Aku sudah tak ingat sejak kapan aku duduk sendirian di sini, padahal aku tak jatuh pingsan atau tidur.
Tapi aku tak sadar ke mana ayah, ibu dan adikku pergi. Paman dan bibi Feng juga sudah tidak ada.
Kata-kata ayah dan paman Feng terngiang lagi ditelingaku. Dadaku seperti mau meledak saja rasanya. Ubun-ubun kepalaku serasa berkedut dengan hebat hingga aku merasakan pusing. Aku mau menangis tapi tak bisa. Sehingga begitu sesak sekali di dada.
Tunggu... apakah sebenarnya aku tengah bermimpi? Aku tadi membaca novel kemudian tertidur dan berlayar ke alam mimpi? Tapi kenapa rasanya sangat nyata sekali.
“Aku antar kau pulang.” Sebuah suara sedikit berat terdengar samar-samar dan pelan di dekatku. Aku mulai tersadar dari lamunanku yang terlihat dengan tatapan kosong mataku.
"Apa kau baik-baik saja??" Suara itu kini terdengar lebih jelas hingga membuatku sepenuhnya tersadar. Meski begitu, aku tak mau menoleh ke arah pemilik suara itu.
“Kita... hanya harus menikah, itu saja.” Ucapnya kemudian. Yang akhirnya mampu membuatku mendongak ke arahnya yang berada di depanku tengah duduk manis bersandar pada kursi menatapku tajam. Tapi... meneduhkan. Sebenarnya kenapa dengan mata itu??
Tidak. Aku harus fokus kembali pada masalahku. Dan apa tadi yang dikatakannya? Kita hanya harus menikah? kalimat yang simple tapi terasa berat jika ditelaah lebih jauh lagi.
Enteng sekali dia berkata? ‘kita hanya harus menikah itu saja?’ ?? omong kosong macam apa ini?
"Maaf?" Aku beranikan diri menatapnya.
"Ya... aku menyetujuinya. Aku setuju'jika kita menikah." Ucapnya santai.
Apakah memang menyebalkan seperti ini para pebisnis muda itu? Dia berkata denga sangat enteng sekali seolah-olah ini adalah dunianya sendiri dan orang lain tak terlibat. Jadi dia bisa mengambil keputusan tanpa memikirkan perasaan dan keputusan orang lain.
Aku terdiam tak berkomentar apa pun. Rasanya kali ini aku benar-benar ingin menangis.
"Kita percayakan saja pada orang tua kita. Semua akan baik-baik saja." Dia menyarankan masih dengan ekspresi yang datar.
“Kenapa aku?” tanyaku padanya dengan nada tak percaya. “Kenapa harus aku?? Kau tau kan menikah itu tidak untuk main-main? Kita sudah dewasa seharusnya untuk memikirkan masalah pernikahan? Tolong, Aku.... aku punya impian sendiri tentang rencana pernikahan....” Suaraku serak dan berat, ya aku mulai menangis. “Tolong... ini tidak lucu. Jangan bercanda dengan hal semacam ini.” Aku mulai mengusap pipiku yang telah dibasahi air mata dengan punggung tanganku seperti bayi.
Dia menatapku dalam dan lekat. Aku tak mengelak dari tatapannya. Aku malah berbalik menatapnya meskipun aku tengah menangis.
Dia menghela napas dalam dan panjang. Kemudian merubah posisi duduknya yang semula bersandar pada sandaran kursi kini terlihat menegakkan punggungnya dan terlihat lebih serius. Karena kedua tangannya berada di atas meja dan mengaitkan jari-jarinya satu sama lain.
“Jalani saja, kita tak tau apa yang akan terjadi. Nanti? Besok? Lusa? Atau hari-hari berikutnya.” Ucapnya enteng tanpa ekspresi namun terdengar serius.
Apakah aku harus menikah dengan orang sedingin ini? orang tak berperasaan?? Dia terasa begitu mendominasi.
Mendengarnya memberikan saran seperti itu, membuatku semakin ingin menangis meraung saja... namun... sepertinya aku tak mau menangis meraung-raung di depannya. Bukan karena malu, tapi karena aku merasa percuma. Jadi aku menahannya saja sehingga hanya menyisakan isakan-isakan kecil.
“Aku memohon padamu, demi ayahku yang prosentase kehidupannya sudah semakin menipis. Aku mau kau menerima permintaannya untuk mempunyai seorang menantu dari putri sahabatnya. Agar dia bahagia di sisa hidupnya. Itu saja. Dan terlebih lagi... Dia sangat menyukaimu.” dia memohon.
Tak bisa ku pungkiri, hatiku sangat tersentuh oleh kata-katanya yang baru saja dia ungkapkan.
Tapi Apa ini??? sebelah otakku berkata, ayahnya yang akan meninggal, kenapa aku yang menjadi korban???
Tapi hati kecilku merasa bahwa aku akan sangat kejam jika membiarkan harapan terakhir seseorang terabaikan ketika aku mampu memberikannya.
Di lain sisi... Aku mempunyai harapan yang lain. Harapan masa depanku. Hidup bahagia bersama dengan orang yang aku sukai.
Aku masih bimbang dengan perasaanku sendiri. Aku tak bisa memutuskan mana yang harus ku pilih? Bersikap kejam dan mengejar kebahagiannku? atau mengalah dan mengorbankan segalanya.
Memikirkannya membuatku terisak lagi. Sesekali menggosokkan punggung tangannku untuk membersihkannya dari air mata yang mengalir kembali.
Masa bodoh. Aku sepertinya telah kehilangan urat malu di depannya karena telah menangis dan menangis.
“Jika kau ingin menolaknya tak apa-apa, Kau yang berhak menentukan. Meskipun aku tak bisa membayangkan bagaimana konsekuensinya. Ayahku mungkin akan semakin merasa tertekan, mungkin hidupnya akan usai tanpa permintaannya terpenuhi. Meninggal dalam keadaan terluka oleh sahabatnya sendiri yang mengingkari janjinya untuk mempersatukan keluarga. Tapi... kebahagiaanmu lebih penting bukan?”
Apa ini??? dia mengancamku dengan sangat haluss??? Tadi dia memohon padaku, sekarang dia mengancamku. Bagus.... Aku terperangkap sekarang.
Akhirnya tangisku mulai bersuara pelan dan semakin lama semakin meraung. Masa bodoh. Tak peduli orang lain akan melihatku seperti apa. Mungkin mereka akan mengira bahwa aku adalah anak yang berkebutuhan khusus dan tengah mengalami tantrum.
“Kenapa.... harus... aku....? aku... bahkan... tidak... cantik... tidak... kaya... aku...” kata-kataku terputus-putus karena aku mengatakannya sambil menangis sesenggukan.
"Kau hanya tidak menyadari potensi dalam dirimu. Kau terlalu menatap ke atas." Ucapannya sangat menohok jantungku.
Namun pada akhirnya aku tetap tidak mampu melanjutkan pembelaanku. Dan malah melanjutkan tangisku.
Dia tidak menjawab. Dia hanya terdiam menatapku dan menungguku hingga aku selesai menghabiskan air mataku meskipun berjam-jam telah berlalu. Mungkin mataku kini terlihat sembab sekali.
Akhirnya aku sudah mulai tenang. Tangisku telah berhenti. Isakanku juga telah berhenti. Kami saling terdiam.
“Ayo ku antar kau pulang!” ucapnya seraya berdiri.
“Aku pulang sendiri saja.” Ucapku beranjak berdiri dan mengabaikan ajakannya seraya bergegas berlalu pergi.
Dia hanya menghela napas berat menatapku yang telah berjalan pergi terlebih dulu. Tak berapa lama dia beranjak mengikutiku perlahan.
Aku tak menghiraukannya dan tetap berjalan pelan ke arah Halte. Sejenak aku berhenti dan menoleh ke belakang. Dan sepertinya dia sudah tidak mengikutiku. Aku menarik napas lega. Kemudian mataku melihat bus mendekat dan sesegera mungkin aku memeriksa tasku.
“Ahh... sungguh...???!” aku menggerutu sendiri, ketika mendapati tas yang ku bawa ternyata kosong tanpa apapun. Dompet dan ponselku tertinggal di rumah. Ternyata aku salah mengambil tas karena terburu-buru.
Aku beberapa kali menghentak-hentakkan kakiku di lantai karena kesal. Bintang kemujuran sepertinya tidak berpihak padaku malam ini. Aku benar-benar merasa sangat kesal. Ingin rasanya menangis lagi.
Di saat aku sedang meratapi nasibku yang serba sial hari ini, dengan tiba-tiba ku rasakan seseorang menarik tanganku berjalan menjauhi Halte sehingga membuatku sedikit terhuyung tak seimbang.
“Sudahlah... buang saja egomu. Ini sudah sangat larut... Biar ku antarkan kau pulang.” Ucapnya sembari melepaskan genggaman tangannya dariku dan mulai membukakan pintu mobilnya yang telah berada di depanku.
Aku masih terdiam tak bersuara. Aku benar-benar tak mau dia mengantarku pulang. Namun kemudian dia mendengus kesal dan beranjak menarikku masuk ke dalam mobilnya paksa yang tak dapat ku elak.
Akhirnya mau tak mau aku di antarkannya pulang juga. Dan saling diam tanpa bersuara hanya menyisakan deru halus mobilnya.
Sesampai di rumah aku langsung berlari masuk ke dalam kamar mengabaikan ayah dan ibuku yang telah menunggu di ruang tamu. Aku berdiam di kamar dan tak beranjak keluar hingga pagi. Tentu saja aku tak bisa tidur dengan nyenyak.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Pecinta Halu
ihhh gemmessss
2022-05-12
1
Diwi Jack
ngayal yukk
2020-04-08
2
Salsabela Vega
0
2020-03-29
2