Rara berdiri di depan cermin, menampilkan kesempurnaannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dia selalu puas dengan hasil riasan makeup beserta dress salon favoritnya itu. Malam ini mereka membuat Rara benar-benar cantik tiga kali lipat dari sebelumnya. Rambut panjang yang dibiarkan tergerai dengan pita di sisi kanannya, dress berwarna peach hingga mata kaki, juga heels setinggi lima sentimeter. Sementara wajahnya diberi polesan makeup tipis. Setelah dirasa cukup, Rara berjalan dibantu oleh supirnya, yang akan mengantarnya ke lokasi pesta.
Jarak salon dengan lokasi cukup dekat, sehingga Rara tidak perlu takut terlambat sama sekali. Sesudah mobil menepi di tempat parkir, Rara membuka pintu, lalu turun dengan hati-hati.
Sebelum masuk ke dalam gedung, Rara memperhatikan sejenak langit yang hampa tanpa sinar bintang maupun bulan. Warna gelap malam ini berbeda dari malam kemarin. Seperti menandakan akan turun hujan.
"Tidak mungkin, ini kan musim panas." Pikirnya.
Baru saja selesai Rara berpikir demikian, hujan turun deras begitu saja. Rara sontak terkejut, kemudian berlari secepat mungkin meninggalkan area parkir. Kepanikannya membuat salah satu hak heelsnya patah. Ia tidak mempedulikan hal itu, ia lebih mementingkan kondisinya saat ini.
Rara terengah-engah ketika sampai di depan gedung. Napasnya naik turun tak menentu. Dress cantik yang dikenakannya basah kuyup, riasan makeupnya luntur seiring dengan air hujan yang membasahi wajahnya. Rara masih belum percaya dengan apa yang ia alami tadi. Kenapa bisa turun hujan pada saat musim panas? Lalu kenapa makeup waterproofnya luntur?
Rara tak mungkin masuk ke dalam sana dalam keadaan seperti ini. Dia tak mau temannya apalagi Eric pacarnya mencemooh dirinya. Rara tak boleh tampil jelek di depan mereka. Ia harus selalu sempurna, apapun caranya. Akhirnya, setelah menimang-nimang, ia memutuskan untuk berbohong pada Eric bahwa ia tidak bisa datang malam ini.
"Halo ric?
"Iya halo Ra, lo dimana? Acara udah mulai loh."
"Uhuk, uhuk. Ric, maaf ya. Kayaknya gue nggak bisa datang malam ini. Gue sakit."
"Lo sakit? Sakit apa?"
"Cuma demam biasa aja kok, paling habis minum obat juga sembuh."
"Beneran? Apa perlu gue antar ke dokter sehabis acara selesai?"
"Eh, nggak usah ric. Gue nggak apa-apa kok. Lo fokus aja sama pesta ulang tahun adik lo. Oh ya, kadonya udah gue kirim lewat supir gue."
Setelah menelepon Eric, Rara kembali berjalan menuju area parkir, menghampiri mobilnya.
Rara sampai di area parkir, tapi ia tidak menemukan mobil miliknya. Padahal ia jelas tidak salah bahwa mobilnya terparkir disana. Bahkan ia juga meminta supirnya untuk menunggu sampai acara selesai. Dengan terpaksa ia menelepon supirnya, menyuruhnya untuk menjemput kembali. Namun, supirnya malah menjawab bahwa ia sedang cuti selama satu bulan, kemungkinan bekerja lagi bulan depan.
Rara kaget bukan main mendengarnya. Ia takut sekaligus merasa aneh dengan kejadian yang menimpanya akhir-akhir ini.
"Demi apapun, sebenarnya apa yang terjadi sama gue? Gue ini kenapa?" Batinnya.
Rara berjalan dengan kaki telanjang menuju halte bus. Heelsnya ia buang tadi di tempat sampah karena tidak berguna sama sekali. Jika saja Rara tidak menghapus semua kontak mantannya, mungkin ia sudah meminta salah satu di antaranya untuk menjemputnya.
Rara menatap jalanan, berharap bus datang dengan segera. Dress basahnya sukses membuat Rara menggigil kedinginan. Berkali-kali ia menggosok kedua telapak tangan, agar timbul kehangatan dalam dirinya.
Satu jam ia duduk disana, belum ada kendaraan lewat satu pun. Rara mengambil ponsel dalam tasnya, melihat pukul berapa sekarang. Ia menyipitkan mata, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pukul dua belas malam. Rara mengerjap-ngerjap matanya kembali, memastikan kalau penglihatannya salah. Tapi, selama ia melihat, jam tetap menunjukkan pukul dua belas malam.
"Nggak mungkin. Gue pasti mimpi. Gue tadi berangkat dari rumah jam setengah tujuh, terus acara ulang tahun itu jam tujuh. Nggak mungkin kalau sekarang udah jam dua belas. Tenang Ra, lo pasti cuma mimpi." Ucapnya, berbicara pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba, terdengar sahutan entah dari mana, membalas ucapan Rara. "Hahaha, kau tidak bermimpi Rara. Ini benar jam dua belas malam."
Rara kaget dengan suara yang baru saja ia dengar, dengan berani ia berkata pada suara itu. "Si--siapa kau? Dimana kau berada?"
Mendadak suasana hening kembali. Tak ada jawaban dari suara tadi. Rara ketakutan, bulu kuduknya berdiri sedari tadi. Ia menoleh ke kanan kiri jalan, mencoba menghentikan kendaraan apapun yang dapat mengantarnya sampai rumah. Ia tidak mau terus menerus di tempat itu, takut kalau suara tadi muncul lagi.
Tangannya melayang di udara, membuat gerakan mengibas ke atas ke bawah. Berharap ada pengemudi yang melihat gerak geriknya. Tak lama, mobil sport hitam berhenti di depannya. Rara langsung mengetuk-ngetuk kaca mobil.
"Mas, mbak, siapapun. Tolong buka pintunya. Saya butuh tumpangan buat pulang. Saya berani bayar berapapun asalkan anda mau menolong saya." Ucapnya frustasi.
Pengemudi di dalamnya, merasa iba dengan kondisi Rara. Akhirnya ia membuka kunci pintu mobil penumpang. Rara sempat berteriak kegirangan, namun tidak ia perlihatkan. Ia langsung naik ke dalam mobil, tanpa melihat siapa pengemudi di sebelahnya.
"Antarkan saya ke jalan Mawar no. 5 ya." Ujar Rara, masih belum melihat sosok di sampingnya.
Orang itu tidak menyahut sama sekali, ia malah memberikan sebuah jaket pada Rara.
Rara, yang mulai aneh dengan situasi, menoleh ke arah sosok di sampingnya. Ia langsung membelalakkan mata begitu melihat siapa yang kini tengah berada di sampingnya.
"David?"
David tidak menghiraukan Rara, ia terus fokus menyetir. Perjalanan yang biasanya sebentar, kini terasa begitu lama. Tak ada perbincangan di antara keduanya. Mereka bungkam selepas Rara tahu siapa pahlawan penolongnya malam ini.
Mobil David menepi di gerbang depan rumah berlantai dua dengan cat warna biru, lalu menurunkan penumpangnya.
"Makasih vid." Ucap Rara dengan ragu.
David mengangguk, kemudian berkata. "Jangan lupa minum obat." David melajukan mobilnya kembali ke dalam rumahnya.
Rara terpaku di tempat selepas mendengar perkataan David. Hatinya bergetar, ditambah jantungnya berdegup tidak karuan. Belum pernah ia merasakan hal seperti ini. Walaupun ia selalu dekat dengan para cowok, tapi baru kali ini ia merasa sesuatu yang berbeda.
Tanpa sadar, ia mengembangkan senyumnya, lalu berkata dalam hati.
"Gue tahu gue salah. Tapi gue nggak bisa bohongin perasaan gue, kalau gue beneran suka sama David. Gue nggak peduli apapun resikonya. Yang jelas, gue mau David jadi milik gue."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
QueenApril
yaampun jd cwe ko murahan amat sih dasar sih Rara hrsnya kn yg ngejar² cwo lh ini mlh cwe
2020-06-06
0