengambil satu umbi lalu mendekatkan diri cukup dekat hingga Jaga Saksena bisa mencium aroma ramuan berwarna putih yang dikenakan si wanita muda.
"Makanlah!"
Wanita muda itu mengangsurkan umbi ke mulut Jaga Saksena yang segera di sambut dengan lahap.
"Enak sekali! Luar biasa!" Jaga Saksena memgomentari makanan yang ia kunyah. "Lembut di mulut!"
Saat yang sama, di luar rumah tepatnya di tengah-tengah pemukiman, orang-orang mulai sibuk mengumpulkan kayu bakar.
Ada pula yang tengah sibuk mempersiapkan palang kayu untuk menyalib si bocah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments
🐼 𝓚𝓮𝓷𝓬𝓪𝓷𝓪 𝓦𝓪𝓷𝓰𝓲
Jaga anak baik, sudah dapat makan ditambah bonus pulak, disuapi sama cewek 🤭🤭😅
2022-12-14
1
🐼 𝓚𝓮𝓷𝓬𝓪𝓷𝓪 𝓦𝓪𝓷𝓰𝓲
nah lo!
bingung kan, itu krtutup atau nggak 🤭🤭😁
2022-12-14
1
🐼 𝓚𝓮𝓷𝓬𝓪𝓷𝓪 𝓦𝓪𝓷𝓰𝓲
udah kek Teletubies berpelukan 😅😅😂
2022-12-14
1