CEO Rescue Me!
“Kami menyadari perekonomian kita berbeda. Jadi nanti untuk acara resepsi, mulai dari busana hingga dekor dan pelaminan biar kami yang menanggungnya,” Nyonya Hilman berkata saat acara lamaran usai.
“Ini juga untuk memudahkan pihak vendor dan wedding organizer untuk mewujudkan dekorasi sesuai selera kami. Jadi kalian tidak usah repot-repot menyumbang ide untuk acara nanti. Selera kita berbeda,” Nyonya Hilman tersenyum sambil mengeluarkan kipas lipat dari tas tangan mahalnya.
“Tapi Bu Hilman, alangkah lebih baik bila kita membicarakan semuanya dan memutuskan bersama,” suara Bunda terdengar penuh tekanan.
“Tdak perlu seperti itu, Bu Gumilar. Kami yang akan mengeluarkan biaya yang paling banyak, maka hak kami untuk mengatur segala sesuatunya,” tangannya sibuk mengipas-ngipas tubuhnya, “Ih kok panas banget sih rumahnya. Ini gak ada AC-nya?”
Tuan Hilman menyikut lengan istrinya. Istrinya hanya melengos.
“Maaf Tante, rumah kami memang tidak ada ACnya karena ventilasinya cukup baik,” jawab Agung.
Nyonya Hilman berdecih. Agung mengetatkan rahangnya. Wajah Adisti memerah bersiap untuk meledak. Dia menendang tumit tunangannya yang duduk di dekatnya. Prasetyo menatapnya. Adisti menggunakan dagunya untuk menunjuk calon mertuanya.
“Ma, please!” Prasetyo memandangi Mamanya, “Ayah, Bunda maaf. Mama tidak bermaksud menyinggung. Tolong jangan diambil hati.”
Bunda menghela nafas.
“Supaya tidak terlalu membebani, sebaiknya kami juga ikut andil dalam pembiayaannya,” kata Ayah.
“Baik, kalau begitu untuk pembuatan undangan, kalian yang membiayainya ya. Untuk desainnya dan pemilihan kertas nanti saya yang menentukannya,” Nyonya Hilman tersenyum, “Cetak untuk 2000 undangan.”
“Dua ribu?” Ayah terperanjat, “Apa tidak terlalu banyak, Bu?”
“Kami mempunyai banyak relasi bisnis dan kedudukan Prasetyo sebagai pewaris Anggoro Putro mengharuskan kami banyak mengundang rekan dan relasi bisnis kami,” Tuan Hilman bersuara.
“Baiklah.”
Dan kini Agung memandang muak pada undangan yang ia pesan atas permintaan calon mertua adiknya. Undangan dengan design mewah dengan banyak printilan mahal yang terkesan cengeng dan rapuh juga sebenarnya kampungan. Jadi, siapa yang sebenarnya kampungan di sini?
Harga undangannya dibandrol Rp 100.000,- per undangan, dikalikan 2000 undangan. Total dua ratus juta untuk undangan! Sangat mubazir. Semuanya sepakat merahasiakan total harga undangan yang dicetak dari Adisti. Beban Adisti sudah cukup berat menghadapi kesombongan orangtua Prasetyo. Lagipula memang Ayah dan Bunda menyediakan dana sekitar 250 juta untuk pernikahannya.
Semua undangan yang dicetak dibawa ke kediaman Keluarga Anggoro. Dari 2000 undangan yang dicetak, Nyonya Hilman hanya memberi 100 undangan untu Keluarga Gumilar itupun diantarkan oleh supirnya. Adisti marah besar pada Prasetyo.
“Dek, sebenarnya perasaan Adek bagaimana sih ke Tiyo?” tanya Agung penasaran.
“Adek kasihan ke Tiyo. Keluarganya membebaninya dengan banyak hal.”
“Maksud Kakak, hati Adek bagaimana ke Tiyo?”
“Adek merasa kasihan. Tiyo sudah mengejar Adek sejak lama. Bantuin Adek banyak hal. Dia care banget ke Adek.”
“Adek cinta gak sih?”
“Cinta itu yang seperti apa sih?” Adisti tersenyum pada Kakaknya, “Gak usah cemas, Kak. Pepatah Jawa mengatakan witing tresno jalaran ing saka kulino.”
“Artinya?”
“Cinta hadir karena terbiasa.”
Adisti bersenandung riang saat menuruni tangga. Menuruni tangga dengan cepat.
“Dek, jangan lari. Gak lucu kan jadi manten tapi kakinya digips,” kata Ayah.
Adisti mengerucutkan bibirnya, “Biar cepat, Yah.”
“Duh..yang gak sabar jadi manten..” Agung menggoda Adisti.
“Issh Kakak ini,” Adisti merangkul kakaknya, “Kak, beneran Kakak gak apa-apa karena dilangkahi Adek?”
“Iya, Kakak ikhlas. Kakak ingin bahagiain Bunda sama Ayah dulu,” Agung menyentuh pucuk kepala adiknya dengan gemas.
“Tapi sebenarnya Ayah dan Bunda lebih bahagia kalau Kakak menyempurnakan separuh agamamu, Nak,” kata Bunda.
“Calonnya kan belum ada, Bun..” Agung membungkus undangan untuk dikirimkan lewat jasa pengiriman.
“Kakak masih betah jadi jomblo..” Adisti meledek kakaknya.
“Adek jadi hari ini mau fitting baju?” tanya Bunda.
“Hmm, sebenarnya males, Bun. Males datang ke butik itu,” Adisti menundukkan wajahnya.
“Kenapa?” tanya Bunda.
“Entah apa yang diceritakan Mamanya Tiyo, dari awal ketemu owner butik itu kok tatapan dan sikapnya seperti yang melecehkan, Bun. Gak nyaman lah pokoknya. Padahal nanti dia yang akan merias Adek.”
“Sikap Tiyo bagaimana saat kamu dilecehkan seperti itu?”
“Ya gak gimana-gimana. Entah karena gak peka atau gak tahu atau entahlah. Cuma udah 2 bulan ini Tiyo kok aneh ya Bun?”
“Aneh bagaimana?”
“Jarang chat, jarang nelepon, juga jarang ke sini.”
“Sibuk kali.. Kan semua urusan diurus oleh keluarganya. Positive thinking aja Dek.”
“Iya positive thinking aja. Tentang perias yang gak ramah ke Adek, cuekin aja. Toh yang bakal menikah kan Adek, bukannya dia,” Ayah ikut menimpali.
“Bilang ke Kakak kalau Tiyo macam-macam sama Adek, ya,” Agung menepuk dadanya.
“Emang mau diapain?”
“Dikelitikin.”
“Dih.”
Suara klakson mobil terdengar, Ayah dan Bunda saling berpandangan.
“Tiyo udah jemput, Bun, Yah. Katanya dia gak bisa mampir karena terburu-buru, waktunya mepet,” Adisti menyambar tasnya, salim pada Ayah, Bunda dan Agung, “Assalamu’alaikum”.
Mereka bertiga saling berpandangan, “Tumben..”
Mereka tiba di sebuah bangunan 3 lantai, salon sekaligus butik langganan keluarga Tiyo. Tiyo lebih dulu membuka pintu. Langkahnya tampak tak sabar ingin memasuki gedung tersebut. Dia menoleh ke arah Adisti yang tampak masih memandangi gedung dari dalam mobil.
“Dis, buruan!”
Adisti membuka pintu dengan perlahan. Melangkah dengan ragu. Perasaannya terasa tidak enak memasuki gedung ini.
“Bismillah..” Adisti memantapkan langkahnya melihat Tiyo dengan raut wajah yang tidak sabaran.
Mereka berdua memasuki pintu kaca tebal dengan ornament berwarna emas, wajah wanita berambut ular logo brand ternama dunia sebagai handle pintunya.
Udara dingin dengan wangi bunga lilac menyengat menyambut mereka. Adisti paling benci aroma lilac. Dia berusaha menahan nafas hingga hidungnya terbiasa dengan aroma ini.
Ada 2 sofa nyaman di sana. Petugas frontdesk tersenyum kepada mereka berdua.
“Selamat pagi, sudah buat janji sebelumnya?”
“Teh Rita meminta kami untuk fitting baju pengantin,” Tiyo menjawab. Teh Rita, owner gedung ini sekaligus MUA utama di salon ini.
“Ah, ya.. Tuan Prasetyo dan Nona Adisti, gaun dan stelan untuk bulan depan ya?”
Mereka berdua mengangguk.
“Silahkan ikuti saya,” kata petugas frontdesk. Ada 2 pintu di dalam ruang foyer ini, pintu kanan menuju salon sedangkan pintu kiri mengarah ke butik. Petugas tadi mengarahkan mereka ke pintu kiri, “Silahkan menunggu di sini, bajunya akan kami persiapkan. Kami akan memberitahu Ibu Rita tentang kedatangan Tuan dan Nona.”
Petugas tersebut menghilang di pintu yang ada di dalam ruangan.Adisti dan Tiyo duduk bersebelahan di sofa yang sama. Adisti memilin jarinya. Jantungnya semakin berdegup kencang dan perasaaan yang tidak enak semakin menyeruak.
Suara sepatu high heels terdengar nyaring. Lalu sosok wanita cantik dengan rambut warna madu muncul dari tembok yang melengkung.
Dengan blouse putih berenda seperti wanita gypsi dengan potongan leher Sabrina yang menonjolkan bahu dan sedikit belahan dada mendekati mereka berdua. Rok lebar selututnya tampak bergerak mekar seperti bunga saat ia berjalan.
“Hai Prasetyo, hai Adisti, apa kabarnya?” suara Teh Rita terdengar berat karena efek rokok.
Dia langsung memeluk Tiyo dengan tangan mencengkeram kuat pada bisep Tiyo lalu mengecup kedua pipi Tiyo. Adisti terperanjat. Baru kali ini ia melihat Tiyo bersedia pipinya dikecup oleh wanita yang bukan mahromnya.
Teh Rita menghadap Adisti, memeluknya cipika cipiki sekedarnya, sama sekali tidak menyentuh pipi. Adisti memandangi Tiyo dengan tatapan aneh.
“Kenapa? Marah?” tanya Teh Rita, “Please deh.. ini tahun berapa. Jangan kampungan. Udah biasa dalam pergaulan.”
Tiyo terkekeh sambil menyenggol lengan Adisti.
“Langsung aja, Teh. Siang ini saya ada meeting,” kata Tiyo.
“Meeting di hari Minggu?” mata Teh Rita terbelalak, lensa kontaknya yang berwarna ungu membuat matanya tampak eksotik, “Waah sibuk banget kamu ya. Kenapa hari Minggu sih?”
“Klien bisanya hari Minggu, ya mau bagaimana lagi,” Tiyo mengangkat bahu.
“Ya udah, ayo,” Teh Rita mengajak mereka memasuki ruang berdinding melengkung.
Ada beberapa baju pengantin baik gaun ataupun kebaya yang sudah selesai dibuat dipasang pada manekin tanpa kepala.
“Yang itu punya mama kalian,” Teh Rita menunjuk 2 gaun modifikasi kebaya warna dusty pink. Payet dan mute terjalin rumit di bahu dan bagian pinggangnya.
“Adisti, itu baju pengantin kamu. Gimana? Suka?” Teh Rita menunjuk ke gaun yang ada di salah satu ruangan.
Adisti memandang takjub. Gaun pengantinnya berwarna dusty pink dengan aksen magenta. Menjuntai dengan indah. Sinar lampu membuat payet dan mutenya terpasang berkilau cantik.
“Cantik banget, Teh. Terimakasih banyak,” Adisti masih memandang takjub pada gaunnya.
“Dicoba gih. Nanti ada asisten yang menandai bagian mana yang harus dipendekkan atau dibesarkan. Hati-hati pakainya, jangan sampai ada yang rusak,” Teh Rita memerintahkan asistennya untuk mendampingi Adisti.
“Prasetyo, saya handle kamu ya, soalnya asisten saya satu lagi sedang libur,” Teh Rita berkata sambil matanya mengerling pada Tiyo, “Itu stelan kamu. Keren kan?”
Adisti mencoba gaunnya dengan hati-hati. Terlihat pas di tubuhnya. Tidak ada yang perlu diperbaiki lagi, semua sudah sempurna bagi Adisti.
Adisti memutar tubuhnya pelan ingin melihat pantulannya di cermin. Masyaa Allah, dia merasa sangat cantik memakai gaun itu. Tak ingin membuat gaun itu menjadi rusak atau kotor, Andisti menyudahi fitting bajunya. Asisten membantunya melepas gaun tersebut yang ternyata tidak mudah.
Adisti melangkah keluar dari ruang fitting-nya. Sayup-sayup dari ruang di depan ruang fitting-nya terdengar alunan lagu soundtrack James Bond, Skyfall yang dibawakan oleh Adele.
Adisti ikut menyanyikan reffnya pelan sambil berjalan ke arah pintu ruang tersebut. Diketuk tapi tidak ada yang menjawab.
“Tiyo…” panggil Adisti sambil mengetuk. Masih tidak ada yang menjawab.
Adisti memutar handle pintu. Pintu terbuka, hati Adisti mencelos. Tiyo yang hanya berpakaian dalam dan blouse Teh Rita yang sudah melorot hingga pinggangnya membuat mata Adisti terbelalak.
Tubuh keduanya saling menempel dengan kepala saling miring. Kedua tangan mereka saling melilit punggung satu sama lainnya.
“Astaghfirullah! TIYO!! BRENGS*K KAMU! TEGA KAMU!” Adisti menyentakkan pintu dengan kasar hinga terbuka lebar.
Keduanya terkejut, saling melepaskan diri. Mengambil apa saja untuk menutupi tubuhnya.
“Dis.. dengar dulu. Kamu salah sangka. DIS!!”
Adisti menatap nanar mata Tiyo. Mundur dengan cepat, berbalik arah, lalu lari dari tempat terkutuk itu. Menjauhi gedung yang dimiliki oleh seorang Medusa. It’s Adisti’s skyfall.
Sementara di ruangan itu, lagu skyfall memasuki refrain terakhirnya.
Let the skyfall (let the skyfall)
When it crumbles (when it crumbles)
We will stand tall (we will stand tall)
Face it all together
At skyfall.
Tiyo terdiam terpaku. Ada rasa bersalah yang teramat besar kepada Adisti yang selama 2 tahun ini selalu bersamanya, tulus menyayanginya dan dicintainya.
Teh Rita membalikkan tubuh Tiyo.
“We’ll face it all together_Kita hadapi bersama_,” katanya sambil melahap bibir Tiyo. Tangannya mencengkeram punggung Tiyo. Mengetatkan pelukan. Kakinya memeluk tungkai Tiyo.
Dan Tiyo pun lupa dengan segala rasa bersalahnya pada Adisti juga rasa cintanya.
**"
Catatan Kecil:
Medusa adalah makhluk mitologi Yunani yang berwujud seorang wanita cantik yang dikutuk menjadi berambut ular.
Siapapun yang menatap langsung pada matanya akan berubah menjadi batu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 316 Episodes
Comments
Fenti Agesti
rekomen dr temen...
dr awal udah seru niich...
semoga seterusnya...
2024-07-05
1
himawatidewi satyawira
mulut bu hilman pasti wkt sklh suka bolos yaa..pantesan ndak pake filter kl ngomong
2023-11-01
1
Oh Dewi
Mampir ah...
Sekalian rekomen buat yang kesusahan nyari novel yang seru dan bagus, mending coba baca yang judulnya Caraku Menemukanmu
2023-09-29
1