*2

"Taruhan?" Amelia dan papanya berucap serentak dengan mata yang saling tatap satu sama lain.

"Iya. Taruhan buat kamu, Amel. Mama ingin bikin kamu makin semangat buat nyari calon suami, dan kami yang nunggu gak akan nungguin kamu nyari secara sia-sia gitu aja."

"Aduh, ini mama gimana sih maksudnya?" tanya papa Amel angkat bicara karena merasa masih bingung.

"Ih ... papa ini. Gini lho, Pa. Maksud mama, kita bikin taruhan. Mama kasih Amel waktu dua bulan buat nyari pasangan. Jika dalam dua bulan gak ketemu-ketemu juga dengan calon suami idaman. Maka Amelia harus terima calon yang sudah kakeknya siapkan. Gimana? Bagus, kan? Ide mama."

"Bagus apanya? Itu untung di kalian, buntung di aku namanya, Ma." Amelia berucap dengan nada sangat kesal.

"Lah ... kenapa buntung di kamu pula, Mel? Bukannya itu perjanjian yang sama-sama menguntungkan buat kita semua?" Papa yang setuju, angkat bicara.

"Iya gimana gak buntung di aku, coba? Kalian cuma kasi aku waktu dua bulan buat nyari calon suami. Emangnya, nyari calon suami itu segampang nyari mi instan di mini market apa?"

"Jadi kamu mau waktu yang seberapa lama sih, Mel? Satu tahun? Keburu mama gak minat punya menantu, tahu gak?"

"Ya nggak selama itu juga dong, Ma. Bayangin deh, mama cuma kasih aku waktu dua bulan. dua bulan itu cuma enam puluh hari, Ma. Eis ... nyari di mana laki-laki buat calon suami."

"Mama gak mau tau. Terima tantangan mama atau kamu ikut pilihan yang kakek kamu punya. Menikah dengan cara dijodohkan. Ayo! Pilih yang mana?"

"Aaa ... ya sudah kalo gitu. Aku pilih terima tantangan mama. Aku akan cari calon suami dalam hitungan dua bulan. Mama sama papa lihat aja. Aku pasti bisa," ucap Amelia penuh semangat dan percaya diri.

"Nah ... gitu dong. Percaya diri kalo kamu mampu, Mel." Papa bicara dengan nada penuh dukungan.

"Ih ... papa ini sebenarnya ada di pihak siapa sih? Pihak mama atau pihak Amel?"

"Papa ada di tengah-tengah kok, Ma. Tenang aja."

"Dasar papa." Amelia berucap sambil menggelengkan kepalanya.

"Ya sudah. Sekarang kita sudah mencapai kesepakatan, bukan? Mama tunggu kamu bawa calon suamimu dua bulan lagi, Amelia. Ingat! Dua bulan terhitung dari malam ini."

"Lho mama. Makin curang aja deh kek nya mama ini. Awas aja kalo mama dan papa main curang di belakang aku nanti."

"Eh, gak akan curang. Tenang aja. Kita main adil kok," ucap mama sambil tersenyum menyeringai.

Setelah kesepakatan malam itu, Amelia langsung berusaha menemukan calon suami buat dirinya sendiri. Seperti yang dia bayangkan, menemukan laki-laki buat calon suami itu sangatlah sulit.

Ya kali bisa menemukan pacar buat dia ajak serius. Dalam dua bulan ini, dia yang sibuk dengan urusan kantor, mana punya waktu buat menemukan laki-laki untuk diajak ketemuan.

"Agh ... mama pikir, nemu calon suami itu segampang beli mi instan. Tinggal mampir di mini market, atau bahkan di warung recehan aja udah ketemu. Aduh ... bikin pusing aja," ucap Amelia sambil ngerutu kesal pada dirinya sendiri.

Kebetulan, Anggun sahabatnya yang juga bekerja satu kantor dengan Amel melihat kegusaran sahabat baiknya itu. Dia yang menjabat sebagai asisten manajer di perusahan itu, tentu cukup dekat dengan Amel yang bekerja dengan jabatan sebagai kepala manajer di perusahaan keluarganya sendiri.

Anggun langsung mengetuk pintu ruangan Amel. Mendengar ketukan itu, Amel langsung menyuruh seseorang yang ada di pintu buat masuk tanpa melirik atau memperhatikan siapa orang tersebut.

"Masuk!"

Anggun tersenyum sambil masuk ke dalam.

Senyum karena merasa geli dengan wajah kusut yang sahabatnya miliki. Karena dia tahu, apa penyebab dari kusutnya wajah itu.

"Gusar aja deh kek nya ibu manajer ini. Akhir-akhir ini, kek nya murung terus-terusan. Ada masalah apa sih kamu ini, Mel?"

"Pura-pura nanya lagi kamu, Gun. Udah tahu kalau aku sedang dalam masalah besar. Dan tahu apa masalah yang sedang aku alami, eh pakai nanya. Kan makin bikin aku merasa gerah aja kamu ini."

"Ye ... gitu aja bingung."

"Lah, gak bingung gimana coba? Kamu gak tahu, waktu terus berjalan. Sedangkan aku? Aku masih gak punya satupun calon yang bisa aku ajak jalan. Boro-boro buat dijadiin calon suami. Buat dijadiin calon ketemuan aja aku gak punya."

"Kamu gak mau aku masukin dalam grup kencan buta. Mereka awalnya kenal secara online, terus ajak ketemuan. Mana tahu ada yang cocok dengan kamu, iyakan? Bisa deh itu ... diajak jalan-jalan. Atau bahkan, diajak nikah."

Setelah berucap, Anggun langsung tertawa. Tawa bahagia yang terdengar seperti sedang mengejek bagi Amelia.

"Mulai deh kamu, Gun. Ejek lagi. Ejek terus .... "

"Eh. Gak ngejek kok, Mel. Cuma tawa akibat geli aja. Habisnya, kamu itu lucu aja sih. Masa mau nyari calon suami pakai nerima taruhan dari orang tua kamu. Kan nyari gara-gara namanya."

"Niat bantuin gak sih kamu ini, Gun? Malah nasehatin aku lagi. Kamu tahu gak, kalo gak terima taruhan ini, aku akan mereka jodohkan dengan tuan muda keluarga Prayoga."

"Ya kalo kamu gagal mencari, itukan akan sama saja, Amel. Kamu juga akan dinikahkan dengan tuan muda keluarga Prayoga, bukan?"

"Ya makanya, kamu selaku sahabat itu harus bantuin aku. Tolongin aku gimana caranya supaya aku jangan gagal. Cari orang yang tepat kek, atau gimana kek gitu. Yang jelas, bantuin aku buat berhasil."

Anggun tidak menjawab. Sepertinya, dia sedang berpikir sekarang. Memikirkan cara buat membantu sahabatnya untuk berhasil dalam taruhan.

Masalah jodoh itu bukan soal yang gampang. Karena jodoh, pernikahan, dan rumah tangga. Itu soal sulit yang tidak mudah untuk diatur. Karena jika salah sedikit saja, maka akan berakibat fatal.

Setelah hampir lima menit Anggun diam, akhirnya, dia tersenyum kecil.

"Mel, aku punya ide nih. Gak tahu tapi kamu setuju atau tidak."

"Katakan saja apa ide yang kamu punya. Soal setuju atau nggak, itu soal belakangan."

"Oke deh kalo gitu. Gini nih .... " Anggun langsung mengatakan apa ide yang dia punya.

Amelia mendengarkan perkataan sahabatnya dengan seksama. Mencoba mencerna setiap kata dengan sebaik mungkin agar dia mengerti inti dari rencana yang sahabatnya miliki.

"Apa kamu gak punya cara lain, Gun?" tanya Amelia setelah Anggun selesai berucap.

"Itu cara yang paling baik yang aku punya, Mel. Sepertinya, kamu harus coba cara itu terlebih dahulu."

"Aku sih mau nyoba. Cuma kalo gak berhasil gimana?"

"Ya .... " Anggun tidak berucap dengan kata-kata. Dia hanya bisa mengangkat kedua bahunya tanpa tidak tahu lagi harus apa.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!