Jodoh Pasti Bersama

Jodoh Pasti Bersama

*1

"Baiklah. Jika mama dan papa ingin aku segera menikah, aku akan segera menikah. Sesuai dengan permintaan mama dan papa. Tapi tolong, jangan lakukan perjodohan untuk aku dengan keluarga manapun. Karena aku tidak ingin menikah karena terpaksa. Melainkan, menikah karena cinta."

"Amelia. Kamu tahu bukan? Mama dan papa selalu mengikuti apa yang kamu katakan selama ini. Kamu ingin pacaran dengan siapapun, kami tidak pernah melarang. Kami selalu mendukung setiap keputusan kamu dalam perihal asmara. Tapi sayangnya, sampai detik ini, kamu masih tidak punya calon untuk dijadikan suami."

"Papa mu benar sayang. Kami sebenarnya tidak juga ingin kamu menikah secepat ini. Karena umur kamu masih terbilang sangat muda, kan? Tapi kakek mu yang sudah tua itu selalu memaksa untuk menanyakan prihal calon suami padamu, Nak. Kasihan dia. Dia ingin melihat kamu menikah selagi dia masih bernapas. Gitu katanya."

Amelia terdiam. Dia tahu soal desakan itu datang memang bukan dari papa dan mamanya. Tapi melainkan, datang dari kakek yang memang sudah berumur sekarang.

Orang tua itu berulang kali memberikan sinyal perjodohan pada Amelia sejak dia berusia sembilan belas tahun. Tepatnya, dua tahun yang lalu hingga sekarang.

Bahkan sekarang, orang tua itu sudah langsung menyiapkan calon buatnya. Laki-laki dari keluarga Prayoga yang sama sekali tidak Amelia kenal dengan baik. Hanya sebatas kenal nama juga kenal rupa. Itupun hanya sekilas saja.

"Amel ... saran mama, jika kamu memang tidak punya calon. Maka terima saja calon yang kakek kamu pilihkan itu, nak. Dia laki-laki yang baik, dari keluarga ternama lagi. Cukup setara dengan kita, kan?"

"Iya, Mel. Mama kamu benar tuh. Dari pada nunggu nyari yang pas, kan? Lagian, untuk kebaikan kamu, juga kebahagiaan kakek kamu. Pikirkan saja hal itu, sayang."

Amelia mendengus kesal. Bagaimana tidak? Bukan hanya kakeknya yang ingin menjodohkan dirinya sekarang. Tapi ternyata, mama dan papanya juga sama. Ingin menjodohkan dia dengan tuan muda keluarga Prayoga yang entah bagaimana sifat dan tabiatnya itu.

"Mama ... papa ... tolong deh ya. Jangan ikut-ikutan kek kakek. Tolong jangan jodoh-jodohkan aku. Mama sama papa paling tahu aku, bukan? Aku itu paling tidak suka dengan yang namanya perjodohan."

"Mama sama papa tahu kok kalau kamu gak suka. Tapi .... "

"Pa, aku tahu kalau kakek ingin aku cepat menikah. Maka dari itu, aku akan cari calon suami secepatnya. Aku akan cari sendiri tanpa ada embel-embel yang namanya perjodohan. Tidak suka, dan tidak akan pernah setuju."

"Alasannya apa sih, Mel? Kamu begitu kekeh menolak dan sangat tidak suka dengan yang namanya perjodohan. Tapi malam ini, mama ingin tahu alasan atas penolakan itu. Karena selama ini, kamu hanya menolak saja, bukan? Tidak memberikan kami alasan sama sekali."

"Nah ... mama kamu benar. Katakan apa alasannya. Jika masuk akan, maka mama dan papa tidak akan melakukan perjodohan buat kamu lagi nanti. Tapi jika tidak, maka siap-siaplah."

"Ih ... papa. Jangan menakut-nakuti anak sendiri. Tidak baik. Kasihan Amel."

"Papa tidak benar-benar menakut-nakuti dia kok, Ma. Cuma bercanda."

Rasa kesal yang ada dalam hati Amelia mendadak sirna. Bagaimana tidak? Dalam situasi seperti inipun, mama dan papanya masih sempat melontarkan candaan. Dan yang paling membahagiakan lagi adalah, dia masih jadi prioritas mama dan papanya. Masih tetap jadi anak kesayangan walau keduanya sedang dalam situasi yang mungkin tidak baik.

"Bercandaan papa itu gak lucu, tahu gak?"

"Udah-udah. Katanya mau tau apa alasan aku menolak keras perjodohan? Tapi kok malah berdebat sih mama dan papaku ini?"

"Gak berdebat kok sayang. Cuma adu mulut aja."

"Sama dong itu namanya, Ma. Adu mulut iya debat. Debat, iya adu mulut."

"Eh, he he he .... " Mama Amel malah tertawa kecil. Sementara papanya hanya tersenyum saja.

"Nah lho, katanya mau bilang apa alasannya. Eh, kok malah ikutan debat juga sih?" Papanya angkat bicara.

"Eh, he he he. Iya maaf, Pa."

"Alasannya, ya aku gak ingin menikah dengan cara dijodohkan. Karena di jodohkan itu menikah bukan karena cinta. Melainkan, karena terpaksa."

"Ya tapikan ... ada banyak pasangan yang bahagia setelah menikah dengan cara dijodohkan, sayang."

"Mama ... bahagia sih iya, bahagia. Tapi setelah melewati yang namanya penderitaan dulu, kan?"

"Tahu dari mana, coba?" tanya papanya.

"Iya. Tahu dari mana kamu orang yang menikah dengan cara dijodohkan itu sengsara dulu baru bahagia."

"Ya tahu ... tahu dari .... "

"Dari novel. Iyakan?"

Ucapan sang mama barusan hanya membuat Amelia nyengir kuda saja. Karena memang, tebakan mama itu sangat benar sekali.

"Ih ... makanya jangan kebanyakan baca novel soal kawin paksa deh kamu, Mel. Jadinya, tuh pikiran nge bleng gitukan bawaannya. Kehidupan nyata malah kamu samakan dengan novel. Ya nggak akan nyambung lah."

"Eh, mama ngomongin anak. Orang kamu dan Amelia itu sama saja. Sama-sama hobinya baca novel mulu. Yang dibaca sama aja tuh, sama-sama soal pernikahan paksa, kan?"

"Papa ih ... sok tahu. Mama gak ada tuh baca novel yang kek begituan." Mamanya ingin menghindar. Namun wajahnya tidak bisa berbohong.

"Aduh ... kok malah bahas soal novel sih? Ya udah deh kalo kek gitu. Aku mau ke kamar aja deh."

"Eh ... gak bisa gitu dong. Masa mau pergi aja kamu, Mel. Belum selesai ngomong nih," ucap mamanya sambil menahan tangan Amel agar tidak beranjak meninggalkan mereka.

"Mau bahas apa lagi sih, Ma? Gak ada yang perlu dibahas lagi deh kek nya, Ma. Semuanya udah selesai. Aku gak akan mau dijodohkan bagaimanapun caranya. Titik!"

"Iya, mama tahu. Tapi, apa kamu gak ada alasan lain kah, Mel? Mama merasa sangat gak puas dengan alasan kamu barusan itu."

Amelia terdiam. Dia melihat kedua mata mamanya dengan tatapan tajam. Dia sungguh mengerti, kalau mamanya pasti tahu ada hal lain yang dia sembunyikan dibalik jawaban yang sudah dia utarakan barusan.

"Ma ... sebenarnya, aku gak ingin keluarga kita seperti keluarga Anggun. Kakak Anggun menikah dengan orang yang orang tuanya jodohkan. Dan sekarang, keluarga mereka hidup serba kekurangan, bukan? Hanya gara-gara penipuan yang keluarga suaminya kakaknya lakukan. Aku gak mau itu terjadi pada kita pula, Ma."

Papa dan mama Amelia saling bertukar pandang. Lalu, keduanya langsung mengerti ketakutan, juga trauma yang anaknya alami.

"Mama dan papa paham kok, Mel. Kamu tidak ingin kita mengalami hal itu. Tapi, tidak semua orang seperti itu sayang. Mm ... gini aja deh. Gimana jika kita bikin taruhan aja?"

"Taruhan?" Amelia dan papanya berucap serentak dengan mata yang saling tatap satu sama lain.

Terpopuler

Comments

Putu Suciptawati

Putu Suciptawati

ketemu lagi novelnya kak rani

2022-09-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!