Tak putus asa, kembali sosok hitam besar berkomat-kamit membaca mantra.
Bull! Asap pekat menghembus.
"Anak manusia! Lihatlah aku! Bukankah sekarang aku lebih tampan darimu?!"
Jaga Saksena yang hampir memejam kembali membuka mata, kemudian berkata ogah-ogahan,
"Dasar belis goblok! Bagaimana matamu tidak bisa melihat bentuk hitam pekat jelek tubuhmu sendiri?! Sudahlah, jangan ganggu aku lagi. Aku mau tiduuuurr!"
"Ba-bagaimana bisa?!" tergagap si belis.
'Sihirku benar-benar tidak berpengaruh sama sekali padanya. Siapa sebenarnya anak ini?! Tunggulah, kau pasti akan menyembahku nanti. Untuk sekarang kau boleh menang! Akan tetapi masa depan adalah milikku. Hahahaha!'
Sosok bayangan hitam menghilang.
"Mengganggu saja!" gerutu Jaga Saksena.
Jaga Saksena sejak kecil hidup di tengah pulau terisolir yang dikelilingi sungai besar. Tidak hanya sekali dirinya dan Byung didatangi makhluk halus yang mencoba mengganggu.
Dari wujud gelap besar, putih, berdarah-darah, kecil plontos telanjang bulat, asap, kecil tinggi melebihi pohon, wanita terbang, api melayang, kepala tak berbadan, dan banyak lagi.
Namun, Byung selalu mengajarkan bahwa "Manusia makhluk paling sempurna, jangan pernah takut pada jin, pada belis, pada mereka yang tak kasat mata. Mereka hanyalah makhluk rendah yang akan meridu, mengganggu kita. Mengajak kita ke dalam kesesatan."
Sebab itulah, Jaga Saksena tak pernah merasa takut.
Pluk! Tetiba si bocah memukul pelan jidatnya sendiri.
"Kenapa aku lupa? Bukankah aku harus mencari api yang kemarin malam kulihat?!"
Jaga Saksena segera melupakan sosok hitam yang sempat mengganggunya untuk kemudian memasang mata melihat ke arah utara.
"Mungkin yang kemarin kulihat hanya belis kemamang atau malah banaspati!" gumamnya setelah lama tak jua menemukan apa yang ia cari.
Belis kemamang merupakan penampakan berwujud api melayang, sementara banaspati adalah belis yang memiliki sosok api.
*
Di sebuah gubuk reot di pemukiman tengah hutan seorang nenek yang belum renta tengah duduk bersila.
Di depan si nenek terdapat sebuah tengkorak hewan yang memilik dua tanduk.
"Seti!"
Tiba-tiba tersengar suara dari tengkorak bertanduk memanggil nama si nenek.
Seketika, nenek renta buka matanya.
"Junjungan Sesembahanku, hamba di sini." Suara nenek itu parau, matanya yang cekung menatap patuh pada sumber suara yang memanggilnya barusan.
"Akan datang seorang bocah lelaki. Tangkap dia, jadikan persembahan untukku. Tetapi kalian tidak boleh menusuknya hidup-hidup. Ikat saja tubuhnya pada sebuah kayu salib lalu siapkan kayu bakar. Aku akan datang langsung untuk menerima persembahanmu!"
Seketika nenek tua bernama Seti berbinar mata. Telah lama _sejak dirinya menjadi dukun penerus dukun lama yang telah mati karena usia_ Seti meminta agar sang sesembahan menunjukkan diri di hadapan warga tetapi baru terkabul malam ini.
Demi meningkatkan pamornya, juga agar warga makin menghormatinya, Seti telah melakukan banyak hal. Menyembuhkan warga yang sakit, meramal, melihat yang tak kasat mata, menerawang barang hilang dan sebagainya. Akan tetapi semua itu belum memuaskan semua orang. Sebab anak kepala suku dan beberapa kawannya ingin melihat wujud Sang Baghala langsung.
Sang Baghala adalah dewa kegelapan yang mereka sembah selama ini. Dewa yang _menurut sang dukun turun temurun_ menguasai setiap kegelapan. Saat malam, ketika pekat datang, di sanalah sang dewa berkuasa penuh. Apa pun yang mereka minta akan dikabulkan olehnya.
Seti melakukan gerakan menyembah beberapa kali pada tengkorak bertanduk di hadapannya sembari berkata,
"Hamba selalu siap sedia, Wahai Sang Baghala. Kapan pun itu."
Tubuh Seti tetiba rebah sebelum mulai menggelinjang perlahan. Kedua kaki nenek itu membuka lebar, penutup perabotannya pun tersingkap lalu lepas entah ke mana.
******* kenikmatan terdengar menerobos sunyi malam. Tetapi siapa yang peduli. Jika pun ada, maka mereka _para warga pemukiman ini_ tak akan berani. Sebab semua sudah tahu, sang dukun adalah pelayan Sang Baghala. Siapa pun yang berani mendekat kala mendengar suara aneh tersebut, maka akan terkena kutukan.
**
Pagi tiba, dengan rambut awut acak-acakan, Seti menemui kepala suku dan menceritakan perintah Dewa Baghala semalam.
"Jadi pengorbanan akan diajukan?! Dan Sang Baghala akan menunjukkan wujudnya pada kita saat pengorbanan tersebut?!"
"Kau tidak perlu risau, Kepala!" Seti menyeringai menunjukkan barisan gigi hitam berbau busuknya. "Bukankah sudah kukatakan, yang menjadi persembahan adalah seorang bocah yang akan datang. Bukan seperti biasanya yang harus kalian cari atau dari warga sendiri!"
Ritual pengorbanan _sebagaimana yang semalam apinya sempat dilihat oleh Jaga Saksena_ diadakan suku pemakan daging manusia setiap tiga puluh lima malam sekali.
Mereka akan melakukan ritual penyembahan besar-besaran sembari memanggang seorang manusia yang dikorbankan. Setelah ritual penyembahan selesai, mereka akan makan daging manusia panggang tersebut secara bersama-sama.
Manusia yang dikorbankan sendiri mereka tangkap dari suku lain. Jadi kepala suku memiliki tim khusus pemburu yang beranggotakan sebelas orang. Mereka akan berangkat berburu setelah tujuh hari pengorbanan.
Andai tim khusus ini gagal mendapatkan buruan, atau belum kembali di malam ritual, maka persembahan akan diganti. Seti dan kepala sukulah yang akan menentukan siapa di antara warganya yang akan dijadikan persembahan pengganti.
"Kapan bocah itu datang?!" tanya kepala suku.
"Kurasa dalam waktu dekat, jika tidak hari ini maka besok. Perintahkan orang-orangmu untuk memasang jebakan di beberapa tempat. Dan suruh mereka berjaga siang malam. Dan sampaikan juga pada putra pewarismu, bahwa keinginannya akan terkabulkan!"
"Akan kulakukan! Dia pasti senang mendengar ini! Hehehehe!"
***
Jaga Saksena terus melangkah, sekarang di hatinya tidak lagi bersemangat untuk segera bertemu dengan para manusia.
"Sudahlah, jalani perjalanan ini dengan santai. Jika waktunya tiba pastilah aku akan bertemu mereka."
Sesekali Jaga Saksena membabatkan kapak kayu untuk menyingkap jalan.
Hutan yang benar-benar perawan, sesekali terdengar suara-suara asing di pepohonan. Seram, menakutkan. Tetapi itu semua sama sekali tidak menarik perhatian Jaga Saksena apalagi menakutinya.
Bocah itu terus berjalan, kali ini berharap ada sungai agar ia bisa menangkap ikan.
'Dari sejak pertama meninggalkan sungai, kenapa hingga hari ini belum ada sungai lagi?!' tanya hati Jaga Saksena.
Sebuah pertanyaan yang tidak bisa ia jawab bahkan mungkin jika pertanyaan itu ia lontarkan pada orang dewasa.
'Daripada berharap pada sesuatu yang bisa saja tidak pernah akan kutemui, lebih baik aku memakan apa pun yang bisa kumakan! Nah! Jamur!'
Membesar kelopak mata Jaga Saksena. Pada sebuah pohon yang tumbang dan mulai membusuk, terdapat banyak jamur berwarna putih kecoklatan tumbuh subur.
Jaga Saksena teringat pernah memakan tumbuhan mirip ini bersama Byung, dan rasanya enak. Maka ia tak ragu untuk memakannya.
"Nyammm! Empuk dan segar!" Jaga Saksena memakan lahap jamur mentah-mentah.
Tidak butuh waktu lama bagi si bocah untuk menghabiskan semua jamur, rakus, seolah tidak akan pernah makan lagi.
Namun,
'Oh ... oh ... ada apa ini? Kenapa jagat terasa berputar? Oh kenapa pula kunang-kunang mengelilingi kepalaku?!'
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments
childe aja
Iblis kali thor
2024-07-25
0
Roni Sakroni
beneran masih primitif
2024-07-19
0
🐼 𝓚𝓮𝓷𝓬𝓪𝓷𝓪 𝓦𝓪𝓷𝓰𝓲
lagian sih main makan bae, itu jamur ada racunnya kalii walaupun ga bikin mati tapi bisa bikan pusing dan bisa bikin halu.. 🤣🤣
2022-12-14
1