Bunda menghentikan kegiatan menyiangi petak Slada Butterhead saat sebuah mobil Avanza berhenti di depan rumah. Berdiri sambil membersihkan tangannya, Bunda berdiri di teras. Matanya masih menatap mobil dengan wajah bertanya-tanya. Pintu penumpang mobil terbuka, Adisti membuka pagar dengan wajah tertunduk. Tubuhnya bergetar.
“Dek..?” Bunda bertanya pelan.
Adisti mengangkat wajahnya. Matanya bergetar memandang Bunda lekat. Hati Bunda mencelos, merasakan ada sesuatu yang tidak baik pada putrinya.
Tangis Adisti pecah. Bunda bergegas meraih Adisti ke dalam pelukannya.
"Ada apa Dek? Bilang ke Bunda, ada apa?”
“Batalkan semuanya, Bun. Batalkan semuanya..” isak Adisti terdengar menyayat. Tubuh Adisti bergetar hebat.
“Dek?” mata Bunda berkaca-kaca.
“Batalkan semuanya. Belum terlambat untuk membatalkan semuanya. Bila diteruskan, martabat keluarga kita akan dipertaruhkan. Batalkan semuanya,” tubuh Adisti luruh, merosot lunglai seolah tak bertulang. Bunda mencoba menahannya tetapi tidak kuat. Ikut bersimpuh sambil memeluk Adisti.
“Dek.. Adek..” Bunda mengguncang tubuh Adisti, “Ya Allah.. bagaimana ini?”
Ayah sedang tidak ada di rumah. Agung belum pulang dari kantor pengiriman.
“Dek…” Bunda mengguncang tubuh Adisti lagi. Mencoba membangunkannya.
Suara motor Agung memasuki halaman membuat Bunda menoleh cepat.
“Agung..! Tolong adikmu, Nak!” Bunda berteriak dengan mata berlinang.
Agung menoleh ke arah suara. Heran karena Bunda duduk di lantai dengan tubuh Adisti dalam pelukan Bunda. Bergegas membuka helmnya lalu menghampiri.
“Bun, kenapa?” Agung meraih tubuh Adisti, “Dek, kamu kenapa Dek?”
Agung mengangkat tubuh Adisti, membawanya ke sofa ruang tengah. Bunda bergegas ke kamarnya mengambil minyak kayu putih.
“Gung, telepon Ayah.”
Agung mengangguk. Bunda membaluri telapak kaki, perut, dada dan tangan Adisti dengan minyak kayu putih. Tubuh Adisti terasa dingin kulitnya. Bunda membuka pashmina dan inner kerudung yang dipakai Adisti. Rambutnya basah oleh keringat yang membanjir. Wajah Bunda terlihat cemas sekali.
“Dek, bangun Dek. Kamu kenapa?”
“Sebenarnya apa yang terjadi Bun?”
Bunda menggeleng.
“Bunda juga gak tahu, Kak. Adek baru saja pulang beberapa menit sebelum Kakak sampai tadi. Turun dari taxi online, wajahnya sudah pucat. Saat Bunda tanya, dia langsung menangis. Kata Adek, batalkan semuanya, belum terlambat, martabat keluarga kita akan dipertaruhkan bila diteruskan..”
“Ini tentang apa Bun?”
“Bunda juga gak tahu, Kak. Tapi perasaan Bunda gak enak dengan Tiyo. Adek pulang sendiri padahal tadi pergi berdua. Pulang juga dalam keadaan tubuh gemetaran dan pucat pasi.”
“Adek bertengkar dengan Tiyo?”
“Sepertinya begitu.”
“Orang yang mau menikah katanya suka ada aja ujiannya. Mungkin ini ujian mereka?”
“Mungkin, Kak.”
“Assalamu’alaikum,” suara Ayah memasuki ruang tengah, “Adek kenapa?”
Ayah menghampiri Adisti, menyentuh keningnya sambil mendengarkan penjelasan Bunda dan Agung. Ayah memijati telapak kaki Adisti, menekan titik-titik syaraf pada ujung-ujung jari kakinya.
“Bun, tolong siapkan teh manis hangat,” pinta Ayah.
Adisti mulai merintih. Kepalanya bergerak pelan. Matanya mulai terbuka.
“Dek, sudah bangun?” tanya Ayah, “Adek sudah sadar? Tahu ini dimana?”
Adisti mengangguk.
“Adek minum dulu ya?” Ibu menyuapi teh manis dengan menggunakan sendok makan. Agung membantu menyangga tubuh Adisti.
Pipi Adisti mulai bersemu lagi tidak pucat seperti tadi. Bunda membelai rambut Adisti dengan lembut.
“Sekarang cerita ke Bunda ada apa?”
“Batalkan pertunangan Adisti, Yah. Batalkan pernikahannya,” mata Adisti menatap Ayahnya dengan pandangan memohon.
“Kenapa?”
“Semuanya sudah selesai. Dan memang harus diakhiri juga sekarang ini. Adisti tidak mau menikahi seorang penzina seperti dia.”
Semuanya terperanjat.
“Tiyo? Bagaimana?”
“Gak usah sebut namanya lagi di rumah ini. Najis!”
“Istighfar, Dek,” Bunda membelai tubuh Adisti,” Ceritakan pada kami semuanya.”
Tangan Adisti terkepal. Bibirnya bergetar, “Adek melihat semuanya, melihat dengan mata kepala sendiri, mereka berzina di ruang ganti. Keduanya……. nyaris telanjang..” ada air mata yang mengalir di ujung matanya.
“Subhanallah. Na’udzubillahi min dzaalik,” ketiganya berseru.
“Tiyo dengan siapa, Dek?”
“Perempuan itu, perias dan designer pemilik salon yang selalu meremehkan Adek.”
“Kurang ajar betul itu si Tiyo. Brengs*k. Anj*ng! Bilang ke Kakak, dimana sekarang bajingan itu?!” Agung berdiri penuh amarah. Ayah memeluk Agung. Memaksanya untuk kembali duduk.
“Kaaak, istighfar Nak,” Bunda mengingatkan Agung, “Bunda tidak pernah mengajarimu untuk memaki.”
“Kita pikirkan dengan kepala dingin,” Ayah mengusap wajahnya sambil beristighfar, “Kita akhiri pertunangan Adisti dan kita batalkan pernikahannya. Kumpulkan barang-barang pemberian keluarga Hilman Anggoro saat lamaran dulu. Sore ini juga kita kembalikan semuanya.”
Bunda mengangguk. Ayah memeluk Adisti dengan tatapan penuh luka. Luka seorang ayah yang anak gadisnya dipermainkan di saat pernikahannya tinggal menunggu hari. Agung mengepalkan tangannya kuat-kuat.
Semua sibuk mengumpulkan barang-barang pemberian saat lamaran dulu berikut kotaknya. Dikumpulkan di ruang tamu. Agung membuka bagasi mobil, memasukkan semuanya dibantu oleh Adisti yang bekerja dalam diam.
Semuanya sudah masuk mobil. Adisti bergegas ke kamarnya. Mengambil paper bag besar lalu mengisinya dengan barang-barang hadiah dari Tiyo. Tanpa bersuara dan tanpa air mata. Ia ingin ini semua cepat selesai. Ia ingin segera menghapus jejak Tiyo dari benaknya. Menjadi masa lalunya yang tidak akan pernah dilihat lagi.
Ba’da Maghrib mereka sudah bersiap. Suasana hening dalam mobil, sibuk dengan pikiran masing-masing. Agung mengemudi mobil, Ayah duduk di samping Agung. Bunda dan Adisti di tengah. Bunda menggenggam tangan Adisti untuk menguatkan.
APV Silver yang mereka tumpangi memasuki pelataran rumah keluarga Hilman Anggoro yang luas. Tidak tampak mobil Tiyo di garasi, berarti Tiyo belum pulang ke rumah.
Ayah memencet bel. Bunda memegang erat lengan ayah. Pintu terbuka, seorang asisten rumah tangga mengangguk ramah kepada mereka.
“Assalamu’alaikum, Mbak. Bapak dan Ibu Hilman Anggoro ada?” Ayah bertanya sopan.
Asisten itu mengangguk. Tersenyum.
“Tunggu sebentar ya Pak, Bu. Saya beritahukan dulu kepada Tuan dan Nyonya apakah bersedia menerima tamu atau tidak,” asisten rumah tangga tersebut itu menutup pintu kembali lalu berlalu masuk.
Bunda menyikut Ayah, “Gak punya adab!”
“Najis,” Agung menimpali.
“Ssssst,” Ayah mengingatkan.
Adisti hanya diam saja, tangannya sibuk memutar-mutar kotak cincin yang berada di genggamannya.
Suara detak sepatu terdengar juga suara gumaman dari balik pintu. Pintu terbuka, tampak suami istri Hilman Anggoro menatap mereka sambil tersenyum.
“Assalamu’alaikum, Pak dan Ibu Hilman,” sapa ayah.
“Wa’alaikum salam,” sahut mereka berbarengan.
“Adisti sudah fitting bajunya? Bagaimana? Bagus bajunya?” tanya Ibu Hilman.
Adisti hanya tersenyum hambar lalu mengangguk. Mereka semua masih berdiri di teras rumah.
“Tiyo kok belum pulang ya? Bahkan tadi siang tidak menghadiri meeting penting dengan klien. Klien jadi marah-marah tadi. Kamu tahu Tiyo dimana?”
Adisti menggeleng, “Tadi sehabis fitting, saya pulang sendiri, Tante. Pakai taksi online.”
“Loh, gimana sih?” Ibu Hilman menghubungi nomor anaknya. Hanya ada suara operator yang terdengar.
Ayah berdehem, “Apa tidak sebaiknya kita berbicara di dalam saja, Bu? Ada hal penting yang harus kita bicarakan.”
“Oh iya, mari masuk Pak, Bu,” Pak Hilman mempersilahkan mereka masuk, “Maaf sampai lupa memepersilahkan kalian masuk.”
Mereka duduk di sofa warna beige di ruang tamu yang bernuansa krem dan putih.
“Ada perlu apa ya Bapak dan Ibu Gumilar malam ini datang kemari,” tanya Pak Hilman.
“Sebenarnya, kami datang kemari bermaksud untuk memutuskan pertunangan anak-anak kita dan membatalkan rencana pernikahan mereka juga mengembalikan semua barang-barang yang diberikan sewaktu acara lamaran.”
Ruangan mendadak sunyi menegangkan. Suami istri Hilman Anggoro saling berpandangan.
“MAKSUDNYA APA INI?!” Ibu Hilman berdiri dengan gusar menatap Adisti yang meletakkan kotak cincin pertunangannya di atas meja.
“Hanya karena anak saya tidak mengantarkan kamu pulang, lalu kamu membatalkan semuanya?” tangan Bu Hilman menunjuk Adisti yang tertunduk, “Sebulan lagi kalian menikah. Undangan sudah disebar. Semua sudah siap. Kalian dengan seenaknya membatalkannya??”
“Bukan itu permasalahannya, Bu..” Ayah berusaha menjelaskan.
“Kurang baik bagaimana lagi kami? Semua biaya resepsi kami yang tanggung. Kalian hanya membiayai undangan dan foto prewedding saja. Coba kalian pikir, kurang baik bagaimana kami??!” Bu Hilman berkacak pinggang dengan mata melebar, “KAMU! perempuan yang tidak tahu diuntung. Anak saya mengejar kamu dari dulu. BEGINI BALASAN KAMU??!” tangannya menunjuk pada Adisti.
Bunda menatap geram pada wanita sombong di hadapannya. Dia tidak terima Adisti dan keluarganya dihina sedemikian rupa.
“HEY BU!!” Bunda menggebrak meja, “Hati-hati kalau bicara dan menuduh sembarangan. Tidak ada asap kalau tak ada api. Anak saya tidak akan berbuat bila tidak ada penyebabnya. Tanyakan sendiri kepada anak ibu tentang kejadian di ruang fitting tadi pagi!” mata Bunda menatap galak kepada Bu Hilman.
“Apa? Apa yang terjadi?” Pak Hilman menarik lengan istinya agar duduk kembali tapi ditepis dengan kasar oleh istrinya sambil duduk.
“Makanya berikan kesempatan orang lain untuk berbicara, bukannya langsung main tuduh seperti yang istri anda lakukan, Pak,” kata Bunda.
“Ceritakan, ada kejadian apa saat fitting baju tadi?” tanya Pak Hilman.
“Adisti melihat Tiyo dan Rita berzina di di dalam ruang fitting baju,” Ayah berkata sambil mengeratkan rahangnya dan mengepalkan tangannya, “Nyaris telanjang.”
“Apaaa??! Gak mungkin Tiyo melakukan hal itu. Kami tahu betul anak kami,” Bu Hilman membantah.
“Apa buktinya? Kalian menuduh anak kami berzina, apa buktinya?” tanya Pak Hilman tidak percaya.
Hening. Ayah memandang Adisti.
“Tanyakan pada anak Bapak. Dia mengakuinya atau tidak. Kalau dia tidak mengakuinya, silahkan cek CCTV butik. Setiap ruangan dilengkapi CCTV. Kecuali bilik tirai di ruang ganti,” Adisti menatap lurus wajah Pak Hilman, “Ini saya kembalikan cincin pertunangan kami.”
Adisti mengangsurkan kotak cincin itu ke tengah meja tamu, “Silahkan diperiksa, Bu. Apakah benar ini cincin pertunangan yang pernah ibu berikan atau bukan. Periksa juga fisiknya, apakah ada yang cacat atau tidak. Jangan khawatir, saya sudah menghapus jejak jari saya pada cincin tersebut. Cincin tersebut sudah saya bersihkan dengan hati-hati dan sudah disucihamakan.”
Adisti mengucap kalimat panjangnya dengan tenang. Matanya menatap tajam pada mantan calon mertuanya yang mulutnya sering menyinyiri keluarga Adisti yang tidak sekaya mereka sejak dahulu. Agung menatap bangga kepada adiknya.
“Mbak Nah,” panggil Adisti saat melihat asisten rumah tangga yang ia kenal masuk menyediakan teh, “Tolong bantu kami mengeluarkan barang-barang di mobil, ya.”
“Iya, Non..”
Agung dan Adisti keluar menuju mobil. Dibantu oleh beberapa orang asisten rumah tangga, mereka menurunkan barang-barang saat lamaran dulu. Sementara itu Pak Hilman tampak menghubungi seseorang dengan gawainya. Adisti membawa masuk 2 paper bag besar. Adisti meletakkan paper bag tersebut di dekat kakinya. Ada boneka yang menyembul dari paper bag.
“Ini list daftar pemberian barang-barang sewaktu lamaran. Silahkan dicek Bu. Semuanya masih tersimpan rapi berikut kotaknya. Tidak perlu saya bacakan kan?” Adisti melanjutkan tanpa menunggu jawaban, “Dan ini adalah barang-barang pemberian dari anak Bapak dan Ibu selama kami bersama. Saya kembalikan semuanya. Mohon maaf, bonekanya tidak sempat saya cuci karena ini dadakan sekali. Tolong kembalikan kepada anak Bapak dan Ibu.”
Adisti memandang Ayah dan Bunda, lalu mengangguk kepada mereka.
“Kami mohon diri, Pak dan Bu Hilman. Mulai malam ini, anak-anak kita tidak ada hubungan apapun. Anggap saja mereka tidak berjodoh. Terimakasih banyak atas waktu yang sudah diluangkan. Assalamu’alaikum,” Ayah berdiri dari duduknya.
Adisti berjalan ke arah mantan calon mertuanya. Mengajak salim tapi ditepis oleh Bu Halim, Pak Halim pura-pura tidak melihat tangan Adisti yang sudah terulur kepadanya.
“Ayo Dek, kita pulang sekarang,” Ayah memanggil Adisti. Tidak tega melihat Adisti tidak dihiraukan oleh mantan calon besannya.
Lewat tengah malam, Tiyo pulang dengan langkah sempoyongan. Tubuhnya beraroma alkohol. Dia tersandung jatuh oleh kotak-kotak yang berjejer rapi di lantai ruang tamu. Mengumpat pelan namun matanya melebar setelah tahu kotak-kotak tersebut. Matanya tertumbuk pada 2 paper bag di dekat kaki meja. Bergegas ia hampiri, mengaduk isinya. Lalu mulai terisak menangis sambil memeluk boneka beruang coklat kartun Korea. Menghidu aroma boneka yang masih menyisakan aroma Adisti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 316 Episodes
Comments
himawatidewi satyawira
udh dicuci bersih pake deterjen cuci baju trs dibilas dicuci lg ma deterjen cuci piring, bilas, sdh dilangkahin 7x
2023-11-02
1
himawatidewi satyawira
lawan bun...sikaat
2023-11-02
1
himawatidewi satyawira
bkn kurang baik, mak..tp kurang ajuuaarr
2023-11-02
1