Saat acara berlangsung.
Zaylin terlihat sangat sibuk mengatur para anak didik yang akan pentas. Ditambah dia harus berkoordinasi dengan semua staff yang terlibat dibawah naungannya.
Karena Zaylin bukan bagian dari pesantren secara umum, maka dia sedikit kesulitan saat harus berkomunikasi dengan para staff pria.
Kala ia dengan tegas memberikan instruksi, mereka malah menunduk. Tak ingin bersitatap langsung dengan sang Korlap.
"Ustadz, afwan. Saya juga berusaha meminimalisir pandangan. Maka dari itu, saya memberikan instruksi dan kita berkoordinasi dengan selembar kertas. Saya harap, jika ada pertanyaan silakan ajukan saat ini juga sebelum acara inti. Karena ini menyangkut pelayanan akhir untuk para tamu yang hadir dari luar kota," ujarnya dengan intonasi lebih tegas pada rekan-rekan prianya itu.
Lima belas menit briefing akhir yang menegangkan baginya, usai sudah.
Kedua kakinya sudah berontak meminta untuk beristirahat. Saat semua tugasnya sembilan puluh persen selesai, Zaylin duduk di belakang stage. Dekat paviliun tamu.
Mahallul Qiyam.
Baru saja ia duduk, harus bangun lagi. Semua aktivitas berhenti sebagai penghormatan bagi baginda Rosulullah.
Pembacaan maulid kali ini menggunakan dua kitab, barzanji dan simtudduror. Zaylin menunduk, meneteskan air mata bahkan hingga bahunya bergetar.
Abimanyu berada tak jauh dari tempatnya, karena kaki yang masih di gips tidak memungkinkan ia melangkah jauh terlebih di tengah keramaian seperti ini.
"Apa yang membuatmu menangis?" ucap Abimanyu dalam hati.
"Rindu padamu ya Rosulullah, rindu serindunya...."
(allahumma sholli ala sayyidina Muhammad)
Bukan hanya Zaylin, beberapa santri wanita senior yang berada tak jauh darinya pun sama. Abimanyu semakin dibuat penasaran, lantunan yang ia dengar mengapa sangat berpengaruh pada barisan orang-orang di hadapannya hingga mereka meneteskan air mata.
Abimanyu berusaha menghayati, ia menarik nafas panjang, memejamkan mata.
Nyes.
"Apa ini? rasa apa ini?"
"Shollallah ala Muhammad. Shollallah alaihi wasallam...."
"Ya nabi, salam alaika ... ya rosul, salam alaika...."
Lantunan pujian menyambut kehadiran Rosulullah, terus mengalun. Bergema memenuhi angkasa malam.
"Rasanya...." Abimanyu hanya bisa tertunduk. Ikut larut dalam syahdu. Tanpa terasa bulir beningnya ikut turun.
"Eh, ini?" Ia pun terheran dengan dirinya.
"RahmatNya kah? syafaat nya? apakah pantas untuk hamba seperti ku?"
Hingga acara usai, Abimanyu baru mengetahui apa itu khidmat. Bagaimana rasanya menangis tanpa sebab namun sangat membuat hati lega.
(hayo pernah ngalamin gak? ada siir, dalam setiap kitab, yang mempunyai pengaruh ke hati dan jiwa bagi setiap pembaca atau pendengarnya)
...***...
Keesokan hari.
Pagi ba'da duha. Zaylin memilih tidur kembali setelah semalam dia berjibaku hingga menjelang dini hari.
Hari ini semua lembaga pendidikan Al-Islamiyah diliburkan agar para staff yang ikut terlibat di acara akbar pondok semalam dapat beristirahat sejenak.
Pintu asrama wakil kepala sekolah itu diketuk beberapa kali oleh santri khidmat. Namun karena fisik yang sangat lelah, Zaylin tak mendengar suara apapun. Dia tertidur pulas.
Jam dua siang alarm ponsel gadis mojang Pasundan ini berbunyi untuk terakhir kalinya setelah jeda yang ia setting setiap sepuluh menit hingga empat kali. Zaylin akhirnya terbangun.
Matanya sukses membola seketika mendapati jarum jam di dinding telah menunjukkan angka dua tepat.
"Innalillahi, belum dzuhur!"
Blugh.
Nyawa belum sepenuhnya terkumpul, kaki yang masih lemas juga kepala sedikit pusing sukses membuat tubuhnya limbung. Nona cantik itu terjatuh di sisi ranjang.
"Sakit."
Setelah perjuangan melawan kantuk juga sakit pada lututnya. Ia pun menunaikan sholat nya yang terlambat.
Tepat saat sempurna gerakan salam kekiri, pintu kamarnya diketuk kembali oleh seseorang. Zaylin bangkit perlahan masih menggunakan mukena, dan membuka pintu.
"Assalamu'alaikum, Bu Aylin. Nanti ba'da maghrib diminta ke ruang tamu Aula," ujar santri mengabarkan berita untuknya.
"Ada apa ya?" tanya Zaylin.
"Kurang paham Bu, itu saja, permisi," jawabnya lagi sambil lalu dari hadapan sang wakil kepala sekolah.
Pintu kamar hendak ia tutup kembali, namun seruan seorang wanita yang datang menghampiri, menahannya.
"Lin, ini makan siang. Eh, ada gosip, kamu mau dikenalkan sama tamunya Yai ya?" tanya Wirda, sahabat sebelah kamar. Seorang guru sekolah dasar di komplek pendidikan yang sama dengannya.
"Loh, gak tahu. Emang iya?"
"Entah. Katanya orang Jakarta. Beliau kalau gak salah korban pembegalan itu loh," imbuhnya lagi.
"Yang mana? ko aku gak denger ya kabar itu," balas Zaylin.
"Ganteng, kata adekku," sambung Wirda. Adiknya masuk boarding school disana, sering melihat sosok yang sedang hangat diperbincangkan oleh para staff bahkan santri khidmat wanita di pondok.
"Bodo ah, lapar. Belum tentu juga benar," tegas Zaylin menutup pintu kamarnya setelah ia menerima baki yang berisi makanan dari Wirda.
Ba'da maghrib.
Gadis ayu itu menaiki sepeda motor vario putih miliknya menuju pondok sesuai permintaan sang pimpinan.
Beberapa saat kemudian. Saat ia telah masuk ke ruangan Aula yang bersekat dengan area lelaki.
"Aylin, di sana ada seorang pria yang berniat mengenalmu lebih dalam. Kamu bersedia?" tanya Nyai Bashir.
Wanita yang ia kagumi sekaligus junjung sebagai tauladan ini menjelaskan segalanya tentang calon yang ingin di perkenalkan.
Degh.
Samar Zaylin melihat sosoknya yang terlihat bersahaja dari balik tirai. Hingga sekat ruangan itu di buka, membuat wajah ayu yang tak siap menghadapi tatapan seorang pria itu pun tertunduk dalam.
"Aylin, seperti yang Nyai sampaikan. Silakan utarakan keinginanmu dulu pada Mas Abimanyu," ucap Yai Bashir.
"Hmm ... Aku," ucapnya tertunduk.
"Kenalan saja dulu Zaylin, namaku Abimanyu Yasa, selisih dua tahun denganmu, Orang tuaku di Jakarta. Aku disini karena ditolong oleh beliau," tuturnya lembut.
"Betul, kenalan dulu ... jika memang punya sedikit rasa, silakan dilanjutkan," sambung Nyai.
Zaylin memberanikan mengangkat wajahnya. Kedua manik mata hitamnya bertabrakan dengan sorot mata teduh milik Abimanyu.
"Allah," batin Zaylin terkejut melihat sosok tampan di hadapannya itu. Ia pun menunduk kembali.
"Gimana?" bisik Nyai
"Alif Lam Mim, Yai," cicitnya ragu sekaligus malu.
"Nak Abim?"
"In sya Allah, aku serius dengan niatan ku...."
"Aylin, ada yang ingin disampaikan? sebelum beliau menemui walimu?" imbuh Yai.
"Jawabanku, aku hanya ingin menikah dengan seorang yang takut dengan Allah."
"Alasannya?" tanya Abim.
"Karena beliau akan memperlakukan aku dengan benar, sebab rasa takutnya pada Allah," tegas Zaylin mentap tajam pada Abimanyu.
Glekk.
"Aibku? apakah kau sanggup menerima?"
Kedua Sepuh di hadapan Zaylin hanya tersenyum. Sosoknya yang terlihat tegas terkadang membuat pria yang ingin mendekatinya urung maju, juga karena posisi karir gadis itu sebagai women on top, tak sedikit lelaki yang merasa insecure terhadapnya.
"Aku punya masa lalu kelam, kau masih mau melanjutkan?" desak Abimanyu.
"Pendapat ku ... bukankah jodoh sudah tertulis di Lauh Mahfudz. Mau dari jalan manapun bila memang dia ya tetap ketemunya dia ... yang membedakan adalah rasa berkahnya, bukan tentang apa atau siapa ... tetapi bagaimana cara Allah mempertemukannya ... diulur hingga terasa lembut dan mesra atau justru dilempar dengan penuh murka," tegas Zaylin lagi.
"Final answers?" Abimanyu menunggu jawaban dari gadis yang terlihat sangat cantik, bila dilihat dari dekat.
.
.
...___________________________...
...Robbi 'aqbal 'alainaa, Marhaban bii Robbi... Alalhummaj 'alnaa minal hadirin, ma'al hadiriina min ahlil hudhuuri... niat mommy hadir di setiap Majlis ilmu/maulid yang tak bisa dihadiri... ❤...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Ersa
yes... aku ajalah yg mewakili jawabnya🤭
2023-05-20
0
𝐀⃝🥀𝐑𝐚𝐧 ℘ṧ㊍㊍👏
Baca Novel Mom it sekalian belajar jg,,, 🥰
2023-01-22
1
mingming
betul bgt..dan seringnya ya ketika bersholawat😭😍
2023-01-12
1