Dalam hidup Emilia, tidak pernah ada satu kali pun ia naik kendaraan, bahkan jika itu hanya motor.
Karena itu Emilia agak tidak menduga bahwa ia akan mabuk kendaraan.
Langit sudah sangat gelap sekarang hingga kondisi jalanan desa memang sudah sepi, tapi bagaimana ia merasa sakit akibat mobil yang bergerak-gerak di kegelapan ternyata sangat menjengkelkan.
Hampir-hampir Emilia muntah jika tak berhasil menahan diri. Walau perasaannya tetap buruk ketika mereka akhirnya keluar dari jalanan berlubang setelah berjam-jam perjalanan, memasuki jalan yang lebih manusiawi.
"Aku tidak tahu kamu mabuk kendaraan."
Emilia melirik saat Samuel ternyata menyadarinya.
"Maaf, Ema. Aku tidak punya obat. Kamu ingin kita berhenti dulu?"
"Aku baik-baik saja."
Tidak boleh bagi Emilia terlihat terlalu lemah. Ini hanya gejala mabuk kendaraan. Makin cepat sampai, makin cepat berakhir.
*
Ternyata memang benar dia punya sifat sok kuat.
Mungkin sulit bagi dia jujur karena Samuel orang asing dan dia terbiasa hidup dalam kesendirian.
Beberapa waktu, Samuel membiarkan saja Ema berjuang. Namun saat sadar dia benar-benar sudah tidak nyaman, Samuel berhenti, mampir ke sebuah toko di pinggir jalan untuk mencari minyak kayu putih.
Dia tampak waspada saat Samuel kembali.
"Mabuk kendaraan bukan kelemahan, Ema. Setiap orang punya satu dua yang mereka tidak senangi." Samuel mengulurkan minyak kayu putih bersegel ke tangannya. "Aku juga membeli permen. Itu akan mengurangi mualmu."
Dia diam saja.
Beberapa waktu tidak bergerak meski kemudian membuka minyak kayu putih itu dan memenuhi tangannya.
Ema benar-benar gadis yang tidak banyak bicara. Mulutnya terkunci rapat tidak peduli berapa lama mereka berkendara.
Pasif sekali.
Gadis itu juga tidak tidur. Sedikitpun tidak memejamkan mata. Karena tidak mau dia terlalu lama menyiksa diri, Samuel putuskan berkendara lebih cepat.
Mempersingkat waktu yang seharusnya memakan tiga jam jadi satu setengah jam untuk tiba di kota.
"Aku lupa memberitahumu." Samuel menoleh. "Kamu akan bekerja sebagai asistenku. Ada beberapa hal penting yang akan kuberitahukan nanti, tapi untuk sekarang hanya itu dulu."
Tidak ada respons.
Bukan lagi es batu, dia memang batu.
*
Emilia sejujurnya tidak bisa peduli pada arah tujuan Samuel pergi.
Ia sudah tahu kalau Samuel Ahkam tinggal di kediaman keluarga Ahkam, tempat seluruh Ahkam berkumpul dari yang termuda sampai yang tertua.
Tentu saja ada beberapa dari mereka memiliki kediaman terpisah, tapi rumah tempat Samuel tinggal adalah tempat di mana Argantana dan Suryanata tinggal.
Di sana pusatnya.
Kediaman raksasa bergaya Eropa kuno menyambut penglihatan Emilia. Dengan sengaja ia melepas kacamata, karena meski rabun parah, pendengaran Emilia akan lebih sensitif saat matanya tidak berfungsi maksimal.
Tubuhnya terasa lemah. Matahari pagi sudah bersinar terik dan menyengat ketika Emilia memijak pekarangan rumah serupa istana itu.
Emilia bertanya-tanya ia sekarang mau muntah karena mabuk atau mau muntah karena harus bertemu Ahkam lainnya.
"Paman Sam!"
Emilia bergerak spontan akibat suara itu. Namun karena tubuhnya oleng, tak sengaja justru ia menabrak bahu anak perempuan yang baru saja berteriak memanggil Samuel.
"Aw!"
Kepala Emilia berkunang-kunang.
"Hei, matamu rusak, yah?!" Anak gadis itu berteriak marah. "Di sini bukan tempat pengemis datang! Sana pergi! Minta sumbangan ke tempat lain!"
Kenapa Emilia harus selalu bertemu anak gadis yang hobi berteriak? Apa dia tidak diajari bahwa banyak bicara adalah bukti kebodohan?
"Soraya, kamu hanya tertabrak." Suara asing lain terdengar, disusul tangan terulur padanya. "Ulurkan tanganmu."
Emilia menatap meski ia tak bisa melihat jelas bagaimana rupanya.
Dari nada suara yang masih agak pecah, tinggi badan, dan bentuk tubuh, dia remaja laki-laki belasan tahun. Mungkin baru SMA atau paling tidak tujuh belas tahun.
Tak butuh bantuan untuk bangun, Emilia berdiri sendiri. Menatap Samuel yang sedang menyerahkan kunci mobil pada seseorang.
"Kakakku bicara padamu! Kamu itu bisu atau apa?!"
"Soraya." Samuel mendekat. "Ini masih pagi. Aku lelah dan tamuku juga. Nanti kita bicara."
"Tapi Paman—"
"Tolonglah. Rowan, ajak Soraya bermain."
Emilia mengikuti langkah Samuel tanpa mengindahkan suara geruruan anak perempuan itu. Tapi meski kepalanya sakit dan Emilia menahan diri tidak pingsan, ia masih punya ruang memproses.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments