Arjuna masih setia di luar bangunan artistik milik sang Kakak. Ia di liputi rasa cemas ketika menerima panggilan dari sang asisten untuk mencari keberadaan dirinya.
"Kamu, satu-satunya keluarga yang peduli padaku di saat aku jatuh, Kak. Beri aku tanda, agar dapat menemukanmu segera. Kita selesaikan bersama masalahmu itu. Ku harap, kau kembali menjadi Abimanyu kami, yang sholeh ... aamiin," Arjuna menghembus kepulan asap hisapan terakhir dari lintingan tembakau yang dia bakar.
"Pak Arjuna, silakan," ujar parkir valey, membantu membawa mobilnya ke hadapan. Lelaki dengan ketampanan diatas rata-rata menerima kunci darinya lalu memutar kendaraan itu, masuk ke belakang kemudi.
Meski usia terpaut jauh dari sang Kakak sulung, Arjuna telah memiliki usahanya sendiri. Jika saudara satu-satunya itu mempunyai passion di bidang kuliner serta distro, lain halnya dengan si bungsu. Pria muda ini sangat lihai merangkai bunga, melukis juga meracik kopi.
Tak heran, bila tempat usaha Arjuna mempunyai ciri khas yaitu menggabungkan semua keahlian yang ia punya, menjadi selling poin penarik pengunjung. Cafe, florist juga galery hasil lukisannya, ia beri nama Art Joona.
"Biarlah, hanya aku yang peduli padamu. Jika kau tak mampu membalas, biarkan aku yang melakukannya, Abim," lirih Arjuna masih melajukan mobilnya memecah kesunyian malam.
...***...
Satu pekan kemudian. Al- Islamiyah.
Hari ini Zaylin baru saja selesai mengadakan rapat dengan wali murid anak didiknya, perihal masa libur sekolah juga sosialisasi program untuk awal semester kedua.
Kini, satu jam sudah dirinya berkutat dengan banyaknya berkas hingga seorang santri khidmat datang mengetuk pintu ruangan dimana ia berada.
Tok. Tok.
"Assalamu'alaikum. Bu, punten, saya di minta menyampaikan ke Bu Aylin bahwa Nyai akan kesini ba'da dzuhur nanti," ucapnya membagi berita pada sang wakil kepala sekolah.
"Saya aja ke sana, Mba tolong sampaikan," pintanya agar lebih baik dirinya ke kediaman sang guru.
"Nyai sekalian akan pergi keluar, kata beliau," balas si pembawa berita.
"Oh, ya sudah iya. Saya tunggu ya Mba, nuhun," Zaylin memilih mengikuti apa mau wanita alim itu.
Selepas kelergian santri tadi, sejenak ia berpikir ada urusan apa hingga repot menemuinya?
"Urusan sekolah ya gak mungkin karena pasti yang dipanggil bukan aku, melainkan kepsek," gumamnya seraya menandatangani beberapa berkas.
Tanpa terasa, waktu berlalu begitu cepat. Adzan dzuhur mengudara.
"Bu Aylin, ke masjid gak?" tanya rekannya.
"Udzur," jawab Zaylin tak menoleh pada sumber suara.
"Ok, tinggal ya. Sendirian loh, hati-hati," ujarnya mengingatkan, Zaylin mengangguk samar. Ia berdiri, mengunci pintu kantor dimana dirinya tinggal.
Komplek pendidikan tempatnya mengajar, memang terpisah jauh dari induk utama. Letak sekolah level dasar ini berada paling depan diantara strata pendidikan yang Al-Islamiyah miliki.
Beberapa menit berlalu, suasana kantor yang lengang kembali riuh sebab kedatangan rekan guru kembali ke sekolah setelah sholat dzuhur di masjid.
Mereka pun langsung melanjutkan tugas masing-masing, sebab semua harus selesai sebelum masa liburan tiba.
"Aylin, mau ada tamu? itu santri bawa cemilan ke sini?" tanya Kiran, sahabat baiknya di TK tempat dia mengajar.
"Ran, bantu siapkan minum yuk. Mau ada Nyai ke sini," balas Zaylin seraya bangkit menuju showcase di mini kantin, dua ruangan bersebelahan dengan kantor.
"Mbak Saroh udah balik. Kantin tutup, paling ada air mineral di dus ruangan kepsek. Tumben Nyai kesini, biasanya gak pernah. Ketemu kamu pula, jangan-jangan mau bahas tentang gosip jodoh tamu ganteng itu ya?" desak Kiran.
"Astaghfirullah...."
"Kenapa?" heran sang sahabat melihat Zaylin seketika pucat.
"Lupa aku, gimana ini Ran? jawabannya?" wakil kepala sekolah ini pun panik.
"Jawaban apa? ... beneran? gosip itu? aaahhh Aylin, selamat sayang, akhirnya potong pita," serunya girang di ikuti sorakan guru lainnya.
"Eh, belum belum ... aku justru bingung jawabnya," risau Zaylin lagi.
"Tinggal jawab aja Neng, ikuti kata hati," saran Bu Retno, sang guru senior seraya mengulas senyum manis untuknya.
"Ragu, Bu. Aylin belum yakin," Zaylin duduk bersimpuh di sebelah wanita yang dia hormati.
"Sisanya setelah ta'aruf, biasanya ada kemantapan hati. Namun, jika memang mentok, gak nemu ya jangan diteruskan bilamana nanti beliau mengajukan khitbah," ujar Bu Retno.
"Setuju, Aylin," Kiran mendukung opsi ini untuknya.
Menit berikutnya.
Zaylin sudah berada di ruang kepsek agar pembicaraan dengan sang pemilik pondok, tidak terdengar oleh yang bukan berkepentingan.
"Langsung saja ya, bagaimana?" tanya gurunda.
"Jujur, saya masih ragu, Nyai." Zaylin menunduk sungkan menatap wajah teduh di hadapannya.
"Abim berharap kiranya kamu bersedia menjalani masa ta'aruf lebih dulu. Dia juga belum menceritakan semua tentang kehidupannya yang lalu. Inginnya mengungkap itu semua saat bertemu walimu, Aylin," ungkap Nyai Bashir.
"Begitu ya? rencananya kapan main ke rumah jika memang niatannya begitu serius? aku bagaimana waliku, jika Abah mengizinkan. In sya Allah aku patuh," jawab Zaylin.
"Alhamdulillah, jawabanmu bersedia ya Nak," pemilik yayasan Al-Islamiyah ini mencoba meyakinkan.
"In sya Allah. Do'akan Nyai," ucap Zaylin menunduk.
"Bismillah, nanti Ana tanyakan ... semoga langkah awal yang baik ya Aylin. Tuntun agar kembali ke jalan yang lurus, semoga akidah kalian kian kokoh. Ana pamit ya Nak," pungkas Nyai pamit berdiri keluar dari ruangan.
Zaylin dan beberapa guru yang masih berada di sekolah mengantar kepergian istri pemilik pondok masyhur tempat mereka mengabdi.
Jika setelah kepergian Nyai Bashir, kondisi ruangan TK riuh oleh sorakan rekan guru atas keputusan Zaylin melanjutkan proses ta'aruf, lain halnya di sebuah ruangan lainnya.
Abimanyu tengah cemas menunggu kabar dari istri pemilik tempat tinggal dia sementara itu.
Di sela perbincangan hangat antara Yai dengannya, dering ponsel lelaki bersahaja itu berbunyi.
"Alhamdulillah, ya Kheir. Ana tanyakan," ucapnya.
"Nak Abim, kapan mau berkunjung ke kediaman Aylin? gadis itu bersedia membuka diri mengenal Nak Abim lebih lanjut," Yai menjelaskan maksud panggilan tadi.
"Alhamdulillah ... saat liburan bagaimana? aku akan siapkan segala keperluannya, Yai," balas Abimanyu dengan mata berbinar.
"Awal liburan berarti ya?"
"Betul. Aku baru memeriksa sebuah dus dikamar. Ternyata semua identitas milikku utuh disana, jadi in sya Allah aku siap, termasuk membeli ponsel baru agar dapat menghubungi keluargaku," jelas sang pria muda.
Dirinya memang tak leluasa bergerak, baru beberapa hari lalu seorang santri membantunya membongkar isi didalam kardus bawah tempat tidur. Setelah di buka, berisi barang pribadi yang ia bawa saat malam kejadian nahas itu.
"Alhamdulillah, berkah ... masih ada waktu satu pekan lagi, semoga sudah lebih fit ya Nak," doa sang guru beruntun tercurah untuknya. Tak lama, Abimanyu pun pamit.
Pulang dari kediaman sang Yai, owner muda ini meminta tolong santri yang biasa membantunya untuk mengambil uang juga membeli ponsel dan simcard.
Setelah semua barang yang dia inginkan tiba, Abimanyu berusaha menghubungi asisten pribadinya, namun nihil.
Tak patah arang, kali ini ia mencoba mengingat nomer seseorang meski meragu ia akan membantu. Lama tak berhubungan dengannya membuat dia lupa bahkan sungkan.
Tuut. Tuuut.
"Halo, siapa?" tanya suara berat diujung sana.
"Masih ingat aku?"
".... Kau?"
.
.
...___________________________...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Ersa
Arjuna namanya sama dengan putra sulung ku
2023-05-20
1
Ersa
hehehe baru Kali ini tebakanku betul.... prok prok untuk diriku😂🤭
2023-05-20
0
𝐀⃝🥀𝐑𝐚𝐧 ℘ṧ㊍㊍👏
semoga nomer yg di hubungi bukan nomer musuh dalam selimut Abim,,, 😌
2023-01-22
0