Sang Haruk (Yatim Piatu)
Oe... Oe...
Dari sebuah pondok yang terbuat dari anyaman bambu berukuran tiga kali tujuh, suara tangis bayi memecah ketegangan dua orang wanita di dalamnya. Dimana seorang dukun sedang menolong perempuan berumur sekitar 30 tahunan melahirkan anak pertamanya.
Kejadian tersebut bertepatan saat cuaca ekstrem, di antara gemuruh badai petir bersahutan dan hujan lebat pada sepertiga malam. Angin nya juga menderu sangat kencang diatas bangunan seolah di seret kesana kemari berputar-putar pada dahan pohon yang saling bergesekan.
Bahkan terdengar ada yang patah dan roboh.
Lampu ublik dari kaleng sarden rupanya tak mampu untuk bertahan sampai akhirnya padam. Dalam kondisi panik dan bayi sudah dalam genggaman sang dukun. Ia terpaksa turun dari amben untuk mencari Korek.
Namun karena sudah tua, sang dukun tak jua menemukan dimana tempat korek itu.
"Mbai sakit Mbai!" Teriak Lastri sayu-sayu terdengar di telinga sang dukun.
"Sabar Ndok, koreknya ada dimana?" Tanya Sang dukun.
"Gak tau saya lupa, aduh...!" Teriak Lastri lagi sangat keras entah apa yang sedang dirasakannya.
Cukup lama mencari ke segala tempat, barulah dukun itu meraba korek di atas pagu dan segera mengambil kertas untuk melindungi lampu supaya tidak mati lagi, Kemudian dukung itu cepat-cepat menyelimuti bayi berjenis kelamin laki-laki itu dalam sebuah kain panjang untuk menghangatkan.
Lalu berlanjut mengeluarkan ari-ari dari perut Lastri, tapi sang dukun membelalakkan mata setelah melihat banyak darah yang berceceran di sana sedang Lastri tak lagi sadarkan diri.
"Ya Allah, bagaimana ini?" Tanya dukun itu panik. Lekas Ia memeriksa denyut nadi perempuan itu dan ternyata Lastri sudah tidak bernyawa.
"Ya Allah, jang. Kasihan sekali kamu. Baru siang tadi Bapakmu meninggal karena di begal sekarang Ibumu juga pergi."
Sembari menangis, dukun itu kembali mendekap bayi tersebut untuk menenangkan sambil menunggu cuaca sampai pagi hingga terang benderang.
Yakin dapat melihat jalan, dukun itu menemui Paman dan Bibi dari si bayi dan meminta mereka mengurus penguburan Lastri.
"Aduh, baru selesai nguburin Abang saya, lanjut pula Mbak Lastri. Ndak ada kerjaaan apa nak ngurus mereka terus," protes Bibi Parwati.
"Jangan begitu Dek, mak mano jugakan mereka keluarga kita, siapa lagi yang nak ngurus kalau bukan kito inilah," jawab Paman Kilang.
"Iyo aku tahu, tapi lihat juga kondisi kito ni lagi sengsara Bang," sungut Bibi Parwati.
Walaupun enggan, mereka akhirnya membantu proses penguburan Lastri sampai selesai dengan bantuan warga setempat. Mereka juga harus sudi mengurus anak dari Kakak mereka karena tak ada pilihan lain.
Setiap kali Bibi Parwati terus mengoceh saat harus mencuci bekas ompol dan menggantikan bayi itu celana ketika basah.
"Hoy sang Haruk kasihan sekali masih bayi di tinggal Emak Bapakmu meninggal," tukas tetangga sebelah. "Oya Par sudah di beri nama belum, siapa panggilannya Par kasihan sang Haruk?" Tanya Bi Yugo lagi.
Lama terdiam, Bibi Parwati makin kesal saat seorang lagi datang memanggilnya dengan sebutan sang Haruk.
"Ya ampun Haruk ternyata ganteng ya Par?"
Karena makin kesal mendengar olok-olok warga akibat bayi tersebut menjadi yatim piatu, munculah ide Bibi Parwanti akan nama yang cocok untuk bayi merah tersebut. "Nah, berhubungan kalian pada manggil dia sang Haruk, Sang Haruk. Alangkah bagusnya jika nama bayi ini Haruk saja iyakan jang?" Tukas Bibi Parwati pada bayi tanpa dosa itu.
.
.
.
Dua puluh tiga tahun kemudian...
Di sebuah pelosok di bantaran sungai komering. Hiduplah seorang pemuda yatim piatu bernama Haruk atau sebut saja dengan Sang Haruk yang artinya adalah yatim piatu.
Mengapa di beri nama itu oleh Paman nya, karena semua orang menyebutnya dengan panggilan Sang Haruk.
Kedua orang tua Haruk meninggal saat Ia masih bayi. Dimana Ayahnya meninggal selang sehari dengan Ibunya. Beliau di begal dan melawan hingga akhirnya di bunuh, sedang Ibunya meninggal saat melahirkan dirinya akibat pendarahan hebat.
Tak memiliki keluarga, Haruk terpaksa di asuh oleh Paman dan Bibinya. Namun sayang mereka menuntut balas Budi pada Haruk atas kebaikan mereka. Dengan cara menyuruhnya bekerja tanpa kenal waktu.
seperti pagi itu, terlihat dari kejauhan Haruk dengan pakaian compang-camping dan lusuh, serta rambut ikal dan panjang karena tak pernah di rawat sibuk menombak ikan.
Beruntung sudah setengah bulan kemarau, sungai komering surut dan ikan-ikan jadi pada terlihat menggenang di permukaan air.
Luar biasanya lagi Haruk mendapat banyak tangkapan ikan besar-besar yang Ia masukkan ke dalam keranjang gendong bawaannya.
Setelah matahari naik sepenggalah dan kian terik. Haruk memutuskan menyudahi pekerjaanya. Ia harus pulang agar ikan itu segera di olah untuk santap siang mereka sebelum Paman dan Bibinya pulang dari menugal jagung.
Sesampainya di rumah, Haruk mengambil parang dan daun pisang sebagai alas untuk ikan-ikan itu. Ia dengan telaten membersihkan satu demi satu hasil tangkapannya tanpa melepas senyum. Ia sangat yakin Paman dan Bibinya pasti senang bisa makan enak.
Namun belum juga rampung dengan pekerjaan, seseorang lari tunggang langgang ke arahnya dengan membawa selebaran kertas yang entah apa isinya.
"Haruk... Haruk... aku bawa kabar bagus untukmu," ujar Tantowi.
Pria itu adalah satu-satunya teman yang paling baik. Tak pernah sekali pun Ia menyakiti Haruk dengan perkataannya, sangat berbeda dengan yang lain yang selalu suka mencemooh.
"Hey Tan, ada apa?" Tanya Haruk. Lekas Ia berdiri dan melambaikan tangan sampai Tantowi mendekat.
"Lihat ini, ada kabar bagus Haruk?" Ucap Tantowi sembari mengatur nafas yang memburu. Tantowi menyerahkan kertas itu pada sahabatnya.
Plok!
Haruk menyungut tengkuk Tantowi gemas.
"Dasar bodoh, bukannya apa-apa Tan, aku bahkan tidak pandai membaca. Mana bisa aku mengartikannya sendiri."
"Hahaha...," Tantowi tergelak.
Wajar, Haruk sendiri tidak pernah mengenyam pendidikan sejak kecil. Jadi satu huruf pun Ia tidak tahu bagaimana cara menyebut kata demi kata dari tulisan itu.
"Oh iya maaf Sobat biar ku bacakan untukmu." Tantowi mengambil kembali kertas itu dan mulai membacakan inti dari kalimat yang terkandung di dalamnya.
"Minggu depan, di alun-alun istana Raja Cili Rawe akan mengadakan sayembara mencarikan suami untuk putri semata wayangnya. Dengan syarat pemuda itu masih berusia kisaran antara 23 sampai 30 tahun dan belum pernah menikah. Pemenangnya, selain menjadi Istri Dewi Karra Sandya, pemuda itu pun akan diangkat menjadi Raja sebagai penerus ke tujuh dinasti Komering. Selesai...."
Tantowi mengakhiri kalimat yang bermaksud membujuk Haruk agar mengikuti sayembara. Apa lagi syaratnya begitu mudah dan Ia termasuk kedalam kriteria keinginan Raja.
"Bagaimana, apa kamu mau ikut?" Tanya Tantowi dengan bola mata berbinar. Menggerakkan alisnya naik turun.
Haruk hanya garuk-garuk kepala sambil menekuk wajahnya, kemudian berlanjut membersihkan ikan.
"Haruk, aku sedang bicara padamu kawan, kenapa kau diam saja?" Protes Tantowi.
Haruk menimpalinya dengan mendengkus kesal sambil bertopang dagu menatap Tantowi.
"Menurutmu, apa orang sepertiku layak untuk menjadi menantu Raja?" Tanyanya memastikan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Agus Kaur Kesamen
ada kaleng ikan sarden?
2022-11-21
0
👑Ria_rr🍁
saran Thor, jangan marah ya.
kalau dialog tag harus huruf kecil jangan kapital
2022-10-22
1
Ramses
wooiii,masa zaman dulu ada kaleng sarden?
nulis cerita mikir jg donk zamannya..😂😂
2022-10-15
0