Hari ini mood ku sungguh kacau sekali hingga aku sungguh merasa sangat malas sekali bekerja. Sepertinya semangatku terbang menghilang begitu saja enta ke mana. Aku juga merasa, waktu bekerja kali ini terasa begitu lama sekali.
Karena merasa jenuh dan bosan, aku hanya meltakkan kepalaku di meja dan menggambar-gambar sesuatu yang tak jelas di kertas hvs.
Sepertinya seseorang tengah memperhatikanku sedari tadi. Karena aku merasakan pandangannya telah menusuk ke dadaku.
“Ya... kau kenapa?” Lingfei mendekatiku pada akhirnya setelah beberapa menit dia hanya memperhatikanku dari meja kerjanya.
Ya, Ling Lingfei dia adalah teman terdekatku di kantor. Bisa dibilang dia adalah separuh aku. Karena dia sangat mengenalku dengan baik.
Aku menoleh ke arahnya sesaat kemudian melanjutkan kegiatanku lagi.
“Entahlah... aku merasa sangat malas sekali hari ini.” Ucapku mendesah lelah kemudian melanjutkan menggambar lagi.
Ling menatapku tajam menyelidik.
“Kau tak biasanya seperti ini.” dia benar-benar merasa sangat curiga. “Aku sangat yakin jika ada sesuatu yang terjadi denganmu.” Ucap Ling masih menatapku heran.
Belum sempat menjawab pertanyaan Ling, ponselku bergetar. Dengan malas ku raih ponselku dan ku lihat sekilas siapa pemanggil tersebut. Aku mengernyitkan kening melihat nomor tak di kenal yang berada di layar ponsel.
Ling hanya memperhatikanku sembari menyeruput machiato yang dibelinya dari cafe seberang.
Tanganku seperti tengah terbelenggu besi baja ribuan ton sehingga mau menekan tombol hijau pada ponsel saja serasa berat sekali.
“Maaf... saya tak butuh asuransi.” Jawabku asal saat menerima panggilan itu kemudian hendak mengakhiri panggilan itu. Namun belum sempat aku mengakhirinya terdengar tawa renyah di seberang.
“Chhh.... konyol sekali.” Suara sedikit berat di seberang sana sepertinya mengenalku dengan baik.
Aku berpikir sejenak kemudian aku teringat akan seseorang. Yang spontan membuatku melongo tak percaya. Sesaat Ku jauhkan ponsel dari mulutku kemudian aku sedikit mengumpat setelah puas, ku dekatkan kembali ke telingaku lagi.
Ling yang masih berada di dekatku begitu terkejut dan menatapku aneh.
“Ah.... maaf... aku pikir orang asing yang menawarkan asuransi.” jawabku malas dan agak canggung.
“Bibi yang telah memberikanku nomormu ponselmu” Dia mulai menjelaskan tanpa ku tanya dari mana dia mendapatkan nomor ponselku. “Ahh... Jam berapa kau pulang?” tanyanya lagi sok akrab.
“Ahh... biasanya jam 5. Kenapa?” Aku balik bertanya padanya heran. Kenapa dia menanyakan kapan aku pulang dari kantor.
“Baiklah, mungkin... sekitar setengah jam lagi ku jemput di tempatmu bekerja.” Ucapnya santai.
"Wait!! Kk... k... kau mau menjemputku?? untuk apa???" Spontan aku langsung duduk tegak geragapan.
"Untuk apa? Tentu saja untuk mengantarkanmu pulang. Atau kau mau kita makan malam di luar dulu?" Sambungnya polos. Tidak.... sebenarnya polos atau memang dia sengaja menggodaku??
"A... apa???" Aku bertanya lagi untuk memastikan apakah pendengaranku baik-baik saja atau bermasalah.
"Tunggu setengah jam lagi aku sampai." Pesannya mengingatkanku.
Setengah jam lagi? Aku melihat ke arah jam dinding. Benar saja, ini sudah setengah 5. Aku mendesah kesal.
“Memangnya kau tau di mana aku bekerja?” tanyaku menyelidik.
“Ayolah... aku selalu tau di mana pun kau berada.” Ucapnya kemudian. "Aku dalam perjalanan. Cepat selesaikan pekerjaanmu."
Tut... tut...
Ucapnya terakhir kali kemudian menutup panggilannya.
"Ya... Feng Jinyi... tung..." percuma saja aku berteriak di telepon toh sambungannya sudah terputus.
Ku lemparkan ponselku di atas meja dengan kesal dan menjambak rambutku sendiri gemas.
Ling terlihat ketakutan menatapku yang tengah kesetanan.
“Hidupku berakhir Ling.” Aku meratap ke arah Lingfei yang masih heran tak mengerti.
Tapi dia sepertinya memyadari seseuatu. Karena sedari tadi dia berada di sini saat Jin menelpon.
“Berakhir bagaimana??? Kau tak menceritakan apapun kepadaku, dari mana aku bisa tau masalahmu?” dia balik membentakku sebal. "Dan itu... siapa itu Feng... Feng... Aku seperti mengenal namanya. Kenapa namanya tak asing di telingaku?" Ling mengingat beberapa yang dia dengar.
Dan ini bisa gawat.
“Aku akan cerita tapi tidak sekarang ok? Ah sebaiknya aku harus cepat-cepat sebelum dia mengomel.” Ucapku pada Ling dan bergegas meninggalkannya sendirian yang masih mengingat-ingat nama Feng yang aku sebutkan.
Aku berjalan keluar sambil menuliskan nama mr. Ice pada kontak yang hampir lupa aku simpan. Sepertinya nama itu sangat cocok dengannya yang dingin dan tak berperasaan seperti balok es. Berada di dekatnya saja seperti berada di kutub selatan yang nyaris membunuhmu karena aura dinginnya yang menusuk hatimu.
Langkah kakiku spontan berhenti ketika mataku melihat sebuah mobil yang ku naiki kemarin telah terparkir manis di depan gedung.
“Hufh....” aku menghela napas berat saat ku lihat dia sudah berada di depan mobilnya dan duduk setengah bersandar pada cap mobilnya menungguku.
Dia melambaikan tangan ke arahku dan melemparkan senyum dinginnya yang hanya ku balas dengan wajah masamku. Dia tersenyum, namun senyum itu terasa sangat dingin sekali. Tapi aku tak memungkiri jika dia memang sangat tampan. Entahlah... karena aku sudah terlanjur kesal padanya makanya aku tak merasa menyukainya.
“Kenapa masam begitu?” tanyanya setelah aku mendekatinya dan berdiri di depannya.
Aku tak menjawabnya dan hanya menatapnya sebal. Bibirku benar-benar cemberut karenanya.
“Baiklah... masuklah!” perintahnya dan tertawa lirih karena melihat ekspresiku yang kesal.
“Tidakkah kau langsung mengantarku pulang?” tanyaku padanya ketus setelah kami berada dalam mobilnya.
“Tentu saja tidak.” Dia menatapku sekilas dengan memamerkan senyumnya yang terasa sangat dingin.
"Apa???" Aku terkejut.
Dia tak menjawab dan malah menekan pedal gasnya perlahan berlalu meninggalkan gedung kantorku.
“Feng Jinyi???" Aku memanggil namanya merajuk, ingin menangis lagi rasanya.
“Kita akan menikah, tidakkah seharusnya kita berkencan lebi dulu?” dia mengatakan itu tanpa ekspresi apa pun dan menatap lurus ke jalan.
“Ya... Feng Jinyi!!.” Mentalku semakin melemah.
“Seharusnya kau memanggilku dengan sebutan yang lebih enak di dengar, karena aku calon suamimu.” dia membenarkan.
“Apa?” aku tak percaya akan pendengaranku.
“Mungkin semacam honey? Baby?.” Dia kembali menegaskan dengan tertawa ringan.
“Astaga.....” Aku yang awalnya ingin berteriak mendadak menyerah. Dan dia hanya terkekeh pelan melihatku. “Yaa.... aku belum berkata aku mau menikahimu. Aku belum menyetujui perjodohan kita.” Aku menegaskan.
“Tapi kau sudah pasti akan menikah denganku." Ucapnya santai. "Ahh... Ibuku merindukanmu, aku dimintanya untuk membawamu pulang.” lanjutnya.
“Kau berbohong kan? Aku bahkan belum menerimamu menjadi calon suamiku, mana mungkin bibi Feng meminta hal itu." Aku mencari celah.
“Buat apa aku berbohong?” dia melirikku sekilas, “Aku tau jawabanmu meskipun kau tak mengatakannya padaku.” Dia mengatakannya lagi.
“APA???” aku berteriak tak percaya. Memangnya apa jawabanku?? Aku saja belum memikirkan apa jawabanku.
“Mereka menunggumu di rumah untuk membicarakan hal ini.” Jin memberikan sebuah clue.
“Kenapa mereka tak memberitahuku lebih dulu? Jahat sekali.” Aku memukul dashboard mobilnya dengan tanganku ringan karena aku merasa kesal.
Mereka sepertinya benar-benar ingin menjebakku.
“Aku sudah memberitahumu sekarang.” Dia berkata benar dan hanya ku balas dengan tatapan jengahku.
Tak berapa lama, Mobilnya berhenti di sebuah garasi kecil setelah memasuki pekarangan sebuah rumah sederhana. Aku bertanya dalam hati, ‘ini rumah siapa? Bukannya dia mengajakku ke rumahnya?’
“Kau tak mau turun?” dia bertanya padaku dan beranjak keluar kemudian. Dengan cepat aku mengikutinya. Pikiranku masih bertanya-tanya ini rumah siapa? Namun kemudian aku menyadari bahwa inilah rumahnya ketika ku lihat mobil ayahku berada di sana juga.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Pecinta Halu
Kakang Jin dehhhhh
2022-05-12
1
Alfiah
kayaknya laki-lakinya gk dingin, tp santai sj orangnya
2020-03-26
5