Kaluna berdiri menundukkan kepala di depan Daren, tapi bukan berarti Kaluna merasa takut atau pun merasa tegang berada berduaan di dalam ruang kerja Daren begitu restoran memasuki jam tutup. Semua rekan kerjanya di lantai bawah malah yang merasakan kegelisahaan dan kecemasan, Daren bisa saja memecat Kaluna karena
keberaniaannya atau bisa dikatakan kelancangan gadis itu mengaku-ngaku sebagai kekasih Daren Seno!
Meski semua orang tahu bagaimana Kaluna sangat menggilai chef dingin itu, tapi tidak pernah ada yang sampai berani berpikir bahwa Kaluna nekat seperti itu. Walaupun tujuannya adalah untuk membantu Daren terlepas dari mantan yang tiba-tiba datang dan tiba-tiba juga meminta kesempatan, tetap saja aksi nekat itu membuat nasib pekerjaannya berada diujung tanduk.
“Aku tidak tahu lagi bagaimana harus bersikap padamu.” Ujar Daren.
“Memangnya Chef pernah bersikap seperti apa pada saya selain bersikap dingin?” Jawaban Kaluna membuat Daren menaikkan alis matanya. Ia tidak mengerti bagaimana gadis itu selalu membuatnya bisa mengendurkan ekspresi datarnya dengan sikap pun kata-katanya yang begitu berani dan teguh mempertahankan diri menjadi
penggemarnya meski Daren tidak pernah menunjukkan sikap layaknya seorang idola yang ramah.
“Memangnya sikap seperti apa yang kau harapkan? Kalau kau memang tahu siapa aku, seharusnya kau juga tahu aku tidak pernah menginginkan memiliki penggemar.”
“Dan saya tetap memilih untuk tetap menyukai Chef, tidak peduli sedingin apa Chef ke saya
atau pun ke orang lain. Hak saya untuk tetap menyukai Chef. Hak saya menentukan pilihan saya.”
Darenmenengadahkan kepala, memalingkah matanya dari wajah penuh keterbukaan gadis di hadapannya itu, mencoba mengumpulkan kesabaran dari udara untuk tetap waras menghadapi kekeraskepalaan Kaluna.
“Aku tidak pernah mau menjadi seorang idola.”
“Saya menyukai Chef meski saya tahu Chef seperti ini, jadi tidak masalah bagi saya, saya tetap menyukai Chef.”
“Baiklah, terserah kau. Tapi itu tidak membenarkan apa yang kau lakukan tadi di dapur.”
“Saya hanya ingin membantu, tidak lebih. Saya dapat melihat bagaimana Chef tidak ingin berhubungan lagi dengan vlogger itu.”
“Dari mana kau melihatnya, aku bahkan tidak menunjukkan apa-apa.”
“Bisa dikatakan, itu adalah kelebihan fangirl.” kata Kaluna seraya mengedikkan bahu. “Lagi pula, Chef juga tadi tidak menyanggah saya. Itu artinya, aksi saya cukup membantu, bukan?”
Daren menghela napas. Sejujurnya, memang sangat membantu, karena itu Daren tidak menyanggahnya. Meski dia tahu, Vania tentu saja tidak akan langsung mempercayai apa yang dikatakan Kaluna, gadis yang pernah dekat dengannya itu pasti akan mencari tahu tentang Kaluna. Itu yang Daren tidak suka. Pada akhirnya, Kaluna harus terlibat dalam urusan pribadi hidupnya.
“Lain kali, kau tidak perlu membantuku dalam bentuk apa pun, jangan pernah lagi ikut campur urusan pribadi orang lain.”
Gantian Kaluna yang menghela napasnya. “Terima kasih, Kaluna. Sama-sama, Chef!” Kaluna menirukan gaya bicara Daren seolah pria itu mengucapkan terima kasih dengan nada sisnis. Dan dirinya yang membalasnya.
Kaluna membungkukkan tubuhnya lalu berbalik badan melangkah keluar dari ruangan beraura dingin tersebut. Sementara yang ditinggalkan hanya menatap punggung kecil itu menghilang dari balik pintu dengan tatapan dingin yang tidak berubah. Kepalanya mencoba mencari jawaban mengapa gadis bertubuh semungil itu bisa memiliki tekad yang sangat besar. Tidak peduli sedingin apa Daren padanya, ia tetap menyunggingkan senyuman yang tulus pada wajahnya.
***
“Ah, maafkan aku, Kal, aku tidak tahu kalau kau memang benar-benar menyukai Chef Daren dengan hatimu.” Ujar Em dengan penuh penyesalan. Mereka – Em, Kaluna, Citra, Radit, Juno, dan Reyhan – duduk melingkar pada salah satu meja di dekat jendela yang menampakkan pemandangan luar yang kini tengah menyajikan rintik-rintik
hujan.
“Memangnya selama ini Chef Em mengira saya tidak sungguh-sungguh suka sama Chef Daren?” tanya Kaluna, masih merajuk karena Em di dapur tadi menyuruh Kaluna dan Reyhan untuk pergi dan meninggalkan Daren bersama Vania berdua. Tujuannya jelas, agar Daren dan Vania bisa bicara dan Vania memiliki kesempatan lagi.
Em menggaruk kepalanya.
“Gatel, Chef?” Tanya Radit iseng.
Kaluna memberengut, menyilangkan kedua lengannya di depan dada.
“Ya, aku pikir kau itu hanya seperti penggemar-penggemar pada umumnya, sekadar suka saja gitu, tidak pakai hati.” Kata Em, masih merasa tidak enak.
“Hah, kalau begini, pangkat Chef Terpeka bisa dicoret dari jidatnya Chef, nih.” Juno menimpali sambil mengunyah kacang rebus yang sebelumnya ia beli satu bungkus untuk dimakan bersama-sama. Kejadian hari ini terlalu berharga untuk tidak dibahas ulang dalam konferensi meja restoran.
“Tap-tapi, apa tidak sebaiknya kau tidak terlalu memakai hati, Kal?” tanya Reyhan.
“Maksudnya?” Nada tak suka masih jelas terdengar di udara keluar dari bibir Kaluna.
“Ya… kan, kita semua tahu bagaimana Chef bersikap, d-dia jelas t-tidak suka kalau a-ada orang yang m-mengusiknya.” Jelas Reyhan.
“Hem, omonganmu benar juga sih, tapi mana bisa aku mengontrol rasa suka dari hati.” jawab Kaluna.
Reyhan kemudian hanya mengedikkan bahu.
Satu bulan bekerja bersama, sudah cukup membuat semua orang tahu bagaimana kerasnya tekad gadis itu.
“Tapi, omong-omong, Chef, bagaimana bisa Chef Daren dan Vania putus?” Citra bertanya.
“Iya, bener tuh, padahal Vania cantik banget.” Timpal Juno.
“Tapi gatel maksa mau dekat sama orang yang jelas-jelas tidak mau bersamanya.” Cetus Kaluna.
“Lah, kalau Vania gatel, kau ini apa dong? Jelas-jelas Chef Daren juga tidak menyukaimu.” Balas Juno sambil menjulurkan lidahnya meledek.
Kaluna melotot, tapi tidak membalas. Tahu bahwa dirinya sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Vania, namun versi yang berbeda.
“Yang aku tahu, Chef Daren dan Vania itu bisa dibilang tidak berhubungan seperti kekasih pada umumnya, kalian tahu, semacam hubungan tanpa status. Dan sikap Chef Daren pun sama seperti yang kalian tahu, dingin. Dia juga tidak terlalu mengubris Vania, tapi ya Vania hampir sama seperti Kaluna, pala batu. Hehehe, canda ya Kaluna.”
Kaluna mendengkus.
“Sampai akhirnya Chef terlalu malas meladeninya dan membiarkan Vania dekat dengannya. Lalu Vania mulai nge-vlog. Sekali dua kali ia merekam Daren saat sedang masak tanpa sepengetahuannya, padahal dia tahu Daren paling tidak suka hal itu. Rupanya hal itu tetap dilakukan Vania untuk menaikkan jumlah penontonnya. Singkat cerita, Daren tahu itu dan dia marah, dia mengancam akan menuntut Vania jika tidak segera menghapus video-vidio yang menampilkan wajahnya.”
“Kau dengar, No? Aku dan vlogger itu berbeda, dia memanfaatkan Chef, sementara aku tulus menyukainya.” Gantian Kaluna yang menjulurkan lidahnya pada Juno. Meledek balik.
“Jadi, yah, bisa kalian tebak lah bagaimana endingnya, Chef mendorong Vania menjauh dari hidupnya. Padahal aku sebagai temannya berharap mereka benar-benar bisa bersama.”
“Ih, Chef, kenapa menginginkan teman Chef itu bisa bersama dengan perempuan yang hanya memanfaatkannya saja!” Kaluna malah kesal mendengarnya.
“Ya, kan awalnya aku tidak tahu kalau Vania mempunyai rencana terselubung.”
“Kalau sekarang sudah tahu, kenapa tadi malah mau mendekatkan Chef Daren dengan Vania lagi?” Kaluna masih tidak terima dengan Em.
“Yah karena kupikir Vania sudah menyesali perbuatannya dan siapa tahu bisa-”
“Tidak bisa, tidak bisa! Pokoknya Chef Daren hanya milikku. Kalau pun aku tidak bisa memilikinya, setidaknya perempuan yang akan dipilih Chef harus lolos seleksi dariku dulu.”
Semuanya saling berpadangan melihat bagaimana Kaluna berkata dengan sangat bersungguh-sungguh.
"Maaf, Anda siapanya, ya?" Goda Radit.
“Lama-lama aku yang ngeri kau terlalu tinggi bermimpi, Kal.” Kata Juno.
“Melambung jauh terbang tinggi bersama mimpi….” Radit malah menyanyikan sepenggal lirik lagu milik penyanyi Anggun.
Semuanya malah jadi tertawa, tapi hanya sejenak saja karena objek yang tengah menjadi perbincangan koferensi meja itu muncul dari tangga khusus karyawan. Lengkap dengan penampilannya yang selalu mengenakan pakaian serba hitam.
“Ah, sudah mau balik, Chef?” tanya Em santai. Seperti biasa.
Daren hanya mengangguk kemudian berlalu keluar dari dalam restoran tanpa sedikit pun melihat Kaluna.
***
Daren akhirnya tiba di depan pintu rumahnya yang minimalis kekinian setelah menempuh perjalanan hampir dua jam. Ia keluar dari mobilnya lalu berjalan menuju pintu seraya merogoh saku celana jins hitamnya. Tiba-tiba langkahnya terhenti, tidak ada kunci dalam saku celananya. Ia kembali ke dalam mobil, mencari kemungkinan
dia lupa meletakkan kunci rumahnya di sana, tapi tidak ada.
Ia mendengus sebal, paling tidak suka jika ia melupakan sesuatu. Kemudian ia teringat, pagi tadi, dia sempat mengeluarkan kunci rumahnya di ruang kerja karena mencari struk belanjaan yang harus dia masukan dalam buku besar.
“Ah, sial!” Runtuknya pada dirinya sendiri.
Ia terlalu malas untuk kembali ke restoran, dan lebih malas lagi jika dia harus tidur di dalam mobil. Tidak ada hotel di dekat perumahannya, sekali pun ada, jaraknya malah lebih dekat dengan restoran.
Sambil menelan rasa kesal kepada dirinya sendiri, Daren kembali melompat masuk ke dalam mobilnya, memutar kunci hingga suara mesin menderu. Detik berikutnya keempat rod aitu pun meninggalkan carpot rumah minimalis yang sama sekali tidak ditanami tanaman apa pun.
Malam pun semakin larut saat Daren tiba di restoran, ia memutuskan untuk istirahat saja di restoran dari pada harus kembali pulang ke rumahnya. Hujan pun sepertinya masih belum bosan mengguyur permukaan bumi, bahkan lebih lebat. Ia berniat untuk berlari demi terhindar dari hujan, tapi matanya yang selalu menatap dingin itu menangkap sesuatu yang teronggok dekat dengan ban mobilnya.
Sebuah dompet.
Daren memungutnya dan langsung menuju depan pintu restoran yang terlindung kanopi. Dia mengibaskan sedikit lengan jaket kulit hitamnya yang keren. Memandang sekitar untuk melihat apakah ada seseorang yang mungkin sedang mencari dompet yang sedang dipegangnya itu. Tapi begitu sepi. Ia memutuskan untuk melihat
siapa pemilik dompet tersebut, mungkin besok dia bisa mengirimkan pada pemiliknya.
“Chef!”
Gerakan tangannya terhenti sebelum ia benar-benar membuka dompet tersebut, suara gadis yang sudah satu bulan ini selalu mengganggunya tiba-tiba muncul seiring dengan sosoknya yang mungil berbalut jas hujan berwarna tosca mengayuh sepeda.
Kaluna segera menepikan sepedanya, kemudian berlari juga ke depan pintu restoran, tepat dimana Daren berdiri tinggi menjulang.
“Chef belum pulang?” tanya Kaluna seraya membuka penutup kepalanya, Sebagian helai rambutnya basah, begitu pun dengan wajahnya. Tangan kurus yang hampir tenggelam dalam balutan jas hujan itu pun terlihat sedikit gemetar, mungkin karena dinginnya udara yang diciptakan kala hujan, atau mungkin juga gemetar saking
senangnya berdiri berduaan dalam jarak yang tidak terlalu jauh dan hujan yang menemani, seperti adegan romantis dalam drama-drama picisan.
“Kau sendiri kenapa kembali?” Daren menjawab dengan pertanyaan yang selalu diucapkan dengan nada dingin.
“Oh, saya kehilangan dompet saya, saya sudah telusuri jalanan bolak balik tapi tidak ketemu juga, saya pikir mungkin ketinggalan di restoran.”
Dengan sorot matanya yang dingin tanpa ampun ia melihat bagaimana bibir Kaluna terlihat agak keunguan. Tak heran, gadis itu bolak balik di bawa hujan yang deras.
“Apa ini dompetmu?” Daren mengangkat tangannya, tepat menunjukkan dompet itu di depan hidung Kaluna.
Jawabannya tidak ada yang kebetulan, mungkin memang takdir yang membuat Daren harus lupa memasukkan kembali kunci rumah ke dalam saku celananya dan takdir pula lah yang membuat Kaluna menyadari bahwa dia kehilangan dompetnya ketika hari semakin larut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Eka Bidel
Terkadang di setiap kesulitan, ada hikmah yang tersembunyi.
2023-01-07
1