Bab 2 Diusir

Lama menjawab dengan penuh keraguan dan sikap kehati-hatian. Tawa Tantowi menggelegar hingga memekakkan telinga Haruk yang mendengarnya.

"Is, Tantowi pelan kan suaramu," dengkus Haruk.

"Hahaha... biarkan saja. Tapi kamu jangan berprasangka negatif begitu dong Kawan, aku akan membantumu jika kamu bersedia mengikuti sayembara itu nanti," ucap Tantowi di sisa gelak tawanya.

Haruk yang merasa itu lucu balas terpingkal-pingkal. Ia menggelengkan kepalanya penuh keheranan pada teman seperjuangannya yang sangat istimewa itu.

"Ah, sudahlah lebih baik aku menggulai ikan Mas ini dulu sebentar ya. Pasti Paman dan Bibi kelaparan sepulang nanti," ucap sang Haruk cekatan.

Ia membereskan bekas kotoran ikan dan melemparnya ketempat sampah. Kemudian menenteng ember menuju sungai kecil yang tak jauh dari rumahnya itu di ikuti Tantowi yang dengan setia menemani.

"Ayolah Haruk pikirkan masa depanmu itu? Jangan mau lah di jadikan macam babu terus menerus. Kau itu pria bukan wanita. Sudah seharusnya kau bertualang mencari jati diri di luaran sana. Bukan malah seperti perempuan yang diam terus di rumah cuci baju, cuci piring, masak, apa lagi gulai," bujuk Tantowi lagi sebisa mungkin mengetuk hati Haruk.

Haruk tidak menjawab, Ia hanya menoleh dan tersenyum pada Tantowi. Karena Ia yakin itu mustahil bagi seorang gembel sepertinya untuk turut andil urusan Raja.

Keduanya menapaki undakan tanah liat yang sengaja di pergunakan warga untuk akses turun ke sungai. Rata-rata penduduk setempat akan mengalami kekeringan sumur

pada musim kemarau dan beberapa minggu terakhir keadaan tersebut sudah terjadi.

Sejak kecil Haruk memiliki cita-cita akan membuat wadah penampung hujan atau memperbanyak aliran anak sungai jika Ia bisa sukses di masa mendatang. Namun seperti nya mimpi-mimpi itu harus Ia kubur dalam-dalam karena sampai saat ini Haruk belum memiliki apa pun,sedang untuk makan saja harus rela membuat nasi dari Singkong yang di cacah atau jagung yang di tumbuk.

"Woy Haruk...!" Teriak pemuda dari sebrang membuyarkan pikiran Haruk. Nampaknya pemuda itu sedang melangai bubu yang Ia pasang semalam.

"Eh Bang Jiwo, lagi apa Bang?" Sapa Haruk balik dengan penuh rasa hormat dan sopan santun.

Orang itu malah tersenyum meremehkan. "Apa kau itu buta. Lihatlah bubuku banyak ikannya," jawab Pak Jiwo sembari memperlihatkan isi ember yang di penuhi macam-macam jenis ikan.

"Wah makan besar dong Bang?" Seringai Haruk sambil garuk-garuk kepala, bisa jadi rambut ikal itu banyak kutunya.

"Iya dong, masak kayak kamu. Cuma makan sambel terasi setiap hari. Apa gak bosan ha, kasihan hahaha....?"

Haruk hanya membalas dengan menyunggingkan senyum tapi tidak dengan Tantowi yang tahu Pria tua itu tengah meledeknya.

"Dasar munafik, pura-pura nanya cuma untuk ngehina. Kenapa kau diam saja Haruk bicaranya itu sangat kasar padamu?" Protes Tantowi.

"Tak apa Tan, tidak usah ambil hati. Kalau dikit-dikit sakit hati yang ada kita gila lah nanti," ucap Haruk berlapang dada.

Karena ingin cepat selesai, Tantowi segera membantu pekerjaan Haruk mencuci ikan-ikan tersebut sampai bersih

Cukup menakan beberapa waktu mereka menyudahinya karena Haruk harus berlanjut mencari ranting-ranting di sekitaran rumah untuk membuat api lalu menumbuk beberapa rempah-rempah sebagai bumbu gulai.

Masa seperti sekarang ini, hanya minyak kelapa buatan yang di pakai untuk memenuhi kebutuhan orang-orang di kampung karena tak ada satu rupiah pun uang kala musim paceklek datang.

Namum belum juga hasil masakan itu turun dari tungku, Paman dan Bibi Haruk sudah pulang dengan tatapan seram. Sepertinya mereka marah karena Haruk belum selesai menyediakan makanan untuk santap siang mereka dan itu sudah sering terjadi meski bolak-balik diingatkan.

"Woy anak bandel, dasar anak tidak berguna kau. Apa saja kerjamu sudah tengah hari nong-nong belum juga selesai?" Geram Bibi Parwati. Ia berpindah mengecek nasi di tunggu sebelah dan ternyata juga masih sangat keras.

"Haduh, Haruk kapan kau menanak nasi kenapa belum matang ha? Kau itu hanya hidup numpang disini. Maka buatlah dirimu itu berguna sedikit, jangan taunya menyusahkan saja," Culas Bibi Parwati.

"Maaf Bi, tadi saya pulang kesiangan dari mencari ikan di sungai," jawab Haruk sembari menundukkan kepala tak berani melihat wajah Bibi Parwati.

Mendengar ada jawaban yang keluar dari mulut Haruk Bibi Parwati pun menoleh ke arah Tantowi dengan tatapan sinis. Ia tahu betul pasti temannya itu sudah mengajak ngobrol Haruk sampai lupa waktu.

"Apa lihat-lihat? Setiap hari kesini ngajakin Haruk main. Kau tidak punya kawan lain ya? Bosan aku lihat wajah kau tiap hari," dengkus Bibi Parwati.

"Ya sudahlah Bu, tunggu sebentar lagi. Kan Haruk tengah memasaknya," timpal Paman Kilang.

Bi Parwati rupanya tak bisa di ajak bicara lembut. Ia masuk dan memunguti baju Haruk yang di bungkus kedalam sarung lalu melemparkannya pada wajah Haruk dengan kasar dan tanpa welas asih.

"Pergi kau, aku tidak sudi lama-lama melihat kau di rumahku!" Geram Bibi Parwati.

"Apa maksudnya Bu?" Paman Kilang teekejut.

"Sudahlah Pak, tidak usah membela anak penyungkan ini lagi, Sudah saatnya Haruk pergi dari rumah kita agar tidak mengurangi jatah makan kita untuk Bagus yang masih kecil dan perlu banyak biaya. Biar dia mencari jalan hidupnya di luaran sana mulai sekarang supaya terbuka matanya itu bagaimana susahnya cari uang!" Ucap Bibi Parwati sembari melotot bengis.

"Tapi Bi, jika Haruk di usir dari sini. Haruk mau kemana Bi?" Tanya Haruk dengan wajah bersedih seperti di hinggapi mimpi buruk di siang bolong.

Bibi Parwati mencebik kan bibirnya dan menjawab sesukanya. "Mana Bibi tahu, itu bukan urusan Bibi lagi, sudah, pergi sana. Keluar dari rumah Bibi!" Perempuan hampir separuh baya itu mendorong Haruk keluar dari rumah yang terbuat dari anyaman bambu hingga terjatuh ke tanah.

Tantowi yang melihat sangat kasihan. Ia segera membantu Haruk berdiri lagi lalu melayangkan sebuah cibiran untuk membalas dan mengecam sikap kejam Bibi Parwati.

"Bi, janganlah kau jahat begitu. Kalau tidak tinggal disini dia mau kemana? Ingat ya Bi, Haruk ini yatim piatu yang sangat di cintai sang maha pemberi kehidupan. Jangan sampai Bibi dan keluarga mendapat azab karena menyia-nyiakan Haruk lalu menyesal seumur hidup."

Bibi Parwati berdecih. "Cih, siapa kamu ha berani bicara begitu pada saya?" Timpal Bibi Parwati kesal. Ia yang melihat baju Haruk masih berada di sampaian samping rumah pun segera mengambilnya dan meminta Haruk membawa serta dalam buntalan tanpa meninggalkan barang-barangnya secuil pun disana.

Terpopuler

Comments

gio.𝗗.hiatus

gio.𝗗.hiatus

semakin lama semakin menarik guys

2023-01-23

0

🍾⃝ͩɛᷞѵͧѵᷠ𝛄ͣHIAT✰͜͡w⃠N⃟ʲᵃᵃ࿐💋

🍾⃝ͩɛᷞѵͧѵᷠ𝛄ͣHIAT✰͜͡w⃠N⃟ʲᵃᵃ࿐💋

Bibi Parwati, tu mulut bisa diam gak sihh, gemes deh aku pengen tak sambel tu bibir pake cabe setan... 😂😂

2022-10-24

0

🦋⃟ℛ siti nurdiah🦋ᴬ∙ᴴ࿐🌍ɢ⃟꙰Ⓜ️

🦋⃟ℛ siti nurdiah🦋ᴬ∙ᴴ࿐🌍ɢ⃟꙰Ⓜ️

boleh kaga sih itu mulut nya bibi Parwati dijahit punya mulut gak ada lembut" nya bisanya bikin sakit hati haruk aja, Emang kaga kasihan apa sama keponakannya sendiri yg udh yatim-piatu gak punya orang tua....
semoga paman dan bibi haruk dapet karma yg menyakitkan karna udh nelantarin anak yatim-piatu

2022-10-11

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!