Wajahnya tampan dengan alis tebal dan bentuk mata yang runcing pada ujungnya. Hidungnya mancung proporsional. Bentuk mulutnya lebar dengan bibir yang tidak terlalu tipis ataupun tebal. Dia baru saja bercukur, meninggalkan jejak kehijauan pada kulit sawo matangnya.
Tangannya meraih gelas yang terisi setengah, menarik kursi makan lalu duduk. Menenggak habis isi gelas lalu berjalan ke arah pantry untuk mencuci gelasnya. Tidak ada asisten rumah tangga di tempat tinggalnya. Itu sebabnya dia mengerjakan semuanya sendiri untuk menjaga tempat tinggalnya tetap rapi dan bersih.
Berbeda dengan tempat tinggal orangtuanya, ada beberapa asisten rumah tangga yang bekerja di sana. Seminggu dua kali ada asisten rumah tangga yang dikirim dari rumah utama untuk bersih-bersih di apartemennya.
Dia bukan hanya tampan tetapi juga mapan. Mapan sejak lahir. Mungkin dia adalah gambaran tepat untuk istilah “terlahir dengan sendok perak di tangannya”. Tapi kedua orangtuanya mendidik anak-anaknya dengan baik. Mereka tidak menjadi anak manja, angkuh dan arogan. Bujangan yang paling diinginkan para kaum ibu yang mempunyai anak gadis.
Matanya menyapu meja ruang duduk. Tempat ia pagi tadi mempersiapkan barang-barang yang hendak ia bawa pagi ini. Memastikan semuanya sudah masuk ransel water proof-nya. Suara panggilan masuk dari gawainya. Ia menggendong ransel pada satu lengan sambil menjawab panggilannya.
“Assalamu’alaikum… Iya, gue jadi ke site. Nih udah mau otewe… Gak, gue pergi sendiri aja. Tar lu nyusul ya ke site bareng anak-anak. Kita briefing di sana…. Iya iya, gue ngerti. Tar aja kita omongin semua di sana. OK?” Bramasta membuka pintu mobilnya lalu meletakkan ransel di kursi depan, “Iya, lu juga hati-hati. Fii amanillah”.
Bramasta mulai menyalakan mobilnya. Mobil bermesin besar, dobel gardan dan dobel kabin berwarna kuning cerah dengan strip hitam doff. Mobil macho seperti tampilan pemiliknya. Jalanan mulai ramai dengan kendaraan. Arah Lembang memang selalu jadi tujuan di hari libur seperti hari ini.
Tidak ada suara musik yang mengiringi perjalanan, hanya murotal dengan volume pelan yang terdengar. Sejuk. Beberapa kali Bramasta mengikuti bacaan murotal hingga akhirnya ia melihat belokan ke arah tujuannya. Ada bendera oranye yang diikatkan pada tonggak kayu sebagai penanda.
Tersenyum sambil memutar kemudinya perlahan. Baru sebulan ia membeli property ini. Tanah dengan tebing batu berikut viewnya yang luar biasa (tetapi tidak disadari oleh pemilik tanah) dan tak ternilai dengan uang. Dibeli langsung dari pemilik tanahnya yang ditemuinya secara tak sengaja saat ia singgah di masjid setempat untuk Sholat Ashar.
Pemilik tanah bingung sudah tidak tahu harus dibagaimanakan tanahnya. Penuh bebatuan hingga tidak cocok untuk ditanami. Sementara ia sedang membutuhkan uang untuk biaya anak-anaknya yang sedang kuliah di Unpad.
Proses penjualan berlangsung lancar dan cepat. Bramasta tidak menawar harga. Dia hanya mengangguk kepada pemilik tanah saat dia menyebutkan harga.
Bagi Bramasta, niatnya hanya ingin menolong dan obrolan terjadi di pelataran masjid yang artinya pemilik tanah adalah orang yang rajin ke masjid.
Saat itu ia hanya berucap, “Insyaa Allah, minggu depan kita ketemuan lagi ya Pak untuk melihat tanah Bapak.”
Bramasta datang menemui pemilik tanah minggu depannya untuk melihat lokasi. Masuk ke lokasi, Bramasta tersenyum optimis. Turun dari mobilnya lalu berjalan ke arah pemilik yang datang menggunakan motor Supra-nya. Langsung menyalami pemilik sambil berkata,
“OK deal, Pak. Saya beli tanah Bapak. Ini DP untuk pembelian tanahnya sisanya saya transfer saja ya Pak supaya aman. Nanti ada asisten saya yang mengurus untuk keperluan legalitasnya.”
Kenangan saat membeli property ini membuatnya tersenyum. Ia masih tersenyum ketika mencari tempat parkir yang enak. Senyumnya buyar berganti dengan kernyit heran melihat ada sebuah motor matik terparkir di propertinya.
Tatapannya mencari-cari, lalu terpaku pada sosok gadis yang terlihat sedang berlutut di tepian jurang. Ujung kerudung panjangnya berkibar tertiup angin. Kemudian bangkit sambil mengibaskan tanah yang menempel di celana kulot warna lavender. Gadis itu kemudian mulai menapaki tepiannya. Tangannya meraba dinding batu.
Bramasta mulai merasa was-was. Bergegas membuka pintu mobilnya.
“WOIIIIIYY!!!” Suaranya terlalu jauh untuk terdengar oleh si Gadis. Berlari kencang ke arah gadis yang kini hanya terlihat puncak kepalanya saja, “JANGAN NEKAT!”
Baru saja tiba di tepian dengan nafas terengah, ia mendengar suara berderak kemudian pemandangan tubuh gadis itu goyah dan melenting ke samping.
“Ya Allah!” seru si Gadis dengan mata terpejam ketakutan. Tubuhnya jatuh dengan cepat ke bawah. Ujung pashmina ungu mudanya melambai. Suara ranting dan dahan patah juga suara dedaunan yang terlibas tubuhnya terdengar sangat jelas di telinga Bramasta. Hingga akhirnya tubuhnya berhenti meluncur tertahan dahan pohon besar. Punggungnya terbentur keras. BUGGGH!!!
“Ya Allah! Astaghfirullah!” Bramasta terperangah.
Kejadiannya begitu cepat. Menyaksikan semuanya dengan mulut ternganga. Menggeleng tidak percaya saat melihat si Gadis mengernyit kesakitan. Kemudian diam tak bergerak.
Bramasta lari kembali ke arah mobilnya. Menyalakan mesin mobilnya lalu memarkirkan sedekat mungkin tapi masih dalam jarak aman dengan tepian. Berjalan dengan cepat ke bak belakang mobilnya. Membuka penutup terpalnya dengan kasar lalu mengambil perlengkapan rappelingnya.
Tangannya bergetar karena banjir adrenalin saat memakai harness. Kembali melihat ke arah si Gadis untuk mengukur jarak, memperkirakan kecukupan panjang tali.
“Hey.. Nona! Kamu bisa mendengar suara saya?!”
Tidak ada sahutan. Hanya terdengar suara angin dan suara nafasnya sendiri yang memburu.
Bramasta mengaitkan tali karmantel pada harnessnya lalu membuat simpul pada kait yang ada pada gardan depan mobilnya.
“Assalamu’alaikum!” dia menghubungi Indra, sahabatnya, “Ndra, lu dimana? Emergency Ndra. Buruan ke site. Ada cewek jatuh ke jurang. Buruan ya!”
Tanpa menunggu jawaban Indra, Bram mematikan panggilannya. Memasukkan gawainya ke saku bajunya lalu mengamankannya dengan menutup risleting saku.
Tali dihentakkan untuk memastikan kekokohannya. Tangannya dicelupkan pada kantung bubuk magnesium. Menepuk-nepuknya sebentar kemudian tubuhnya membelakangi jurang. Tangan kanannya memegang descender, alat untuk membantu menahan laju tubuh saat turun dan mencegah terjadinya freefall.
“Bismillahirrahmaanirrahiim,” dia melompat ke arah belakang.
Berusaha menjaga tubuhnya untuk tetap tegak lurus dengan dinding batu. Menolak kakinya lagi setiap telapak kakinya menyentuh diding batu agar dia bisa cepat sampai ke tubuh si Gadis.
Dia berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan gadis itu karena tidak ada yang tahu sampai berapa lama dahan itu mampu menahan tubuh si Gadis.
“Hey.. tenanglah, insyaa Allah saya akan menolong kamu,” Bramasta memulai percakapan sambil memasang chest harness yang ia bawa di lengan kirinya, “Maaf ya, terpaksa saya harus memotong kerudung kamu. Tersangkut dan susah ditarik.”
Tubuh Si Gadis terguncang saat Bramasta memakaikan chest harness, sedikit membuka matanya, melihat wajah Bramasta yang berada tepat di atas wajahnya, jemari kanannya bergerak memegang wajah Bramasta. Bramasta tersentak kaget. Tangannya membeku. Tidak pernah ada gadis manapun yang menyentuh wajahnya. Dia menunduk mengamati wajah si Gadis.
“Malaikat..” si Gadis bergumam lalu terdiam dan terpejam. Bramasta mendengar gumaman si Gadis. Tapi Bramasta tidak membiarkan pikirannya berpikir jauh. Dia harus bergerak cepat.
Baguslah gadis itu pingsan lagi, setidaknya akan mempermudah mengevakuasinya dalam keadaan pingsan seperti itu daripada dalam keadaan terjaga lalu bergerak panik.
Bramasta mengaitkan harness si Gadis. Memeriksa kaitannya tidak akan lepas. Lalu mengganti descender dengan ascender untuk membantunya naik ke atas.
Sungguh bukan pekerjaan yang mudah membawa tubuh si Gadis ke atas seorang diri. Telapak tangannya berkeringat. Ia merogoh kantong bubuk magnesium yang tergantung di belt-nya. Mereka mulai naik.
Beberapa kali Bramasta harus berhenti untuk beristirahat. Lengan dan bahunya terasa sakit. Ototnya terasa panas. Keringat menetes dari alis matanya menghalangi pandangannya.
Dia mendongak ke atas karena mendengar banyak suara langkah kaki. Alhamdulillah.
“Boss_Bos_? Are you OK_Kamu baik-baik saja_?” Indra melongokkan kepalanya ke bawah.
Bramasta tidak menjawab, hanya menghembuskan nafas kasar.
Dua orang langsung sigap turun menggunakan tali untuk membantu Bramasta.
Indra memerintahkan orang-orang yang di tepian untuk membantu menarik Bramasta dan si Gadis. Gadis itu lebih dulu sampai di atas, dibaringkan di dekat mobil. Indra mengulurkan tangannya untuk membantu Bramasta naik.
Lalu menyodorkan botol air mineral yang langsung disambar Bramasta. Bramasta mengatur nafasnya usai menghabiskan air dalam botol.
“Siapa dia?” tanya Indra.
“Entah.”
“Dia mau bunuh diri?” tanya Indra lagi.
“Gue gak yakin. Lu urus barang-barang dia ya sama motornya. Cek identitasnya. Gue ke rumah sakit sekarang,” Bramasta menghampiri tubuh si Gadis lalu memeriksa kondisi bahunya yang terluka.
“Cantik ya,” Indra berkomentar dari arah belakang.
Bramasta hanya bergumam tak peduli lalu memerintahkan anak buah Indra untuk memindahkan tubuh si Gadis ke dalam mobil, “Ndra, kalau sudah dapat identitasnya, buruan kontek gue ya. Gue cabut sekarang. Assalamu’alaikum.”
2 orang ikut dalam mobil Bramasta. Langsung meninggalkan lokasi dengan kecepatan tinggi.
***
Catatan Kecil:
• Tali Karmantel adalah tali yang bersifat lentur yang dipakai untuk kegiatan panjat/menuruni tebing.
• Harness adalah penopang tubuh yang merupakan jangkar yang menghubungkan tali dengan tubuh.
• Ascender adalah alat bantu panjat tebing, alat ini akan mengunci otomatis ketika diberi beban dan melonggar ketika beban diangkat.
• Descender adalah alat bantu untuk menuruni tebing yang akan membantu menahan laju pengguna dan mencegah terjadinya freefall.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 316 Episodes
Comments
Ough See Usi
sama-sama..
😆
2022-09-26
0
Jamal
jadi punya ilmu tentang peralatan panjat tebing nih. Thanks Thor..
2022-09-26
1