NovelToon NovelToon

Love Me, Love Me Not.

Kejutan Tak Terduga.

Cerita ini akan dimulai dari seorang gadis yang sedang duduk di tepi jalan tak jauh dari pedagang es potong keliling, peluh membasahi dahi juga kulit kepalanya karena matahari sedang berada dipuncak masa teriknya. Berseberangan dengannya, sebuah bangunan bertingkat tiga sedang dalam tahap renovasi yang sudah berjalan hampir satu bulan.

Gadis itu Kaluna, gadis berusia 23 tahun yang sudah lulus dari masa sekolah perguruan tingginya enam bulan lalu, puluhan surat lamaran pekerjaan telah ia kirimkan melalui berbagai media, tak segan pun dia mencoba memasuki beberapa perusahaan untuk mendapatkan kesempatan bekerja.

Entah sudah berapa ratusan helaan napas berat keluar dari bibir mungilnya sebagai bentuk lelah hatinya menunggu. Bukan hal yang baru memang, bagi seorang sarjana yang kemudian menganggur. Dia lulusan design grafis dari sebuah universitas yang cukup dikenal sebagai perguruan tinggi yang mempunyai lulusan-lulusan design

grafis terbaik.

“Belum rejeki.” Begitulah kata yang selalu dia ucapkan kemudian demi melapangkan dadanya sendiri. Setiap harinya dia selalu mengecek kotak masuk pada perangkat ponselnya, dalam satu hari bisa tak terhitung berapa kali Kaluna mengecek kotak masuk, memandangi ponselnya dengan harapan ada dering masuk dari salah satu perusahaan yang telah menerima surat lamarannya. Tapi, nihil.

Kaluna memutuskan untuk beranjak dari tempatnya setelah menghabiskan satu potong es rasa cokelat, rumahnya tak jauh dari tempatnya saat ini meluruskan kaki. Ia berdiri, mengibaskan sedikit debu pada bagian belakang celana bahan yang dikenakannya tepat saat kakinya bergerak, ekor matanya menangkap sebuah pergerakan dari arah bangunan yang sedang direnovasi itu. Seorang pria menggantungkan sebuah papan dengan tiga kata yang membuat kedua mata Kaluna membulat lebar.

“Permisi.” Suara Kaluna rupanya sedikit menyentak seorang pria yang sedang berdiri membelakangi pintu masuk, seperti sedang sibuk dengan sebuah kotak kardus di atas salah satu meja. Pria itu pun segera memutar tubuhnya, matanya yang agak sipit terbingkai dengan sebuah kaca mata bening kekinian, menatap ramah pada Kaluna.

“Ya? Ada yang bisa dibantu?” tanya pria itu.

“Eum, anu, papan di depan…” Tiba-tiba keraguan menyerang Kaluna.

“Papan di depan?” Pria itu mengernyitkan dahi.

Kaluna kemudian menunjuk melalui pintu kaca, sebuah papan bertuliskan tiga suku kata yang ditulis dengan huruf kapital tebal: DIBUTUHKAN PRAMUSAJI SEGERA.

“Apa benar butuh segera?” tanya Kaluna lagi.

“Oh, ya, ya, benar. Jadi kau mau melamar untuk itu?”

Kaluna mengangguk yakin dan mantap.

Dari design grafis kemudian pramusaji, sangat tidak termasuk dalam daftar lamaran pekerjaan yang pernah dibuat Kaluna, tapi terkadang begitulah hidup berjalan, tidak semua hal bisa sesuai dengan daftar yang tertulis.

***

Kemacetan selalu menjadi masalah yang tak pernah ada habisnya, seharusnya ia bisa tiba sepuluh menit lebih cepat jika saja kemacetan yang tak terprediksi pada ruas jalan yang tidak terlalu besar itu tidak menghambat laju Fortuner hitamnya. Mobil itu berbelok dan memasuki area parkir sebuah bangunan bertingkat tiga yang sedang dalam tahap renovasi akhir. Matanya menangkap dua orang sedang berbincang di dalam bagunan yang akan dijadikan sebuah restoran. Pria itu keluar dari dalam mobilnya, membawa serta beberapa kantong belanja yang ada

pada bagasi.

“Jadi, pemilik restoran ini adalah Chef Daren? Daren Seno?” Pertanyaan yang keluar bukan dari mulut pria berkacamata, menyambut langkah pria yang baru saja masuk dengan membawa beberapa kantong belanja.

“Iya, kau tahu Chef Daren Seno?” tanya pria berkacamata itu, tanpa keduanya menyadari seseorang sudah berdiri tak jauh dari mereka, dengan ekspresi datarnya yang dingin.

“Tentu saja!” Aku gadis yang duduk membelakangi pria bertampang dingin itu.

“Tahu dari mana?” Sebuah pertanyaan menyentak dua orang yang sedang berbincang pada salah satu meja, diantara meja-meja dan barang-barang lainnya yang masih berantakan.

“Eh, sudah datang, Chef?” Pria berkacamata menyapa santai. Namun lain halnya dengan gadis yang baru saja mengaku tahu tentang seorang chef bernama Daren Seno, ia terlihat seperti kehabisan napas, matanya membulat lebar, pipinya tiba-tiba bersemu kemerahan, bibirnya menganga tanpa suara, tangannya mengepal di depan dada, sampai-sampai dua orang pria di dalam ruangan itu pun saling pandang keheranan dan kaget bukan kepalang saat gadis itu berteriak histeris.

“Aaaaaakkkkk! Chef Daren Seno! Aaaakkkk!” Ia berlari langsung menuju pria yang namanya baru saja dipanggilnya dalam teriakan suka cita. Sementara Daren segera beringsut menghindari kejaran gadis aneh yang tiba-tiba saja seperti orang kesetanan mencoba mendekati bahkan ingin menyentuhnya, sampai Daren akhirnya bersembunyi

di balik punggung pria berkacamata itu. Jujur saja, itu lebih mengerikan dari pada dikejar kecoak terbang.

“Siapa dia, Em?!” Tegur Daren dingin pada pria berkacamata.

“Eum, dia pegawai baru kita, Chef.” jawab pria berkacamata itu.

Gadis itu, masih dengan senyum lebar yang hampir merobek bibirnya, akhirnya berhenti di depan Daren, dengan Em – si pria berkacamata – yang berdiri di antara mereka. Tiba-tiba gadis itu membungkuk cepat sampai rambut panjangnya yang sedikit bergelombang mengibas ke atas dan ke bawah hampir saja menyambit bingkai kaca mata Em, kemudian menegakkan kembali tubuhnya.

“Perkenalkan, nama saya Kaluna Rahmi, saya pramusaji baru disini, saya jamin saya adalah lulusan terbaik di fakultas saya, dan saya sangat cepat belajar mempelajari hal-hal baru, saya cepat tanggap, dan cepat adaptasi! Dan saya adalah penggemar beratnya Chef Daren Seno! Aaaakkk!”

“Oke, cukup!” Daren mengangkat tangannya untuk menghentikan teriakan gadis aneh yang baru saja mengaku sebagai penggemar beratnya. Gendang telinganya bisa meledak jika sekali lagi mendengar teriakan gadis aneh itu.

“Dari mana kau merekrutnya, Em?” tanya Daren kesal menatap Em.

Em tersenyum, lebih kearah meringis.

“Saya yang melamar sendiri, Chef! Kebetulan saya tinggal di dekat sini, hanya 100 meter. Lima belas menit berjalan kaki dari rumah, tiga belas menit kalau saya berlari, dan hanya tujuh menit kalau saya bersepeda.” Kaluna menjawab tanpa ditanya. Matanya masih penuh binar memandang Daren di depan matanya.

“Kau tunggu disini.” Daren memberikan perintah pada gadis itu, “Dan kau ikut aku.” Tarik Daren lengan Em, membawa pria berkacamata itu kebagian belakang bangunan.

“Kau sudah terima dia untuk kerja disini?” tanya Daren.

“Kontraknya baru saja ditandatangan.” jawab Em.

“Apa kau sudah lupa caranya berdiskusi dulu denganku?” Tatap Daren tajam pria yang telah lama menjadi koki pendampingnya dimana pun Daren berada.

“Ya kan, kau bilang kau serahkan ke diriku, yang penting sesuai dengan kriteria yang kaumau, ramah, cekatan, dan  yang penting rumahnya tidak jauh dari restoran. Dia memiliki semua kriteria itu, jadi langsung aku terima.” jawab Em apa adanya.

“Tapi dia aneh! Kau dengar tadi katanya dia penggemar beratku!”

“Ya, bagus dong! Jadi dia bisa kerja lebih semangat.” Em nyengir kuda.

Daren mendengkus sebal. “Pastikan dia tidak menggangguku!”

Em mengangguk, meski sendirinya pun tidak yakin.

Kaluna tiba-tiba langsung menyodorkan sebuah buku yang penuh dengan tempelan gambar-gambar dan berbagai potongan informasi tentang Daren, tepat di depan wajah Daren begitu dua pria itu kembali.

“Apa ini? Kau psikopat?” Daren bertanya dan menatap Kaluna dengan suhu dingin yang sama.

“Ini scrap book, Chef!” jawab Kaluna tidak peduli sama sekali dengan ucapan dingin idolanya itu.

“Lalu?” Daren mengangkat sebelah alisnya.

“Boleh minta tanda tangannya, Chef?” Kaluna menyunggingkan senyum termanisnya. Tapi sayangnya sang idola tidak tersentuh. Daren melemparkan tatapan tajam kepada Em, kemudian berlalu begitu saja. Kaluna baru saja hendak mengejar, tapi Em segera menahan gadis itu.

“Nanti saja, Kal, nanti saja, oke?”

Kaluna mengerucutkan bibirnya, terlihat sedih, tapi hanya sesaat.

“Omong-omong, bagaimana kau bisa tahu tentang Chef Daren? Seingatku, Chef Daren tidak terkenal di televisi dan media sosial, meski dia sukses, dan seingatku dia hanya pernah di wawancara satu kali oleh satu tabloid, dan itu pun tidak jadi dirilis, karena Daren berubah pikiran agar hasil wawancaranya tidak pernah dipublish.”

Kaluna mengembangkan senyumnya. “Dan saya yang membuat cover tabloid itu, Chef Em.”

Tapi siapa yang menyangka, bahwa terkadang semesta mempunyai caranya sendiri untuk menyisipkan sebuah takdir yang bahkan tak pernah terlintas dalam akal manusia. Terkadang manusia hanya sibuk menyesali kenyataan yang tak sesuai harapan, dan lupa bahwa terkadang kenyataan memberikan kejutan yang membuatmu memutuskan untuk bertahan.

.

.

.

TBC~

*  *  *

Hai, semuanya apa kabar?

Saya kembali lagi di novel kempat ini, semoga novel ke empat ini bisa menjadi bahan bacaan yang lebih baik dan lebih menghibur untuk teman-teman pembaca semua.

Mohon maaf juga kalau ditemukan kesalahan ejaan dan penulisan.

Jangan lupa tinggalkan jejak baca kalian ya, like, berikan komen yang baik, kritik dan saran dalam bahasa yang tidak menghakimi akan sangat berarti untuk saya agar tetap semangat dan positif menjalani hari dan menuliskan ide yang berkumpul di dalam kepala ini.

Selamat membaca!

Semoga hari kalian selalu menyenangkan! See you!

Pria dengan mata sedingin es.

Beberapa dari kita menginginkan untuk memenuhi setiap daftar mimpi yang kita inginkan, terkadang ada yang menghalalkan segala cara hanya untuk bisa menorehkan pena sebagai tanda daftar telah tercapai, namun ada pula yang mengikhlaskan bahwa kadang hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana, bahwa kadang mimpi tidak selalu

bisa diwujudkan. Ada yang menyesali, ada pula yang melihat lebih dalam bahwa – lagi-lagi – kadang mimpi yang tidak terwujud bisa memberikan makna dan kejutan lain yang lebih berarti.

Satu bulan telah berjalan sejak kali pertama lulusan design grafis terbaik di universitasnya diterima sebagai pramusaji setelah puluhan surat lamaran pekerjaan di bidang yang serupa dengan jurusannya tidak ada yang menerima keahliannya. Apakah mimpinya telah berakhir? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Tapi apakah ada penyesalan kala kakinya melangkah masuk ke dalam bangunan bertingkat tiga yang saat itu sedang masa renovasi?

“Tidak.” Kaluna menjawab atas pertanyaan yang diajukan tiga orang rekan kerjanya sesama pramusaji saat mereka sedang menyiapkan meja-meja.

“Tapi mimpimu berakhir hanya untuk membawakan makanan di atas nampan, tersenyum ramah meski dengan pelanggan yang menyebalkan.” Ujar Citra.

Kaluna tersenyum, seraya membentangkan lap di atas meja dan menggerakkannya. “Kau tahu, kita semua mempunyai mimpi, cita-cita, daftar keinginan dan kita semua berusaha untuk menggapainya, ada yang langsung mulus mencapai jalan yang diinginkan, tapi ada juga yang harus berbelok, menepi, istirahat, berteduh agar bisa menguatkan kaki untuk bisa melangkah lagi sampai tujuan, dan ada juga yang harus berputar balik.” katanya, “Dan aku tidak menyesali jalan apa pun yang telah mengarahkanku sampai disini. Mungkin aku harus menahan dulu kakiku untuk melangkah, beristirahat dan menikmati proses perjalananku, dan lihat, dalam prosesnya aku bertemu kalian, tiga orang asing yang rupanya sudah satu bulan ini sama-sama mengeluhkan satu hal yang sama, yaitu bos yang super dingin.”

Mereka tertawa. Kaluna, Citra, Juno dan Radit.

“Yah, bos yang sangat kau gilai itu.” Radit menggelengkan kepala sambil terkekeh.

“Untungnya kita punya Chef Em yang lebih peka.” Citra cekikikan.

“Ufh! Kalau aku jadi Reyhan, jadi asisten dapur dimana harus dibawah langsung Chef Daren di dapur, ufh, gajiku akan habis hanya untuk pergi terapi agar tidak mengalami trauma berkepanjangan.” Juno menimpali.

“Omong-omong, apa yang kau sukai dari Chef Daren, sih? Yah, dia memang ganteng, sih, tapi tatapan matanya… ihhh, bikin merinding, auranya selalu dingin, dia bahkan tidak pernah melihatmu atau meresponmu.” Citra kini berjongkok untuk mengelap kaki-kaki meja. Juno beralih membersihkan kaca jendela besar. Radit menyusun nomor-nomor pada meja, dan Kaluna melap sendok-sendok, memastikan peralatan logam itu mengilat.

“Benar itu! Aku juga heran, dari mana kau bisa tahu tentang dia, aku saja bahkan tidak mengenalnya, aku tidak pernah melihatnya di acara-acara televisi, iklan, majalah, tabloid, apa pun! Tapi kau bahkan sampai bisa mengidolakannya? Kau bahkan sampai bisa membuat scrap book tentangnya. Bukan main!” Radit menggelengkan kepalanya lagi.

“Fangirl kadang memang menyeramkan!” Juno pura-pura bergidik ngeri.

“Selamat pagi!” Sapaan hangat yang ceria menginterupsi obrolan santai keempat orang itu. Em datang dengan kaca matanya yang sedikit berembun.

“Pagi Chef Em!” Balas keempat pramusaji itu.

“Sarapan! Sarapan!” Em meletakkan lima bungkus kotak seterofoam di atas meja.

“Wah, Chef Em memang yang terbaik!”

“Terpeka!”

“Terhangat!”

“Hei, percuma disebutkan semua kelebihanku, tetap akan kalah dengan pesona aura dinginnya Chef Daren tercintanya Kaluna.” Em bergurau yang selalu mendapatkan tawa renyah dari bawahan-bawahannya.

“Reyhan sudah datang?” tanya Em.

“Sudah, Chef, dia langsung ke dapur untuk menyiapkan semuanya.”

“Panggil dia, suruh sarapan dulu agar tubuhnya hangat nanti saat harus bekerja di dalam dapur dengan aura yang membekukan.” Kekeh Em.

Em langsung menuju ruangannya di lantai tiga, sementara Citra memanggil asisten dapur itu untuk ikut bergabung menyarap bersama, saat Fortuner hitam mendarat pada pelataran parkir restoran yang belum masuk pada jam buka.

Juno menyenggol Kaluna yang duduk di sebelahnya siap untuk menyantap sarapannya.

“Pagi Chef!” Juno, Radit, Kaluna menyapa manusia es itu. Suara Kaluna jelas lebih lantang dari dua lelaki di sebelahnya. Tapi tidak ada tanggapan dari pria bertubuh tinggi tegap yang potongannya lebih pas terlihat seperti mafia yang menodongkan pistol ke kepala musuh dari pada seorang koki yang memasak makanan untuk menghangatkan perut manusia. Daren terus berjalan melewati mereka, menyisakan aroma musk yang segar di udara hingga sampai pada indra penciuman Kaluna. Pria itu bahkan tidak melirik sedikit pun.

“Bibirmu bisa robek, Kal.” Ucap Radit yang mulai menyuap sarapannya.

“Mubazir sekali sedekah senyummu itu, Kal… Kal…” Kali ini Juno yang menggelengkan kepalanya.

Tapi Kaluna tetap tersenyum, ia selalu semangat ’45 setiap hari hanya dengan melihat sosok dingin itu.

Kaluna tidak akan mengharapkan lebih. Takdir telah mempertemukannya dengan seseorang yang telah dia sukai saja sudah lebih dari cukup. Namun, jika ternyata takdir yang justru menginginkan lebih dari sekadar pertemuan ini, apakah Kaluna akan menerimanya?

Senyuman itu tidak ada lenyap dari wajahnya. Juno dan Radit menjaminnya.

***

Di lantai tiga, adalah ruangan kerja untuk Chef Daren, juga Em, terkadang Daren memilih untuk tidur disana dari pada harus pulang ke rumahnya. Dia mengganti pakaiannya, dengan seragam Chef berwarna hitam. Warna kesukaannya. Hitam.

Pada sudut lain, Em sedang menyantap sarapannya, sambil menonton drama Turki yang menceritakan kisah cinta seorang mafia berhati dingin dengan seorang dokter bedah yang berhati malaikat. Sesekali Em tertawa kecil, mungkin diselipkan adegan dengan percakapan lucu disana.

“Kau tahu, Dar, pemeran mafia di drama ini sangat mirip denganmu.” kata Em seraya menyeka bibirnya.

Daren mengecek sesuatu pada buku besarnya. Ia tidak peduli dengan omong kosong Em.

“Dingin, gelap, dan menarik diri dari semua hal yang bisa memberikannya secercah cahaya.” Em tetap melanjutkan. Dia sudah terbiasa dengan diamnya Daren. Tapi Em sudah mengenal Daren bertahun-tahun, pria itu diam, bukan berarti dia tidak mendengar dan merasakan.

Seulas senyum pada wajah Em menatap rekannya yang tetap bergeming, fokus pada apa yang sedang dilakukannya.

“Bahkan untuk melihat catatan buku saja, kau melihatnya dengan tatapan yang dingin.”

Daren tetap diam.

“Aku akan ke bawah duluan, aku harus memastikan Reyhan sudah mengisi perutnya dengan makanan hangat, agar tubuhnya hangat saat harus berada di ruangan yang super dingin, aku takut anak itu terserang hiportemia.” Em berlalu keluar dari ruangan sambil bersiul santai.

Daren tetap bungkam. Meski buku yang dipegangnya telah dia singkirkan dari pandangannya.

Tak lama Em meninggalkan kehengingan dalam ruangan itu, suara ketokan pada pintu terdengar. Daren menghela napas. Dia tahu suara itu akan merusak keheningannya, tapi dia tidak bisa mencegahnya.

“Kopi, Chef?” Gadis itu muncul dari balik pintu, membawa nampan yang berisi satucangkir espresso panas.

Daren hanya

mengangguk singkat Percuma menolak, gadis itu tetap masuk dengan keras kepala yang meletakkan cangkir kecil berisi cairan kafein hitam itu di atas meja. Matanya menatap dingin tak bersahabat pada si pembawa kopi, belakangan Daren tahu, gadis itu juga yang meracikkan kopi untuknya setiap pagi selama hampir satu bulan ini.

Setelah meletakkan cangkir kecil itu di atas meja, Kaluna tidak langsunng beranjak, dia akan berdiri sejenak di depan meja, memandangi pria dengan garis wajah yang tegas dan sepasang mata dingin itu dengan tatapan dalam yang hangat. Hanya sejenak, tapi dapat memunculkan semburat alami merah jambu pada pipinya.

Gadis itu tidak pernah kapok dan tidak ada takutnya dengan pria itu. Dia tetap menjadi penggemar sejati.

“Pergi.” Satu kata meluncur keluar dari bibir tipis Daren yang disertai udara dingin. Tapi sepertinya Kaluna bukan orang yang mudah terserang hiportemia.

.

.

.

TBC~

Tidak Menyangkal.

Kaluna menyapa seorang pelanggan yang datang, seorang wanita, cantik dan anggun. Rambut wanita itu berwarna brunette indah, bergelombang cantik, sungguh rambut itu pasti sering keluar masuk salon perawatan yang mahal.

Semua orang mengenalnya, juga Kaluna, senyum menawan wanita itu menyadarkan Kaluna bahwa dirinya seperti itik buruk rupa yang bersebelahan dengan seekor burung cendrawasih yang menawan atau seekor angsa yang anggun.

Vania. Wanita secantik barbie itu sedang memilih menu makan siangnya di restoran itu.

“Ada lagi, Kak?” tanya Kaluna sopan.

“Tidak, itu saja.” jawab Vania. Selepas Kaluna meninggalkan meja, dia mendengar beberapa orang yang berbisik tentang Vania. Ia adalah seorang vlogger terkenal yang jumlah pengikutnya lebih dari dua juta.

Kaluna tahu itu, dia pun terkadang menonton Vania melalui layar ponselnya, wanita cantik yang membuat konten tentang tempat-tempat makan, makanan juga bermasak. Vania adalah seorang koki yang akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang content creator.

Cantik, pintar, jago masak, mandiri, tapi hanya satu hal yang tidak disukai Kaluna tentang wanita itu.

“Kenapa senyummu menghilang begitu berbalik badan dari meja Vania?” tanya Citra.

Kaluna menuliskan pesanan pada alat yang akan diterima di dapur.

“Jangan sampai Chef Daren keluar dari dapur dan melihat siapa yang datang.” kata Kaluna dengan suara pelan. Senyum yang biasanya selalu menjadi dekorasi pada wajah Kaluna mendadak hilang.

“Memang siapa yang datang?” Citra mengernyitkan dahi.

“Mantannya.” Kaluna menganggukkan dagunya kearah Vania yang tengah menyiapkan dua kamera di atas meja, bersiap membuat konten.

“Kita akan dapat masalah kalau dia dibiarkan membuat konten disini.” Citra mengeluh.

“Cantik, sih, tapi sayang tidak bisa baca peraturan yang ada.” ucap Kaluna ketus.

“Mau kau atau aku yang menegurnya?” tanya Citra.

“Aku saja.” Juno mengambil alih.

Juno melangkah pasti menuju meja yang ditempati vlogger itu dengan degup jantungnya yang bertalu, ia akan melarang vlogger yang diikutinya membuat content, meski itu bertentangan dengan hatinya, namun dia harus menjalankan tugas.

“Maaf, Kak, disini tidak diperbolehkan membuat konten.” kata Juno ramah.

“Benarkah? Apa ada peraturannya?” tanya Vania dengan santai, sambil memeriksa kameranya.

Juno mengangkat tangannya, mengarahkan tangannya pada sebuah papan yang tergantung di dekat pintu masuk, sebuah peraturan tertulis yang melarang dengan jelas pembuatan content.

“Ah, begitu rupanya, maaf, aku tidak melihatnya.” Kata Vania. Tapi sepertinya wanita itu tidak ada niat untuk membenahi kembali kamera-kameranya.

“Jadi mohon maaf, Kak, bisa diangkat kembali kamera-kameranya?” tanya Juno.

“Tapi, sebelumnya boleh aku tahu siapa yang membuat peraturan itu? Manager, kah?” tanya Vania lagi.

“Pemilik restoran, Kak, yang membuatnya. Chef tidak mau ada yang membuat konten tentang makanannya atau pun restorannya.” Jawab Juno.

“Chef? Apa pemilik restoran ini adalah Chef juga?”

“Benar, Kak.”

Vania terlihat menganggukkan kepalanya, lalu tetap dengan wajah cantiknya yang menyunggingkan senyuman, ia berkata, “Bisa aku bertemu dan bicara langsung dengan Chef nya? Aku akan meminta ijin secara pribadi dengannya?”

“Tapi, Kak-”

“Sebentar saja. Bukan kah pelanggan adalah raja dan ratu? Aku tidak akan membuat keributan, karena itu aku hanya akan meminta ijinnya sekali, jika tidak diijinkan, aku akan menyimpan kembali kamera-kameraku.”

Juno terlihat berpikir dan menimbang sedikit, kemudian dia menganggukkan kepalanya.

“Ih, kenapa juga si Juno pakai segala menyanggupi, dia mau terkena serangan jantung, kah?” Citra berdecak sebal.

Terlebih Kaluna, jika Daren setuju untuk keluar, maka pujaan hatinya itu akan kembali bertemu dengan mantan kekasihnya yang cantik, seksi dan elegan dengan rambut brunette-nya itu.

“Ada apa, Jun?” tanya Em yang melihat kedatangan Juno.

“Anu, Chef, ada pelanggan yang mau bertemu dengan Chef Daren.” kata Juno takut-takut, dia

bahkan tidak berani sekadar melirik pada Daren yang langsung menatapnya dingin begitu namanya disebut.

“Oh, ya? Kenapa? Ada yang salah dengan makanannya?” tanya Em.

Juno menggeleng.

“Lalu?” Masih Em yang merespon.

“Pelanggan ini mau bicara dan ijin langsung pada Chef Daren untuk membuat konten.”

“Ijin ditolak, jika dia tidak mau, suruh dia cari restoran lain.” Daren akhirnya membuka suara.

Em membuang napas dengan sabarnya.

“Apa dia seorang content creator yang berpengaruh?” tanya Em pada Juno. Sejak awal Em memang tidak terlalu setuju Daren membuat peraturan seperti itu, karena dengan bantuan promosi dari para pembuat konten di media sosail itu akan membantu jalannya usaha mereka.

“Dua juta subscriber.” Juno menjawab sambil melebarkan matanya, “Aku pengikutnya, Chef.” Juno mengacungkan ibu jarinya.

“Jadi itu artinya bisa memberikan keuntungan untuk restoran ini, bukan?” ujar Em.

“Aku tidak membutuhkan content creator untuk mempromosikan restoranku.” Lagi, Daren berucap dingin dan datar.

“Kau tidak butuh, tapi kami membutuhkannya, Chef.” Em masih mencoba untuk memberikan pengertian.

Daren tidak mengubrisnya.

“Kau lihat sendiri sudah satu bulan restoran ini tidak berjalan seperti yang kita harapkan, padahal makanan kita level bintang lima. Harga tergolong murah dengan level makanan mewah seperti ini.”

“Tidak semua hal harus berjalan sesuai apa yang kau harapkan.” Ucap Daren tanpa melihat Em.

Em menghela napas panjang sambil menggelengkan kepalanya. Ia melihat Juno lalu menganggukkan kepalanya.

“Minta pelanggan kita ke dapur, jangan biarkan Chef yang tidak ingin dikenal masyarakat ini harus keluar dari persembunyiannya.”

“Baik, Chef!” Juno segera beranjak dari tempatnya.

“Kau tahu aku tidak suka peraturanku dilanggar, bukan?” tanya Daren dengan suaranya sedingin es.

“Tahu, tapi tetap saja pelanggan adalah raja dan ratu, dia meminta untuk bicara denganmu secara baik-baik, maka kita harus meresponnya dengan baik. Setidaknya jika memang kita tetap tidak memberikannya ijin, harus tetap dilakukan dengan perbincangan yang baik, bukan? Demi citra restoran ini.”

Daren hanya mendengkus. “Terserah, kau yang urus, aku tetap tidak mau ada pembuatan konten di resoranku.”

Tak lama kemudian, Kaluna yang datang dengan wajahnya yang mendung, namun seulas senyum tetap dipaksakan terukir disana.

“Chef, ini Kak Vania, ingin bicara dengan Chef mengenai ijin untuk membuat konten.” Jelas Kaluna dengan sopan. Ekor matanya melirik pada punggung bidang Daren yang berdiri memunggungi mereka, sibuk mengerjakan sesuatu di atas meja.

“Vania?” Em melebarkan matanya melihat siapa wanita yang datang bersama Kaluna.

“Em?” Sama halnya dengan Vania. “Kau pemilik restoran ini?”

Kaluna masih melihat punggung Daren yang tetap diam memunggungi mereka.

“Eum, bukan. Pemiliknya sulit untuk dijinakkan, jadi aku yang mewakilinya.” kata Em dengan santai.

“Daren?” Vania langsung mengerti siapa yang dimaksud Em, matanya pun langsung melihat pemilik punggung yang sedari tadi bergeming memunggungi semua orang tanpa suara.

Sementara hati Kaluna mulai merasakan gemuruh yang tidak membuatnya nyaman.

“Apa kau tidak mau menyapaku?” tanya Vania, dengan suaranya yang lembut, namun terdengar dibuat-buat dalam gendang telinga Kaluna.

Punggung bidang itu pun akhirnya bergerak, hingga wajah tegas dan sepasang mata yang selalu menatap dingin itu pun menghadap orang-orang di depannya.

“Apa yang kau inginkan?”

“Wah, sapaan yang hangat.” Vania terkekeh. Begitu pun dengan Em.

“Memangnya apa yang kau harapkan, eh?” Sahut Em.

“Aku tidak menyangka kau membuka restoranmu sendiri, dekorasinya sangat minimalis, benar-benar mencerminkan dirimu.” Vania bersikap seolah Daren menyambutnya dengan penuh kehangatan. Jangan tanyakan bagaimana Kaluna ingin sekali menarik rambut brunette itu keluar dari dapur.

“Selesaikan urusanmu, lalu keluar dari dapurku.” Ucap Daren.

“Tentu saja, mungkin kita bisa bicara berdua, karena kau yang membuat peraturan itu, bukan? Jadi seharusnya aku langsung bicara denganmu, bukan?” tanya Vania, seraya menyelipkan sejumput rambutnya di belakang telinga.

Sok kecantikan! Umpat Kaluna dalam hatinya. Meski memang kenyataannya Vanias ecantik yang terlihat.

“Tidak ada pembuatan konten apa pun di restoran ini.” Ujar Daren lagi, ia tidak mengubah ekspresinya sama sekali.

“Tapi konten ku dapat memberikan keuntungan untuk restoranmu.”

“Itu urusanku, bukan urusanmu.”

“Baiklah, aku tidak akan memaksa.” Vania mengangkat tangan, menandakan dirinya menyerah.

“Kalau begitu, pergi.”

“Kulihat kau tidak terlalu sibuk. Berhubung ada sesuatu yang belum terselesaikan di antara kita, dan sudah terlalu lama kita tidak bertemu, mungkin bisa kita sekalian bicarakan sekarang? Karena aku tidak tahu kapan aku mempunyai kesempatan ini lagi?” tanya Vania.

“Eum, Reyhan, Kaluna, bisa kalian ikut aku bantu mengecek bahan makanan di gudang?” Em si paling peka.

“Tidak ada yang perlu dicek, Em. Semua masih tersedia.” Daren menghentikan Em dari aksi kepekaannya. “Dan kau,” Daren kembali menatap dingin Vania, “Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Kau dengan pilihanmu, aku

dengan pilihanku.”

“Tapi D, aku tahu masih ada ruang disana untukku, bukan?”

Dih! Kepedean! Lagi-lagi Kaluna mengumpat.

Daren berdecak sebal. Dia berpaling pada Kaluna, “Bawa dia keluar dari restoran ini, jangan sampai dia membuat konten apa pun, atau aku akan memotong gaji kalian semua.”

Kaluna mengangguk, sama sekali tidak tersinggung atau pun merasa takut dengan ancaman Daren.

“Mari, Kak,”

“Baiklah, setidaknya aku tahu, kau yang memasak untuk pesananku, kesempatan itu masih ada.”

“Duh!” Tiba-tiba Kaluna menyentak kaki seraya tangannya menggebrak meja dapur yang paling dekat dengannya. “Anda ini tidak mengerti bahasa manusia atau apa?”

Em dan Reyhan sampai melongo dibuatnya. Tapi tidak dengan Daren, dia tetap dengan ekspresi dinginnya melihat kelakuan Kaluna.

“Apa pun yang pernah ada antara Anda dan Chef Daren sudah berakhir, sudah tidak ada ruang lagi. Anda dengan

pilihan Anda, dan Chef dengan pilihannya. Setidaknya hargai pilihan Chef.”

“Hei, kau ini siapa? Kenapa ikut campur? Tahu apa kau tentang kami?”

“Anda benar-benar ingin tahu siapa saya?” Kaluna mengangkat sebelah alis matanya.

“Ya! Berani sekali ikut campur!”

“Saya kekasih Chef Daren Seno, saya yang telah menjadi pilihan Chef Daren untuk berjalan disisinya dimasa depan! Jadi mengerti, kan, sekarang sudah tidak ada kesempatan atau pun ruang untuk Anda kembali mengusik hidup kekasih saya. Jadi berhenti untuk bersikap sok kecantikan dan kepedean pada kekasih orang!” ujar Kaluna dengan begitu lancar jaya dan meyakinkan.

Em dan Reyhan semakin melongo. Tapi tidak ada sanggahan dari Daren, dia hanya tetap dia menatap Kaluna dingin.

“Apa?!” Vania tidak percaya dengan yang dikatakan gadis berseragam pramusaji di hadapannya itu. Ia menatap Kaluna dari ujung sepatu keds hingga ujung kepala Kaluna. “Kau! Apa benar begitu, D?” Vania berpaling pada Daren.

“Keluar dari restoranku.” Sahut Daren, tidak menyangkal ucapan Kaluna, pun menjawab Vania.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!