Mencintai Ayah Tiri
Drrriiinnggg
Drriiiinnngg
Alarm dari gawai membangunkan tidurku. Ku lihat, jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Bergegas aku bangkit dari tidur dan melangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan mengambil wudhu. Menggelar sajadah menghadap kiblat, ku laksanakan kewajiban sebagai seorang muslim. Yaitu melaksanakan shalat subuh. Memang, aku bukan muslimah yang baik dan taat. Namun, aku selalu teringat pesan Ayah, jika aku tak boleh meninggalkan shalat yang lima waktu.
Usai shalat, ku bereskan sajadah dan mukena ke dalam lemari pakaian. Lalu setelah itu berniat membuat sarapan untuk ku, Ibuku dan juga Ayah Tiriku. Ya Ayah tiri, Ibu ku menikah lagi setelah ditinggal pergi oleh Ayah sekitar 3 tahun lalu. Ayah meninggal karena sebuah kecelakaan yang ia alami saat hendak pergi bekerja.
Perkenalkan, namaku Syakila Andini. Orang-orang biasa memanggilku dengan nama Kila. Usia ku kini sudah menginjak di angka 25 tahun. Aku bekerja di salah satu bank swasta di daerah kota Bandung. Dan aku adalah seorang anak tunggal.
📍
Jam sudah menunjukkan di angka 6 pagi. Aku segera pergi menuju dapur untuk membuat sarapan. Namun belum sampai ke dapur, aku mendegar suara sendok yang beradu dengan gelas.
Ku intip dari balik lemari yang di gunakan untuk penyekat antara ruang keluarga dan juga dapur. Ternyata Ayah tiriku yang sedang membuat kopi.
Melihat pemandangan itu, aku hanya bisa membuang nafas dengan kasar. Bagaimana tidak, setiap hari ayah akan melakukan hal seperti itu. Ibuku? Jangan tanyakan dia. Pasti saat ini dia masih terlelap tidur di dalam kamarnya.
Ibuku, memang tak terbiasa bangun pagi. Jadi segala sesuatu yang berhubungan dengan rumah, akulah yang mengerjakan. Beruntung, dahulu Ayah selalu mendidik ku agar bisa mandiri. Tabiat Ibu ini memang tak pernah berubah dari dulu. Bangun siang hari, tak pernah mau mengerjakan pekerjaan rumah, dan hobinya hanya nongkrong bersama teman-teman arisannya.
"Ayah sedang apa?" tanyaku kepada ayah.
"Ya, seperti biasa La. Ayah lagi bikin kopi," jawab Ayah sambil menyeruput kopi yang masih mengepul.
'Ya tuhan, untuk kopi saja ayah harus membuatnya sendiri. Tak ada kah keinginan dari Ibu untuk mempersiapkan semua kebutuhan suaminya ini? Tak berniatkah ia melakukan kewajibannya sebagai istri?' batinku.
"Ya sudah. Ayah lebih baik mandi dulu saja. Kila akan buatkan sarapan," ucapku.
Ayah pun hanya mengangguk dan berlalu meninggalkan ku sendiri. Sedangkan aku segera membuat sarapan untuk kami bertiga.
📍
Setelah rapi dengan setelah kerja dan make up soft, gegas ku sambar tas dan kembali ke dapur untuk sarapan. Aku selalu terbiasa sarapan karena memiliki riwayat penyakit lambung.
Ku ambil piring dan mulai menuangkan nasi goreng buatanku. Tak lama setelah itu, ayah juga datang dan sudah rapi dengan pakaian kantornya. Ku ambilkan juga nasi goreng untuk ayah dan memberikannya kepada ayah. Setiap hari aku hanya akan sarapan berdua bersama ayah.
Ku kira, dulu saat Ibu menikah lagi, kebiasaan buruknya akan hilang. Namun tetap saja, angan tinggal lah angan. Tabiat Ibu nyatanya tidak berubah sama sekali. Yang ia fikirkan hanya kesenangan dirinya saja. Beruntung, dulu aku di asuh oleh almarhum nenek dari Ayah. Sehingga aku tidak kekurangan kasih sayang dan bisa tumbuh menjadi seperti sekarang ini.
Benci? Tentu saja. Entah sudah berapa kali rasa benci terhadap ibu bersarang di hatiku. Namun aku selalu berusaha menepis itu semua. Karena bagaimana pun dia tetaplah Ibuku yang sudah berjuang melahirkan ku ke dunia ini. Apalagi sekarang, dialah orang tua yang aku punya.
📍
Jujur, sebenarnya aku sedikit gugup bila berhadapan langsung dengan Ayah tiriku yang bernama Reno ini. Bagaimana tidak, usia kami hanya terpaut selisih 10 tahun saja. Ya, Ibuku menikah dengan laki-laki yang usianya jauh dibawah Ibu. Ibu berusia 50 tahun, sedangkan Ayah tiriku berusia 35 tahun.
Tapi asal kalian tau, walau umur Ibuku sudah menginjak di angka 50 tahun, ia masih terlihat awet muda. Disandingkan dengan Ayah tiriku yang sekarang pun, jika orang tidak tau umur Ibu yang sesungguhnya, pasti akan mengira bahwa mereka seumuran. Jika jalan denganku saja banyak yang mengira bahwa kami adalah kakak beradik.
"Kamu gak makan La?" pertanyaan ayah membuyarkan lamunanku. Aku baru sadar, bahwa dari tadi nasi goreng dalam piringku belum tersentuh sama sekali.
"Emm i-itu. I-ini mau makan Yah," jawabku terbata.
"Cepat makan, keburu dingin gak enak. Kamu jangan sampai telat makan. Nanti sakit lambung mu bisa kambuh," ujar Ayah mengingatkan.
Entah datangnya dari mana. Mendengar ucapan Ayah barusan membuat hatiku seperti berbunga-bunga. Senang sekali rasanya di perhatikan seperti itu oleh ayah. Astagfirullah, segera aku menepis rasa itu. Aku tak boleh begini, bagaimana pun juga dia adalah ayah tiriku. Bagaimana juga aku harus menjaga perasaan Ibu.
Beruntungnya Ibu bisa mendapatkan suami sebaik Ayah. Aku tau, bagaimana cintanya ayah terhadap Ibu. Padahal di luaran sana banyak wanita muda dan lebih cantik dari pada Ibuku. Namun ayah lebih memilih bertahan dalam hubungan pernikahan dengan wanita yang tak pernah sama sekali menghargai dia.
"Bagaimana pekerjaan mu La?" tanya ayah padaku di sela makannya.
"Ba-baik yah," jawabku sedikit kikuk.
Aku sedikit gugup berbicara dengan ayah seperti ini. Walaupun sudah tinggal bersama hampir tiga tahun, tapi tetap saja rasanya seperti ada yang mengganjal ketika berduaan seperti ini. Padahal bagi kami ini berduaan di rumah sudah menjadi hal yang biasa. Karena Ibu terlalu sibuk di luaran sana dengan teman-teman arisannya.
Padahal Ayah adalah tipe lelaki yang tak suka menghabiskan waktu di luar rumah. Ia akan segera pulang setelah selesai bekerja. Ayah selalu pulang tepat waktu, kecuali saat ada pekerjaan tambahan. Itu pun ia selalu mengabari Ibu. Berbeda dengan Ibu, ia lebih senang menghabiskan waktunya di luaran sana. Melakukan hal-hal yang menurutku tak ada faedahnya sama sekali. Pulang larut malam, dan tak pernah berkabar kepada ayah.
'Ah Ibu, jika saja kau berubah dan membuka hati. Kau termasuk wanita beruntung yang bisa mendapatkan laki-laki sebaik Ayah. Jika saja kau sudah tak menginginkan Ayah, bolehkah aku ambil Ayah dari pelukan dan hidupmu Bu? Aku yakin, bersama ku, hidup Ayah akan lebih baik dari pada hidup bersama dirimu.'
'Tuhan, bolehkah aku egois? Bolehkan aku meminta padamu untuk bisa mendapatkan lelaki sebaik ayah tiriku ini?' batinku.
📍
"Reeen, Reno," teriakan Ibu dari dalam kamar membuat aku dan Ayah terlonjak kaget. Astaga, Ibu ini kebiasaan. Pagi-pagi selalu saja membuat ribut.
"Ren, aku panggil kok kamu gak nyaut sih?" rajuk Ibu pada Ayah. Lihatlah betapa tak punya etika Ibu ku ini pada suaminya. Memanggil suami seenak jidatnya tanpa embel-embel Mas atau semacamnya. Meskipun umur Ayah lebih muda darinya, harusnya Ibu tak bersikap seperti itu.
"Apa sih kamu. Kebiasaan pagi-pagi selalu bikin ribut," jawab Ayah sedikit ketus.
"Kamu sih, kenapa gak nyaut aku panggil? Harusnya kamu tuh nyaut kalau aku panggil. Kaya yang budeg aja kamu tuh Ren," sungut Ibu pada Ayah.
Astagfirullah..
Aku hanya mampu beristighfar dalam hati melihat tingkah Ibu. Bukan kali ini saja Ibu memarahi Ayah. Tapi hampir setiap hari dan setiap waktu Ibu selalu memarahi Ayah. Bahkan karena hak sepele pun Ayah bisa di marahi oleh Ibu.
"Dasar kamu ini Ren, suami tak berguna," terdengar Ibu kembali memaki Ayah.
Cukup. Sudah cukup!
Aku sudah tidak tahan dengan semua ini. Kelakuan Ibu sudah dibatas wajar. Bukannya mengakui kesalah, Ibu malah semakin menjadi saja. Cukup, aku melihat Ayah selalu di perlakukan tidak baik oleh Ibu seperti ini.
'Baiklah Ibu, jangan salahkan diriku bila aku akan merebut Ayah dari mu. Akan ku pastikan, ayah akan lebih memilih diriku dari pada dirimu, Ibu.' batinku.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments