Pria Dingin Dan Nona Batu
Orang mati?
Emilia Nugraha memiringkan wajah penasaran ketika ia baru saja kembali dari tempatnya bekerja sebagai buruh cuci, tiba-tiba malah menemukan seseorang tergeletak di semak-semak belukar.
Suasana jalan sepi. Kebetulan, tempat ini memang belum mencapai pemukiman penduduk hingga yang ada di sepanjang jalan cuma pohon pinus.
Posisi orang yang tergeletak dibalik semak juga menyulitkan orang lewat melihat, dan Emilia sadar karena kepekaannya kebetulan cukup terasah.
Apa semalam ada anak muda yang mabuk-mabukan dan bertengkar? Kenapa meninggalkan mayat di sini?
Emilia mau tidak acuh, tapi pakaian orang itu menarik perhatiannya.
Tidak. Dia bukan orang desa. Pakaiannya terlihat baru dan tidak lusuh. Kecuali karena kusut dan bekas darah, sebenarnya dia terlihat terlalu rapi.
Bergegas Emilia berjongkok. Menyentuh kulit tangannya untuk sadar bahwa dia hangat.
Masih hidup.
Emilia mengecek bagian yang berdarah di kemejanya, ditemukan lubang kecil berukuran sepeti kerikil mungil.
Tembakan. Di desa yang orang-orangnya masih mencuci di sungai seperti ini, penduduk kebanyakan cuma saling bacok-bacokan dengan parang atau celurit.
Pistol bukan barang wajar di sini.
Kewaspadaan Emilia meningkat. Ditarik wajah pria itu untuk mengeceknya, perlu memicing karena kebetulan Emilia tidak memakai kacamata.
Tampan.
Emilia tidak tahu harus mengatakan apa di situasi ini tapi serius dia punya wajah tampan yang tidak biasa. Meski ada beberapa orang tampan di desa, Emilia baru pertama kali menemukan pria setampan dia.
Mencurigakan.
Haruskah Emilia membunuhnya? Mungkin jika dibiarkan dia juga akan mati, tapi ada kemungkinan dia selamat.
Tidak ada kebetulan yang benar-benar murni kebetulan.
Pria asing berwajah tampan dengan pakaian bersih datang ke desa persembunyian Emilia.
Apa yang intel lakukan?
Emilia memiliki beberapa pertanyaan di kepalanya, namun memutuskan untuk bersabar.
Pertama-tama, dirogoh seluruh sudut saku pakaian pria itu untuk memastikan apakah ada identitas atau tidak. Emilia mengeluarkan sebuah dompet, mencopot jam tangannya, berserta anting di sebelah kanan sampai sapu tangan.
Dicek satu per satu benda itu untuk memastikan adakah kamera mini yang disembunyikan atau mungkin senjata tajam yang halus dan lain sebagainya.
Bersih.
Tapi ....
"Samuel Ahkam."
Emilia menatap dingin nama yang tertera di belakang nama depannya itu.
Ahkam.
Jadi dia Ahkam?
Nama yang cukup lama tidak terdengar.
Tentu saja Emilia jadi ingat pada sesuatu yang menyebalkan.
Dua puluh tahun yang lalu, ketika Emilia sudah berada di desa ini di usianya menjelang satu tahun, kedua orang tua Emilia mati tenggelam akibat kapal yang karam.
Dan kapal karam itu secara kebetulan adalah milik Argantana Ahkam, yang beberapa waktu sebelumnya mengajukan permintaan pernikahan dengan adik ayahnya Emilia namun ditolak.
Itu adalah cerita singkatnya.
Cerita panjangnya, di masa kehamilan ibunya Emilia, Sasmita Nugraha, Wahyuni Nugraha dan Argantana Ahkam memiliki hubungan rumit yang tidak dapat disatukan. Mereka saling mencintai, tapi disamping cintanya pada Wahyuni, Argantana Ahkam berambisi memiliki Nugraha lewat pernikahan itu.
Erwin Nugraha, ayahnya Emilia yang sadar akan niat Argantana menolaknya dan memutus hubungan mereka berdua.
Lalu Emilia dibawa ke tempat ini, hidup di sini, sementara orang tuanya terbunuh meski Wahyuni dan Argantana Ahkam tidak lagi saling mencintai.
Di mata Emilia, cerita semacam itu hanya kedok. Orang-orang seperti mereka bisa saling membunuh untuk sesuatu seperti kekuasaan dan harta.
"Nona."
Emilia meletakkan telunjuk di depan bibir ketika Darto, bayangannya datang.
Baru saja Emilia menyalakan laser merah dari senter mini yang ia bawa setiap kali keluar di malam hari. Jika butuh bantuan darurat, Emilia hanya perlu menyalakannya untuk mereka datang.
"Dia Ahkam. Samuel Ahkam. Siapa dia?"
Maksud Emilia, apa posisi dia di keluarga Ahkam.
"Dia anak haram dari Suryatana Ahkam, Nona. Sekaligus putra bungsunya yang beberapa waktu lalu terlibat hubungan dingin dengan Argantana Ahkam."
Biasanya perselisihan antar saudara terutama di keluarga yang memiliki sistem pewaris harta adalah perebutan hak suksesi.
Namun kalau dia anak bungsu alias anak paling muda, maka berarti dia orang paling akhir yang harus diwaspadai.
"Bagaimana dia berada di sini?"
"Orang suruhan Tuan Muda yang membawanya."
Untuk pertama kali ekspresi Emilia sedikit berubah.
Tuan Muda adalah sebutan Darto pada Mahesa Mahardika, konglomerat muda yang selama ini merawat Emilia diam-diam di desa ini sekaligus melindunginya dari kemungkinan diketahui oleh seseorang.
Jadi bukan kebetulan. Dan kalau Senior Mahesa yang mengirimnya maka ... ada sesuatu yang harus Emilia lakukan.
Emilia membuka kemeja Samuel. Menemukan bekas luka tembaknya telah dilapisi oleh kain penahan yang berarti dia tidak tertembak di sini, namun dia dibuang ke sini.
"Bawa dia."
*
Kondisinya tidak vatal. Selain beberapa lubang di tubuhnya akibat tembakan, dia terlihat baik-baik saja dan sehat.
Emilia membantu Mutia, pelayan pribadinya, dalam penanganan luka itu.
Meski bisa menyuruh Mutia saja yang merawat, kalau benar dia dibuang oleh Mahesa ke tempat ini, berarti setidaknya Emilia harus memastikan dia baik-baik saja sampai muncul alasan Emilia membunuhnya.
"Napasnya masih teratur." Emilia mengamati pria itu lekat-lekat. "Mutia, pergilah dan menjauh. Mulai sekarang aku hanya gadis sebatang kara yang tinggal sendiri."
"Baik, Nona."
Nampaknya sebentar lagi dia bisa sadar.
Pada waktu singkat itu, Emilia menggunting keseluruhan pakaian pria itu agar lepas. Dibuang begitu saja bajunya, lalu menatap tubuh kekar berkulit putih kemerahan itu.
Proporsi ototnya menunjukkan dia bukan cuma rajin berlatih, namun terbiasa melakukan pekerjaan berat.
Emilia tidak bisa tidak curiga, bahkan kalau Mahesa yang mengirim dia. Bisa saja dia dikirim untuk dihabisi.
Sesuai kecurigaan Emilia, hanya butuh waktu beberapa saat, dia membuka mata.
Emilia sedang mencelupkan tangan ke baskom untuk membasuh bekas darah dari tubuh pria itu. Saat erangan samar terdengar, Emilia berpaling.
"Siapa?" Pria itu lebih dulu bertanya, dengan suara lemah bergetar.
Pasti sakit. Tentu saja. Emilia menjahit lukanya tanpa memberi obat bius.
Ia punya stok obat. Hanya pria ini tidak memberi alasan kenapa dia harus diperlakukan baik-baik.
"Kamu baik-baik saja?" Emilia mengelap tangannya yang masih berbau tengik darah. "Namaku Ema. Aku menemukanmu tergeletak di jalan dan membawamu pulang."
"...."
"Siapa namamu?"
Pria itu menatapnya sebelum menutup mata kesakitan. "Sam."
"Boleh aku tahu kenapa kamu terluka?"
"...."
Emilia beranjak. Mengambil baskom yang airnya telah berubah warna akibat darah.
"Aku mengerti. Beristirahatlah dulu. Aku tidak punya stok obat yang cukup, jadi aku hanya mengobatimu apa adanya."
Mata itu menunjukkan dia tidak mengenal Emilia. Dan karena dia kesakitan akibat pemberian obat tanpa anestesi, maka setidaknya dia tidak akan bisa bergerak.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments