"Nona."
Emilia sedang menulis abstrak di buku catatannya ketika Darto muncul di jendela kamar, pukul setengah dua malam. Pria tiga puluh lima tahun itu berucap dengan suara tenang yang menyatu dengan keheningan malam.
"Tuan Muda meninggalkan pesan untuk Anda. Beliau membutuhkan bantuan Nona untuk menarik keberpihakan Samuel Ahkam."
"Apa yang spesial dari pria itu?"
"Samuel Ahkam adakah pendiri organisasi Oto, Nona."
Untuk sedetik saja, Emilia terkejut.
Oto. Organisasi dunia bawah yang tidak terkenal dipermukaan namun diwaspadai, termasuk oleh Emilia sendiri.
"Kenapa Senior tidak bernegosiasi secara langsung dengan Samuel Ahkam?"
"Sepertinya penawaran yang Tuan Muda berikan tidak menggelitik keinginan Samuel Ahkam patuh padanya. Namun sebagian besar anggota Oto adalah pemberian Tuan Muda. Saya rasa, Tuan Muda memang sudah merencanakan ini dari awal."
Senior memang begitu.
Di awal membebaskan, membiarkan sesuatu itu tumbuh secara alami, lalu jika perkembangannya menguntungkan, baru Senior akan mengajak bekerja sama.
"Apa aku harus membunuhnya untuk memberikan Oto pada Senior?"
"Saya rasa Tuan Muda menginginkan Samuel Ahkam secara pribadi, Nona."
Senior bertingkah seenaknya lagi.
Namun Emilia tidak bisa menolak sebab apa pun yang Senior Mahesa inginkan, sudah menjadi keharusan bagi Emilia memberinya.
Tapi kenapa Senior mendorong Emilia?
Dia bukan tipe yang akan berkata 'hanya kamu yang bisa diandalkan' karena Mahesa Mahardika punya segalanya, pion demi pion yang bisa dia andalkan dalam situasi tertentu.
Dia seperti menyuruhku meninggalkan desa sekarang. Emilia menatap coretan-coretan tangannya di atas kertas dan menghela napas.
Apa ini yang disebut 'takdir'?
Bahkan ketika Emilia tidak peduli siapa yang membunuh Ayah juga Ibu, tiba-tiba saja Ahkam muncul dan memaksanya untuk ikut campur.
Jika benar itu takdir, bisakah Emilia menulis takdirnya sendiri?
*
"Kalau kamu tidak percaya padaku, coba cari namaku di internet."
"Tidak punya."
Miskin sekali. Bukankah setidaknya dia harus membeli ponsel di zaman serba teknologi ini? Apa yang akan dia tahu jika dia bahkan tidak punya smartphone?
"Ema, ikutlah denganku. Aku tahu mungkin sulit untuk percaya. Memang bisa saja aku menipumu untuk melakukan hal buruk. Tapi, kalau bisa sedikit saja, izinkan aku membalas kebaikanmu. Tolong."
Dia diam. Sangat lama diam dan menghabiskan makanannya.
"Atau kamu hanya ingin uang sebagai balasan dari kebaikanmu?"
"Aku bukan pengemis."
"Aku tahu, Ema. Aku bertanya karena kamu tidak menjawab pertanyaan utamaku."
Apa dia waspada karena Samuel terlalu mendesak?
"Atau begini saja." Samuel menatap wajahnya yang fokus mencuci tangan. "Aku akan pergi dan kembali membawa identitas agar kamu percaya."
Gadis itu, untuk pertama kali, menatap Samuel balik. "Lakukan sesukamu."
*
"Bos."
Samuel menatap pemandangan desa dari puncak gunung tempat ia menunggu Ryo, anak buahnya datang.
Dari kejauhan ini memang tidak terlalu kentara pemukiman mereka, dan Samuel tidak bisa melihat kediaman Ema yang terpencil.
"Siapa yang membawaku kemari?"
"Kami baru menduga bahwa itu perbuatan Mahesa. Riu pergi menemuinya untuk menanyakan alasan tindakan itu, dan Mahesa hanya berkata dalam situasi terdesak, menyembunyikan Anda memang pilihan terbaik."
Berhutang nyawa pada Mahesa sama seperti berhutang nyawa pada iblis. Jiwa kalian ujung-ujungnya akan diambil.
Tapi orang itu biasanya tidak bertindak tanpa alasan jelas.
Apa ada yang spesial dari desa ini?
"Cari tahu sesuatu tentang gadis bernama Ema. Segalanya."
Samuel tidak bisa merasa bahwa itu hanya kebetulan jika melibatkan Mahesa. Tapi ia pun sulit menerka sebenarnya apa yang istimewa dari gadis buruh cuci yang menjahit luka orang secara kasar tanpa anestesi.
Hingga siang berganti malam dan mencapai pagi kedua Samuel menunggu, Ryo kembali dengan sejumlah informasi.
"Dia anak yatim sejak berusia lima tahun. Diasuh oleh wanita janda muda yang nampaknya memang dekat dengan gadis itu. Tidak ada informasi khusus."
"Apa ada seseorang yang pernah mengajari dia mengobati seseorang?"
"Tidak ada, Bos. Tidak ada interaksi lebih dengan warga sekitaran. Nona yang Anda maksud hanya buruh cuci biasa."
Samuel bangkit sambil meringis memegangi lukanya. "Tetap cari tahu dan ulik lagi. Terutama niat Mahesa."
"Riokai." [Laksanakan.]
"Bagaimana dengan Ahkam?"
"Mereka tahu Anda masih hidup. Argantana Ahkam tidak mengirim seseorang lagi. Sepertinya dia akan berpura-pura tidak melakukan apa pun."
Memang selalu begitu. Argantana memburunya, lalu Samuel bertahan, dan mereka berpura-pura tidak saling bertarung darah.
Kali ini hanya kebetulan Samuel terluka parah.
"Siapkan kendaraan untuk kembali. Mana handphone yang kuminta?"
Ryo menyerahkan handphone baru pada Samuel, memang khusus untuk dirinya bawa kembali pada Ema.
Sekarang ia cuma perlu membuktikan bahwa ia bukan penipu, lalu kembali bersama Ema.
*
Dia kembali lebih cepat dari dugaan Emilia.
Masih dengan pakaian yang sama dia gunakan pergi, Samuel datang hanya untuk membawa ponsel pada Emilia.
"Untuk sekarang, hanya ini bukti yang kuberikan. Dompetku hilang."
Emilia memang membakarnya jadi tentu saja hilang.
Ditatap layar ponsel di tangan Samuel yang menampilkan berbagai foto dari internet.
Itu cukup jadi bukti bahwa dia memang bukan penipu—walau Emilia tidak pernah menganggap dia penipu.
"Ikut denganku, Ema."
Sekarang Emilia sudah bisa berkata, "Baiklah."
"Kita berangkat—"
"Sekarang." Emilia beranjak. "Akan kubereskan barangku jadi ayo pergi sekarang."
".... Kamu tidak ingin pamit pada seseorang?"
Seseorang? Siapa?
Emilia tidak meninggalkan urusan apa pun di sini. Ia akan pergi ke kota, melakukan apa yang bisa ia lakukan untuk Mahesa, lalu pergi mencari desa baru untuk tinggal lagi karena Emilia lebih suka hidup tenang.
Desa ini tidak punya arti khusus.
Emilia mengunci pintu kamarnya.
Hal pertama yang ia lakukan adalah mengambil kotak jarum, menyembunyikan satu per satu jarum beracun itu di kulit dan pakaiannya.
Baru setelah itu Emilia mengambil tas, menyambar sejumlah pakaian sederhana, lalu menutup lemari.
Terakhir ia mengambil kacamata lalu buku catatannya.
"Ayo."
"Bagaimana dengan wanita yang merawatmu?"
"Aku meninggalkan pesan di sini." Emilia sengaja menulis surat seolah ia memang pamitan. "Aku tidak suka melihat orang menangis. Dia pasti akan memelukku lama dan berkata macam-macam. Jadi tidak perlu."
Samuel menghela napas. "Hatimu batu sekali."
"...."
"Itu bukan hinaan. Jangan tersinggung."
"Aku tidak tersinggung." Emilia malah merasa dipuji. "Lalu, kamu masih akan duduk atau aku harus tidur menunggumu siap?"
Dia tersenyum. "Kamu bersemangat sekali pergi ke kota."
Bukan.
Emilia hanya tidak suka membuang-buang waktu untuk hal tidak berguna.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Benar2 Efik Amelia menyembunyi kan adintitasnya..👍👍
2025-01-26
0
Qaisaa Nazarudin
Ternyata Sam bos MAFIA ya..
2025-01-26
0