MAHLIGAI KEDUA
“Sas! berhenti!” seru wanita yang menjadi pelanggannya.
“Disini, Mbak Dewi?”
“Iya, pelangganku disini menunggunya. nih,” uang sebesar 100 ribu terpampang nyata di depan wajahnya.
“Kebanyakan!” tolaknya.
“Ambil saja. Aku tahu kamu butuh banyak uang buat modal ‘kan. dah ambil,” uang bergambar proklamator itu diambilnya dengan tangan yang gemetar. Ucapan syukur tak henti-hentinya ia ucapkan di dalam lubuk hatinya.
Wanita bernama Dewi itu mengulas senyum melihat rona wajah perempuan di hadapannya ini kembali ceria. Tak ingin mengganggu momen itu, ia langsung beranjak memasuki sebuah hotel yang cukup mewah di kawasan jalan Solo yang sudah biasa menjadi tempat mbak Dewi menemui para pelangganya.
Dengan hati berkobar, uang berwarna merah itu ia masukan ke dompet kecil usang yang sudah menemani perjalanannya menjadi tukang ojek setelah ia diceraikan oleh suaminya. Jika di ingat, sudah hampir 4 tahun ia menjadi seorang janda dan orang tua tunggal untuk anak semata wayangnya, Aslan.
Tak ingin membuang waktu, kendaraan roda dua itu ia hidupkan kembali dan mulai berputar mengelilingi kota Yogyakarta tempat ia memulai hidup baru setelah perceraiannya empat tahun yang lalu.
Hampir satu jam berkeliling dan mengantar pelanggan yang lain, wanita berparas cantik ini berhenti di sebuah masjid untuk menunaikan kewajibannya dan beristirahat sebentar, setelah sayup-sayup ia mendengar seruan adzan dari salah satu masjid yang ia lewati.
Aryani Sasmita. Wanita berusia 30 tahun ini mulai melepas kedua sepatunya dan memasuki area tempat wudhu perempuan untuk melakukan langkah pertama sebelum akhirnya ia menunaikan sholat dzuhur empat rakaat.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
“Alhamdulillah.”
Sasi nama panggilannya, wanita bersurai sepinggang ini mulai menengadahkan kedua tangannya meminta ampun atas segala kesalahan yang dilakukannya dengan sengaja ataupun tidak. Tak lupa dia juga meminta agar hati serta raga semakin kuat agar bisa mengurus dirinya dan sang anak dengan lebih baik lagi.
“Amin!”
****
Malam di kediamannya. Kontrakan yang sudah ia sewa beberapa tahun ini ramai dengan teman-teman sang anak yang sedang mengerjakan tugas kelompok. Aslan yang cukup terkenal dengan kepintarannya selalu dijadikan guru bagi kawan-kawannya yang tak memiliki kepandaian sepertinya.
“Podo ngerti ora?” (mengerti apa, nggak?”)
“Aku isih ra paham, Lan!” ujar salah satunya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Mangan wae sih!”( makan terus!”)
Temannya yang bernama Candra itu nyengir bagai kuda, “masakan Ibumu enak, nggak seperti Ibuku!” paparnya.
Sasi yang mendengar celoteh para sahabat anaknya itu hanya menggeleng seraya tertawa, melihat kepolosan mereka. Terkadang Sasi menyesal membawa Aslan jauh dari sang ayah, namun jika melihat Aslan selalu tersenyum dan bahagia membuatnya sungguh tak ingin kembali ke kota metropolitan.
“Aku hanya ingin, Aslan bahagia.” Benak Sasi.
Suami atau lebih tepat mantan suami, walau ia belum sah secara hukum bercerai dengan pria bernama Galih itu, namun secara agama mereka tak lagi memiliki jalinan sebagai suami dan istri setelah kata talak terucap dengan lantang dari bibir pria yang sangat ia puja dan cintai itu.
Empat tahun lalu, setelah ia mengetahui jika perubahan sikap suaminya dikarenakan sang suami diam-diam berselingkuh sampai menghasilkan seorang anak perempuan dari wanita lain. Sasi yang tak terima atas perilaku abai serta kekerasan yang sering dilakukan sang mantan membuatnya memilih mundur dan meminta bercerai. Tetapi sayangnya hingga saat ini sang suami tetap tak ingin menceraikannya. Sasi yang tak memiliki kekayaan yang bisa dibandingkan dengan sang mantan memilih mengalah hanya demi tetap bisa memiliki Aslan. Karena jika Sasi meminta bercerai secara hukum sang mantan akan memperkarakan hak asuh atas Aslan. Dan sudah dipastikan dia pasti kalah.
“Tante, kita pamit ya!” suara lantang dari kawan-kawan Aslan membangunkan Sasi dari lamunannya. Dia beranjak dari duduknya dan melangkahkan kakinya menuju ke ruang tamu.
“Kita pamit, ya Tan. Sudah malam,” pamit mereka bersamaan.
“Ya sudah. Hati-hati loh pulangnya,” ujar Sasi dan di angguki oleh mereka.
“Kita pulang ya, Lan.” Aslan anak lelaki berusia 8 tahun itu mengangguk dan menepuk pundak temannya meminta mereka agar berhati-hati.
Satu-persatu mereka mulai mengayuh sepeda mereka dan melaju kerumah mereka masing-masing yang tidak terlalu jauh dari kediaman Aslan.
“Mah!” panggil Aslan.
“Kenapa, Nak?”
“Apa, Mama nggak cari pekerjaan yang lain saja, Bukannya Mama lulusan S1,” ujar Aslan.
Sasi sang ibu meraih tangan Aslan dan mengusapnya lembut, “Bukan tidak mau sayang, tapi Mama lebih nyaman seperti ini, setiap hari berjalan kesana kemari bertemu dengan orang-orang yang beragam membuat Mama bahagia. Apa, kamu malu dengan pekerjaan Mama?” tanya Sasi dan langsung mendapat gelengan dari Aslan.
“Pekerjaan Mama halal, tidak berhak bukan jika Aslan malu. Dari pekerjaan yang Mama lakukan dari situ Aslan bisa makan dan bersekolah. Hanya saja…
Sasi mendekap Aslan kedalam pelukannya, ia tahu bukan karena pekerjaan atau uang yang dihasilkan tidak banyak, namun Aslan memikirkan kesehatannya. Ia tahu betul jika pekerjaan sang ibu cukup menguras tenaga.
“Cukup doakan Mama saja, dan kamu belajar dan mengaji dengan baik dan giat, itu sudah lebih dari cukup.”
Aslan mengangguk, dan mendekap ibunya dengan erat. Sudah hampir empat tahun ini dia tak lagi mengetahui kabar ayahnya, bukan ia tak mencari tahu. Namun setiap ia berusaha menghubungi sang ayah, selalu mendapat jawaban yang membuat hatinya sakit. Padahal jika ia mau, Aslan bisa saja meminta haknya agar ia bisa sekolah dan makan enak setiap hari, tetapi setiap melihat ibunya yang lelah sehabis bekerja membuat Aslan tak tega. Jika harus meninggalkan ibunya sendirian di kota ini. Karena syarat yang kakek neneknya berikan selalu membuat Aslan akhirnya memilih menyerah dan menganggap hanya ibunya yang kini bisa dia andalkan.
***
Kokokan ayam jantan di samping kontrakannya cukup nyaring memekakan telinga Aslan. Bocah 8 tahun itu mencari jam wekernya dan melihat sudah pukul berapa sekarang.
“Jam 5.07.” gumamnya.
“Ha? jam 5! ya ampun!” Aslan terkejut dan bergegas bangun. Dia keluar dari dalam kamarnya menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
“Kok, Mama nggak bangunin sih?” tanya Aslan yang berpapasan dengan sang ibu di dapur.
“Makanya kalau tidur jangan ditutup telinganya, Mama sampai capek bangunin kamu!” kesal sang ibu. Aslan yang mendengar alasan ibunya tersenyum bodoh merasa bersalah telah menyalahkan sang ibu karena kelalaiannya sendiri.
Sasi yang sedang memasak tak menghiraukan Aslan yang terburu-buru. Tadi malam Sasi yang tak sengaja melihat sang anak masih melamun hingga pukul 12. Sengaja membiarkan Aslan bangun sedikit terlambat karena ia tahu jika sang anak pastilah masih mengantuk.
Sarapan sudah tersaji di meja makan, Aslan yang sudah tak lagi bisa berkompromi dengan perutnya yang meminta di isi langsung melebarkan langkahnya ke ruang makan meninggalkan buku-buku yang masih berserakan di atas meja.
“Wah, Mama masak enak hari ini?” tanya Aslan sambil menelan ludahnya melihat lauk pauk yang cukup banyak.
“Bukan masak enak, ini semua pesanan Aslan.”
“Loh, Mama nerima pesanan lagi?” tanya Aslan, karena sudah lama ibunya itu tak menerima pesanan catering seperti ini.
“Alhamdulillah Mama ada modal lagi. Dan ini,” Sasi mengulurkan tangannya menyerahkan uang lembaran merah untuk Aslan.
“Apa ini?”
“Bayar uang bulananmu, untuk tiga bulan kedepan. Alhamdulillah uang yang Mama kumpulkan bisa buat modal catering lagi dan bisa bayar uang bulananmu sekaligus,” Aslan mengambil uang itu dengan penuh kebahagian, dia bersyukur selama tiga bulan kedepan tak perlu lagi dipanggil oleh staf TU karena dia terlambat membayar uang sekolah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Oh Dewi
Mampir ah...
Sekalian rekomen buat yang kesusahan nyari novel yang seru dan bagus, mending coba baca yang judulnya Caraku Menemukanmu
2023-08-31
0
Fay
mampir baca karena sdh tamat dan ngk banyak bab nya ku kasi vote thor🙏
2023-07-03
0
MissHaluuu ❤🔚 "NingFitri"
bagus thor. lanjut
2022-10-02
1