NovelToon NovelToon

CEO Rescue Me!

BAB 1 – ADISTI’S SKYFALL

“Kami menyadari perekonomian kita berbeda. Jadi nanti untuk acara resepsi, mulai dari busana hingga dekor dan pelaminan biar kami yang menanggungnya,” Nyonya Hilman berkata saat acara lamaran usai.

“Ini juga untuk memudahkan pihak vendor dan wedding organizer untuk mewujudkan dekorasi sesuai selera kami. Jadi kalian tidak usah repot-repot menyumbang ide untuk acara nanti. Selera kita berbeda,” Nyonya Hilman tersenyum sambil mengeluarkan kipas lipat dari tas tangan mahalnya.

“Tapi Bu Hilman, alangkah lebih baik bila kita membicarakan semuanya dan memutuskan bersama,” suara Bunda terdengar penuh tekanan.

“Tdak perlu seperti itu, Bu Gumilar. Kami yang akan mengeluarkan biaya yang paling banyak, maka hak kami untuk mengatur segala sesuatunya,” tangannya sibuk mengipas-ngipas tubuhnya, “Ih kok panas banget sih rumahnya. Ini gak ada AC-nya?”

Tuan Hilman menyikut lengan istrinya. Istrinya hanya melengos.

“Maaf Tante, rumah kami memang tidak ada ACnya karena ventilasinya cukup baik,” jawab Agung.

Nyonya Hilman berdecih. Agung mengetatkan rahangnya. Wajah Adisti memerah bersiap untuk meledak. Dia menendang tumit tunangannya yang duduk di dekatnya. Prasetyo menatapnya. Adisti menggunakan dagunya untuk menunjuk calon mertuanya.

“Ma, please!” Prasetyo memandangi Mamanya, “Ayah, Bunda maaf. Mama tidak bermaksud menyinggung. Tolong jangan diambil hati.”

Bunda menghela nafas.

“Supaya tidak terlalu membebani, sebaiknya kami juga ikut andil dalam pembiayaannya,” kata Ayah.

“Baik, kalau begitu untuk pembuatan undangan, kalian yang membiayainya ya. Untuk desainnya dan pemilihan kertas nanti saya yang menentukannya,” Nyonya Hilman tersenyum, “Cetak untuk 2000 undangan.”

“Dua ribu?” Ayah terperanjat, “Apa tidak terlalu banyak, Bu?”

“Kami mempunyai banyak relasi bisnis dan kedudukan Prasetyo sebagai pewaris Anggoro Putro mengharuskan kami banyak mengundang rekan dan relasi bisnis kami,” Tuan Hilman bersuara.

“Baiklah.”

Dan kini Agung memandang muak pada undangan yang ia pesan atas permintaan calon mertua adiknya. Undangan dengan design mewah dengan banyak printilan mahal yang terkesan cengeng dan rapuh juga sebenarnya kampungan. Jadi, siapa yang sebenarnya kampungan di sini?

Harga undangannya dibandrol Rp 100.000,- per undangan, dikalikan 2000 undangan. Total dua ratus juta untuk undangan! Sangat mubazir. Semuanya sepakat merahasiakan total harga undangan yang dicetak dari Adisti. Beban Adisti sudah cukup berat menghadapi kesombongan orangtua Prasetyo. Lagipula memang Ayah dan Bunda menyediakan dana sekitar 250 juta untuk pernikahannya.

Semua undangan yang dicetak dibawa ke kediaman Keluarga Anggoro. Dari 2000 undangan yang dicetak, Nyonya Hilman hanya memberi 100 undangan untu Keluarga Gumilar itupun diantarkan oleh supirnya. Adisti marah besar pada Prasetyo.

“Dek, sebenarnya perasaan Adek bagaimana sih ke Tiyo?” tanya Agung penasaran.

“Adek kasihan ke Tiyo. Keluarganya membebaninya dengan banyak hal.”

“Maksud Kakak, hati Adek bagaimana ke Tiyo?”

“Adek merasa kasihan. Tiyo sudah mengejar Adek sejak lama. Bantuin Adek banyak hal. Dia care banget ke Adek.”

“Adek cinta gak sih?”

“Cinta itu yang seperti apa sih?” Adisti tersenyum pada Kakaknya, “Gak usah cemas, Kak. Pepatah Jawa mengatakan witing tresno jalaran ing saka kulino.”

“Artinya?”

“Cinta hadir karena terbiasa.”

Adisti bersenandung riang saat menuruni tangga. Menuruni tangga dengan cepat.

“Dek, jangan lari. Gak lucu kan jadi manten tapi kakinya digips,” kata Ayah.

Adisti mengerucutkan bibirnya, “Biar cepat, Yah.”

“Duh..yang gak sabar jadi manten..” Agung menggoda Adisti.

“Issh Kakak ini,” Adisti merangkul kakaknya, “Kak, beneran Kakak gak apa-apa karena dilangkahi Adek?”

“Iya, Kakak ikhlas. Kakak ingin bahagiain Bunda sama Ayah dulu,” Agung menyentuh pucuk kepala adiknya dengan gemas.

“Tapi sebenarnya Ayah dan Bunda lebih bahagia kalau Kakak menyempurnakan separuh agamamu, Nak,” kata Bunda.

“Calonnya kan belum ada, Bun..” Agung membungkus undangan untuk dikirimkan lewat jasa pengiriman.

“Kakak masih betah jadi jomblo..” Adisti meledek kakaknya.

“Adek jadi hari ini mau fitting baju?” tanya Bunda.

“Hmm, sebenarnya males, Bun. Males datang ke butik itu,” Adisti menundukkan wajahnya.

“Kenapa?” tanya Bunda.

“Entah apa yang diceritakan Mamanya Tiyo, dari awal ketemu owner butik itu kok tatapan dan sikapnya seperti yang melecehkan, Bun. Gak nyaman lah pokoknya. Padahal nanti dia yang akan merias Adek.”

“Sikap Tiyo bagaimana saat kamu dilecehkan seperti itu?”

“Ya gak gimana-gimana. Entah karena gak peka atau gak tahu atau entahlah. Cuma udah 2 bulan ini Tiyo kok aneh ya Bun?”

“Aneh bagaimana?”

“Jarang chat, jarang nelepon, juga jarang ke sini.”

“Sibuk kali.. Kan semua urusan diurus oleh keluarganya. Positive thinking aja Dek.”

“Iya positive thinking aja. Tentang perias yang gak ramah ke Adek, cuekin aja. Toh yang bakal menikah kan Adek, bukannya dia,” Ayah ikut menimpali.

“Bilang ke Kakak kalau Tiyo macam-macam sama Adek, ya,” Agung menepuk dadanya.

“Emang mau diapain?”

“Dikelitikin.”

“Dih.”

Suara klakson mobil terdengar, Ayah dan Bunda saling berpandangan.

“Tiyo udah jemput, Bun, Yah. Katanya dia gak bisa mampir karena terburu-buru, waktunya mepet,” Adisti menyambar tasnya, salim pada Ayah, Bunda dan Agung, “Assalamu’alaikum”.

Mereka bertiga saling berpandangan, “Tumben..”

Mereka tiba di sebuah bangunan 3 lantai, salon sekaligus butik langganan keluarga Tiyo. Tiyo lebih dulu membuka pintu. Langkahnya tampak tak sabar ingin memasuki gedung tersebut. Dia menoleh ke arah Adisti yang tampak masih memandangi gedung dari dalam mobil.

“Dis, buruan!”

Adisti membuka pintu dengan perlahan. Melangkah dengan ragu. Perasaannya terasa tidak enak memasuki gedung ini.

“Bismillah..” Adisti memantapkan langkahnya melihat Tiyo dengan raut wajah yang tidak sabaran.

Mereka berdua memasuki pintu kaca tebal dengan ornament berwarna emas, wajah wanita berambut ular logo brand ternama dunia sebagai handle pintunya.

Udara dingin dengan wangi bunga lilac menyengat menyambut mereka. Adisti paling benci aroma lilac. Dia berusaha menahan nafas hingga hidungnya terbiasa dengan aroma ini.

Ada 2 sofa nyaman di sana. Petugas frontdesk tersenyum kepada mereka berdua.

“Selamat pagi, sudah buat janji sebelumnya?”

“Teh Rita meminta kami untuk fitting baju pengantin,” Tiyo menjawab. Teh Rita, owner gedung ini sekaligus MUA utama di salon ini.

“Ah, ya.. Tuan Prasetyo dan Nona Adisti, gaun dan stelan untuk bulan depan ya?”

Mereka berdua mengangguk.

“Silahkan ikuti saya,” kata petugas frontdesk. Ada 2 pintu di dalam ruang foyer ini, pintu kanan menuju salon sedangkan pintu kiri mengarah ke butik. Petugas tadi mengarahkan mereka ke pintu kiri, “Silahkan menunggu di sini, bajunya akan kami persiapkan. Kami akan memberitahu Ibu Rita tentang kedatangan Tuan dan Nona.”

Petugas tersebut menghilang di pintu yang ada di dalam ruangan.Adisti dan Tiyo duduk bersebelahan di sofa yang sama. Adisti memilin jarinya. Jantungnya semakin berdegup kencang dan perasaaan yang tidak enak semakin menyeruak.

Suara sepatu high heels terdengar nyaring. Lalu sosok wanita cantik dengan rambut warna madu muncul dari tembok yang melengkung.

Dengan blouse putih berenda seperti wanita gypsi dengan potongan leher Sabrina yang menonjolkan bahu dan sedikit belahan dada mendekati mereka berdua. Rok lebar selututnya tampak bergerak mekar seperti bunga saat ia berjalan.

“Hai Prasetyo, hai Adisti, apa kabarnya?” suara Teh Rita terdengar berat karena efek rokok.

Dia langsung memeluk Tiyo dengan tangan mencengkeram kuat pada bisep Tiyo lalu mengecup kedua pipi Tiyo. Adisti terperanjat. Baru kali ini ia melihat Tiyo bersedia pipinya dikecup oleh wanita yang bukan mahromnya.

Teh Rita menghadap Adisti, memeluknya cipika cipiki sekedarnya, sama sekali tidak menyentuh pipi. Adisti memandangi Tiyo dengan tatapan aneh.

“Kenapa? Marah?” tanya Teh Rita, “Please deh.. ini tahun berapa. Jangan kampungan. Udah biasa dalam pergaulan.”

Tiyo terkekeh sambil menyenggol lengan Adisti.

“Langsung aja, Teh. Siang ini saya ada meeting,” kata Tiyo.

“Meeting di hari Minggu?” mata Teh Rita terbelalak, lensa kontaknya yang berwarna ungu membuat matanya tampak eksotik, “Waah sibuk banget kamu ya. Kenapa hari Minggu sih?”

“Klien bisanya hari Minggu, ya mau bagaimana lagi,” Tiyo mengangkat bahu.

“Ya udah, ayo,” Teh Rita mengajak mereka memasuki ruang berdinding melengkung.

Ada beberapa baju pengantin baik gaun ataupun kebaya yang sudah selesai dibuat dipasang pada manekin tanpa kepala.

“Yang itu punya mama kalian,” Teh Rita menunjuk 2 gaun modifikasi kebaya warna dusty pink. Payet dan mute terjalin rumit di bahu dan bagian pinggangnya.

“Adisti, itu baju pengantin kamu. Gimana? Suka?” Teh Rita menunjuk ke gaun yang ada di salah satu ruangan.

Adisti memandang takjub. Gaun pengantinnya berwarna dusty pink dengan aksen magenta. Menjuntai dengan indah. Sinar lampu membuat payet dan mutenya terpasang berkilau cantik.

“Cantik banget, Teh. Terimakasih banyak,” Adisti masih memandang takjub pada gaunnya.

“Dicoba gih. Nanti ada asisten yang menandai bagian mana yang harus dipendekkan atau dibesarkan. Hati-hati pakainya, jangan sampai ada yang rusak,” Teh Rita memerintahkan asistennya untuk mendampingi Adisti.

“Prasetyo, saya handle kamu ya, soalnya asisten saya satu lagi sedang libur,” Teh Rita berkata sambil matanya mengerling pada Tiyo, “Itu stelan kamu. Keren kan?”

Adisti mencoba gaunnya dengan hati-hati. Terlihat pas di tubuhnya. Tidak ada yang perlu diperbaiki lagi, semua sudah sempurna bagi Adisti.

Adisti memutar tubuhnya pelan ingin melihat pantulannya di cermin. Masyaa Allah, dia merasa sangat cantik memakai gaun itu. Tak ingin membuat gaun itu menjadi rusak atau kotor, Andisti menyudahi fitting bajunya. Asisten membantunya melepas gaun tersebut yang ternyata tidak mudah.

Adisti melangkah keluar dari ruang fitting-nya. Sayup-sayup dari ruang di depan ruang fitting-nya terdengar alunan lagu soundtrack James Bond, Skyfall yang dibawakan oleh Adele.

Adisti ikut menyanyikan reffnya pelan sambil berjalan ke arah pintu ruang tersebut. Diketuk tapi tidak ada yang menjawab.

“Tiyo…” panggil Adisti sambil mengetuk. Masih tidak ada yang menjawab.

Adisti memutar handle pintu. Pintu terbuka, hati Adisti mencelos. Tiyo yang hanya berpakaian dalam dan blouse Teh Rita yang sudah melorot hingga pinggangnya membuat mata Adisti terbelalak.

Tubuh keduanya saling menempel dengan kepala saling miring. Kedua tangan mereka saling melilit punggung satu sama lainnya.

“Astaghfirullah! TIYO!! BRENGS*K KAMU! TEGA KAMU!” Adisti menyentakkan pintu dengan kasar hinga terbuka lebar.

Keduanya terkejut, saling melepaskan diri. Mengambil apa saja untuk menutupi tubuhnya.

“Dis.. dengar dulu. Kamu salah sangka. DIS!!”

Adisti menatap nanar mata Tiyo. Mundur dengan cepat, berbalik arah, lalu lari dari tempat terkutuk itu. Menjauhi gedung yang dimiliki oleh seorang Medusa. It’s Adisti’s skyfall.

Sementara di ruangan itu, lagu skyfall memasuki refrain terakhirnya.

Let the skyfall (let the skyfall)

When it crumbles (when it crumbles)

We will stand tall (we will stand tall)

Face it all together

At skyfall.

Tiyo terdiam terpaku. Ada rasa bersalah yang teramat besar kepada Adisti yang selama 2 tahun ini selalu bersamanya, tulus menyayanginya dan dicintainya.

Teh Rita membalikkan tubuh Tiyo.

“We’ll face it all together_Kita hadapi bersama_,” katanya sambil melahap bibir Tiyo. Tangannya mencengkeram punggung Tiyo. Mengetatkan pelukan. Kakinya memeluk tungkai Tiyo.

Dan Tiyo pun lupa dengan segala rasa bersalahnya pada Adisti juga rasa cintanya.

**"

Catatan Kecil:

Medusa adalah makhluk mitologi Yunani yang berwujud seorang wanita cantik yang dikutuk menjadi berambut ular.

Siapapun yang menatap langsung pada matanya akan berubah menjadi batu.

BAB 2 – SEMUA USAI

Bunda menghentikan kegiatan menyiangi petak Slada Butterhead saat sebuah mobil Avanza berhenti di depan rumah. Berdiri sambil membersihkan tangannya, Bunda berdiri di teras. Matanya masih menatap mobil dengan wajah bertanya-tanya. Pintu penumpang mobil terbuka, Adisti membuka pagar dengan wajah tertunduk. Tubuhnya bergetar.

“Dek..?” Bunda bertanya pelan.

Adisti mengangkat wajahnya. Matanya bergetar memandang Bunda lekat. Hati Bunda mencelos, merasakan ada sesuatu yang tidak baik pada putrinya.

Tangis Adisti pecah. Bunda bergegas meraih Adisti ke dalam pelukannya.

"Ada apa Dek? Bilang ke Bunda, ada apa?”

“Batalkan semuanya, Bun. Batalkan semuanya..” isak Adisti terdengar menyayat. Tubuh Adisti bergetar hebat.

“Dek?” mata Bunda berkaca-kaca.

“Batalkan semuanya. Belum terlambat untuk membatalkan semuanya. Bila diteruskan, martabat keluarga kita akan dipertaruhkan. Batalkan semuanya,” tubuh Adisti luruh, merosot lunglai seolah tak bertulang. Bunda mencoba menahannya tetapi tidak kuat. Ikut bersimpuh sambil memeluk Adisti.

“Dek.. Adek..” Bunda mengguncang tubuh Adisti, “Ya Allah.. bagaimana ini?”

Ayah sedang tidak ada di rumah. Agung belum pulang dari kantor pengiriman.

“Dek…” Bunda mengguncang tubuh Adisti lagi. Mencoba membangunkannya.

Suara motor Agung memasuki halaman membuat Bunda menoleh cepat.

“Agung..! Tolong adikmu, Nak!” Bunda berteriak dengan mata berlinang.

Agung menoleh ke arah suara. Heran karena Bunda duduk di lantai dengan tubuh Adisti dalam pelukan Bunda. Bergegas membuka helmnya lalu menghampiri.

“Bun, kenapa?” Agung meraih tubuh Adisti, “Dek, kamu kenapa Dek?”

Agung mengangkat tubuh Adisti, membawanya ke sofa ruang tengah. Bunda bergegas ke kamarnya mengambil minyak kayu putih.

“Gung, telepon Ayah.”

Agung mengangguk. Bunda membaluri telapak kaki, perut, dada dan tangan Adisti dengan minyak kayu putih. Tubuh Adisti terasa dingin kulitnya. Bunda membuka pashmina dan inner kerudung yang dipakai Adisti. Rambutnya basah oleh keringat yang membanjir. Wajah Bunda terlihat cemas sekali.

“Dek, bangun Dek. Kamu kenapa?”

“Sebenarnya apa yang terjadi Bun?”

Bunda menggeleng.

“Bunda juga gak tahu, Kak. Adek baru saja pulang beberapa menit sebelum Kakak sampai tadi. Turun dari taxi online, wajahnya sudah pucat. Saat Bunda tanya, dia langsung menangis. Kata Adek, batalkan semuanya, belum terlambat, martabat keluarga kita akan dipertaruhkan bila diteruskan..”

“Ini tentang apa Bun?”

“Bunda juga gak tahu, Kak. Tapi perasaan Bunda gak enak dengan Tiyo. Adek pulang sendiri padahal tadi pergi berdua. Pulang juga dalam keadaan tubuh gemetaran dan pucat pasi.”

“Adek bertengkar dengan Tiyo?”

“Sepertinya begitu.”

“Orang yang mau menikah katanya suka ada aja ujiannya. Mungkin ini ujian mereka?”

“Mungkin, Kak.”

“Assalamu’alaikum,” suara Ayah memasuki ruang tengah, “Adek kenapa?”

Ayah menghampiri Adisti, menyentuh keningnya sambil mendengarkan penjelasan Bunda dan Agung. Ayah memijati telapak kaki Adisti, menekan titik-titik syaraf pada ujung-ujung jari kakinya.

“Bun, tolong siapkan teh manis hangat,” pinta Ayah.

Adisti mulai merintih. Kepalanya bergerak pelan. Matanya mulai terbuka.

“Dek, sudah bangun?” tanya Ayah, “Adek sudah sadar? Tahu ini dimana?”

Adisti mengangguk.

“Adek minum dulu ya?” Ibu menyuapi teh manis dengan menggunakan sendok makan. Agung membantu menyangga tubuh Adisti.

Pipi Adisti mulai bersemu lagi tidak pucat seperti tadi. Bunda membelai rambut Adisti dengan lembut.

“Sekarang cerita ke Bunda ada apa?”

“Batalkan pertunangan Adisti, Yah. Batalkan pernikahannya,” mata Adisti menatap Ayahnya dengan pandangan memohon.

“Kenapa?”

“Semuanya sudah selesai. Dan memang harus diakhiri juga sekarang ini. Adisti tidak mau menikahi seorang penzina seperti dia.”

Semuanya terperanjat.

“Tiyo? Bagaimana?”

“Gak usah sebut namanya lagi di rumah ini. Najis!”

“Istighfar, Dek,” Bunda membelai tubuh Adisti,” Ceritakan pada kami semuanya.”

Tangan Adisti terkepal. Bibirnya bergetar, “Adek melihat semuanya, melihat dengan mata kepala sendiri, mereka berzina di ruang ganti. Keduanya……. nyaris telanjang..” ada air mata yang mengalir di ujung matanya.

“Subhanallah. Na’udzubillahi min dzaalik,” ketiganya berseru.

“Tiyo dengan siapa, Dek?”

“Perempuan itu, perias dan designer pemilik salon yang selalu meremehkan Adek.”

“Kurang ajar betul itu si Tiyo. Brengs*k. Anj*ng! Bilang ke Kakak, dimana sekarang bajingan itu?!” Agung berdiri penuh amarah. Ayah memeluk Agung. Memaksanya untuk kembali duduk.

“Kaaak, istighfar Nak,” Bunda mengingatkan Agung, “Bunda tidak pernah mengajarimu untuk memaki.”

“Kita pikirkan dengan kepala dingin,” Ayah mengusap wajahnya sambil beristighfar, “Kita akhiri pertunangan Adisti dan kita batalkan pernikahannya. Kumpulkan barang-barang pemberian keluarga Hilman Anggoro saat lamaran dulu. Sore ini juga kita kembalikan semuanya.”

Bunda mengangguk. Ayah memeluk Adisti dengan tatapan penuh luka. Luka seorang ayah yang anak gadisnya dipermainkan di saat pernikahannya tinggal menunggu hari. Agung mengepalkan tangannya kuat-kuat.

Semua sibuk mengumpulkan barang-barang pemberian saat lamaran dulu berikut kotaknya. Dikumpulkan di ruang tamu. Agung membuka bagasi mobil, memasukkan semuanya dibantu oleh Adisti yang bekerja dalam diam.

Semuanya sudah masuk mobil. Adisti bergegas ke kamarnya. Mengambil paper bag besar lalu mengisinya dengan barang-barang hadiah dari Tiyo. Tanpa bersuara dan tanpa air mata. Ia ingin ini semua cepat selesai. Ia ingin segera menghapus jejak Tiyo dari benaknya. Menjadi masa lalunya yang tidak akan pernah dilihat lagi.

Ba’da Maghrib mereka sudah bersiap. Suasana hening dalam mobil, sibuk dengan pikiran masing-masing. Agung mengemudi mobil, Ayah duduk di samping Agung. Bunda dan Adisti di tengah. Bunda menggenggam tangan Adisti untuk menguatkan.

APV Silver yang mereka tumpangi memasuki pelataran rumah keluarga Hilman Anggoro yang luas. Tidak tampak mobil Tiyo di garasi, berarti Tiyo belum pulang ke rumah.

Ayah memencet bel. Bunda memegang erat lengan ayah. Pintu terbuka, seorang asisten rumah tangga mengangguk ramah kepada mereka.

“Assalamu’alaikum, Mbak. Bapak dan Ibu Hilman Anggoro ada?” Ayah bertanya sopan.

Asisten itu mengangguk. Tersenyum.

“Tunggu sebentar ya Pak, Bu. Saya beritahukan dulu kepada Tuan dan Nyonya apakah bersedia menerima tamu atau tidak,” asisten rumah tangga tersebut itu menutup pintu kembali lalu berlalu masuk.

Bunda menyikut Ayah, “Gak punya adab!”

“Najis,” Agung menimpali.

“Ssssst,” Ayah mengingatkan.

Adisti hanya diam saja, tangannya sibuk memutar-mutar kotak cincin yang berada di genggamannya.

Suara detak sepatu terdengar juga suara gumaman dari balik pintu. Pintu terbuka, tampak suami istri Hilman Anggoro menatap mereka sambil tersenyum.

“Assalamu’alaikum, Pak dan Ibu Hilman,” sapa ayah.

“Wa’alaikum salam,” sahut mereka berbarengan.

“Adisti sudah fitting bajunya? Bagaimana? Bagus bajunya?” tanya Ibu Hilman.

Adisti hanya tersenyum hambar lalu mengangguk. Mereka semua masih berdiri di teras rumah.

“Tiyo kok belum pulang ya? Bahkan tadi siang tidak menghadiri meeting penting dengan klien. Klien jadi marah-marah tadi. Kamu tahu Tiyo dimana?”

Adisti menggeleng, “Tadi sehabis fitting, saya pulang sendiri, Tante. Pakai taksi online.”

“Loh, gimana sih?” Ibu Hilman menghubungi nomor anaknya. Hanya ada suara operator yang terdengar.

Ayah berdehem, “Apa tidak sebaiknya kita berbicara di dalam saja, Bu? Ada hal penting yang harus kita bicarakan.”

“Oh iya, mari masuk Pak, Bu,” Pak Hilman mempersilahkan mereka masuk, “Maaf sampai lupa memepersilahkan kalian masuk.”

Mereka duduk di sofa warna beige di ruang tamu yang bernuansa krem dan putih.

“Ada perlu apa ya Bapak dan Ibu Gumilar malam ini datang kemari,” tanya Pak Hilman.

“Sebenarnya, kami datang kemari bermaksud untuk memutuskan pertunangan anak-anak kita dan membatalkan rencana pernikahan mereka juga mengembalikan semua barang-barang yang diberikan sewaktu acara lamaran.”

Ruangan mendadak sunyi menegangkan. Suami istri Hilman Anggoro saling berpandangan.

“MAKSUDNYA APA INI?!” Ibu Hilman berdiri dengan gusar menatap Adisti yang meletakkan kotak cincin pertunangannya di atas meja.

“Hanya karena anak saya tidak mengantarkan kamu pulang, lalu kamu membatalkan semuanya?” tangan Bu Hilman menunjuk Adisti yang tertunduk, “Sebulan lagi kalian menikah. Undangan sudah disebar. Semua sudah siap. Kalian dengan seenaknya membatalkannya??”

“Bukan itu permasalahannya, Bu..” Ayah berusaha menjelaskan.

“Kurang baik bagaimana lagi kami? Semua biaya resepsi kami yang tanggung. Kalian hanya membiayai undangan dan foto prewedding saja. Coba kalian pikir, kurang baik bagaimana kami??!” Bu Hilman berkacak pinggang dengan mata melebar, “KAMU! perempuan yang tidak tahu diuntung. Anak saya mengejar kamu dari dulu. BEGINI BALASAN KAMU??!” tangannya menunjuk pada Adisti.

Bunda menatap geram pada wanita sombong di hadapannya. Dia tidak terima Adisti dan keluarganya dihina sedemikian rupa.

“HEY BU!!” Bunda menggebrak meja, “Hati-hati kalau bicara dan menuduh sembarangan. Tidak ada asap kalau tak ada api. Anak saya tidak akan berbuat bila tidak ada penyebabnya. Tanyakan sendiri kepada anak ibu tentang kejadian di ruang fitting tadi pagi!” mata Bunda menatap galak kepada Bu Hilman.

“Apa? Apa yang terjadi?” Pak Hilman menarik lengan istinya agar duduk kembali tapi ditepis dengan kasar oleh istrinya sambil duduk.

“Makanya berikan kesempatan orang lain untuk berbicara, bukannya langsung main tuduh seperti yang istri anda lakukan, Pak,” kata Bunda.

“Ceritakan, ada kejadian apa saat fitting baju tadi?” tanya Pak Hilman.

“Adisti melihat Tiyo dan Rita berzina di di dalam ruang fitting baju,” Ayah berkata sambil mengeratkan rahangnya dan mengepalkan tangannya, “Nyaris telanjang.”

“Apaaa??! Gak mungkin Tiyo melakukan hal itu. Kami tahu betul anak kami,” Bu Hilman membantah.

“Apa buktinya? Kalian menuduh anak kami berzina, apa buktinya?” tanya Pak Hilman tidak percaya.

Hening. Ayah memandang Adisti.

“Tanyakan pada anak Bapak. Dia mengakuinya atau tidak. Kalau dia tidak mengakuinya, silahkan cek CCTV butik. Setiap ruangan dilengkapi CCTV. Kecuali bilik tirai di ruang ganti,” Adisti menatap lurus wajah Pak Hilman, “Ini saya kembalikan cincin pertunangan kami.”

Adisti mengangsurkan kotak cincin itu ke tengah meja tamu, “Silahkan diperiksa, Bu. Apakah benar ini cincin pertunangan yang pernah ibu berikan atau bukan. Periksa juga fisiknya, apakah ada yang cacat atau tidak. Jangan khawatir, saya sudah menghapus jejak jari saya pada cincin tersebut. Cincin tersebut sudah saya bersihkan dengan hati-hati dan sudah disucihamakan.”

Adisti mengucap kalimat panjangnya dengan tenang. Matanya menatap tajam pada mantan calon mertuanya yang mulutnya sering menyinyiri keluarga Adisti yang tidak sekaya mereka sejak dahulu. Agung menatap bangga kepada adiknya.

“Mbak Nah,” panggil Adisti saat melihat asisten rumah tangga yang ia kenal masuk menyediakan teh, “Tolong bantu kami mengeluarkan barang-barang di mobil, ya.”

“Iya, Non..”

Agung dan Adisti keluar menuju mobil. Dibantu oleh beberapa orang asisten rumah tangga, mereka menurunkan barang-barang saat lamaran dulu. Sementara itu Pak Hilman tampak menghubungi seseorang dengan gawainya. Adisti membawa masuk 2 paper bag besar. Adisti meletakkan paper bag tersebut di dekat kakinya. Ada boneka yang menyembul dari paper bag.

“Ini list daftar pemberian barang-barang sewaktu lamaran. Silahkan dicek Bu. Semuanya masih tersimpan rapi berikut kotaknya. Tidak perlu saya bacakan kan?” Adisti melanjutkan tanpa menunggu jawaban, “Dan ini adalah barang-barang pemberian dari anak Bapak dan Ibu selama kami bersama. Saya kembalikan semuanya. Mohon maaf, bonekanya tidak sempat saya cuci karena ini dadakan sekali. Tolong kembalikan kepada anak Bapak dan Ibu.”

Adisti memandang Ayah dan Bunda, lalu mengangguk kepada mereka.

“Kami mohon diri, Pak dan Bu Hilman. Mulai malam ini, anak-anak kita tidak ada hubungan apapun. Anggap saja mereka tidak berjodoh. Terimakasih banyak atas waktu yang sudah diluangkan. Assalamu’alaikum,” Ayah berdiri dari duduknya.

Adisti berjalan ke arah mantan calon mertuanya. Mengajak salim tapi ditepis oleh Bu Halim, Pak Halim pura-pura tidak melihat tangan Adisti yang sudah terulur kepadanya.

“Ayo Dek, kita pulang sekarang,” Ayah memanggil Adisti. Tidak tega melihat Adisti tidak dihiraukan oleh mantan calon besannya.

Lewat tengah malam, Tiyo pulang dengan langkah sempoyongan. Tubuhnya beraroma alkohol. Dia tersandung jatuh oleh kotak-kotak yang berjejer rapi di lantai ruang tamu. Mengumpat pelan namun matanya melebar setelah tahu kotak-kotak tersebut. Matanya tertumbuk pada 2 paper bag di dekat kaki meja. Bergegas ia hampiri, mengaduk isinya. Lalu mulai terisak menangis sambil memeluk boneka beruang coklat kartun Korea. Menghidu aroma boneka yang masih menyisakan aroma Adisti.

BAB 3 - ADISTI’S FREE FALL

Sebulan kemudian.

Dia tidak sengaja menemukan tempat ini. Mengendarai Scoopy kremnya ke arah Cihideung Lembang, berharap refreshing untuk otak dan hatinya yang penat dengan indahnya aneka bunga di sana, tetapi Adisti tidak menemukan apa-apa. Kibaran warna oranye menarik perhatiannya untuk berbelok.

Awalnya dia menyangka dataran tersebut hanyalah dataran sempit tetapi ternyata ia salah. Ada semacam ceruk yang dilindungi tebing batu yang membuat dataran tersebut meluas di dalamnya. Tepian dataran dikelilingi jurang dengan pemandangan yang sangat luar biasa di bawahnya. Ladang bunga potong dalam kubah plastik, kebun sayuran dan beberapa kandang sapi. Dari atas sini, orang-orang yang sedang bekerja tampak kecil sekali. Jauh di horizon, gumpalan hijau bentukan pegunungan. Semakin kebiruan warnanya, semakin jauh jaraknya.

Adisti tersenyum puas berada di tempat ini. Senyum lepas pertamanya karena menemukan tempat paket komplit bagi dirinya. Tempat refreshing untuk penatnya, healing untuk laranya dan pelarian untuk masalah yang membelenggunya.

Flashback on.

“Dek, makan dulu,” panggil Bunda pagi tadi sebelum Adisti keluar rumah.

“Iya Bun..”, Adisti menuruni tangga dengan cepat.

“Kebiasaan kamu tuh, Dek. Turun sambil berlari seperti itu. Bahaya tahu,” Bunda bersungut-sungut yang ditanggapi dengan cengiran.

“Kakak mana?” tanya Adisti.

“Nyari kupat tahu di Gempol.”

“Ayah?”

“Dipanggil Pak RT, ada kerja bakti katanya.”

“Kenapa gak Kakak aja yang datang? Kan kasihan Ayah, udah tua..”

“Hush, ngatain Ayah tua nanti Ayah manyun loh. Lagian juga kasihan kakakmu. Biar hari Sabtu ini dia istirahat. Pulang telat mulu kan kakakmu itu?”

Adisti mengangguk.

Adisti mencuci piring bekas makannya, membersihkan meja lalu membersihkan kompor.

“Dek, Bunda ke pasar dulu ya. Ayah ingin dimasakkan rendang. Assalamu’alaikum.”

Adisti mengangguk, “Wa’alaikumussalam”.

Rumah sepi hanya terdengar bunyi dengung kulkas. Adisti merasa jenuh. Hari ini seharusnya the D Day. Adisti menggeleng keras untuk mengingat kejadian sebulan yang lalu. Dia butuh pelampiasan. Pelampiasan segala rasa di hati dan benaknya. Pelampiasan untuk semua penatnya.

Adisti berganti baju dengan cepat. Memasukkan barang-barangnya ke dalam ransel. Lalu menyambar kunci motornya.

“Maaf, semuanya. Adek pergi dulu sebentar. Adek butuh waktu untuk sendiri dulu. Nanti siang insyaa Allah adek pulang. Assalamu’alaikum,” Adisti menuliskan pesannya lalu ditempelkan pada pintu kulkas dengan menggunakan pin magnet.

Flashback off.

Bergegas dia memarkirkan motornya di bawah bayangan tebing agar terhindar dari sengatan matahari jam sepuluh pagi. Membuka bagasi motornya, mengambil tikar lipat untuk alas duduknya. Tas ransel dengan emblem logam huruf E besar, brand trademark lokal yang terkenal berwarna coklat kemerahan segera ia bongkar isinya. Sketch book, pensil arang, botol air, beberapa wadah kecil, kotak kuas, palet dan tube cat air.

Segera mempersiapkan warna langit sebagai background utama. Awannya membentuk formasi cantik siang ini. Pulasan spons Adisti gunakan untuk gradasi biru langit. Lalu dibiarkannya kering dan dilanjutkan dengan pulasan spons lagi untuk mempertegas warnanya agar warna yang tampak tidak terlalu transparan. Sambil menunggu kering, dia mempersiapkan tube cat warna putih, menggoreskannya di palet lalu membasahi kuasnya sedikit. Ujung kuasnya ditutulkan sedikit pada warna putih, tangannya mulai bergerak halus membentuk awan.

Menunggu kertas gambarnya kering, dia berbaring memandangi langit. Netranya menangkap pemandangan mangkuk biru besar yang terbalik di atas sana dengan beberapa bercak putih seperti cabikan kapas. Warna biru yang luar biasa di kala hatinya gundah. Adisti hanya melukis saat hatinya gundah.

Lengannya terangkat, ujung telunjuknya bergerak mengikuti bentuk awan, seolah sedang melukisnya.

“Alhamdulillah cerah,” gumam Adisti sambil meletakkan lengannya di atas kening.

Tiba-tiba, kenangan sebulan yang lalu menyeruak ke permukaan ingatannya. Menghantam telak kesadarannya, memaksa hatinya untuk berdarah lagi. Ingatan handle pintu warna emas berbentuk wanita berambut ular, bayangan sepasang manusia yang tubuhnya saling membelit seperti ular, tatapan cemooh si Medusa, tatapan gugup dan panik lelaki masa lalunya.

Adisti berusaha menahan rasa sesaknya. Menekan dadanya sambil beristighfar dan mengatur nafas yang terasa berat. Merasa kian sesak, Adisti bangkit lalu berjalan ke tepian dataran.

Memandangi pemandangan di bawahnya dan kumpulan hijau yang membatasi horizon. Lalu berteriak kencang seperti orang gila,

“TIYO! Aku benci kamu..! You are a big bullsh***!”

Tangannya terkepal erat.

Menangis? Tidak. Sudah cukup air matanya untuk Tiyo.

Malah Andisti merasa lega. Plong.

Prasetyo yang seharusnya berarti lelaki yang setia ternyata tidak bisa setia.

Tiyo is the past_Tiyo adalah masa lalu_. Biarlah ia bersama jalangnya.

******? Kata yang tidak pernah Adisti pergunakan selama hidupnya karena terlalu kasar. Tapi Adisti tidak peduli. Kelakuan perempuan itu memang benar-benar kelakuan seorang ******.

Tiyo adalah sampah. Sampah selalu bersama lalat, analogi yang pas sekali untuk Tiyo dan jalangnya. Dan sampah harus dibuang agar tidak ada lalat yang menebarkan kuman penyakit.

“Jalang 1 dan ****** 2, pasangan ******,” Adisti tersenyum puas dengan penamaan yang ia buat.

Duduk sambil memeluk lututnya di tepian. Adisti menghela nafas lega. Benaknya penuh dengan pikiran positif. Matanya melihat pohon kecil berdaun tebal di retakan batu di bawah sana. Bonsai alami. Akarnya memeluk bongkahan batu seperti berjuang untuk tetap menempel pada batu agar tetap hidup. Sungguh perjuangan yang luar biasa. Dia menginginkan bonsai itu, untuk ayahnya yang selalu membesarkan hatinya dikala kesusahan melanda.

Adisti mengukur jarak dan meneliti tepian. Mencari pijakan untuk meraih bonsai tersebut. Tidak terlalu jauh dan tidak terlalu sulit. Ada beberapa pahatan batu yang terbentuk alami oleh angin dan beberapa tonjolan batu yang bisa dipakai untuk pijakan. Adisti yakin bisa.

Memperbaiki letak kerudungnya, lalu membersihkan tanah yang menempel pada kulitnya, ia mulai menuruni tepian. Menapaki jalan setapak sempit dari pahatan angin pada dinding batu sambil tangannya menyusuri tepian sebagai pegangan.

Setapak demi setapak, langkahnya semakin mendekati retakan batu tempat bonsai berada. Tangannya sudah bisa meraih batu tempat akar bonsai itu melekat. Satu hal yang baru ia sadari, ia tidak membawa alat apapun untuk mengambil bonsai tersebut. Ceroboh dan gegabah.

Ada tonjolan batu di dekat kaki kirinya. Bergegas kakinya menapak. Baru saja meletakkan beban tubuhnya pada pijakan batu tersebut, tiba-tiba… KRAGGKH! Batu yang menonjol itu patah, terlepas dari dindingnya.

Tubuh Andisti terhuyung ke samping. Bergegas tangannya meraih apapun untuk berpegangan. Hanya ada semak dan ilalang yang mana mungkin kuat menahan tubuhnya.

Adisti terkesiap, “Ya Allah!”

Tubuhnya meluncur membentur dinding batu. Kepala dan lututnya nya terantuk tonjolan batu. Semak dan pepohonan terlibas oleh berat tubuhnya. Lengan dan pipinya tersayat ranting. Rasanya waktu berjalan lambat. Meluncur dalam gerak lambat. Dia bisa melihat jelas dengan mata terpicing, apa-apa saja yang sudah membentur tubuhnya. Bagaimana bentuk daun yang terlibas tubuhnya. Bagaimana perpaduan warna dinding batu yang dilaluinya.

Rasanya tubuhnya meluncur ke bawah dalam waktu yang laaamaaa sekali. Hingga akhirnya tubuhnya berhenti meluncur. Dahan besar yang tumbuh entah dari arah mana menahan tubuhnya.

Rasa sakit menghantam bahu kirinya. Perih dan panas. Tubuhnya menghadap ke arah langit. Tercium aroma manis berbau besi dari arah bahunya. Darah sudah membasahi bagian depan bajunya. Telinganya berdenging keras.

Adisti teringat dengan ayah dan ibunya. Juga Agung, kakaknya. Andai dia berakhir di sini, dia belum sempat meminta maaf kepada semuanya. Seandainya saat ini adalah saat terakhir hidupnya, bagaimana keluarganya bisa mengetahui keberadaannya sedangkan tadi ia pergi diam-diam dari rumah?

“Ayah, Bunda, Kakak, tolong maafkan Adek. Maafkan Adek..”

Seharusnya, hari ini adalah hari bahagianya. Bila semua sesuai rencana, seharusnya pagi tadi dia sudah menjadi istri Tiyo. Seharusnya saat ini dia tengah berada di atas pelaminan bersalaman dengan para tamu undangan dan handai taulan. Seharusnya dia saat ini dia sedang… AKHH!

Adisti mengaduh tertahan. Luka di bahunya terasa nyeri luar biasa. Matahari bersinar terik. Harusnya dia merasa silau oleh cahayanya. Tapi pandangannya blur. Dari kelabu lalu menggelap. Cahaya seperti terhisap oleh kegelapannya. Gelap melingkupinya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!