NovelToon NovelToon

Sang Haruk (Yatim Piatu)

Bab 1 Selebaran Dari Istana

Oe... Oe...

Dari sebuah pondok yang terbuat dari anyaman bambu berukuran tiga kali tujuh, suara tangis bayi memecah ketegangan dua orang wanita di dalamnya. Dimana seorang dukun sedang menolong perempuan berumur sekitar 30 tahunan melahirkan anak pertamanya.

Kejadian tersebut bertepatan saat cuaca ekstrem, di antara gemuruh badai petir bersahutan dan hujan lebat pada sepertiga malam. Angin nya juga menderu sangat kencang diatas bangunan seolah di seret kesana kemari berputar-putar pada dahan pohon yang saling bergesekan.

Bahkan terdengar ada yang patah dan roboh.

Lampu ublik dari kaleng sarden rupanya tak mampu untuk bertahan sampai akhirnya padam. Dalam kondisi panik dan bayi sudah dalam genggaman sang dukun. Ia terpaksa turun dari amben untuk mencari Korek.

Namun karena sudah tua, sang dukun tak jua menemukan dimana tempat korek itu.

"Mbai sakit Mbai!" Teriak Lastri sayu-sayu terdengar di telinga sang dukun.

"Sabar Ndok, koreknya ada dimana?" Tanya Sang dukun.

"Gak tau saya lupa, aduh...!" Teriak Lastri lagi sangat keras entah apa yang sedang dirasakannya.

Cukup lama mencari ke segala tempat, barulah dukun itu meraba korek di atas pagu dan segera mengambil kertas untuk melindungi lampu supaya tidak mati lagi, Kemudian dukung itu cepat-cepat menyelimuti bayi berjenis kelamin laki-laki itu dalam sebuah kain panjang untuk menghangatkan.

Lalu berlanjut mengeluarkan ari-ari dari perut Lastri, tapi sang dukun membelalakkan mata setelah melihat banyak darah yang berceceran di sana sedang Lastri tak lagi sadarkan diri.

"Ya Allah, bagaimana ini?" Tanya dukun itu panik. Lekas Ia memeriksa denyut nadi perempuan itu dan ternyata Lastri sudah tidak bernyawa.

"Ya Allah, jang. Kasihan sekali kamu. Baru siang tadi Bapakmu meninggal karena di begal sekarang Ibumu juga pergi."

Sembari menangis, dukun itu kembali mendekap bayi tersebut untuk menenangkan sambil menunggu cuaca sampai pagi hingga terang benderang.

Yakin dapat melihat jalan, dukun itu menemui Paman dan Bibi dari si bayi dan meminta mereka mengurus penguburan Lastri.

"Aduh, baru selesai nguburin Abang saya, lanjut pula Mbak Lastri. Ndak ada kerjaaan apa nak ngurus mereka terus," protes Bibi Parwati.

"Jangan begitu Dek, mak mano jugakan mereka keluarga kita, siapa lagi yang nak ngurus kalau bukan kito inilah," jawab Paman Kilang.

"Iyo aku tahu, tapi lihat juga kondisi kito ni lagi sengsara Bang," sungut Bibi Parwati.

Walaupun enggan, mereka akhirnya membantu proses penguburan Lastri sampai selesai dengan bantuan warga setempat. Mereka juga harus sudi mengurus anak dari Kakak mereka karena tak ada pilihan lain.

Setiap kali Bibi Parwati terus mengoceh saat harus mencuci bekas ompol dan menggantikan bayi itu celana ketika basah.

"Hoy sang Haruk kasihan sekali masih bayi di tinggal Emak Bapakmu meninggal," tukas tetangga sebelah. "Oya Par sudah di beri nama belum, siapa panggilannya Par kasihan sang Haruk?" Tanya Bi Yugo lagi.

Lama terdiam, Bibi Parwati makin kesal saat seorang lagi datang memanggilnya dengan sebutan sang Haruk.

"Ya ampun Haruk ternyata ganteng ya Par?"

Karena makin kesal mendengar olok-olok warga akibat bayi tersebut menjadi yatim piatu, munculah ide Bibi Parwanti akan nama yang cocok untuk bayi merah tersebut. "Nah, berhubungan kalian pada manggil dia sang Haruk, Sang Haruk. Alangkah bagusnya jika nama bayi ini Haruk saja iyakan jang?" Tukas Bibi Parwati pada bayi tanpa dosa itu.

.

.

.

Dua puluh tiga tahun kemudian...

Di sebuah pelosok di bantaran sungai komering. Hiduplah seorang pemuda yatim piatu bernama Haruk atau sebut saja dengan Sang Haruk yang artinya adalah yatim piatu.

Mengapa di beri nama itu oleh Paman nya, karena semua orang menyebutnya dengan panggilan Sang Haruk.

Kedua orang tua Haruk meninggal saat Ia masih bayi. Dimana Ayahnya meninggal selang sehari dengan Ibunya. Beliau di begal dan melawan hingga akhirnya di bunuh, sedang Ibunya meninggal saat melahirkan dirinya akibat pendarahan hebat.

Tak memiliki keluarga, Haruk terpaksa di asuh oleh Paman dan Bibinya. Namun sayang mereka menuntut balas Budi pada Haruk atas kebaikan mereka. Dengan cara menyuruhnya bekerja tanpa kenal waktu.

seperti pagi itu, terlihat dari kejauhan Haruk dengan pakaian compang-camping dan lusuh, serta rambut ikal dan panjang karena tak pernah di rawat sibuk menombak ikan.

Beruntung sudah setengah bulan kemarau, sungai komering surut dan ikan-ikan jadi pada terlihat menggenang di permukaan air.

Luar biasanya lagi Haruk mendapat banyak tangkapan ikan besar-besar yang Ia masukkan ke dalam keranjang gendong bawaannya.

Setelah matahari naik sepenggalah dan kian terik. Haruk memutuskan menyudahi pekerjaanya. Ia harus pulang agar ikan itu segera di olah untuk santap siang mereka sebelum Paman dan Bibinya pulang dari menugal jagung.

Sesampainya di rumah, Haruk mengambil parang dan daun pisang sebagai alas untuk ikan-ikan itu. Ia dengan telaten membersihkan satu demi satu hasil tangkapannya tanpa melepas senyum. Ia sangat yakin Paman dan Bibinya pasti senang bisa makan enak.

Namun belum juga rampung dengan pekerjaan, seseorang lari tunggang langgang ke arahnya dengan membawa selebaran kertas yang entah apa isinya.

"Haruk... Haruk... aku bawa kabar bagus untukmu," ujar Tantowi.

Pria itu adalah satu-satunya teman yang paling baik. Tak pernah sekali pun Ia menyakiti Haruk dengan perkataannya, sangat berbeda dengan yang lain yang selalu suka mencemooh.

"Hey Tan, ada apa?" Tanya Haruk. Lekas Ia berdiri dan melambaikan tangan sampai Tantowi mendekat.

"Lihat ini, ada kabar bagus Haruk?" Ucap Tantowi sembari mengatur nafas yang memburu. Tantowi menyerahkan kertas itu pada sahabatnya.

Plok!

Haruk menyungut tengkuk Tantowi gemas.

"Dasar bodoh, bukannya apa-apa Tan, aku bahkan tidak pandai membaca. Mana bisa aku mengartikannya sendiri."

"Hahaha...," Tantowi tergelak.

Wajar, Haruk sendiri tidak pernah mengenyam pendidikan sejak kecil. Jadi satu huruf pun Ia tidak tahu bagaimana cara menyebut kata demi kata dari tulisan itu.

"Oh iya maaf Sobat biar ku bacakan untukmu." Tantowi mengambil kembali kertas itu dan mulai membacakan inti dari kalimat yang terkandung di dalamnya.

"Minggu depan, di alun-alun istana Raja Cili Rawe akan mengadakan sayembara mencarikan suami untuk putri semata wayangnya. Dengan syarat pemuda itu masih berusia kisaran antara 23 sampai 30 tahun dan belum pernah menikah. Pemenangnya, selain menjadi Istri Dewi Karra Sandya, pemuda itu pun akan diangkat menjadi Raja sebagai penerus ke tujuh dinasti Komering. Selesai...."

Tantowi mengakhiri kalimat yang bermaksud membujuk Haruk agar mengikuti sayembara. Apa lagi syaratnya begitu mudah dan Ia termasuk kedalam kriteria keinginan Raja.

"Bagaimana, apa kamu mau ikut?" Tanya Tantowi dengan bola mata berbinar. Menggerakkan alisnya naik turun.

Haruk hanya garuk-garuk kepala sambil menekuk wajahnya, kemudian berlanjut membersihkan ikan.

"Haruk, aku sedang bicara padamu kawan, kenapa kau diam saja?" Protes Tantowi.

Haruk menimpalinya dengan mendengkus kesal sambil bertopang dagu menatap Tantowi.

"Menurutmu, apa orang sepertiku layak untuk menjadi menantu Raja?" Tanyanya memastikan.

Bab 2 Diusir

Lama menjawab dengan penuh keraguan dan sikap kehati-hatian. Tawa Tantowi menggelegar hingga memekakkan telinga Haruk yang mendengarnya.

"Is, Tantowi pelan kan suaramu," dengkus Haruk.

"Hahaha... biarkan saja. Tapi kamu jangan berprasangka negatif begitu dong Kawan, aku akan membantumu jika kamu bersedia mengikuti sayembara itu nanti," ucap Tantowi di sisa gelak tawanya.

Haruk yang merasa itu lucu balas terpingkal-pingkal. Ia menggelengkan kepalanya penuh keheranan pada teman seperjuangannya yang sangat istimewa itu.

"Ah, sudahlah lebih baik aku menggulai ikan Mas ini dulu sebentar ya. Pasti Paman dan Bibi kelaparan sepulang nanti," ucap sang Haruk cekatan.

Ia membereskan bekas kotoran ikan dan melemparnya ketempat sampah. Kemudian menenteng ember menuju sungai kecil yang tak jauh dari rumahnya itu di ikuti Tantowi yang dengan setia menemani.

"Ayolah Haruk pikirkan masa depanmu itu? Jangan mau lah di jadikan macam babu terus menerus. Kau itu pria bukan wanita. Sudah seharusnya kau bertualang mencari jati diri di luaran sana. Bukan malah seperti perempuan yang diam terus di rumah cuci baju, cuci piring, masak, apa lagi gulai," bujuk Tantowi lagi sebisa mungkin mengetuk hati Haruk.

Haruk tidak menjawab, Ia hanya menoleh dan tersenyum pada Tantowi. Karena Ia yakin itu mustahil bagi seorang gembel sepertinya untuk turut andil urusan Raja.

Keduanya menapaki undakan tanah liat yang sengaja di pergunakan warga untuk akses turun ke sungai. Rata-rata penduduk setempat akan mengalami kekeringan sumur

pada musim kemarau dan beberapa minggu terakhir keadaan tersebut sudah terjadi.

Sejak kecil Haruk memiliki cita-cita akan membuat wadah penampung hujan atau memperbanyak aliran anak sungai jika Ia bisa sukses di masa mendatang. Namun seperti nya mimpi-mimpi itu harus Ia kubur dalam-dalam karena sampai saat ini Haruk belum memiliki apa pun,sedang untuk makan saja harus rela membuat nasi dari Singkong yang di cacah atau jagung yang di tumbuk.

"Woy Haruk...!" Teriak pemuda dari sebrang membuyarkan pikiran Haruk. Nampaknya pemuda itu sedang melangai bubu yang Ia pasang semalam.

"Eh Bang Jiwo, lagi apa Bang?" Sapa Haruk balik dengan penuh rasa hormat dan sopan santun.

Orang itu malah tersenyum meremehkan. "Apa kau itu buta. Lihatlah bubuku banyak ikannya," jawab Pak Jiwo sembari memperlihatkan isi ember yang di penuhi macam-macam jenis ikan.

"Wah makan besar dong Bang?" Seringai Haruk sambil garuk-garuk kepala, bisa jadi rambut ikal itu banyak kutunya.

"Iya dong, masak kayak kamu. Cuma makan sambel terasi setiap hari. Apa gak bosan ha, kasihan hahaha....?"

Haruk hanya membalas dengan menyunggingkan senyum tapi tidak dengan Tantowi yang tahu Pria tua itu tengah meledeknya.

"Dasar munafik, pura-pura nanya cuma untuk ngehina. Kenapa kau diam saja Haruk bicaranya itu sangat kasar padamu?" Protes Tantowi.

"Tak apa Tan, tidak usah ambil hati. Kalau dikit-dikit sakit hati yang ada kita gila lah nanti," ucap Haruk berlapang dada.

Karena ingin cepat selesai, Tantowi segera membantu pekerjaan Haruk mencuci ikan-ikan tersebut sampai bersih

Cukup menakan beberapa waktu mereka menyudahinya karena Haruk harus berlanjut mencari ranting-ranting di sekitaran rumah untuk membuat api lalu menumbuk beberapa rempah-rempah sebagai bumbu gulai.

Masa seperti sekarang ini, hanya minyak kelapa buatan yang di pakai untuk memenuhi kebutuhan orang-orang di kampung karena tak ada satu rupiah pun uang kala musim paceklek datang.

Namum belum juga hasil masakan itu turun dari tungku, Paman dan Bibi Haruk sudah pulang dengan tatapan seram. Sepertinya mereka marah karena Haruk belum selesai menyediakan makanan untuk santap siang mereka dan itu sudah sering terjadi meski bolak-balik diingatkan.

"Woy anak bandel, dasar anak tidak berguna kau. Apa saja kerjamu sudah tengah hari nong-nong belum juga selesai?" Geram Bibi Parwati. Ia berpindah mengecek nasi di tunggu sebelah dan ternyata juga masih sangat keras.

"Haduh, Haruk kapan kau menanak nasi kenapa belum matang ha? Kau itu hanya hidup numpang disini. Maka buatlah dirimu itu berguna sedikit, jangan taunya menyusahkan saja," Culas Bibi Parwati.

"Maaf Bi, tadi saya pulang kesiangan dari mencari ikan di sungai," jawab Haruk sembari menundukkan kepala tak berani melihat wajah Bibi Parwati.

Mendengar ada jawaban yang keluar dari mulut Haruk Bibi Parwati pun menoleh ke arah Tantowi dengan tatapan sinis. Ia tahu betul pasti temannya itu sudah mengajak ngobrol Haruk sampai lupa waktu.

"Apa lihat-lihat? Setiap hari kesini ngajakin Haruk main. Kau tidak punya kawan lain ya? Bosan aku lihat wajah kau tiap hari," dengkus Bibi Parwati.

"Ya sudahlah Bu, tunggu sebentar lagi. Kan Haruk tengah memasaknya," timpal Paman Kilang.

Bi Parwati rupanya tak bisa di ajak bicara lembut. Ia masuk dan memunguti baju Haruk yang di bungkus kedalam sarung lalu melemparkannya pada wajah Haruk dengan kasar dan tanpa welas asih.

"Pergi kau, aku tidak sudi lama-lama melihat kau di rumahku!" Geram Bibi Parwati.

"Apa maksudnya Bu?" Paman Kilang teekejut.

"Sudahlah Pak, tidak usah membela anak penyungkan ini lagi, Sudah saatnya Haruk pergi dari rumah kita agar tidak mengurangi jatah makan kita untuk Bagus yang masih kecil dan perlu banyak biaya. Biar dia mencari jalan hidupnya di luaran sana mulai sekarang supaya terbuka matanya itu bagaimana susahnya cari uang!" Ucap Bibi Parwati sembari melotot bengis.

"Tapi Bi, jika Haruk di usir dari sini. Haruk mau kemana Bi?" Tanya Haruk dengan wajah bersedih seperti di hinggapi mimpi buruk di siang bolong.

Bibi Parwati mencebik kan bibirnya dan menjawab sesukanya. "Mana Bibi tahu, itu bukan urusan Bibi lagi, sudah, pergi sana. Keluar dari rumah Bibi!" Perempuan hampir separuh baya itu mendorong Haruk keluar dari rumah yang terbuat dari anyaman bambu hingga terjatuh ke tanah.

Tantowi yang melihat sangat kasihan. Ia segera membantu Haruk berdiri lagi lalu melayangkan sebuah cibiran untuk membalas dan mengecam sikap kejam Bibi Parwati.

"Bi, janganlah kau jahat begitu. Kalau tidak tinggal disini dia mau kemana? Ingat ya Bi, Haruk ini yatim piatu yang sangat di cintai sang maha pemberi kehidupan. Jangan sampai Bibi dan keluarga mendapat azab karena menyia-nyiakan Haruk lalu menyesal seumur hidup."

Bibi Parwati berdecih. "Cih, siapa kamu ha berani bicara begitu pada saya?" Timpal Bibi Parwati kesal. Ia yang melihat baju Haruk masih berada di sampaian samping rumah pun segera mengambilnya dan meminta Haruk membawa serta dalam buntalan tanpa meninggalkan barang-barangnya secuil pun disana.

Bab 3 Singkong Penolong

Lama dalam perdebatan panjang antara Paman dan Bibi karena beda pemikiran. Haruk memutuskan mengalah dan pergi dari rumah. Ia sadar selama ini kehadirannya hanya akan menyulitkan Paman dan Bibi yang saat ini membutuhkan biaya untuk sepupunya itu.

Haruk juga tidak lupa berpamitan dengan sahabatnya Tantowi berharap suatu saat nanti mereka bisa di pertemukan kembali.

"Terimakasih atas kebaikanmu kawan, semoga suatu saat nanti kita bisa bertemu lagi. Aku pasti merindukanmu," ucap Sang Haruk.

"Sama-sama Haruk, berjanjilah kau akan pulang dengan segala kesuksesan untuk membuktikan pada mereka kalau kau layak di banggakan," pesan Tantowi sambil memeluk erat-erat tubuh Haruk. Rasanya perpisahan itu teramat berat untuk keduanya.

"Doakan aku," ujar Haruk lagi sebelum mengurai diri dari Tantowi. Selama ini hanya temannya itu yang mengerti bagaimana kesusahan dan kesedihan yang di laluinya.

"Pasti, jaga dirimu baik-baik."

Dengan langkah lemas, Haruk terus berjalan menyusuri desa demi desa tanpa makan apa lagi minum. Sebab Paman dan Bibi tidak memberinya pesangon sedikit pun. Sesekali mencoba memberanikan diri meminta pada warga yang menurutnya hidup berkecukupan, namun bukannya dapat makanan yang ada Ia malah di lempari kotoran hewan ataupun di pukuli pakai penyapu lidi.

"Gak ada, Gak ada, minggat sana. Enak saja minta, kau pikir gampang cari uang!" Jawab mereka.

Hingga malam menjelang, Haruk benar-benar kelaparan dan kehausan. Bahkan bingung akan tidur dimana malam ini. Apa lagi jalanan kian gelap, pemuda itu tak dapat melihat apa pun selain menerabas kan langkahnya tanpa alas kaki itu melewati pematang persawahan warga tak peduli pakaian kotor dan aroma tubuh sangat masam dan menjijikkan.

Tiba di tempat itu bola mata Haruk mulai berbinar bagaikan air jernih yang ke biru-biruan, setelah seharian berjalan Ia akhirnya menemukan sebuah Gubuk milik warga yang biasa di pergunakan untuk tempat beristirahat saat menunggu padi karena hampir matang.

"Alhamdulilah, akhirnya aku bisa tidur malam ini," gumam sang Haruk seorang diri sambil mengusap dada penuh rasa syukur.

Langkahnya kian dekat, dengan lihai bola matanya memutar ke kiri dan ke kanan mencoba memeriksa keadaan di dalam apakah ada penghuninya atau tidak.

Setelah mengetuk beberapa kali, Haruk yakin tidak ada siapa pun, lekas Ia mendorong pintu dan masuk.

Haruk mulai meraba, mencoba menemukan sesuatu untuk penerangannya di dalam kegelapan itu.Tidak peduli memegang apa saja benda di sana karena tidak dapat melihat sedikit pun sampai Ia menemukan sebuah benda seperti lampu sumbu.

Yakin itu lampu, Haruk mengembangkan senyum sesaat lalu meraba lagi berharap ada korek di sebelahnya. Benar saja, tak jauh dari tempat itu Ia menemukan korek batang yang tergeletak. Tidak terlalu banyak isinya mungkin hanya sekitar sepuluh bijian tapi sangat cukup untuk membuat lampu menyala.

Dengan satu kali gesekan, korek batang itu mengeluarkan cahaya yang lekas Ia tempelkan ke atas sumbu hingga tempat itu menjadi terang benderang.

"Pasti ada jalan," gumam sang Haruk lagi sambil menghela nafas panjang.Tapi sekali lagi perutnya terus keroncongan. Bingung harus makan apa karena tidak ada apa pun di tempat itu.

Haruk kemudian meraih lampu itu untuk mencari sesuatu di sekitaran gubuk, dan beruntung Ia melihat ada 2 biji singkong tergeletak di belakang pintu dapur.

"Pucuk di cita ulam pun tiba," seringai Haruk lagi penuh semangat. Menemukan gubuk itu seperti anugerah tak terhingga baginya. Ia berpikir pasti singkong itu sisa dari pemilik gubuk yang tidak habis di makan.

Segeralah Ia keluar untuk mengumpulkan ranting-ranting yang tergeletak di sekitaran gubuk itu. Kemudian membuat perapian di luar guna membakar singkong untuk dimaka.

Tidak menunggu lama cahaya berkobar besar, Haruk duduk bersila menunggu api itu menjadi bara sampai Ia membakar singkong tersebut lalu menikmatinya.

"Ya Rabb, ini sangat enak," ucap Sang Haruk senang.

Merasa kenyang, Ia mencari sesuatu untuk alas tidur agar dapat melepas lelah setelah seharian berjalan. Beruntung ada sarung di sampaian yang tidak terlalu buruk untuk di pakai. Haruk menjadikan buntalan yang di bawanya tadi sebagai penumpu kepala sambil menatap langit-langit dan berpikir bagaimana masa depannya itu bisa lebih baik.

Selang beberapa waktu, Haruk teringat kembali ucapan Tantowi tentang sayembara memperebutkan putri Raja. Dimana yang menang juga akan di jadikan Raja ke 7 berikutnya. Lekas Haruk kembali duduk sambil memeluk kaki dan berkata sendiri seperti orang gila.

"Sayembara memperebutkan putri? Apa aku perlu ikut? Tapikan aku tidak punya baju yang bagus buat datang kesana. Bukankah yang ikut adalah para pangeran dari antah berantah dan para anak pejabat negara. Belum lagi putri dari Raja pasti sangat cantik. Tentu sulit bagiku untuk bisa menang dan terpilih?"

Haruk kembali merebahkan diri, Ia mulai membayangkan seperti apa cantiknya putri itu sampai menikah saja harus di adakan sayembara besar-besaran.

"Tidak sabar bertemu Putri," gumam Haruk lagi senyum-senyum sendiri.

Dalam tidurnya Ia bermimpi berada dalam sebuah taman yang sangat indah. Tapi wajahnya di mimpi itu bagaikan Arjuna yang tampan dan berwibawa tidak seperti kenyataannya.

Haruk sendiri diam-diam memperhatikan seorang gadis cantik yang menari-nari menggunakan selendang berwarna jingga di temani ribuan kupu-kupu yang elok. Jika di lihat dari perawakannya dari belakang. Sang putri pasti berparas sangat cantik.

Sebisa mungkin Haruk ingin mengenali wajah putri tapi nyatanya sangat sulit. Tubuh putri di selimuti kabut yang bercahaya bagai kan kerlipan bintang yang berkedip-kedip.

Siapa bidadari itu, kenapa dia ada di tempat ini? Benarkah dia putri Karra Sandya atau putri yang turun dari langit?...

Klek!

Sibuk bertanya dalam hati tanpa mendapat balasan, Haruk tidak sengaja menginjak dahan kering hingga sang putri menoleh dan tersipu malu menyadari keberadaan.

"Pangeran, apa yang kau lakukan disana?" Tanya Sang Putri.

Haruk mengulas senyum. "Aku tengah menikmati kecantikanmu Putri tapi kenapa aku tidak bisa melihat wajahmu dengan jelas?" Tanya Sang Haruk.

"Benarkah? Sepertinya kamu harus bersabar untuk itu," jawab Sang putri.

"Mengapa demikian Putri?" Haruk berjalan menghampiri untuk melihat secara jelas.

"Tidak, berhenti disitu," cegah Sang Putri hingga Haruk terpaksa menghentikan langkahnya.

"Ada apa Putri?" Tanya Haruk lagi.

Sang putri menundukkan kepala sedikit seperti sedang bersedih namun Ia kemudian tersenyum lagi.

"Jika sudah saatnya kamu akan bisa melihatku Haruk? Tapi kamu harus mampu menguasai dirimu dan berjuang dengan banyak rintangan?" jawab Sang putri.

"Apa? Tapi kenapa begitu?" Haruk masih bingung.

"Kamu akan tahu apa bila tiba saatnya. Kalau begitu aku pergi." Sang Putri melambaikan tangan dan menghilang dari hadapan Haruk.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!