NovelToon NovelToon

Pria Dingin Dan Nona Batu

1. Samuel Ahkam [REVISED]

Orang mati?

Emilia Nugraha memiringkan wajah penasaran ketika ia baru saja kembali dari tempatnya bekerja sebagai buruh cuci, tiba-tiba malah menemukan seseorang tergeletak di semak-semak belukar.

Suasana jalan sepi. Kebetulan, tempat ini memang belum mencapai pemukiman penduduk hingga yang ada di sepanjang jalan cuma pohon pinus.

Posisi orang yang tergeletak dibalik semak juga menyulitkan orang lewat melihat, dan Emilia sadar karena kepekaannya kebetulan cukup terasah.

Apa semalam ada anak muda yang mabuk-mabukan dan bertengkar? Kenapa meninggalkan mayat di sini?

Emilia mau tidak acuh, tapi pakaian orang itu menarik perhatiannya.

Tidak. Dia bukan orang desa. Pakaiannya terlihat baru dan tidak lusuh. Kecuali karena kusut dan bekas darah, sebenarnya dia terlihat terlalu rapi.

Bergegas Emilia berjongkok. Menyentuh kulit tangannya untuk sadar bahwa dia hangat.

Masih hidup.

Emilia mengecek bagian yang berdarah di kemejanya, ditemukan lubang kecil berukuran sepeti kerikil mungil.

Tembakan. Di desa yang orang-orangnya masih mencuci di sungai seperti ini, penduduk kebanyakan cuma saling bacok-bacokan dengan parang atau celurit.

Pistol bukan barang wajar di sini.

Kewaspadaan Emilia meningkat. Ditarik wajah pria itu untuk mengeceknya, perlu memicing karena kebetulan Emilia tidak memakai kacamata.

Tampan.

Emilia tidak tahu harus mengatakan apa di situasi ini tapi serius dia punya wajah tampan yang tidak biasa. Meski ada beberapa orang tampan di desa, Emilia baru pertama kali menemukan pria setampan dia.

Mencurigakan.

Haruskah Emilia membunuhnya? Mungkin jika dibiarkan dia juga akan mati, tapi ada kemungkinan dia selamat.

Tidak ada kebetulan yang benar-benar murni kebetulan.

Pria asing berwajah tampan dengan pakaian bersih datang ke desa persembunyian Emilia.

Apa yang intel lakukan?

Emilia memiliki beberapa pertanyaan di kepalanya, namun memutuskan untuk bersabar.

Pertama-tama, dirogoh seluruh sudut saku pakaian pria itu untuk memastikan apakah ada identitas atau tidak. Emilia mengeluarkan sebuah dompet, mencopot jam tangannya, berserta anting di sebelah kanan sampai sapu tangan.

Dicek satu per satu benda itu untuk memastikan adakah kamera mini yang disembunyikan atau mungkin senjata tajam yang halus dan lain sebagainya.

Bersih.

Tapi ....

"Samuel Ahkam."

Emilia menatap dingin nama yang tertera di belakang nama depannya itu.

Ahkam.

Jadi dia Ahkam?

Nama yang cukup lama tidak terdengar.

Tentu saja Emilia jadi ingat pada sesuatu yang menyebalkan.

Dua puluh tahun yang lalu, ketika Emilia sudah berada di desa ini di usianya menjelang satu tahun, kedua orang tua Emilia mati tenggelam akibat kapal yang karam.

Dan kapal karam itu secara kebetulan adalah milik Argantana Ahkam, yang beberapa waktu sebelumnya mengajukan permintaan pernikahan dengan adik ayahnya Emilia namun ditolak.

Itu adalah cerita singkatnya.

Cerita panjangnya, di masa kehamilan ibunya Emilia, Sasmita Nugraha, Wahyuni Nugraha dan Argantana Ahkam memiliki hubungan rumit yang tidak dapat disatukan. Mereka saling mencintai, tapi disamping cintanya pada Wahyuni, Argantana Ahkam berambisi memiliki Nugraha lewat pernikahan itu.

Erwin Nugraha, ayahnya Emilia yang sadar akan niat Argantana menolaknya dan memutus hubungan mereka berdua.

Lalu Emilia dibawa ke tempat ini, hidup di sini, sementara orang tuanya terbunuh meski Wahyuni dan Argantana Ahkam tidak lagi saling mencintai.

Di mata Emilia, cerita semacam itu hanya kedok. Orang-orang seperti mereka bisa saling membunuh untuk sesuatu seperti kekuasaan dan harta.

"Nona."

Emilia meletakkan telunjuk di depan bibir ketika Darto, bayangannya datang.

Baru saja Emilia menyalakan laser merah dari senter mini yang ia bawa setiap kali keluar di malam hari. Jika butuh bantuan darurat, Emilia hanya perlu menyalakannya untuk mereka datang.

"Dia Ahkam. Samuel Ahkam. Siapa dia?"

Maksud Emilia, apa posisi dia di keluarga Ahkam.

"Dia anak haram dari Suryatana Ahkam, Nona. Sekaligus putra bungsunya yang beberapa waktu lalu terlibat hubungan dingin dengan Argantana Ahkam."

Biasanya perselisihan antar saudara terutama di keluarga yang memiliki sistem pewaris harta adalah perebutan hak suksesi.

Namun kalau dia anak bungsu alias anak paling muda, maka berarti dia orang paling akhir yang harus diwaspadai.

"Bagaimana dia berada di sini?"

"Orang suruhan Tuan Muda yang membawanya."

Untuk pertama kali ekspresi Emilia sedikit berubah.

Tuan Muda adalah sebutan Darto pada Mahesa Mahardika, konglomerat muda yang selama ini merawat Emilia diam-diam di desa ini sekaligus melindunginya dari kemungkinan diketahui oleh seseorang.

Jadi bukan kebetulan. Dan kalau Senior Mahesa yang mengirimnya maka ... ada sesuatu yang harus Emilia lakukan.

Emilia membuka kemeja Samuel. Menemukan bekas luka tembaknya telah dilapisi oleh kain penahan yang berarti dia tidak tertembak di sini, namun dia dibuang ke sini.

"Bawa dia."

*

Kondisinya tidak vatal. Selain beberapa lubang di tubuhnya akibat tembakan, dia terlihat baik-baik saja dan sehat.

Emilia membantu Mutia, pelayan pribadinya, dalam penanganan luka itu.

Meski bisa menyuruh Mutia saja yang merawat, kalau benar dia dibuang oleh Mahesa ke tempat ini, berarti setidaknya Emilia harus memastikan dia baik-baik saja sampai muncul alasan Emilia membunuhnya.

"Napasnya masih teratur." Emilia mengamati pria itu lekat-lekat. "Mutia, pergilah dan menjauh. Mulai sekarang aku hanya gadis sebatang kara yang tinggal sendiri."

"Baik, Nona."

Nampaknya sebentar lagi dia bisa sadar.

Pada waktu singkat itu, Emilia menggunting keseluruhan pakaian pria itu agar lepas. Dibuang begitu saja bajunya, lalu menatap tubuh kekar berkulit putih kemerahan itu.

Proporsi ototnya menunjukkan dia bukan cuma rajin berlatih, namun terbiasa melakukan pekerjaan berat.

Emilia tidak bisa tidak curiga, bahkan kalau Mahesa yang mengirim dia. Bisa saja dia dikirim untuk dihabisi.

Sesuai kecurigaan Emilia, hanya butuh waktu beberapa saat, dia membuka mata.

Emilia sedang mencelupkan tangan ke baskom untuk membasuh bekas darah dari tubuh pria itu. Saat erangan samar terdengar, Emilia berpaling.

"Siapa?" Pria itu lebih dulu bertanya, dengan suara lemah bergetar.

Pasti sakit. Tentu saja. Emilia menjahit lukanya tanpa memberi obat bius.

Ia punya stok obat. Hanya pria ini tidak memberi alasan kenapa dia harus diperlakukan baik-baik.

"Kamu baik-baik saja?" Emilia mengelap tangannya yang masih berbau tengik darah. "Namaku Ema. Aku menemukanmu tergeletak di jalan dan membawamu pulang."

"...."

"Siapa namamu?"

Pria itu menatapnya sebelum menutup mata kesakitan. "Sam."

"Boleh aku tahu kenapa kamu terluka?"

"...."

Emilia beranjak. Mengambil baskom yang airnya telah berubah warna akibat darah.

"Aku mengerti. Beristirahatlah dulu. Aku tidak punya stok obat yang cukup, jadi aku hanya mengobatimu apa adanya."

Mata itu menunjukkan dia tidak mengenal Emilia. Dan karena dia kesakitan akibat pemberian obat tanpa anestesi, maka setidaknya dia tidak akan bisa bergerak.

*

2. Tawaran Kerja [REVISED]

Sebenarnya di desa ini Emilia sudah sangat aman. Selama dua puluh satu tahun ia hidup di sini, tidak pernah sekalipun seseorang tahu mengenai identitas Emilia atau mencurigainya.

Orang-orang di desa hanya mengenalnya sebagai anak yatim terbuang. Dan karena Emilia nyaris tidak pernah keluar kecuali ada kebutuhan, maka keberadaannya tipis di benak setiap orang.

Orang-orang di desa tidak tahu-menahu tentang dari mana asal makanan Emilia hingga mau tak mau ia harus terlihat punya pekerjaan, sekalipun itu hanya buruh cuci.

Pukul sembilan ini Emilia akan berangkat ke sungai di mana pekerjaannya menunggu.

Tapi ia tak menyangka kalau Samuel akan berkata, "Apa baik-baik saja kamu meninggalkan orang asing dengan rumahmu?"

Emilia tidak suka pertanyaan itu. Dia terkesan sedang menguji.

"Tidak ada harta di rumahku." Lubang tikus di rumah ini pun tidak menyimpan rahasia Emilia.

Bagi Emilia, rahasia adalah sesuatu yang tidak berbentuk. Jika itu berbentuk, itu bukan rahasia, melainkan data yang belum diketahui dan akan diketahui cepat atau lambat.

"Tetap saja tidak nyaman berada di rumahmu sementara kamu pergi." Pria itu agak memaksakan diri berjalan. "Aku akan ikut. Setidaknya mencari tahu sekitaran."

Emilia tidak peduli.

Bergegas ia berjalan, meski sedikit tidak nyaman karena mata Samuel Ahkam mengamatinya.

Sementara dia tenggelam dalam pikiranya, Emilia tiba di sungai tempat ia biasa mencuci.

Ada beberapa wanita dan anak-anak di sana, berkumpul untuk mandi dan mencuci juga. Mereka adalah orang-orang yang memilih tidak mengandalkan jasa orang lain, menghemat biaya juga karena pakaian mereka sedikit.

"Aku akan bersembunyi di sini."

Emilia hanya berlalu tanpa menjawab.

Tidak usah diurus juga dia sudah besar, kan? Terserah dia mau sembunyi di mana, karena orang yang mandi di sungai juga tidak telanjang kecuali anak kecil.

Kedatangan Emilia sempat membuat beberapa ibu-ibu berpaling. Mereka menanyainya pertanyaan basa-basi, yang Emilia jawab seadanya.

Diambil beberapa keranjang pakaian yang memang sudah diletakkan khusus untuk Emilia, milik beberapa orang.

Tanpa sedikitpun membuka suara, Emilia mulai mencuci demi menipu seluruh dunia tentang dirinya.

*

"Sudah dengar tidak? Katanya anak Pak Harto melamar Harsa."

"Duh, enaknya Bu Laras. Sudah anaknya jadi perawat, sekarang dilamar pula sama orang kaya."

Emilia tidak bermaksud peduli dengan celotehan ibu-ibu di sekitarnya. Ia pun tahu bahwa mereka melirik Emilia, yang bahkan sejak remaja sudah disuruh menikah oleh mereka karena tidak sekolah, tidak punya orang tua, sepanjang hari cuma mencuci pakaian di tepi sungai nysris sampai sore.

Wajar saja mereka berpikir anak gadis memang lebih baik cepat menikah, karena di otak ibu-ibu itu tidak ada gunanya wanita hidup kecuali menikah dan punya anak.

Tapi Emilia jadi ingat. Anaknya Bu Laras, alias Harsa, adalah teman kecil Emilia yang sekarang telah berkembang menjadi musuh.

Dia adalah salah satu kembang desa paling terkenal di tempat ini yang katanya pintar, anggun, dan menantu idaman. Banyak yang suka pada Harsa lalu sekarang dia dilamar anak pengusaha besar di desa.

Pola tempat ini selalu sama.

Besar, sekolah, menikah.

Hal yang tidak akan pernah Emilia pahami.

"Kamu sudah dengar? Aku akan menikah."

Gadis yang dikabarkan adalah perawat muda anggun datang siang-siang ketika sungai telah sepi cuma untuk pamer.

Emilia tidak merasa harus memedulikannya. Fokus membilas karena ia harus mengeringkan sebelum kembali mencuci pakaian di keranjang selanjutnya.

"Aku kasihan padamu. Sudah kesepian, tidak ada pria yang melamarmu pula. Di antara teman kita, cuma kamu yang belum punya pasangan. Jangankan dilamar. Pacar saja tidak punya."

Tangan Emilia masih sibuk mencuci.

Meski ia tahu sorot mata Harsa mulai berang.

"Karena itulah kamu kesepian! Lakukan saja itu terus! Abaikan orang-orang dan bersikap seakan dunia milikmu saja! Dasar perawan tidak laku!"

Emilia mengangkat keranjang untuk pergi menjemurnya ketika Harsa menarik tangan Emilia, kesal diabaikan.

Dia sengaja menarik kasar, sengaja membiarkan cucian itu jatuh ke rumput dan mendorong Emilia ke sungai.

"Aku sangat membencimu! Sangat!" Harsa menunjuknya penuh emosi. "Aku tidak akan menemuimu lagi setelah ini jadi akan kukatakan baik-baik! Semua orang berpikir kamu gila dan karena itu sampai matipun tidak ada pria yang mau denganmu, kecuali pria tua mesum beruban! Itu nasibmu! Itu takdirmu!"

Wajah Emilia tidak berekspresi sama sekali.

Kenapa?

Karena ... memang siapa yang mau mendengar hantu?

Atau siapa manusia yang bisa mendengar batu berteriak?

"Emil, tanamkan prinsip ini dalam jiwamu." Itu yang Mahesa katakan berulang-ulang ketika dulu Emilia masih kecil. "Semua orang—"

—hanya alat. Emilia bangkit tanpa memedulikan pakaiannya basah kuyup.

Jangan menghargai. Jangan minta dihargai.

Jangan lihat seseorang yang tidak memiliki harga. Jangan berbelas kasih.

Jangan berekspresi. Jangan memberi respons emosi ataupun reaksi.

Karena pemenang sesungguhnya ... adalah yang bertahan dalam tahtanya.

"Raja cuma ada dua," kata Mahesa lagi. "Raja yang baik, raja yang kejam. Kamu ingin menjadi yang mana?"

"Apa perbedaannya, Senior?"

"Raja yang baik menguasai segalanya lewat kebaikan. Mendengar segalanya, memberi setulusnya. Sedangkan raja yang kejam—"

—adalah mereka yang abai terhadap rintihan, menginjak siapa pun yang mendekat, dan hanya melihat siapa yang benar-benar bermanfaat untuk dilihat.

Gadis ini, sejak dulu sekali, tidak terpilih menginjakkan kaki di dunia Emilia.

*

Kenapa dia diam saja diperlakukan seperti itu?

Samuel bukannya pria yang gampang kasihan atau merasa harus menolong siapa pun. Namun karena Ema sudah membantunya, tentu saja Samuel mau tidak mau memerhatikan dia.

Aneh sekali.

Samuel hanya diam menunggu sampai gadis itu pergi. Sejenak ia berpikir harus apa meski kemudian Samuel mendekat.

Cucian itu .... "Rumputnya bersih. Langsung saja jemur."

Mata Ema rabun. Samuel menyadarinya ketika samar-samar dia terlihat juling.

Dia juga memakai kacamata kemarin, saat mengobati Samuel. Lensanya tebal. Mungkin di minus empat atau lima.

Ema tetap kembali membilas pakaian itu satu per satu.

"Boleh aku bertanya padamu?"

".... Apa?"

"Apa setiap hari hanya ini yang kamu lakukan?"

Ema diam. Membuat Samuel berpikir dia tersinggung.

"Maksudku, kamu terlihat muda dan kuat. Juga cerdas. Mengapa tidak melakukan pekerjaan yang lebih memberi keuntungan?"

Agak ikut campur, tapi Samuel baik-baik saja sekalipun dia tidak mau menjawab.

"Aku tidak sekolah," jawab dia tenang. Seolah tidak sedih atau merasa terkucilkan sendiri.

"Kenapa? Kupikir sekolah gratis untuk beberapa kalangan."

"Waktuku akan habis untuk belajar hal tidak berguna."

Hal tidak berguna, yah?

"Lalu bagaimana jika aku menawarkan pekerjaan padamu?"

"Tidak perlu."

"Kamu menyelamatkanku. Aku tidak bisa membiarkan orang yang memegang hutang budiku berdiam di desa ini dan terkucilkan."

Ema bahkan tidak menoleh. "Lakukan sesuka dan pergilah jika sudah sehat."

"Akan kuanggap kamu memikirkannya."

*

3. Bos Mafia [REVISED]

"Nona."

Emilia sedang menulis abstrak di buku catatannya ketika Darto muncul di jendela kamar, pukul setengah dua malam. Pria tiga puluh lima tahun itu berucap dengan suara tenang yang menyatu dengan keheningan malam.

"Tuan Muda meninggalkan pesan untuk Anda. Beliau membutuhkan bantuan Nona untuk menarik keberpihakan Samuel Ahkam."

"Apa yang spesial dari pria itu?"

"Samuel Ahkam adakah pendiri organisasi Oto, Nona."

Untuk sedetik saja, Emilia terkejut.

Oto. Organisasi dunia bawah yang tidak terkenal dipermukaan namun diwaspadai, termasuk oleh Emilia sendiri.

"Kenapa Senior tidak bernegosiasi secara langsung dengan Samuel Ahkam?"

"Sepertinya penawaran yang Tuan Muda berikan tidak menggelitik keinginan Samuel Ahkam patuh padanya. Namun sebagian besar anggota Oto adalah pemberian Tuan Muda. Saya rasa, Tuan Muda memang sudah merencanakan ini dari awal."

Senior memang begitu.

Di awal membebaskan, membiarkan sesuatu itu tumbuh secara alami, lalu jika perkembangannya menguntungkan, baru Senior akan mengajak bekerja sama.

"Apa aku harus membunuhnya untuk memberikan Oto pada Senior?"

"Saya rasa Tuan Muda menginginkan Samuel Ahkam secara pribadi, Nona."

Senior bertingkah seenaknya lagi.

Namun Emilia tidak bisa menolak sebab apa pun yang Senior Mahesa inginkan, sudah menjadi keharusan bagi Emilia memberinya.

Tapi kenapa Senior mendorong Emilia?

Dia bukan tipe yang akan berkata 'hanya kamu yang bisa diandalkan' karena Mahesa Mahardika punya segalanya, pion demi pion yang bisa dia andalkan dalam situasi tertentu.

Dia seperti menyuruhku meninggalkan desa sekarang. Emilia menatap coretan-coretan tangannya di atas kertas dan menghela napas.

Apa ini yang disebut 'takdir'?

Bahkan ketika Emilia tidak peduli siapa yang membunuh Ayah juga Ibu, tiba-tiba saja Ahkam muncul dan memaksanya untuk ikut campur.

Jika benar itu takdir, bisakah Emilia menulis takdirnya sendiri?

*

"Kalau kamu tidak percaya padaku, coba cari namaku di internet."

"Tidak punya."

Miskin sekali. Bukankah setidaknya dia harus membeli ponsel di zaman serba teknologi ini? Apa yang akan dia tahu jika dia bahkan tidak punya smartphone?

"Ema, ikutlah denganku. Aku tahu mungkin sulit untuk percaya. Memang bisa saja aku menipumu untuk melakukan hal buruk. Tapi, kalau bisa sedikit saja, izinkan aku membalas kebaikanmu. Tolong."

Dia diam. Sangat lama diam dan menghabiskan makanannya.

"Atau kamu hanya ingin uang sebagai balasan dari kebaikanmu?"

"Aku bukan pengemis."

"Aku tahu, Ema. Aku bertanya karena kamu tidak menjawab pertanyaan utamaku."

Apa dia waspada karena Samuel terlalu mendesak?

"Atau begini saja." Samuel menatap wajahnya yang fokus mencuci tangan. "Aku akan pergi dan kembali membawa identitas agar kamu percaya."

Gadis itu, untuk pertama kali, menatap Samuel balik. "Lakukan sesukamu."

*

"Bos."

Samuel menatap pemandangan desa dari puncak gunung tempat ia menunggu Ryo, anak buahnya datang.

Dari kejauhan ini memang tidak terlalu kentara pemukiman mereka, dan Samuel tidak bisa melihat kediaman Ema yang terpencil.

"Siapa yang membawaku kemari?"

"Kami baru menduga bahwa itu perbuatan Mahesa. Riu pergi menemuinya untuk menanyakan alasan tindakan itu, dan Mahesa hanya berkata dalam situasi terdesak, menyembunyikan Anda memang pilihan terbaik."

Berhutang nyawa pada Mahesa sama seperti berhutang nyawa pada iblis. Jiwa kalian ujung-ujungnya akan diambil.

Tapi orang itu biasanya tidak bertindak tanpa alasan jelas.

Apa ada yang spesial dari desa ini?

"Cari tahu sesuatu tentang gadis bernama Ema. Segalanya."

Samuel tidak bisa merasa bahwa itu hanya kebetulan jika melibatkan Mahesa. Tapi ia pun sulit menerka sebenarnya apa yang istimewa dari gadis buruh cuci yang menjahit luka orang secara kasar tanpa anestesi.

Hingga siang berganti malam dan mencapai pagi kedua Samuel menunggu, Ryo kembali dengan sejumlah informasi.

"Dia anak yatim sejak berusia lima tahun. Diasuh oleh wanita janda muda yang nampaknya memang dekat dengan gadis itu. Tidak ada informasi khusus."

"Apa ada seseorang yang pernah mengajari dia mengobati seseorang?"

"Tidak ada, Bos. Tidak ada interaksi lebih dengan warga sekitaran. Nona yang Anda maksud hanya buruh cuci biasa."

Samuel bangkit sambil meringis memegangi lukanya. "Tetap cari tahu dan ulik lagi. Terutama niat Mahesa."

"Riokai." [Laksanakan.]

"Bagaimana dengan Ahkam?"

"Mereka tahu Anda masih hidup. Argantana Ahkam tidak mengirim seseorang lagi. Sepertinya dia akan berpura-pura tidak melakukan apa pun."

Memang selalu begitu. Argantana memburunya, lalu Samuel bertahan, dan mereka berpura-pura tidak saling bertarung darah.

Kali ini hanya kebetulan Samuel terluka parah.

"Siapkan kendaraan untuk kembali. Mana handphone yang kuminta?"

Ryo menyerahkan handphone baru pada Samuel, memang khusus untuk dirinya bawa kembali pada Ema.

Sekarang ia cuma perlu membuktikan bahwa ia bukan penipu, lalu kembali bersama Ema.

*

Dia kembali lebih cepat dari dugaan Emilia.

Masih dengan pakaian yang sama dia gunakan pergi, Samuel datang hanya untuk membawa ponsel pada Emilia.

"Untuk sekarang, hanya ini bukti yang kuberikan. Dompetku hilang."

Emilia memang membakarnya jadi tentu saja hilang.

Ditatap layar ponsel di tangan Samuel yang menampilkan berbagai foto dari internet.

Itu cukup jadi bukti bahwa dia memang bukan penipu—walau Emilia tidak pernah menganggap dia penipu.

"Ikut denganku, Ema."

Sekarang Emilia sudah bisa berkata, "Baiklah."

"Kita berangkat—"

"Sekarang." Emilia beranjak. "Akan kubereskan barangku jadi ayo pergi sekarang."

".... Kamu tidak ingin pamit pada seseorang?"

Seseorang? Siapa?

Emilia tidak meninggalkan urusan apa pun di sini. Ia akan pergi ke kota, melakukan apa yang bisa ia lakukan untuk Mahesa, lalu pergi mencari desa baru untuk tinggal lagi karena Emilia lebih suka hidup tenang.

Desa ini tidak punya arti khusus.

Emilia mengunci pintu kamarnya.

Hal pertama yang ia lakukan adalah mengambil kotak jarum, menyembunyikan satu per satu jarum beracun itu di kulit dan pakaiannya.

Baru setelah itu Emilia mengambil tas, menyambar sejumlah pakaian sederhana, lalu menutup lemari.

Terakhir ia mengambil kacamata lalu buku catatannya.

"Ayo."

"Bagaimana dengan wanita yang merawatmu?"

"Aku meninggalkan pesan di sini." Emilia sengaja menulis surat seolah ia memang pamitan. "Aku tidak suka melihat orang menangis. Dia pasti akan memelukku lama dan berkata macam-macam. Jadi tidak perlu."

Samuel menghela napas. "Hatimu batu sekali."

"...."

"Itu bukan hinaan. Jangan tersinggung."

"Aku tidak tersinggung." Emilia malah merasa dipuji. "Lalu, kamu masih akan duduk atau aku harus tidur menunggumu siap?"

Dia tersenyum. "Kamu bersemangat sekali pergi ke kota."

Bukan.

Emilia hanya tidak suka membuang-buang waktu untuk hal tidak berguna.

*

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!