"Baiklah. Jika mama dan papa ingin aku segera menikah, aku akan segera menikah. Sesuai dengan permintaan mama dan papa. Tapi tolong, jangan lakukan perjodohan untuk aku dengan keluarga manapun. Karena aku tidak ingin menikah karena terpaksa. Melainkan, menikah karena cinta."
"Amelia. Kamu tahu bukan? Mama dan papa selalu mengikuti apa yang kamu katakan selama ini. Kamu ingin pacaran dengan siapapun, kami tidak pernah melarang. Kami selalu mendukung setiap keputusan kamu dalam perihal asmara. Tapi sayangnya, sampai detik ini, kamu masih tidak punya calon untuk dijadikan suami."
"Papa mu benar sayang. Kami sebenarnya tidak juga ingin kamu menikah secepat ini. Karena umur kamu masih terbilang sangat muda, kan? Tapi kakek mu yang sudah tua itu selalu memaksa untuk menanyakan prihal calon suami padamu, Nak. Kasihan dia. Dia ingin melihat kamu menikah selagi dia masih bernapas. Gitu katanya."
Amelia terdiam. Dia tahu soal desakan itu datang memang bukan dari papa dan mamanya. Tapi melainkan, datang dari kakek yang memang sudah berumur sekarang.
Orang tua itu berulang kali memberikan sinyal perjodohan pada Amelia sejak dia berusia sembilan belas tahun. Tepatnya, dua tahun yang lalu hingga sekarang.
Bahkan sekarang, orang tua itu sudah langsung menyiapkan calon buatnya. Laki-laki dari keluarga Prayoga yang sama sekali tidak Amelia kenal dengan baik. Hanya sebatas kenal nama juga kenal rupa. Itupun hanya sekilas saja.
"Amel ... saran mama, jika kamu memang tidak punya calon. Maka terima saja calon yang kakek kamu pilihkan itu, nak. Dia laki-laki yang baik, dari keluarga ternama lagi. Cukup setara dengan kita, kan?"
"Iya, Mel. Mama kamu benar tuh. Dari pada nunggu nyari yang pas, kan? Lagian, untuk kebaikan kamu, juga kebahagiaan kakek kamu. Pikirkan saja hal itu, sayang."
Amelia mendengus kesal. Bagaimana tidak? Bukan hanya kakeknya yang ingin menjodohkan dirinya sekarang. Tapi ternyata, mama dan papanya juga sama. Ingin menjodohkan dia dengan tuan muda keluarga Prayoga yang entah bagaimana sifat dan tabiatnya itu.
"Mama ... papa ... tolong deh ya. Jangan ikut-ikutan kek kakek. Tolong jangan jodoh-jodohkan aku. Mama sama papa paling tahu aku, bukan? Aku itu paling tidak suka dengan yang namanya perjodohan."
"Mama sama papa tahu kok kalau kamu gak suka. Tapi .... "
"Pa, aku tahu kalau kakek ingin aku cepat menikah. Maka dari itu, aku akan cari calon suami secepatnya. Aku akan cari sendiri tanpa ada embel-embel yang namanya perjodohan. Tidak suka, dan tidak akan pernah setuju."
"Alasannya apa sih, Mel? Kamu begitu kekeh menolak dan sangat tidak suka dengan yang namanya perjodohan. Tapi malam ini, mama ingin tahu alasan atas penolakan itu. Karena selama ini, kamu hanya menolak saja, bukan? Tidak memberikan kami alasan sama sekali."
"Nah ... mama kamu benar. Katakan apa alasannya. Jika masuk akan, maka mama dan papa tidak akan melakukan perjodohan buat kamu lagi nanti. Tapi jika tidak, maka siap-siaplah."
"Ih ... papa. Jangan menakut-nakuti anak sendiri. Tidak baik. Kasihan Amel."
"Papa tidak benar-benar menakut-nakuti dia kok, Ma. Cuma bercanda."
Rasa kesal yang ada dalam hati Amelia mendadak sirna. Bagaimana tidak? Dalam situasi seperti inipun, mama dan papanya masih sempat melontarkan candaan. Dan yang paling membahagiakan lagi adalah, dia masih jadi prioritas mama dan papanya. Masih tetap jadi anak kesayangan walau keduanya sedang dalam situasi yang mungkin tidak baik.
"Bercandaan papa itu gak lucu, tahu gak?"
"Udah-udah. Katanya mau tau apa alasan aku menolak keras perjodohan? Tapi kok malah berdebat sih mama dan papaku ini?"
"Gak berdebat kok sayang. Cuma adu mulut aja."
"Sama dong itu namanya, Ma. Adu mulut iya debat. Debat, iya adu mulut."
"Eh, he he he .... " Mama Amel malah tertawa kecil. Sementara papanya hanya tersenyum saja.
"Nah lho, katanya mau bilang apa alasannya. Eh, kok malah ikutan debat juga sih?" Papanya angkat bicara.
"Eh, he he he. Iya maaf, Pa."
"Alasannya, ya aku gak ingin menikah dengan cara dijodohkan. Karena di jodohkan itu menikah bukan karena cinta. Melainkan, karena terpaksa."
"Ya tapikan ... ada banyak pasangan yang bahagia setelah menikah dengan cara dijodohkan, sayang."
"Mama ... bahagia sih iya, bahagia. Tapi setelah melewati yang namanya penderitaan dulu, kan?"
"Tahu dari mana, coba?" tanya papanya.
"Iya. Tahu dari mana kamu orang yang menikah dengan cara dijodohkan itu sengsara dulu baru bahagia."
"Ya tahu ... tahu dari .... "
"Dari novel. Iyakan?"
Ucapan sang mama barusan hanya membuat Amelia nyengir kuda saja. Karena memang, tebakan mama itu sangat benar sekali.
"Ih ... makanya jangan kebanyakan baca novel soal kawin paksa deh kamu, Mel. Jadinya, tuh pikiran nge bleng gitukan bawaannya. Kehidupan nyata malah kamu samakan dengan novel. Ya nggak akan nyambung lah."
"Eh, mama ngomongin anak. Orang kamu dan Amelia itu sama saja. Sama-sama hobinya baca novel mulu. Yang dibaca sama aja tuh, sama-sama soal pernikahan paksa, kan?"
"Papa ih ... sok tahu. Mama gak ada tuh baca novel yang kek begituan." Mamanya ingin menghindar. Namun wajahnya tidak bisa berbohong.
"Aduh ... kok malah bahas soal novel sih? Ya udah deh kalo kek gitu. Aku mau ke kamar aja deh."
"Eh ... gak bisa gitu dong. Masa mau pergi aja kamu, Mel. Belum selesai ngomong nih," ucap mamanya sambil menahan tangan Amel agar tidak beranjak meninggalkan mereka.
"Mau bahas apa lagi sih, Ma? Gak ada yang perlu dibahas lagi deh kek nya, Ma. Semuanya udah selesai. Aku gak akan mau dijodohkan bagaimanapun caranya. Titik!"
"Iya, mama tahu. Tapi, apa kamu gak ada alasan lain kah, Mel? Mama merasa sangat gak puas dengan alasan kamu barusan itu."
Amelia terdiam. Dia melihat kedua mata mamanya dengan tatapan tajam. Dia sungguh mengerti, kalau mamanya pasti tahu ada hal lain yang dia sembunyikan dibalik jawaban yang sudah dia utarakan barusan.
"Ma ... sebenarnya, aku gak ingin keluarga kita seperti keluarga Anggun. Kakak Anggun menikah dengan orang yang orang tuanya jodohkan. Dan sekarang, keluarga mereka hidup serba kekurangan, bukan? Hanya gara-gara penipuan yang keluarga suaminya kakaknya lakukan. Aku gak mau itu terjadi pada kita pula, Ma."
Papa dan mama Amelia saling bertukar pandang. Lalu, keduanya langsung mengerti ketakutan, juga trauma yang anaknya alami.
"Mama dan papa paham kok, Mel. Kamu tidak ingin kita mengalami hal itu. Tapi, tidak semua orang seperti itu sayang. Mm ... gini aja deh. Gimana jika kita bikin taruhan aja?"
"Taruhan?" Amelia dan papanya berucap serentak dengan mata yang saling tatap satu sama lain.
"Taruhan?" Amelia dan papanya berucap serentak dengan mata yang saling tatap satu sama lain.
"Iya. Taruhan buat kamu, Amel. Mama ingin bikin kamu makin semangat buat nyari calon suami, dan kami yang nunggu gak akan nungguin kamu nyari secara sia-sia gitu aja."
"Aduh, ini mama gimana sih maksudnya?" tanya papa Amel angkat bicara karena merasa masih bingung.
"Ih ... papa ini. Gini lho, Pa. Maksud mama, kita bikin taruhan. Mama kasih Amel waktu dua bulan buat nyari pasangan. Jika dalam dua bulan gak ketemu-ketemu juga dengan calon suami idaman. Maka Amelia harus terima calon yang sudah kakeknya siapkan. Gimana? Bagus, kan? Ide mama."
"Bagus apanya? Itu untung di kalian, buntung di aku namanya, Ma." Amelia berucap dengan nada sangat kesal.
"Lah ... kenapa buntung di kamu pula, Mel? Bukannya itu perjanjian yang sama-sama menguntungkan buat kita semua?" Papa yang setuju, angkat bicara.
"Iya gimana gak buntung di aku, coba? Kalian cuma kasi aku waktu dua bulan buat nyari calon suami. Emangnya, nyari calon suami itu segampang nyari mi instan di mini market apa?"
"Jadi kamu mau waktu yang seberapa lama sih, Mel? Satu tahun? Keburu mama gak minat punya menantu, tahu gak?"
"Ya nggak selama itu juga dong, Ma. Bayangin deh, mama cuma kasih aku waktu dua bulan. dua bulan itu cuma enam puluh hari, Ma. Eis ... nyari di mana laki-laki buat calon suami."
"Mama gak mau tau. Terima tantangan mama atau kamu ikut pilihan yang kakek kamu punya. Menikah dengan cara dijodohkan. Ayo! Pilih yang mana?"
"Aaa ... ya sudah kalo gitu. Aku pilih terima tantangan mama. Aku akan cari calon suami dalam hitungan dua bulan. Mama sama papa lihat aja. Aku pasti bisa," ucap Amelia penuh semangat dan percaya diri.
"Nah ... gitu dong. Percaya diri kalo kamu mampu, Mel." Papa bicara dengan nada penuh dukungan.
"Ih ... papa ini sebenarnya ada di pihak siapa sih? Pihak mama atau pihak Amel?"
"Papa ada di tengah-tengah kok, Ma. Tenang aja."
"Dasar papa." Amelia berucap sambil menggelengkan kepalanya.
"Ya sudah. Sekarang kita sudah mencapai kesepakatan, bukan? Mama tunggu kamu bawa calon suamimu dua bulan lagi, Amelia. Ingat! Dua bulan terhitung dari malam ini."
"Lho mama. Makin curang aja deh kek nya mama ini. Awas aja kalo mama dan papa main curang di belakang aku nanti."
"Eh, gak akan curang. Tenang aja. Kita main adil kok," ucap mama sambil tersenyum menyeringai.
Setelah kesepakatan malam itu, Amelia langsung berusaha menemukan calon suami buat dirinya sendiri. Seperti yang dia bayangkan, menemukan laki-laki buat calon suami itu sangatlah sulit.
Ya kali bisa menemukan pacar buat dia ajak serius. Dalam dua bulan ini, dia yang sibuk dengan urusan kantor, mana punya waktu buat menemukan laki-laki untuk diajak ketemuan.
"Agh ... mama pikir, nemu calon suami itu segampang beli mi instan. Tinggal mampir di mini market, atau bahkan di warung recehan aja udah ketemu. Aduh ... bikin pusing aja," ucap Amelia sambil ngerutu kesal pada dirinya sendiri.
Kebetulan, Anggun sahabatnya yang juga bekerja satu kantor dengan Amel melihat kegusaran sahabat baiknya itu. Dia yang menjabat sebagai asisten manajer di perusahan itu, tentu cukup dekat dengan Amel yang bekerja dengan jabatan sebagai kepala manajer di perusahaan keluarganya sendiri.
Anggun langsung mengetuk pintu ruangan Amel. Mendengar ketukan itu, Amel langsung menyuruh seseorang yang ada di pintu buat masuk tanpa melirik atau memperhatikan siapa orang tersebut.
"Masuk!"
Anggun tersenyum sambil masuk ke dalam.
Senyum karena merasa geli dengan wajah kusut yang sahabatnya miliki. Karena dia tahu, apa penyebab dari kusutnya wajah itu.
"Gusar aja deh kek nya ibu manajer ini. Akhir-akhir ini, kek nya murung terus-terusan. Ada masalah apa sih kamu ini, Mel?"
"Pura-pura nanya lagi kamu, Gun. Udah tahu kalau aku sedang dalam masalah besar. Dan tahu apa masalah yang sedang aku alami, eh pakai nanya. Kan makin bikin aku merasa gerah aja kamu ini."
"Ye ... gitu aja bingung."
"Lah, gak bingung gimana coba? Kamu gak tahu, waktu terus berjalan. Sedangkan aku? Aku masih gak punya satupun calon yang bisa aku ajak jalan. Boro-boro buat dijadiin calon suami. Buat dijadiin calon ketemuan aja aku gak punya."
"Kamu gak mau aku masukin dalam grup kencan buta. Mereka awalnya kenal secara online, terus ajak ketemuan. Mana tahu ada yang cocok dengan kamu, iyakan? Bisa deh itu ... diajak jalan-jalan. Atau bahkan, diajak nikah."
Setelah berucap, Anggun langsung tertawa. Tawa bahagia yang terdengar seperti sedang mengejek bagi Amelia.
"Mulai deh kamu, Gun. Ejek lagi. Ejek terus .... "
"Eh. Gak ngejek kok, Mel. Cuma tawa akibat geli aja. Habisnya, kamu itu lucu aja sih. Masa mau nyari calon suami pakai nerima taruhan dari orang tua kamu. Kan nyari gara-gara namanya."
"Niat bantuin gak sih kamu ini, Gun? Malah nasehatin aku lagi. Kamu tahu gak, kalo gak terima taruhan ini, aku akan mereka jodohkan dengan tuan muda keluarga Prayoga."
"Ya kalo kamu gagal mencari, itukan akan sama saja, Amel. Kamu juga akan dinikahkan dengan tuan muda keluarga Prayoga, bukan?"
"Ya makanya, kamu selaku sahabat itu harus bantuin aku. Tolongin aku gimana caranya supaya aku jangan gagal. Cari orang yang tepat kek, atau gimana kek gitu. Yang jelas, bantuin aku buat berhasil."
Anggun tidak menjawab. Sepertinya, dia sedang berpikir sekarang. Memikirkan cara buat membantu sahabatnya untuk berhasil dalam taruhan.
Masalah jodoh itu bukan soal yang gampang. Karena jodoh, pernikahan, dan rumah tangga. Itu soal sulit yang tidak mudah untuk diatur. Karena jika salah sedikit saja, maka akan berakibat fatal.
Setelah hampir lima menit Anggun diam, akhirnya, dia tersenyum kecil.
"Mel, aku punya ide nih. Gak tahu tapi kamu setuju atau tidak."
"Katakan saja apa ide yang kamu punya. Soal setuju atau nggak, itu soal belakangan."
"Oke deh kalo gitu. Gini nih .... " Anggun langsung mengatakan apa ide yang dia punya.
Amelia mendengarkan perkataan sahabatnya dengan seksama. Mencoba mencerna setiap kata dengan sebaik mungkin agar dia mengerti inti dari rencana yang sahabatnya miliki.
"Apa kamu gak punya cara lain, Gun?" tanya Amelia setelah Anggun selesai berucap.
"Itu cara yang paling baik yang aku punya, Mel. Sepertinya, kamu harus coba cara itu terlebih dahulu."
"Aku sih mau nyoba. Cuma kalo gak berhasil gimana?"
"Ya .... " Anggun tidak berucap dengan kata-kata. Dia hanya bisa mengangkat kedua bahunya tanpa tidak tahu lagi harus apa.
Karena sudah tidak punya cara lain. Amelia terpaksa memakai cara yang sahabatnya punya. Cara itu adalah ... berkencan atau lebih tepatnya, berkenalan lebih dekat dengan tuan muda keluarga Prayoga.
"Baiklah. Aku setuju mencoba cara yang kamu punya. Tapi ... aku ingin kamu ikut aku saat kita bertemu dengan tuan muda itu. Bagaimana? Apa kamu bersedia temani aku, Gun?"
"Lah ... kok kamu malah ajak aku ikut segala sih? Kenapa aku harus ikut coba?"
"Karena kamu yang punya rencana. Maka kamu harus tanggung jawab."
"Kamu harus ikut. Titik tanpa koma."
"Aish ... ya sudahlah kalo gitu. Aku akan ikut. Tapi jangan masukin aku ke dalam masalah nantinya."
"Tidak akan. Aku janji," ucap Amelia sambil mengangkat satu tangannya dengan kedua jari terbuka sambil tersenyum lebar.
Dua hari kemudian. Seperti yang telah mereka rencanakan. Mereka akan bertemu dengan tuan muda keluarga Prayoga yang bernama Dion.
Tuan muda yang berusia dua puluh tujuh tahun itu sekarang menjabat sebagai wakil pemimpin di perusahan keluarga Prayoga. Katanya, dia tuan muda yang pendiam. Tidak terlalu banyak bicara dan tidak suka bergaul dengan sembarang orang.
Info itu Anggun dapatkan dari hasil penyelidikan yang dia lakukan selama dua hari. Dan semua itu dia jadikan modal untuk mendekatkan Amelia dengan tuan muda tersebut agar sahabatnya tidak perlu susah payah mencari calon suami lagi.
Semua itu terjadi karena pertimbangan kegagalan yang telah sama-sama mereka perhitungkan. Amelia yang sibuk, tidak mungkin bisa menemukan calon suami dalam hitungan waktu yang sangat singkat.
Oleh karena itu, dia terpaksa ikut cara sahabatnya. Jika gagal, maka dia tidak akan menyesal kalau harus menikah dengan tuan muda Dion Prayoga. Karena dia sudah mengenal tuan muda itu nantinya.
Pertemuan itu akan mereka lakukan pada malam hari. Karena waktu malam adalah jam istirahat buat mereka yang super sibuk bekerja di siang harinya.
Amelia yang memang sudah dasarnya cantik, sekarang semakin cantik saja dengan pakaian santai, namun mewah yang sedang dia kenakan. Maklum, dia tuan putri keluarga ternama. Anak orang kaya yang tak kalah kaya dari keluarga Prayoga.
Seorang nona muda yang sudah sangat wajar jika selalu berpakaian mewah. Hanya saja, dia jarang memakai pakaian santai karena selalu berpakaian kantor saat keluar rumah. Sedangkan ketika dalam rumah, dia selalu memakai piyama karena menurutnya gak ribet dan bikin santai.
Amelia melewati ruang tamu, di mana mama dan papanya sedang duduk santai di sana. Dia akan berpamitan sebelum beranjak meninggalkan rumah.
"Amel, tumben dandan cantik malam ini. Mau ke mana kamu, sayang?" tanya mamanya agak antusias dengan penampilan anak gadis yang sekarang sudah berusia dua puluh satu tahun itu.
"Kencan lah, Ma. Seperti yang mama mau. Nemuin calon suami yang akan aku bawa kehadapan mama dan papa enam minggu lagi."
"Oh ... mama kira belum ketemu sama calon suami pilihan. Jika udah ketemu, ya bagus deh. Jangan lupa aja sama perjanjian kita."
"Gak akan lupa kok, Ma. Tenang aja."
"Ya udah deh ya, aku pamit dulu."
"Hati-hati ya, Nak. Jangan kelewatan kamu," ucap papanya berpesan dengan sangat wanti-wanti.
"Iya, Pa. Jangan cemas saja anak papa ini. Gak akan kelewatan kok."
"Jalan sama, Anggun kan, Mel?" tanya mama Amelia pula.
"Iya, Ma. Jalan sama Anggun."
"Eh, kencan kok sama teman. Awas tuh, calonnya malah berpindah haluan."
"Papa ini gimana sih? Ngomong yang nggak-nggak. Ingat! Omongan itu adalah doa. Kita sebagai orang tua, harusnya bicara yang baik-baik pada anak kita agar gak terjadi hal buruk." Mama Amelia berucap kesal.
"Papa cuma ngingatin kok, Ma. Gak lebih. Soalnya, udah banyak kejadian itu."
"Papa tenang aja ya. Aku yakin kok, kalo Anggun gak akan jadi pagar makan tanaman kok, Pa." Amelia berucap dengan nada penuh keyakinan. Mencoba meyakinkan papanya supaya tidak cemas lagi.
"Papa bukan gak percaya dengan Anggun, sayang. Hanya saja, papa tidak yakin kalau hati manusia itu bisa kamu percaya. Jika Anggun nya nggak tertarik, ya pikirkan calon kamu itu. Dia mungkin bisa tertarik sama Anggun dengan berbagai alasan."
"Ah ... ya sudah kalo gitu. Gak perlu dibahas lagi, Pa, Mel. Kita doa saja supaya tidak ada hal buruk yang terjadi. Baik pada anak kita, maupun pada sahabatnya."
"Nah, itu baru benar, Ma, Pa. Doain aja supaya tidak ada hal buruk yang terjadi pada aku juga pada semua yang aku sukai, yah."
"Mm ... sepertinya aku harus berangkat sekarang. Anggun udah nunggu di rumahnya."
"Iya deh. Hati-hati ya, sayang."
"Iya, Ma."
"Iya. Oh iya lupa nanya. Bareng pak Muslim juga kan, Mel?" tanya papa Amel cepat.
"Iya, Pa. Bareng pak Muslim juga. Gak akan bawa mobil sendirian kok. Tenang saja. Udah ya, aku pamit sekarang."
Sekali lagi, kedua orang tua itu berpesan pada anaknya agar hati-hati. Amelia yang sudah dewasa di perlakukan penuh cinta. Diberikan kebebasan, namun tetap dalam pengawalan.
Amelia akhirnya meninggalkan rumahnya. Sebelum pergi ke tempat janjian, dia harus menjemput Anggun terlebih dahulu.
Sampai di rumah sederhana milik orang tua Anggun. Gadis itu sudah ada di teras rumah dengan pakaian sederhana yang terlihat cukup cantik dengan dirinya.
Pak Muslim langsung membunyikan klakson mobil buat menyadarkan Anggun akan kehadiran mereka. Anggun yang awalnya sibuk dengan gawai yang dia mainkan, langsung melihat ke depan untuk memastikan.
Setelah dia melihat mobil Amel. Anggun langsung berjalan cepat menuju ke arah mobil tersebut. Mobil itu kembali melanjutkan perjalanannya menuju tempat tujuan utama yang ingin mereka tuju.
"Wah ... cantik banget ibu manajer kita malam ini. Dandanan super maksimal kek nya ini yah."
"Apaan sih, Gun. Orang aku biasa aja. Cuma bedanya, sedikit santai saja kali ini."
"Yang cantik itu kamu, tahu gak. Makin hari makin manis aja deh."
"Eh, kok malah aku yang jadi bahan pembahasan. Aku itu gak ada yang berubah. Selalu seperti ini."
Mereka terus menghabiskan perjalanan dengan bercanda dan mengobrol banyak hal. Sampai ke hal-hal yang tidak penting juga mereka bahas untuk membuat perjalanan itu tidak terasa sepi.
Hampir dua puluh lima menit mereka menempuh perjalanan menuju taman kota. Taman indah yang letaknya di pusat kota dengan keindahan yang terbilang cukup unik.
Di dalam taman itu ada banyak taman-taman kecil lainnya. Taman bunga, juga taman berbagai tumbuhan langka. Entah bagaimana cara mereka merawatnya, yang jelas taman itu sungguh luar biasa.
Katanya, menurut isu yang beredar. Taman itu adalah taman milik keluarga Prayoga. Mereka bekerja sama. dengan pemerintahan buat membangun taman itu.
Tapi ... isu itu tidak dibenarkan oleh Amelia. Karena menurutnya, hal itu sungguh dangat berlebihan. Lagipula, untuk apa membangun taman umun? Bukankah itu tidak ada hasilnya?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!