Love Me, Love Me Not.
Cerita ini akan dimulai dari seorang gadis yang sedang duduk di tepi jalan tak jauh dari pedagang es potong keliling, peluh membasahi dahi juga kulit kepalanya karena matahari sedang berada dipuncak masa teriknya. Berseberangan dengannya, sebuah bangunan bertingkat tiga sedang dalam tahap renovasi yang sudah berjalan hampir satu bulan.
Gadis itu Kaluna, gadis berusia 23 tahun yang sudah lulus dari masa sekolah perguruan tingginya enam bulan lalu, puluhan surat lamaran pekerjaan telah ia kirimkan melalui berbagai media, tak segan pun dia mencoba memasuki beberapa perusahaan untuk mendapatkan kesempatan bekerja.
Entah sudah berapa ratusan helaan napas berat keluar dari bibir mungilnya sebagai bentuk lelah hatinya menunggu. Bukan hal yang baru memang, bagi seorang sarjana yang kemudian menganggur. Dia lulusan design grafis dari sebuah universitas yang cukup dikenal sebagai perguruan tinggi yang mempunyai lulusan-lulusan design
grafis terbaik.
“Belum rejeki.” Begitulah kata yang selalu dia ucapkan kemudian demi melapangkan dadanya sendiri. Setiap harinya dia selalu mengecek kotak masuk pada perangkat ponselnya, dalam satu hari bisa tak terhitung berapa kali Kaluna mengecek kotak masuk, memandangi ponselnya dengan harapan ada dering masuk dari salah satu perusahaan yang telah menerima surat lamarannya. Tapi, nihil.
Kaluna memutuskan untuk beranjak dari tempatnya setelah menghabiskan satu potong es rasa cokelat, rumahnya tak jauh dari tempatnya saat ini meluruskan kaki. Ia berdiri, mengibaskan sedikit debu pada bagian belakang celana bahan yang dikenakannya tepat saat kakinya bergerak, ekor matanya menangkap sebuah pergerakan dari arah bangunan yang sedang direnovasi itu. Seorang pria menggantungkan sebuah papan dengan tiga kata yang membuat kedua mata Kaluna membulat lebar.
“Permisi.” Suara Kaluna rupanya sedikit menyentak seorang pria yang sedang berdiri membelakangi pintu masuk, seperti sedang sibuk dengan sebuah kotak kardus di atas salah satu meja. Pria itu pun segera memutar tubuhnya, matanya yang agak sipit terbingkai dengan sebuah kaca mata bening kekinian, menatap ramah pada Kaluna.
“Ya? Ada yang bisa dibantu?” tanya pria itu.
“Eum, anu, papan di depan…” Tiba-tiba keraguan menyerang Kaluna.
“Papan di depan?” Pria itu mengernyitkan dahi.
Kaluna kemudian menunjuk melalui pintu kaca, sebuah papan bertuliskan tiga suku kata yang ditulis dengan huruf kapital tebal: DIBUTUHKAN PRAMUSAJI SEGERA.
“Apa benar butuh segera?” tanya Kaluna lagi.
“Oh, ya, ya, benar. Jadi kau mau melamar untuk itu?”
Kaluna mengangguk yakin dan mantap.
Dari design grafis kemudian pramusaji, sangat tidak termasuk dalam daftar lamaran pekerjaan yang pernah dibuat Kaluna, tapi terkadang begitulah hidup berjalan, tidak semua hal bisa sesuai dengan daftar yang tertulis.
***
Kemacetan selalu menjadi masalah yang tak pernah ada habisnya, seharusnya ia bisa tiba sepuluh menit lebih cepat jika saja kemacetan yang tak terprediksi pada ruas jalan yang tidak terlalu besar itu tidak menghambat laju Fortuner hitamnya. Mobil itu berbelok dan memasuki area parkir sebuah bangunan bertingkat tiga yang sedang dalam tahap renovasi akhir. Matanya menangkap dua orang sedang berbincang di dalam bagunan yang akan dijadikan sebuah restoran. Pria itu keluar dari dalam mobilnya, membawa serta beberapa kantong belanja yang ada
pada bagasi.
“Jadi, pemilik restoran ini adalah Chef Daren? Daren Seno?” Pertanyaan yang keluar bukan dari mulut pria berkacamata, menyambut langkah pria yang baru saja masuk dengan membawa beberapa kantong belanja.
“Iya, kau tahu Chef Daren Seno?” tanya pria berkacamata itu, tanpa keduanya menyadari seseorang sudah berdiri tak jauh dari mereka, dengan ekspresi datarnya yang dingin.
“Tentu saja!” Aku gadis yang duduk membelakangi pria bertampang dingin itu.
“Tahu dari mana?” Sebuah pertanyaan menyentak dua orang yang sedang berbincang pada salah satu meja, diantara meja-meja dan barang-barang lainnya yang masih berantakan.
“Eh, sudah datang, Chef?” Pria berkacamata menyapa santai. Namun lain halnya dengan gadis yang baru saja mengaku tahu tentang seorang chef bernama Daren Seno, ia terlihat seperti kehabisan napas, matanya membulat lebar, pipinya tiba-tiba bersemu kemerahan, bibirnya menganga tanpa suara, tangannya mengepal di depan dada, sampai-sampai dua orang pria di dalam ruangan itu pun saling pandang keheranan dan kaget bukan kepalang saat gadis itu berteriak histeris.
“Aaaaaakkkkk! Chef Daren Seno! Aaaakkkk!” Ia berlari langsung menuju pria yang namanya baru saja dipanggilnya dalam teriakan suka cita. Sementara Daren segera beringsut menghindari kejaran gadis aneh yang tiba-tiba saja seperti orang kesetanan mencoba mendekati bahkan ingin menyentuhnya, sampai Daren akhirnya bersembunyi
di balik punggung pria berkacamata itu. Jujur saja, itu lebih mengerikan dari pada dikejar kecoak terbang.
“Siapa dia, Em?!” Tegur Daren dingin pada pria berkacamata.
“Eum, dia pegawai baru kita, Chef.” jawab pria berkacamata itu.
Gadis itu, masih dengan senyum lebar yang hampir merobek bibirnya, akhirnya berhenti di depan Daren, dengan Em – si pria berkacamata – yang berdiri di antara mereka. Tiba-tiba gadis itu membungkuk cepat sampai rambut panjangnya yang sedikit bergelombang mengibas ke atas dan ke bawah hampir saja menyambit bingkai kaca mata Em, kemudian menegakkan kembali tubuhnya.
“Perkenalkan, nama saya Kaluna Rahmi, saya pramusaji baru disini, saya jamin saya adalah lulusan terbaik di fakultas saya, dan saya sangat cepat belajar mempelajari hal-hal baru, saya cepat tanggap, dan cepat adaptasi! Dan saya adalah penggemar beratnya Chef Daren Seno! Aaaakkk!”
“Oke, cukup!” Daren mengangkat tangannya untuk menghentikan teriakan gadis aneh yang baru saja mengaku sebagai penggemar beratnya. Gendang telinganya bisa meledak jika sekali lagi mendengar teriakan gadis aneh itu.
“Dari mana kau merekrutnya, Em?” tanya Daren kesal menatap Em.
Em tersenyum, lebih kearah meringis.
“Saya yang melamar sendiri, Chef! Kebetulan saya tinggal di dekat sini, hanya 100 meter. Lima belas menit berjalan kaki dari rumah, tiga belas menit kalau saya berlari, dan hanya tujuh menit kalau saya bersepeda.” Kaluna menjawab tanpa ditanya. Matanya masih penuh binar memandang Daren di depan matanya.
“Kau tunggu disini.” Daren memberikan perintah pada gadis itu, “Dan kau ikut aku.” Tarik Daren lengan Em, membawa pria berkacamata itu kebagian belakang bangunan.
“Kau sudah terima dia untuk kerja disini?” tanya Daren.
“Kontraknya baru saja ditandatangan.” jawab Em.
“Apa kau sudah lupa caranya berdiskusi dulu denganku?” Tatap Daren tajam pria yang telah lama menjadi koki pendampingnya dimana pun Daren berada.
“Ya kan, kau bilang kau serahkan ke diriku, yang penting sesuai dengan kriteria yang kaumau, ramah, cekatan, dan yang penting rumahnya tidak jauh dari restoran. Dia memiliki semua kriteria itu, jadi langsung aku terima.” jawab Em apa adanya.
“Tapi dia aneh! Kau dengar tadi katanya dia penggemar beratku!”
“Ya, bagus dong! Jadi dia bisa kerja lebih semangat.” Em nyengir kuda.
Daren mendengkus sebal. “Pastikan dia tidak menggangguku!”
Em mengangguk, meski sendirinya pun tidak yakin.
Kaluna tiba-tiba langsung menyodorkan sebuah buku yang penuh dengan tempelan gambar-gambar dan berbagai potongan informasi tentang Daren, tepat di depan wajah Daren begitu dua pria itu kembali.
“Apa ini? Kau psikopat?” Daren bertanya dan menatap Kaluna dengan suhu dingin yang sama.
“Ini scrap book, Chef!” jawab Kaluna tidak peduli sama sekali dengan ucapan dingin idolanya itu.
“Lalu?” Daren mengangkat sebelah alisnya.
“Boleh minta tanda tangannya, Chef?” Kaluna menyunggingkan senyum termanisnya. Tapi sayangnya sang idola tidak tersentuh. Daren melemparkan tatapan tajam kepada Em, kemudian berlalu begitu saja. Kaluna baru saja hendak mengejar, tapi Em segera menahan gadis itu.
“Nanti saja, Kal, nanti saja, oke?”
Kaluna mengerucutkan bibirnya, terlihat sedih, tapi hanya sesaat.
“Omong-omong, bagaimana kau bisa tahu tentang Chef Daren? Seingatku, Chef Daren tidak terkenal di televisi dan media sosial, meski dia sukses, dan seingatku dia hanya pernah di wawancara satu kali oleh satu tabloid, dan itu pun tidak jadi dirilis, karena Daren berubah pikiran agar hasil wawancaranya tidak pernah dipublish.”
Kaluna mengembangkan senyumnya. “Dan saya yang membuat cover tabloid itu, Chef Em.”
Tapi siapa yang menyangka, bahwa terkadang semesta mempunyai caranya sendiri untuk menyisipkan sebuah takdir yang bahkan tak pernah terlintas dalam akal manusia. Terkadang manusia hanya sibuk menyesali kenyataan yang tak sesuai harapan, dan lupa bahwa terkadang kenyataan memberikan kejutan yang membuatmu memutuskan untuk bertahan.
.
.
.
TBC~
* * *
Hai, semuanya apa kabar?
Saya kembali lagi di novel kempat ini, semoga novel ke empat ini bisa menjadi bahan bacaan yang lebih baik dan lebih menghibur untuk teman-teman pembaca semua.
Mohon maaf juga kalau ditemukan kesalahan ejaan dan penulisan.
Jangan lupa tinggalkan jejak baca kalian ya, like, berikan komen yang baik, kritik dan saran dalam bahasa yang tidak menghakimi akan sangat berarti untuk saya agar tetap semangat dan positif menjalani hari dan menuliskan ide yang berkumpul di dalam kepala ini.
Selamat membaca!
Semoga hari kalian selalu menyenangkan! See you!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Eka Bidel
Tok .. tok... tok...
Assalamu'alaikum
semangat pagi...
maaf, Saya baru mampir.
Boleh ikutan gabung ?
2023-01-07
1
Oktia Kurnianingrum
siap Thor.. lanjuuut 👍😊
2022-10-11
1