Drrriiinnggg
Drriiiinnngg
Alarm dari gawai membangunkan tidurku. Ku lihat, jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Bergegas aku bangkit dari tidur dan melangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan mengambil wudhu. Menggelar sajadah menghadap kiblat, ku laksanakan kewajiban sebagai seorang muslim. Yaitu melaksanakan shalat subuh. Memang, aku bukan muslimah yang baik dan taat. Namun, aku selalu teringat pesan Ayah, jika aku tak boleh meninggalkan shalat yang lima waktu.
Usai shalat, ku bereskan sajadah dan mukena ke dalam lemari pakaian. Lalu setelah itu berniat membuat sarapan untuk ku, Ibuku dan juga Ayah Tiriku. Ya Ayah tiri, Ibu ku menikah lagi setelah ditinggal pergi oleh Ayah sekitar 3 tahun lalu. Ayah meninggal karena sebuah kecelakaan yang ia alami saat hendak pergi bekerja.
Perkenalkan, namaku Syakila Andini. Orang-orang biasa memanggilku dengan nama Kila. Usia ku kini sudah menginjak di angka 25 tahun. Aku bekerja di salah satu bank swasta di daerah kota Bandung. Dan aku adalah seorang anak tunggal.
📍
Jam sudah menunjukkan di angka 6 pagi. Aku segera pergi menuju dapur untuk membuat sarapan. Namun belum sampai ke dapur, aku mendegar suara sendok yang beradu dengan gelas.
Ku intip dari balik lemari yang di gunakan untuk penyekat antara ruang keluarga dan juga dapur. Ternyata Ayah tiriku yang sedang membuat kopi.
Melihat pemandangan itu, aku hanya bisa membuang nafas dengan kasar. Bagaimana tidak, setiap hari ayah akan melakukan hal seperti itu. Ibuku? Jangan tanyakan dia. Pasti saat ini dia masih terlelap tidur di dalam kamarnya.
Ibuku, memang tak terbiasa bangun pagi. Jadi segala sesuatu yang berhubungan dengan rumah, akulah yang mengerjakan. Beruntung, dahulu Ayah selalu mendidik ku agar bisa mandiri. Tabiat Ibu ini memang tak pernah berubah dari dulu. Bangun siang hari, tak pernah mau mengerjakan pekerjaan rumah, dan hobinya hanya nongkrong bersama teman-teman arisannya.
"Ayah sedang apa?" tanyaku kepada ayah.
"Ya, seperti biasa La. Ayah lagi bikin kopi," jawab Ayah sambil menyeruput kopi yang masih mengepul.
'Ya tuhan, untuk kopi saja ayah harus membuatnya sendiri. Tak ada kah keinginan dari Ibu untuk mempersiapkan semua kebutuhan suaminya ini? Tak berniatkah ia melakukan kewajibannya sebagai istri?' batinku.
"Ya sudah. Ayah lebih baik mandi dulu saja. Kila akan buatkan sarapan," ucapku.
Ayah pun hanya mengangguk dan berlalu meninggalkan ku sendiri. Sedangkan aku segera membuat sarapan untuk kami bertiga.
📍
Setelah rapi dengan setelah kerja dan make up soft, gegas ku sambar tas dan kembali ke dapur untuk sarapan. Aku selalu terbiasa sarapan karena memiliki riwayat penyakit lambung.
Ku ambil piring dan mulai menuangkan nasi goreng buatanku. Tak lama setelah itu, ayah juga datang dan sudah rapi dengan pakaian kantornya. Ku ambilkan juga nasi goreng untuk ayah dan memberikannya kepada ayah. Setiap hari aku hanya akan sarapan berdua bersama ayah.
Ku kira, dulu saat Ibu menikah lagi, kebiasaan buruknya akan hilang. Namun tetap saja, angan tinggal lah angan. Tabiat Ibu nyatanya tidak berubah sama sekali. Yang ia fikirkan hanya kesenangan dirinya saja. Beruntung, dulu aku di asuh oleh almarhum nenek dari Ayah. Sehingga aku tidak kekurangan kasih sayang dan bisa tumbuh menjadi seperti sekarang ini.
Benci? Tentu saja. Entah sudah berapa kali rasa benci terhadap ibu bersarang di hatiku. Namun aku selalu berusaha menepis itu semua. Karena bagaimana pun dia tetaplah Ibuku yang sudah berjuang melahirkan ku ke dunia ini. Apalagi sekarang, dialah orang tua yang aku punya.
📍
Jujur, sebenarnya aku sedikit gugup bila berhadapan langsung dengan Ayah tiriku yang bernama Reno ini. Bagaimana tidak, usia kami hanya terpaut selisih 10 tahun saja. Ya, Ibuku menikah dengan laki-laki yang usianya jauh dibawah Ibu. Ibu berusia 50 tahun, sedangkan Ayah tiriku berusia 35 tahun.
Tapi asal kalian tau, walau umur Ibuku sudah menginjak di angka 50 tahun, ia masih terlihat awet muda. Disandingkan dengan Ayah tiriku yang sekarang pun, jika orang tidak tau umur Ibu yang sesungguhnya, pasti akan mengira bahwa mereka seumuran. Jika jalan denganku saja banyak yang mengira bahwa kami adalah kakak beradik.
"Kamu gak makan La?" pertanyaan ayah membuyarkan lamunanku. Aku baru sadar, bahwa dari tadi nasi goreng dalam piringku belum tersentuh sama sekali.
"Emm i-itu. I-ini mau makan Yah," jawabku terbata.
"Cepat makan, keburu dingin gak enak. Kamu jangan sampai telat makan. Nanti sakit lambung mu bisa kambuh," ujar Ayah mengingatkan.
Entah datangnya dari mana. Mendengar ucapan Ayah barusan membuat hatiku seperti berbunga-bunga. Senang sekali rasanya di perhatikan seperti itu oleh ayah. Astagfirullah, segera aku menepis rasa itu. Aku tak boleh begini, bagaimana pun juga dia adalah ayah tiriku. Bagaimana juga aku harus menjaga perasaan Ibu.
Beruntungnya Ibu bisa mendapatkan suami sebaik Ayah. Aku tau, bagaimana cintanya ayah terhadap Ibu. Padahal di luaran sana banyak wanita muda dan lebih cantik dari pada Ibuku. Namun ayah lebih memilih bertahan dalam hubungan pernikahan dengan wanita yang tak pernah sama sekali menghargai dia.
"Bagaimana pekerjaan mu La?" tanya ayah padaku di sela makannya.
"Ba-baik yah," jawabku sedikit kikuk.
Aku sedikit gugup berbicara dengan ayah seperti ini. Walaupun sudah tinggal bersama hampir tiga tahun, tapi tetap saja rasanya seperti ada yang mengganjal ketika berduaan seperti ini. Padahal bagi kami ini berduaan di rumah sudah menjadi hal yang biasa. Karena Ibu terlalu sibuk di luaran sana dengan teman-teman arisannya.
Padahal Ayah adalah tipe lelaki yang tak suka menghabiskan waktu di luar rumah. Ia akan segera pulang setelah selesai bekerja. Ayah selalu pulang tepat waktu, kecuali saat ada pekerjaan tambahan. Itu pun ia selalu mengabari Ibu. Berbeda dengan Ibu, ia lebih senang menghabiskan waktunya di luaran sana. Melakukan hal-hal yang menurutku tak ada faedahnya sama sekali. Pulang larut malam, dan tak pernah berkabar kepada ayah.
'Ah Ibu, jika saja kau berubah dan membuka hati. Kau termasuk wanita beruntung yang bisa mendapatkan laki-laki sebaik Ayah. Jika saja kau sudah tak menginginkan Ayah, bolehkah aku ambil Ayah dari pelukan dan hidupmu Bu? Aku yakin, bersama ku, hidup Ayah akan lebih baik dari pada hidup bersama dirimu.'
'Tuhan, bolehkah aku egois? Bolehkan aku meminta padamu untuk bisa mendapatkan lelaki sebaik ayah tiriku ini?' batinku.
📍
"Reeen, Reno," teriakan Ibu dari dalam kamar membuat aku dan Ayah terlonjak kaget. Astaga, Ibu ini kebiasaan. Pagi-pagi selalu saja membuat ribut.
"Ren, aku panggil kok kamu gak nyaut sih?" rajuk Ibu pada Ayah. Lihatlah betapa tak punya etika Ibu ku ini pada suaminya. Memanggil suami seenak jidatnya tanpa embel-embel Mas atau semacamnya. Meskipun umur Ayah lebih muda darinya, harusnya Ibu tak bersikap seperti itu.
"Apa sih kamu. Kebiasaan pagi-pagi selalu bikin ribut," jawab Ayah sedikit ketus.
"Kamu sih, kenapa gak nyaut aku panggil? Harusnya kamu tuh nyaut kalau aku panggil. Kaya yang budeg aja kamu tuh Ren," sungut Ibu pada Ayah.
Astagfirullah..
Aku hanya mampu beristighfar dalam hati melihat tingkah Ibu. Bukan kali ini saja Ibu memarahi Ayah. Tapi hampir setiap hari dan setiap waktu Ibu selalu memarahi Ayah. Bahkan karena hak sepele pun Ayah bisa di marahi oleh Ibu.
"Dasar kamu ini Ren, suami tak berguna," terdengar Ibu kembali memaki Ayah.
Cukup. Sudah cukup!
Aku sudah tidak tahan dengan semua ini. Kelakuan Ibu sudah dibatas wajar. Bukannya mengakui kesalah, Ibu malah semakin menjadi saja. Cukup, aku melihat Ayah selalu di perlakukan tidak baik oleh Ibu seperti ini.
'Baiklah Ibu, jangan salahkan diriku bila aku akan merebut Ayah dari mu. Akan ku pastikan, ayah akan lebih memilih diriku dari pada dirimu, Ibu.' batinku.
Bersambung...
Dengan perasaan kesal luar biasa, aku pergi berangkat bekerja. Tak kuhiraukan lagi pertengkaran Ibu dan juga Ayah tiriku di rumah. Sarapan yang baru ku sentuh sedikit pun langsung ku tinggalkan karena sudah tak berselera sama sekali.
Melajukan mobil peninggalan Ayah, ku susuri jalanan kota Bandung ini untuk sampai di tempatku bekerja. Udara sejuk nan segar di pagi hari ini, tak membuat hatiku yang tengah panas ikut menyejuk.
Aku sudah menyerah untuk mengingatkan Ibu. Bukan sekali dua kali aku berusaha untuk berbicara dari hati ke hati dengan Ibuku. Ratusan, bahkan ribuan kali. Mungkin mulut ini sudah berbusa untuk mengingatkan Ibu. Tapi hasilnya nihil, semuanya hanya menyisakan sia-sia saja.
📍
Masuk ke dalam gedung kantor, aku segera bersiap untuk memulai pekerjaan. Walaupun hati ini sedang tak karuan, tapi tugasku sebagai teller mengharuskan aku bersikap profesional. Apalagi pekerjaanku ini mengharuskan ramah terhadap setiap nasabah.
Duduk di belakang meja, aku mulai memanggil satu persatu nasabah untuk aku layani. Mengenyampingkan masalah pribadi, agar lebih totalitas dalam melayani para nasabah. Karena kepuasan dari nasabah merupakan salah satu amunisi terbesar untukku.
"Selamat pagi Pak David," ucapku ramah pada lelaki yang kini duduk dihadapanku.
"Selamat pagi juga Kila. Seperti biasa, aku ingin menabungkan uang ini. Dan juga aku ingin membuka safe deposit box untuk menyimpan beberapa surat tanah dan juga surat kepemilikan perusahaan," ujar Pak David sambil menyerahkan beberapa gepok uang dan juga beberapa sertifikat kepadaku.
Ku ambil dan ku periksa dahulu semuanya. Setelah dirasa cukup, aku pun pamit sebentar untuk mempersiapkan semuanya.
"Baiklah Pak. Mohon tunggu sebentar," ucapku lagi. Pak David pun hanya mengangguk.
Setelah menyiapkan beberapa dokumen pendukung dan persyaratannya. Aku kembali ke meja kerjaku. Menyerahkan semua dokumen yang harus ditanda tangani dan menjelaskan beberap poin tentang safe deposit box tersebut. Hampir 10 menit, akhirnya semuanya beres. Setelah itu ku berikan kartu akses kepada Pak David.
"Terima kasih Pak. Sudah mempercayakan semuanya kepada kami. Kami harap Bapak puas dengan pelayanan kami disini," Ucapku.
"Sama-sama Kila," jawab Pak David. "Emm Kila, apakah nanti malam kau ada acara? Bisakah aku mengajakmu nanti malam untuk makan bersama?" cicit Pak David.
"Saya tidak bisa janji Pak. Nanti lihat kondisi dulu,"
"Baiklah. Jika senggang. Kabari saja ya,"
Aku pun mengangguk. Sebenarnya malas sekali jika harus pergi bersama Pak David. Entahlah, aku rasanya kurang nyaman dengan Pak David ini. Kata orang umurku sudah cukup untuk menikah, namun aku belum terfikirkan akan hal itu. Bagaimana mau menikah, calon saja aku tak punya.
Jika saja yang mengajakku makan malam bersama adalah Ayah, tentu saja aku tak akan menolaknya. Bagiku, untuk saat ini adalah ayah lelaki yang mampu menggetarkan hatiku. Apakah ini Cinta? Ya, sepertinya memang aku sudah jatuh Cinta pada ayah.
Aku tipikal wanita yang memang sulit untuk jatuh cinta. Aku hanya ingin, sekali jatuh cinta dan itu untuk selamanya. Banyak yang menilai prinsipku ini kolot. Bahkan dulu pernah ada yang terang-terangan mengataiku sebagai wanita penyuka sesama jenis karena aku tak mau dekat dengan pria mana pun. Padahal bukan itu, memang aku saja yang tidak mudah jatuh cinta.
Dan sekarang, aku bisa membuktikan kepada semua orang. Jika aku bisa jatuh Cinta. Meski pun cintaku ini bisa di bilang berlabuh pada hati yang salah.
📍
Pukul 12 siang, jam istirahat tiba. Aku dan Siska, sahabat sekaligus partner kerja berniat untuk makan di salah satu resto padang. Menikmati sepiring nasi padang lengkap dengan rendang, membuat air liurku seakan menetes walau hanya membayangkannya.
"Eh tadi, aku denger Pak David ngajak kamu makan malem ya?" tanya Siska padaku.
"Aduh, kek gitu aja telinga kamu mah tajem Sis," jawabku disertai kekehan.
"Heeh atuh (iya dong) kedengeranlah. Pan (kan) meja kamu teh sama meja aku deketan dodol," ujar Siska sambil melemparku dengan tusuk gigi.
"Eh kayaknya Pak David teh beneran suka atuh sama kamu. Kenapa kamu gak respon aja sih La. Pak David teh kan kasep (ganteng), baik, tajir pula,"
Hening..
Aku tak langsung menjawab perkataan Siska. Bagiku, cinta tak dapat di ukur dari segi tampang dan juga harta. Percuma tampan banyak harta jika hatiku saja tak menerima. Pak David memang memiliki kriteria itu semua, tapi aku tak sedikit pun menaruh rasa padanya.
Bagiku, di banding Ayah. Pak David tak ada apa-apanya. Ayah jauh lebih baik dari pada Pak David. Aku sudah tau karakter ayah seperti apa. Sedangkan Pak David? Aku tak lebih menganggapnya hanya sebatas nasabah saja.
"Kamu suka? Ambil gih buat kamu," imbuhku.
"Eh ya, itu mulut suka sekata-kata. Aku dah punya laki. Mau dikemanain laki aku kalau aku suka sama Pak David. Dasar edyan!" rutuk Siska padaku.
"Ha ha ha, lagian kamu gitu banget sih, Sis, muji Pak Davidnya," ucapku lagi. Siska tak menjawab. Malah mencebikkan mulutnya mendengar ucapanku.
📍
Pukul empat sore, semua pekerjaan ku sudah selesai. Merapikah meja dan bersiap untuk pulang ke rumah. Seperti rencana di awal, akan ku sempatkan dulu pergi ke swalayan. Membeli beberapa kebutuhan pokok dan juga sayur mayur, buah, dan stok makanan lainnya.
Melewati lorong kopi instan, ku ambil beberapa bungkus kopi kesukaan ayah tiriku. Ayah memang memiliki kebiasaan minum kopi sebelum berangkat bekerja dan setelah pulang bekerja.
Setelah di rasa cukup, aku pun membawa troli belanjaan menuju kasir untuk menghitung dan membayar semua barang belanjaanku.
Saat sudah ku masukan semua belanjaan dalam bagasi, bergegas aku masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi. Namun mataku terbelalak ketika melihat ke arah depan. Setir ku remas dengan kuat saat melihat adegan yang terpampang di depanku.
Bagaimana tidak, di depan sana, kulihat Ibu sedang bercumbu dengan seorang lelaki yang usianya jauh di bawah Ibu. Tanpa menghiraukan sekitar, mereka terus saja memamggut bibir satu sama lain.
Melihat itu, air mataku lolos. Hatiku terasa di cabik-cabik. Ingin sekali melabrak mereka, namun ku urungkan karena takut menjadi tontonan orang-orang. Akhirnya ku putuskan untuk mengambil gambar mereka saja dan setelah itu meninggalkan swalayan dengan hati yang penuh amarah.
📍
Pukul 5 sore, aku sampai di rumah. Melihat ke dalam bagasi, ternyata mobil ayah sudah ada dalam bagasi. Segera aku masuk ke dalam rumah. Ku lihat, Ayah sedang merebahkan dirinya di atas sofa ruang keluarga. Terlihat ia sangat lelah sekali. 'Ah ayah, harusnya di saat kau pulang kerja seperti ini. Ada istri yang menyambutmu' batinku.
Menuju ke arah dapur, ku letakkan semua barang belanjaanku di atas meja makan. Setelah itu aku menuju ke dalam kamar untuk membersihkan diri. Namun, sebelum ke kamarku, sengaja aku masuk dulu ke dalam kamar Ibu untuk mengambil cucian kotor.
Segera ku masukan ke dalam mesin cuci, setelah itu aku beranjak ke dalam kamar untuk membersihkan diri. Sedangkan Ayah ku biarkan saja dia istirahat disana.
Melihat pengkhianatan Ibu, aku semakin berambisi untuk merebut Ayah darinya. 'Lihat saja Bu, akan ku buat kau merasakan, apa itu arti sakit dari sebuah kehilangan' batinku.
📍
Makan malam kali ini sengaja ku pesan melalui aplikasi karena sedang malas untuk memasak. Setelah pesananku datang, ku ajak ayah untuk makan bersama. Dan lagi-lagi aku hanya makan berdua dengan Ayah.
Ku lirik Ayah, dia sedang makan sambil terkadang menggelengkan kepala ke arah kiri dan kanan. Sepertinya Ayah sedang pegal dan kurang enak badan.
"Ayah kenapa?"
"Gak papa, cuman leher ayah ini kerasa kaku La. Belum lagi badan Ayah rasanya pegel-pegel," jawab ayah.
"Setelah makan, Kila pijitin ya Yah. Biar enakan," ujarku pada ayah.
Terlihat keraguan di wajah ayah. Ini kesempatan untukku mendekati ayah. Akan ku buat ayah yakin dan mau untuk aku pijat.
"Emmm, tapi La," ucap Ayah ragu.
"Gak papa yah. Dari pada ayah terus kayak gitu. Pijatan Kila enak loh yah," ujarku lagi meyakinkan ayah.
Setelah diam sejenak, akhirnya Ayah mengangguk setuju. Yes! Aku berhasil. Akan ku pastikan ayah ketagihan dengan pijatanku ini. Mulai sekarang, aku yang akan mengurus Ayah. 'Bersiaplah Bu, perlahan akan ku pastikan Ayah akan jatuh ke dalam pelukanku' ucapku dalam hati.
🔹🔹🔹
Author Pov
Setelah mendapat persetujuan dari Reno, Syakila mulai memijat pelan tengkuk Reno. Dengan penuh Cinta, Syakila memberikan pijatan terbaiknya untuk lelaki yang ia cintai itu.
Melihat Reno terpejam, Syakila mulai memberanikan diri memijat ke daerah lain. Dari mulai pundak, tangan, dan kini menjalar ke area betis dan juga kaki. Reno yang merasa pijatan Kila sudah terlalu jauh, tiba-tiba saja merasa risih.
Apalagi, pakaian yang Syakila gunakan malam ini terbilang seksi. Tentu saja, Reno sebagai lelaki normal bisa bangkit gairahnya jika di perlakukan seperti ini.
Sedangkan Syakila, sudah mulai merasa. Jika apa yang ia lakukan ini tidak benar. Sebesar apa pun ambisi dia untuk mendapatkan Reno, ia tak boleh bertindak gegabah seperti ini. Seharusnya, ia bisa mengambil hati Reno secara perlahan dan juga diam-diam.
Reno, yang merasakan ada sesuatu yang bergejolak dal dirinya. Berusaha untuk menegur Syakila. Karena Reno merasa sedang di rayu oleh anak tirinya itu.
"Em, yah maaf. Kila lupa, ada pekerjaan yang harus Kila kerjakan," alibi Kila sambil menghentikan pijatannya.
"Kila permisi dulu ya yah," lanjuk Syakila lagi. Kemudian, dia meninggalkan Reno sendirian.
Melihat tingkah Kila, fikiran Reno tentang Kila yang berusaha merayunya ternyata salah. Reno terlalu berfikiran buruk tentang anak tirinya itu. Sepeninggalan Syakila, Reno memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya. Pijatan yang di berikan Syakila mampu membuatnya sedikir rileks.
Sedangkan Syakila, sebenarnya dia tak ada kerjaan yang harus ia selesaikan. Itu hanya alibinya saja agar Reno tak menaruh curiga, jika sebenarnya ia sedang berusaha merayu Reno. Dia bertekad, tak akan bertindak gegabah lagi dalam merebut hati Reno.
Bersambung...
Syakila Pov
Kejadian semalam untungnya tak membuat rasa canggung antara aku dan ayah terjadi. Buktinya pagi ini, kami bertegur seperti biasa saja. Dan seperti biasa, kami hanya akan sarapan berdua saja.
Aku tidak tau, kemarin Ibu pulang jam berapa. Mulai sekarang, aku tak akan peduli lagi dengan wanita yang telah melahirkan ku itu. Sudah cukup luka yang ia berikan padaku selama ini. Rasa hormatku menguap begitu saja dengan kenyataan pengkhianatan yang Ibu lakukan.
Usai sarapan, ayah pamit berangkat ke kantor karena ada pekerjaan yang harus di selesaikan katanya. Padahal ini weekend, tapi mau tak mau ayah harus datang ke kantor. Sedangkan aku, masih menghabiskan sarapan yang masih tersisa.
Tak lama setelah Ayah berangkat, Ibu keluar kamar dengan penampilan masih acak-acakan. Melihat itu, aku enggan untuk menyapa Ibu. Teringat akan kejadian Ibu bersama lelaki lain, membuat amarah dalam diri ini muncul.
"Ibu habis ini mau pergi acara arisan sama temen-temen Ibu." ucap Ibu sambil mengoleskan selai di roti. Sarapan yang ku buat tak di sentuh sama sekali. Masa bodoh!.
"Pergi saja Bu. Bukannya memang setiap hari Ibu tidak pernah ada di rumah hem." jawabku.
"Ya, baguslah jika kau tau itu. Karena hidup Ibu hanya untuk bersenang-senang," ujarnya sambil berlalu meninggalkan ku.
Gila. Dasar Ibu gila!
Tanganku terkepal kuat. Bagaimana bisa seorang Ibu dan juga istri berkata seperti itu. Tak ada rasa ingin bersama keluarga kah di hatinya walau hanya satu hari? Di otaknya hanya arisan, arisan, arisan saja yang Ibu fikirkan.
Tapi bagus juga. Dengan begini, aku bisa mengikuti kemana Ibu pergi. Aku ingin tau, sebenarnya apa yang Ibu lakukan di luaran sana hingga selalu pulang larut malam. Sambil menunggu Ibu keluar, aku segera menghubungi Siska untuk meminjam mobilnya. Serta ku ceritakan sedikit masalah yang sedang aku hadapi.
Ku minta Siska untuk datang saja ke rumah agar aku tak ketinggalan jejak Ibu. Beruntungnya saat aku menghubungi Siska, ia sedang berada di dekat daerah rumahku.
Benar saja, tak lama, Ibu kembali keluar dari kamarnya. Sekarang, penampilannya sudah rapih. Tanpa pamit padaku, Ibu langsung pergi begitu saja. Untung Siska sudah ada di depan rumah yang ada di samping rumahku. Sehingga saat Ibu sudah pergi meninggalkan rumah, aku pun segera masuk ke dalam mobil Siska. Tak lupa ku berikan kunci mobilku untuk dipakai oleh Siska.
📍
Dengan menjaga jarak, aku terus mengikuti kemana mobil Ibu melaju. Fokus ku benar-benar tertuju pada mobil yang dikendarai Ibu agar tak kehilangan jejaknya.
Di tengah perjalanan. Ibu menghentikan laju mobilnya. Ku tepikan mobil milik Siska tak jauh dari mobil Ibu. Terlihat Ibu keluar dari mobil. Dan tak lama setelah itu, datang laki-laki yang ku perkirakan umurnya dibawah ku.
Mataku kembali membulat ketika melihat pemandangan di depanku. Lagi-lagi, Ibu melakukan hal tak senonoh di tempat umum. Dan parahnya lagi, laki-laki yang bersamanya adalah laki-laki lain dan bukan laki-laki kemarin yang kutemui.
Ya tuhan, Ibu macam apa yang melahirkan ku itu? Sungguh, aku malu sekali terlahir dari rahim wanita murahan seperti dia. Benar-benar tak tahu malu.
Segera ku nyalakan lagi mesin mobil ketika melihat Ibu masuk kembali ke dalam mobil. Namun, laki-laki muda itu tak ikut masuk ke dalam mobil. Tak ku pedulikan lelaki itu, fokus ku sekarang kembali pada Ibu.
📍
Akhirnya, setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit. Mobil Ibu masuk ke dalam sebuah restoran. Sebelum turun, ku kenakan hoodie, kaca mata hitam, masker dan tak lupa juga topi untuk menyamarkan wajahku.
Masuk ke dalam restoran, ku cari keberadaan Ibu. Ternyata benar, Ibu sedang berkumpul dengan teman-temannya. Untung saja, di belakang tempat Ibu duduk, ada sebuah meja kosong.
Dari sini, aku bisa mendegar dengan jelas obrolan Ibu dan teman-temannya.
"Hari ini, kita jadi kan party?" terdengar Ibu berucap.
"Jelas dong Jeng, party kita pasti seru. Apalagi Jeng Marlina kan baru dapet arisan," jawab seseibu. Disini aku masih berfikiran positif. Mungkin memang Ibu ingin mentraktir teman-temannya karena menang arisan.
"Jelas dong. Apalagi nih ya katanya brondong yang aku dapetin ini paling perkasa long Jeng-Jeng. Ah, aku jadi gak sabar nyicip barangnya. Terus main hot sama dia,"
Deg!
Jantungku seakan berhenti berdetak mendengar penuturan Ibu. Gila, ini fakta baru yang mengejutkan untukku. Ternyata, arisan yang Ibu ikuti bukanlah arisan uang, melainkan brondong. Gila, sungguh luar biasa gila.
"Kita berangkat jam 5 aja ya. Biar di jalan gak terlalu macet. Tau sendirilah Puncak kalau weekend gini macet," terdengar Ibu berucap lagi.
"Siap Jeng. Memang lebih enak pergi jam segitu. Kan nanti sampai kita bisa langsung party. Sekarang lebih baik kita makan dulu, udah gitu shooping deh."
"Ide bagus itu. Tapi aku mau nyalon dulu ya Jeng. Minta alamat villanya aja. Nanti biar gampang," Ibu menimpali.
"Boleh, tulis ya Jeng. Ini alamat villanya. Nama Villanya villa bambu, block D no. 32," terdengar menjawab. Aku pun ikut mencatat alamat villa tersebut. Siapa tau saja aku membutuhkannya.
Setelah itu aku memutuskan saja untuk pulang. Karena para Ibu-Ibu itu pun akan pergi meninggalkan cafe ini.
📍
Pukul 4 siang, aku kembali ke rumah. Sebelumnya tadi aku mampir ke rumah Siska untuk menukar mobil dan berbincang sebentar.
Di dalam bagasi, terlihat mobil ayah sudah berada disana. Artinya ayah sudah pulang. Bergegas aku masuk ke dalam rumah dan mendapati ayah sedang memasukkan beberapa baju ke dalam kopernya.
"Ayah sedang apa?" tanyaku pada ayah.
"Ayah ada kerjaan diluar La. Kemungkinan disana tiga hari," jawab ayah sambil terus memasukkan beberapa baju dan juga kebutuhan lainnya.
"Kerjaan dimana yah?"
"Di villa bambu. Kebetulan sekalian ninjau proyek disana," ucap ayah.
Deg! Villa Bambu? Bukan kah villa itu juga yang akan dijadikan tempat pesta oleh Ibu dan juga teman-temannya? Aku tadi menyempatkan diri untuk mencari tahu tentang villa bambu. Villa yang terletak di kawasan Puncak dan hanya memiliki 3 unit villa mewah disana.
Ini berarti, ada kemungkinan ayah bisa saja bertemu dengan Ibu. Gawat, ini tidak boleh terjadi. Aku belum siap jika Ayah mengetahui pengkhianatan yang dilakukan oleh Ibu.
"Ayah berangkat ya. Soalnya ayah harus ke kantor dulu. Jam 5 baru berangkat," ucap ayah.
Belum sempat aku mencegah, ayah sudah lebih dulu pergi meninggalkan ku. Mencoba mengejar, namun nihil. Ayah sudah melajukan mobilnya.
Argh sial! Kenapa juga ayah harus ada pekerjaan disana. Jika begini, aku juga yang pusing. Aku tak mempermasalahkan Ibu mau melakukan apa. Karena itu sudah tidak penting untukku. Tapi aku mencemaskan ayah. Aku tak mau ayah terluka jika mengetahui kebusukan Ibu nantinya.
Akhirnya ku putuskan untuk menghubungi Ibu saja. Berharap Ibu mau membatalkan acaranya tersebut. Namun sia-sia. Beberapa kali aku mencoba menghubungi Ibu, namun tak ada jawaban sama sekali. Malah sekarang nomor Ibu tidak aktif sama sekali.
Arrghh, pusing sekali rasanya. Lebih baik aku mengikuti ayah saja. Semoga kecemasanku tak terbukti nantinya. Aku berharap jika ayah tak bertemu dengan ibu disana.
📍
Keberuntungan masih berpihak padaku. Saat sampai di kantor ayah, beruntung ayah masih ada disana. Aku tak keluar dari mobil. Karena kulihat, ayah juga sudah masuk ke dalam mobilnya dan tak lama pun mobil ayah pergi meninggalkan kantor.
Mataku terus fokus pada mobil ayah. Beberapa kali aku harus menjaga jarak dengan mobil milik ayah. Jalanan sore ini tak terlalu macet. Jika melihat dari maps, sekitar satu jam lagi kami baru sampai di villa bambu.
'Tuhan, aku mohon. Semoga Ayah tidak bertemu dengan Ibu. Aku belum siap jika nanti ayah terluka oleh pengkhianatan yang dilakukan oleh Ibu. Bahkan yang lebih parah adalah, Ibuku ternyata wanita penggila nafsu. Jika memang ayah harus mengetahui kebusukkan Ibu sekarang. Aku hanya bisa berharap, semoga ayah tak merasakan sakit yang begitu dalam,' batinku.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!