Sebulan kemudian.
Dia tidak sengaja menemukan tempat ini. Mengendarai Scoopy kremnya ke arah Cihideung Lembang, berharap refreshing untuk otak dan hatinya yang penat dengan indahnya aneka bunga di sana, tetapi Adisti tidak menemukan apa-apa. Kibaran warna oranye menarik perhatiannya untuk berbelok.
Awalnya dia menyangka dataran tersebut hanyalah dataran sempit tetapi ternyata ia salah. Ada semacam ceruk yang dilindungi tebing batu yang membuat dataran tersebut meluas di dalamnya. Tepian dataran dikelilingi jurang dengan pemandangan yang sangat luar biasa di bawahnya. Ladang bunga potong dalam kubah plastik, kebun sayuran dan beberapa kandang sapi. Dari atas sini, orang-orang yang sedang bekerja tampak kecil sekali. Jauh di horizon, gumpalan hijau bentukan pegunungan. Semakin kebiruan warnanya, semakin jauh jaraknya.
Adisti tersenyum puas berada di tempat ini. Senyum lepas pertamanya karena menemukan tempat paket komplit bagi dirinya. Tempat refreshing untuk penatnya, healing untuk laranya dan pelarian untuk masalah yang membelenggunya.
Flashback on.
“Dek, makan dulu,” panggil Bunda pagi tadi sebelum Adisti keluar rumah.
“Iya Bun..”, Adisti menuruni tangga dengan cepat.
“Kebiasaan kamu tuh, Dek. Turun sambil berlari seperti itu. Bahaya tahu,” Bunda bersungut-sungut yang ditanggapi dengan cengiran.
“Kakak mana?” tanya Adisti.
“Nyari kupat tahu di Gempol.”
“Ayah?”
“Dipanggil Pak RT, ada kerja bakti katanya.”
“Kenapa gak Kakak aja yang datang? Kan kasihan Ayah, udah tua..”
“Hush, ngatain Ayah tua nanti Ayah manyun loh. Lagian juga kasihan kakakmu. Biar hari Sabtu ini dia istirahat. Pulang telat mulu kan kakakmu itu?”
Adisti mengangguk.
Adisti mencuci piring bekas makannya, membersihkan meja lalu membersihkan kompor.
“Dek, Bunda ke pasar dulu ya. Ayah ingin dimasakkan rendang. Assalamu’alaikum.”
Adisti mengangguk, “Wa’alaikumussalam”.
Rumah sepi hanya terdengar bunyi dengung kulkas. Adisti merasa jenuh. Hari ini seharusnya the D Day. Adisti menggeleng keras untuk mengingat kejadian sebulan yang lalu. Dia butuh pelampiasan. Pelampiasan segala rasa di hati dan benaknya. Pelampiasan untuk semua penatnya.
Adisti berganti baju dengan cepat. Memasukkan barang-barangnya ke dalam ransel. Lalu menyambar kunci motornya.
“Maaf, semuanya. Adek pergi dulu sebentar. Adek butuh waktu untuk sendiri dulu. Nanti siang insyaa Allah adek pulang. Assalamu’alaikum,” Adisti menuliskan pesannya lalu ditempelkan pada pintu kulkas dengan menggunakan pin magnet.
Flashback off.
Bergegas dia memarkirkan motornya di bawah bayangan tebing agar terhindar dari sengatan matahari jam sepuluh pagi. Membuka bagasi motornya, mengambil tikar lipat untuk alas duduknya. Tas ransel dengan emblem logam huruf E besar, brand trademark lokal yang terkenal berwarna coklat kemerahan segera ia bongkar isinya. Sketch book, pensil arang, botol air, beberapa wadah kecil, kotak kuas, palet dan tube cat air.
Segera mempersiapkan warna langit sebagai background utama. Awannya membentuk formasi cantik siang ini. Pulasan spons Adisti gunakan untuk gradasi biru langit. Lalu dibiarkannya kering dan dilanjutkan dengan pulasan spons lagi untuk mempertegas warnanya agar warna yang tampak tidak terlalu transparan. Sambil menunggu kering, dia mempersiapkan tube cat warna putih, menggoreskannya di palet lalu membasahi kuasnya sedikit. Ujung kuasnya ditutulkan sedikit pada warna putih, tangannya mulai bergerak halus membentuk awan.
Menunggu kertas gambarnya kering, dia berbaring memandangi langit. Netranya menangkap pemandangan mangkuk biru besar yang terbalik di atas sana dengan beberapa bercak putih seperti cabikan kapas. Warna biru yang luar biasa di kala hatinya gundah. Adisti hanya melukis saat hatinya gundah.
Lengannya terangkat, ujung telunjuknya bergerak mengikuti bentuk awan, seolah sedang melukisnya.
“Alhamdulillah cerah,” gumam Adisti sambil meletakkan lengannya di atas kening.
Tiba-tiba, kenangan sebulan yang lalu menyeruak ke permukaan ingatannya. Menghantam telak kesadarannya, memaksa hatinya untuk berdarah lagi. Ingatan handle pintu warna emas berbentuk wanita berambut ular, bayangan sepasang manusia yang tubuhnya saling membelit seperti ular, tatapan cemooh si Medusa, tatapan gugup dan panik lelaki masa lalunya.
Adisti berusaha menahan rasa sesaknya. Menekan dadanya sambil beristighfar dan mengatur nafas yang terasa berat. Merasa kian sesak, Adisti bangkit lalu berjalan ke tepian dataran.
Memandangi pemandangan di bawahnya dan kumpulan hijau yang membatasi horizon. Lalu berteriak kencang seperti orang gila,
“TIYO! Aku benci kamu..! You are a big bullsh***!”
Tangannya terkepal erat.
Menangis? Tidak. Sudah cukup air matanya untuk Tiyo.
Malah Andisti merasa lega. Plong.
Prasetyo yang seharusnya berarti lelaki yang setia ternyata tidak bisa setia.
Tiyo is the past_Tiyo adalah masa lalu_. Biarlah ia bersama jalangnya.
******? Kata yang tidak pernah Adisti pergunakan selama hidupnya karena terlalu kasar. Tapi Adisti tidak peduli. Kelakuan perempuan itu memang benar-benar kelakuan seorang ******.
Tiyo adalah sampah. Sampah selalu bersama lalat, analogi yang pas sekali untuk Tiyo dan jalangnya. Dan sampah harus dibuang agar tidak ada lalat yang menebarkan kuman penyakit.
“Jalang 1 dan ****** 2, pasangan ******,” Adisti tersenyum puas dengan penamaan yang ia buat.
Duduk sambil memeluk lututnya di tepian. Adisti menghela nafas lega. Benaknya penuh dengan pikiran positif. Matanya melihat pohon kecil berdaun tebal di retakan batu di bawah sana. Bonsai alami. Akarnya memeluk bongkahan batu seperti berjuang untuk tetap menempel pada batu agar tetap hidup. Sungguh perjuangan yang luar biasa. Dia menginginkan bonsai itu, untuk ayahnya yang selalu membesarkan hatinya dikala kesusahan melanda.
Adisti mengukur jarak dan meneliti tepian. Mencari pijakan untuk meraih bonsai tersebut. Tidak terlalu jauh dan tidak terlalu sulit. Ada beberapa pahatan batu yang terbentuk alami oleh angin dan beberapa tonjolan batu yang bisa dipakai untuk pijakan. Adisti yakin bisa.
Memperbaiki letak kerudungnya, lalu membersihkan tanah yang menempel pada kulitnya, ia mulai menuruni tepian. Menapaki jalan setapak sempit dari pahatan angin pada dinding batu sambil tangannya menyusuri tepian sebagai pegangan.
Setapak demi setapak, langkahnya semakin mendekati retakan batu tempat bonsai berada. Tangannya sudah bisa meraih batu tempat akar bonsai itu melekat. Satu hal yang baru ia sadari, ia tidak membawa alat apapun untuk mengambil bonsai tersebut. Ceroboh dan gegabah.
Ada tonjolan batu di dekat kaki kirinya. Bergegas kakinya menapak. Baru saja meletakkan beban tubuhnya pada pijakan batu tersebut, tiba-tiba… KRAGGKH! Batu yang menonjol itu patah, terlepas dari dindingnya.
Tubuh Andisti terhuyung ke samping. Bergegas tangannya meraih apapun untuk berpegangan. Hanya ada semak dan ilalang yang mana mungkin kuat menahan tubuhnya.
Adisti terkesiap, “Ya Allah!”
Tubuhnya meluncur membentur dinding batu. Kepala dan lututnya nya terantuk tonjolan batu. Semak dan pepohonan terlibas oleh berat tubuhnya. Lengan dan pipinya tersayat ranting. Rasanya waktu berjalan lambat. Meluncur dalam gerak lambat. Dia bisa melihat jelas dengan mata terpicing, apa-apa saja yang sudah membentur tubuhnya. Bagaimana bentuk daun yang terlibas tubuhnya. Bagaimana perpaduan warna dinding batu yang dilaluinya.
Rasanya tubuhnya meluncur ke bawah dalam waktu yang laaamaaa sekali. Hingga akhirnya tubuhnya berhenti meluncur. Dahan besar yang tumbuh entah dari arah mana menahan tubuhnya.
Rasa sakit menghantam bahu kirinya. Perih dan panas. Tubuhnya menghadap ke arah langit. Tercium aroma manis berbau besi dari arah bahunya. Darah sudah membasahi bagian depan bajunya. Telinganya berdenging keras.
Adisti teringat dengan ayah dan ibunya. Juga Agung, kakaknya. Andai dia berakhir di sini, dia belum sempat meminta maaf kepada semuanya. Seandainya saat ini adalah saat terakhir hidupnya, bagaimana keluarganya bisa mengetahui keberadaannya sedangkan tadi ia pergi diam-diam dari rumah?
“Ayah, Bunda, Kakak, tolong maafkan Adek. Maafkan Adek..”
Seharusnya, hari ini adalah hari bahagianya. Bila semua sesuai rencana, seharusnya pagi tadi dia sudah menjadi istri Tiyo. Seharusnya saat ini dia tengah berada di atas pelaminan bersalaman dengan para tamu undangan dan handai taulan. Seharusnya dia saat ini dia sedang… AKHH!
Adisti mengaduh tertahan. Luka di bahunya terasa nyeri luar biasa. Matahari bersinar terik. Harusnya dia merasa silau oleh cahayanya. Tapi pandangannya blur. Dari kelabu lalu menggelap. Cahaya seperti terhisap oleh kegelapannya. Gelap melingkupinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 316 Episodes
Comments
Angelina Sitinjak
up
2022-10-05
2