Sebenarnya di desa ini Emilia sudah sangat aman. Selama dua puluh satu tahun ia hidup di sini, tidak pernah sekalipun seseorang tahu mengenai identitas Emilia atau mencurigainya.
Orang-orang di desa hanya mengenalnya sebagai anak yatim terbuang. Dan karena Emilia nyaris tidak pernah keluar kecuali ada kebutuhan, maka keberadaannya tipis di benak setiap orang.
Orang-orang di desa tidak tahu-menahu tentang dari mana asal makanan Emilia hingga mau tak mau ia harus terlihat punya pekerjaan, sekalipun itu hanya buruh cuci.
Pukul sembilan ini Emilia akan berangkat ke sungai di mana pekerjaannya menunggu.
Tapi ia tak menyangka kalau Samuel akan berkata, "Apa baik-baik saja kamu meninggalkan orang asing dengan rumahmu?"
Emilia tidak suka pertanyaan itu. Dia terkesan sedang menguji.
"Tidak ada harta di rumahku." Lubang tikus di rumah ini pun tidak menyimpan rahasia Emilia.
Bagi Emilia, rahasia adalah sesuatu yang tidak berbentuk. Jika itu berbentuk, itu bukan rahasia, melainkan data yang belum diketahui dan akan diketahui cepat atau lambat.
"Tetap saja tidak nyaman berada di rumahmu sementara kamu pergi." Pria itu agak memaksakan diri berjalan. "Aku akan ikut. Setidaknya mencari tahu sekitaran."
Emilia tidak peduli.
Bergegas ia berjalan, meski sedikit tidak nyaman karena mata Samuel Ahkam mengamatinya.
Sementara dia tenggelam dalam pikiranya, Emilia tiba di sungai tempat ia biasa mencuci.
Ada beberapa wanita dan anak-anak di sana, berkumpul untuk mandi dan mencuci juga. Mereka adalah orang-orang yang memilih tidak mengandalkan jasa orang lain, menghemat biaya juga karena pakaian mereka sedikit.
"Aku akan bersembunyi di sini."
Emilia hanya berlalu tanpa menjawab.
Tidak usah diurus juga dia sudah besar, kan? Terserah dia mau sembunyi di mana, karena orang yang mandi di sungai juga tidak telanjang kecuali anak kecil.
Kedatangan Emilia sempat membuat beberapa ibu-ibu berpaling. Mereka menanyainya pertanyaan basa-basi, yang Emilia jawab seadanya.
Diambil beberapa keranjang pakaian yang memang sudah diletakkan khusus untuk Emilia, milik beberapa orang.
Tanpa sedikitpun membuka suara, Emilia mulai mencuci demi menipu seluruh dunia tentang dirinya.
*
"Sudah dengar tidak? Katanya anak Pak Harto melamar Harsa."
"Duh, enaknya Bu Laras. Sudah anaknya jadi perawat, sekarang dilamar pula sama orang kaya."
Emilia tidak bermaksud peduli dengan celotehan ibu-ibu di sekitarnya. Ia pun tahu bahwa mereka melirik Emilia, yang bahkan sejak remaja sudah disuruh menikah oleh mereka karena tidak sekolah, tidak punya orang tua, sepanjang hari cuma mencuci pakaian di tepi sungai nysris sampai sore.
Wajar saja mereka berpikir anak gadis memang lebih baik cepat menikah, karena di otak ibu-ibu itu tidak ada gunanya wanita hidup kecuali menikah dan punya anak.
Tapi Emilia jadi ingat. Anaknya Bu Laras, alias Harsa, adalah teman kecil Emilia yang sekarang telah berkembang menjadi musuh.
Dia adalah salah satu kembang desa paling terkenal di tempat ini yang katanya pintar, anggun, dan menantu idaman. Banyak yang suka pada Harsa lalu sekarang dia dilamar anak pengusaha besar di desa.
Pola tempat ini selalu sama.
Besar, sekolah, menikah.
Hal yang tidak akan pernah Emilia pahami.
"Kamu sudah dengar? Aku akan menikah."
Gadis yang dikabarkan adalah perawat muda anggun datang siang-siang ketika sungai telah sepi cuma untuk pamer.
Emilia tidak merasa harus memedulikannya. Fokus membilas karena ia harus mengeringkan sebelum kembali mencuci pakaian di keranjang selanjutnya.
"Aku kasihan padamu. Sudah kesepian, tidak ada pria yang melamarmu pula. Di antara teman kita, cuma kamu yang belum punya pasangan. Jangankan dilamar. Pacar saja tidak punya."
Tangan Emilia masih sibuk mencuci.
Meski ia tahu sorot mata Harsa mulai berang.
"Karena itulah kamu kesepian! Lakukan saja itu terus! Abaikan orang-orang dan bersikap seakan dunia milikmu saja! Dasar perawan tidak laku!"
Emilia mengangkat keranjang untuk pergi menjemurnya ketika Harsa menarik tangan Emilia, kesal diabaikan.
Dia sengaja menarik kasar, sengaja membiarkan cucian itu jatuh ke rumput dan mendorong Emilia ke sungai.
"Aku sangat membencimu! Sangat!" Harsa menunjuknya penuh emosi. "Aku tidak akan menemuimu lagi setelah ini jadi akan kukatakan baik-baik! Semua orang berpikir kamu gila dan karena itu sampai matipun tidak ada pria yang mau denganmu, kecuali pria tua mesum beruban! Itu nasibmu! Itu takdirmu!"
Wajah Emilia tidak berekspresi sama sekali.
Kenapa?
Karena ... memang siapa yang mau mendengar hantu?
Atau siapa manusia yang bisa mendengar batu berteriak?
"Emil, tanamkan prinsip ini dalam jiwamu." Itu yang Mahesa katakan berulang-ulang ketika dulu Emilia masih kecil. "Semua orang—"
—hanya alat. Emilia bangkit tanpa memedulikan pakaiannya basah kuyup.
Jangan menghargai. Jangan minta dihargai.
Jangan lihat seseorang yang tidak memiliki harga. Jangan berbelas kasih.
Jangan berekspresi. Jangan memberi respons emosi ataupun reaksi.
Karena pemenang sesungguhnya ... adalah yang bertahan dalam tahtanya.
"Raja cuma ada dua," kata Mahesa lagi. "Raja yang baik, raja yang kejam. Kamu ingin menjadi yang mana?"
"Apa perbedaannya, Senior?"
"Raja yang baik menguasai segalanya lewat kebaikan. Mendengar segalanya, memberi setulusnya. Sedangkan raja yang kejam—"
—adalah mereka yang abai terhadap rintihan, menginjak siapa pun yang mendekat, dan hanya melihat siapa yang benar-benar bermanfaat untuk dilihat.
Gadis ini, sejak dulu sekali, tidak terpilih menginjakkan kaki di dunia Emilia.
*
Kenapa dia diam saja diperlakukan seperti itu?
Samuel bukannya pria yang gampang kasihan atau merasa harus menolong siapa pun. Namun karena Ema sudah membantunya, tentu saja Samuel mau tidak mau memerhatikan dia.
Aneh sekali.
Samuel hanya diam menunggu sampai gadis itu pergi. Sejenak ia berpikir harus apa meski kemudian Samuel mendekat.
Cucian itu .... "Rumputnya bersih. Langsung saja jemur."
Mata Ema rabun. Samuel menyadarinya ketika samar-samar dia terlihat juling.
Dia juga memakai kacamata kemarin, saat mengobati Samuel. Lensanya tebal. Mungkin di minus empat atau lima.
Ema tetap kembali membilas pakaian itu satu per satu.
"Boleh aku bertanya padamu?"
".... Apa?"
"Apa setiap hari hanya ini yang kamu lakukan?"
Ema diam. Membuat Samuel berpikir dia tersinggung.
"Maksudku, kamu terlihat muda dan kuat. Juga cerdas. Mengapa tidak melakukan pekerjaan yang lebih memberi keuntungan?"
Agak ikut campur, tapi Samuel baik-baik saja sekalipun dia tidak mau menjawab.
"Aku tidak sekolah," jawab dia tenang. Seolah tidak sedih atau merasa terkucilkan sendiri.
"Kenapa? Kupikir sekolah gratis untuk beberapa kalangan."
"Waktuku akan habis untuk belajar hal tidak berguna."
Hal tidak berguna, yah?
"Lalu bagaimana jika aku menawarkan pekerjaan padamu?"
"Tidak perlu."
"Kamu menyelamatkanku. Aku tidak bisa membiarkan orang yang memegang hutang budiku berdiam di desa ini dan terkucilkan."
Ema bahkan tidak menoleh. "Lakukan sesuka dan pergilah jika sudah sehat."
"Akan kuanggap kamu memikirkannya."
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Jangan terlalu sombong hanya karena di lamar satu lelaki,Maaf ya zaman aku remaja sampai ke mau nikah udah 3 orang yg melamar ku,1 nyandi jodohin,Tapi semua ku tolak, Akhirnya aku menikah dgn pacar pilihan ku sendiri,hidup bahagia sampai sekarang dan punya 4 anak..Baru di lamar 1 orang AJA bangga,Di selingkuhin,Tau rasa kamu..😏😏🙄🙄
2025-01-26
0
Qaisaa Nazarudin
Makin bikin aku penasaran aja nih si outhornya,Siapa si Emilia sebenarnya,Intel kah?
2025-01-26
0