Part 5

David berdiri di balkon kamar, sambil terus menatap ke rumah sebelah. Lebih tepatnya pemilik kamar di seberang sana. Ia kembali teringat soal kejadian yang baru saja ia alami yang di dalamnya ada seorang Rara. Untung saja dia bisa mengontrol diri tadi. Jika tidak, mungkin Rara akan tahu mengenai penyakit aneh yang dideritanya.

Selama ini, tak ada satu orang pun yang tahu. David menyimpannya rapat-rapat dalam diri. Ia tak mau temannya atau keluarganya menjauh hanya karena penyakitnya itu. Walau memang, saat ini juga ia tak punya teman sama sekali.

David masih berdiam disana, menatap kamar itu. Berharap kalau sang pemilik keluar, tersenyum kepadanya dan berbincang-bincang dengannya.

"Vid, lo udah gila ya. Lo kan udah janji kalau lo nggak bakal suka sama dia." David menyingkirkan Rara dalam benaknya.

Udara luar semakin dingin, membuat David memutuskan masuk ke dalam. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat Rara keluar dari kamarnya. Rara sudah mengenakan piyamanya dengan rambut diikat asal. Rara berdiri di balkon, merentangkan kedua tangannya, seakan menghirup udara malam ini.

David memperhatikan Rara dengan saksama. Jika terus dilihat, Rara memang benar-benar cantik. Pantas saja ia dikagumi oleh cowok seantero sekolah.

Merasa ada yang memperhatikannya, Rara menoleh ke arah sebelah kamarnya. David segera bersembunyi dibalik pintu selepas ia tahu pergerakan Rara.

"Hei, David. Lo belum tidur?" Teriak Rara dari kejauhan yang masih bisa terdengar oleh telinga David.

David membisu, canggung jika harus menjawab pertanyaan Rara.

"David, lo kenapa sih? Nggak usah takut kali sama gue. Emangnya gue harimau apa yang bisa nerkam lo kapan aja." Rara masih berteriak, menyerukan nama David dan kalimat lainnya.

"Vid, gue nggak tahu ya. Lo marah atau gimana sama gue. Tapi sebenarnya, gue cuma mau jadi teman lo aja kok, nggak lebih." Kini ucapannya terdengar sangat lirih.

Pelan-pelan, David memunculkan dirinya. "Gue nggak butuh teman! Lagipula, gue nggak mau punya teman kayak lo yang suka mainin hati cowok." Teriak David, lalu masuk ke dalam kamarnya.

Rara terkejut dengan ucapan David. Ia tak menyangka David bisa mengatakan hal itu padanya. Padahal, Rara memiliki niat baik, ingin berteman dengannya untuk saat ini.

David menghempaskan tubuhnya ke atas kasur, menatap langit-langit kamar dengan gelisah. David tahu dia salah. Tapi David harus lakukan itu karena ia tak mau Rara semakin mendekatinya. David tak mau memiliki perasaan pada cewek, karena itu akan membuatnya semakin menderita.

David menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan, lalu mengacak-acak rambut hitamnya.

"Vid, lo nggak salah. Lo emang harus lakuin ini demi kebaikan lo." Ucap David pada dirinya.

***

Ini sudah kesekian kalinya Rara mengaduk-aduk es cappucinonya. Sebelah tangannya menopang dagu, sedangkan tatapan matanya kosong.

"Ra, itu es udah nggak ada rasanya kali daritadi cuma lo adukin aja." Celetuk Mulan.

Rara tetap mengaduk es tadi, tak ada niat untuk meminumnya.

"Ra, lo baik-baik aja kan? Lo dengar kan gue ngomong?"

Rara hanya menganggukkan kepala, tidak menjawab dengan ucapan.

Mulan bangkit mendekati kediaman Rara, kedua tangannya disimpan di atas bahu, lalu ia menggoyangkan tubuh Rara. "Ra, lihat gue. Gue tahu lo pasti ada masalah. Soalnya, gue tuh paling ngerti gelagat lo waktu lagi bahagia sama lagi ada masalah."

Rara masih bungkam, enggan mengatakan yang sebenarnya.

"Lo sedih gara-gara putus sama Ferdi?" Tebak Mulan yang dibalas dengan gelengan kepala Rara.

"Apa karena.." Mulan berpikir kembali. "David?" Mulan menautkan alis.

"Iya."

Mulan menjerit, kaget dengan respon Rara. "Hah! Lo masih waras kan Ra. Udah berapa kali gue bilang, reputasi lo bisa hancur kalau lo dekat-dekat sama dia." Mulan mengusap kepalanya.

"Tapi gue suka sama David.." Lirih Rara. Ia sudah tidak bisa bohong lagi dengan perasaannya sendiri.

Mulan menggenggam tangan Rara, meminta Rara untuk menatap kedua matanya. "Ra, dengarin gue. Sebagai sahabat lo, gue mau kasih tahu lo sekali lagi. Lo nggak boleh dekat-dekat sama David si cowok Benua Antartika itu. Rating lo bisa turun Ra, emang lo mau?" Mulan berkata dengan intonasi sedikit tinggi, dadanya naik turun, capek menasihati Rara terus.

Rara terdiam sejenak. Matanya berpaling dari Mulan, lalu menatap Mulan kembali.

"Lan, lo benar. Nggak seharusnya gue kayak gini. Gue kan terkenal Rara si playgirl." Sahut Rara kemudian.

Mulan menjengit, seraya menepuk bahu Rara. "Nah, gitu dong. Pokoknya, kalau gue dengar lo bilang suka sama David lagi, gue nggak mau jadi sahabat lo." Ancam Mulan, membuat Rara sedikit bergidik. Pasalnya, hanya Mulan yang bisa mengerti Rara. Mulan berbeda dengan teman cewek lain yang cuma memanfaatkan kekayaan Rara.

***

"Morning Rara.." Kata Eric dari balik buket bunga. Bukan hal aneh yang dilakukan oleh Eric setiap pagi, memberi Rara buket bunga.

"Bunga lagi?" Sahutnya, seakan memberi kode bahwa ia sudah bosan mendapat bunga. "Makasih ya."

"Iya dong, kamu suka kan?" Eric tersenyum pada Rara.

Dengan terpaksa, Rara juga ikut tersenyum. "Iya suka kok."

"Kalau gitu, besok aku bawain yang lebih---"

Rara memotong ucapan Eric. "Nggak usah ric."

"Loh kenapa? Katanya kamu suka sama bunga?" Tanya Eric curiga.

Rara mengumpulkan jawaban dalam pikiran sejenak untuk menjawab pertanyaan Eric. "Gini ric, kita kan pacaran ya. Nah, kalau misalkan hubungan kita diibaratkan sama bunga tadi, pasti hubungan kita hanya bertahan sesaat. Bunga itu jika sudah lepas dari tempatnya, ia akan layu. Nah aku nggak mau kayak gitu." Jelas Rara.

Eric bingung dengan perkataan Rara. "Jadi gimana maksudnya?"

"Ya jadi, kamu nggak usah bawa bunga itu lagi. Aku nggak mau hubungan kita layu sama seperti bunga tadi."

Eric manggut-manggut selepas mendapat penjelasan dari Rara. Lalu melengkungkan senyum pertanda ia setuju dengan perkataan cewek di depannya.

"Oh ya, nanti malam, kita ke cafe yuk!" Seru Eric mengganti topik.

Mulan yang sedari tadi asyik dengan ponselnya, langsung menyambar. "Wah, boleh tuh."

"Gue nggak ngajak lo!" Sinis Eric, membuat Rara sedikit jengkel. "Mau ya.." Eric memohon pada Rara.

"Oke deh." Ucap Rara singkat.

Tanpa mereka tahu, perbincangan singkat itu didengar oleh David, yang kini sedang membaca buku. Begitulah keseharian David, ia hanya menghabiskan harinya dengan kegiatan seperti itu.

Selepas berbincang dengan Rara, Eric pamit untuk kembali ke kelas. Tapi, langkahnya bukan berhenti di kelas melainkan di sebuah toilet cowok. Ia mengambil ponsel di saku seragamnya, lalu menelepon seseorang.

"Gue butuh bantuan lo."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!