Aslan yang tak terlalu paham akan masalah dan sifat orang dewasa memilih menuntaskan pekerjaannya agar sang ibu bisa segera membersihkan diri dan beristirahat.
Setelah air mendidih dan sang ibu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Aslan pun kembali ke kamarnya untuk menyelesaikan tugas sekolahnya.
Tak lama sayup - sayup adzan maghrib terdengar di telinga Aslan. Pria kecil berusia hampir sembilan tahun itu meletakkan pensil dan menutup bukunya. Dia menggeser kursi yang didudukinya melangkah meraih sarung dan kopiahnya untuk berangkat ke surau yang tidak jauh dari rumahnya.
“Mah, aku ke masjid dulu!” teriak Aslan dari pintu depan. Bergegas dia meraih sepedanya dan mengayuh perlahan agar tak terjatuh.
Sedangkan Sasi yang sedang di dalam kamar hanya mengangkat dagunya sedikit mendengar teriakan sang anak.
“Apa nggak bisa sih, nggak teriak. Kebiasaan!” seru Sasi sambil mendengus.
Sasi yang ternyata kedatangan tamu bulanannya memilih langsung memasak untuk makan malam. Sasi sebenarnya ingin seperti teman - teman driver lainnya yang bisa bekerja hingga malam. Karena kalau malam pesanan makanan pasti sangat ramai. Tetapi jika ia menghabiskan seluruh waktunya untuk bekerja lalu bagaimana dia bisa mengurus sang anak. Sasi yang tak ingin Aslan merasa tidak dipedulikan memilih mencari rezeki yang lain, seperti kemarin menerima pesanan nasi kuning dan alhamdulillah hasilnya cukup memuaskan.
“Assalamualaikum!” teriak Aslan.
“Waalaikumsalam!” balas sang ibu tak kalah bersemangat.
Aslan yang mencium bau masakan terenak sedunia langsung bergegas masuk tanpa memperdulikan sepedanya yang teronggok begitu saja.
“Hum, wangi banget sih!” seru Aslan yang langsung mendapat tatapan tajam dari sang ibu.
“Pasti sepedanya ditaruh nggak benar.”
“Nggak tahan kalau sudah bau masakan Mama,” Aslan tersenyum lebar dan langsung memeluk sang ibu tak lupa ciuman di pipi kanan dan kiri itu tersemat begitu indahnya, membuat Sasi sang ibu tertawa kegelian.
“Sudah, ih. Nggak malu, sudah besar, Lan.”
“Biarkan saja, Mama Aslan sendiri. Kalau bukan Aslan, siapa yang mau cium? ucup?”
“Yah kok ucup sih, ucup kan ada Ibunya.”
Aslan tertawa keras sambil melepaskan pelukannya di tubuh sang ibu tangan kecil itu meraih kursi dan menariknya.
“Tapi Aslan yakin, suatu saat pasti ada seseorang yang akan mencium Mama selain aku,” ujarnya.
Sasi menatap heran sang anak sambil mengerutkan kedua alisnya, “Siapa?”
“Jodoh Mama, siapa lagi!” tegas Aslan.
Sasi yang mendengar perkataan sang anak terkejut. Kenapa Aslan bisa berpikir seperti itu. Selama ini anak kesayangannya itu tak pernah sekalipun membahas tentang jodoh atau lebih tepatnya ayah sambung untuknya.
“Memang siapa yang mau?” tanya Sasi sambil menyendokkan nasi itu ke piring Aslan.
“Mama itu cantik, dan satu - satunya yang tercantik.”
Sasi yang mendengar itu tertawa geli. Aslan yang dingin terhadap wanita bisa berkata seperti itu padanya. Apakah sang anak sudah belajar menjadi remaja pada umumnya, pikir Sasi.
“Sejak kapan, Aslan yang dingin ini pintar merayu?” Sasi mencubit pipi Aslan gemas.
“Dingin apa sih, Mah? Memangnya aku kulkas!” sinis Aslan membuat Sasi melipat bibirnya menahan tawa.
Menu ala kadarnya buatan sang ibu, Aslan lahap hingga tandas. Walau hanya sayur kangkung dan tempe goreng tapi bagi Aslan makanan sederhana ini akan terus menjadi ingatan bahwa sang ibu selalu mengurusnya dengan baik menggunakan kedua tangannya sendiri. Tak adanya sang ayah bukan berarti dia tidak merasa kurang. Namun, karena Sasi sang ibu selalu bisa memenuhi kasih sayang dan hampir meluap jika bisa digambarkan.
Setelah selesai makan. Aslan seperti biasa membantu sang ibu membersihkan meja makan dan mencuci piring agar esok hari bisa sedikit bersantai dan bisa mengerjakan pekerjaan yang lain.
Sasi memang selalu mengajarkan kepada Aslan. Bahwa laki - laki itu tidak hanya bisa mencari uang saja. Namun, pekerjaan rumah juga harus bisa melakukan semuanya dengan baik. Dan yang tak kalah penting, jangan bergantung kepada sesama manusia karena hanya akan luka yang kamu dapat. Pesan yang selalu Sasi gaungkan di telinga Aslan setiap harinya.
“Aslan,” panggil lembut sang ibu.
Aslan yang hampir saja meletakkan punggungnya di kursi belajarnya kembali menoleh ke arah pintu kamar.
“Ya, Mah?”
“Mulai besok Mama akan menerima beberapa pesanan kotak nasi lagi. Jadi bisakah kamu mengurus dirimu, mungkin sebelum jam 6 pagi Mama sudah tidak ada dirumah. Mungkin mulai lusa Mama akan memulainya, alhamdulillah tadi Mbak Dewi bilang kalau kantor dimana temannya bekerja membutuhkan nasi kotak untuk para pekerja bangunan.”
“Kenapa harus kotak nasi, Mah. Mama kan bisa bikin kue lagi. Itu lebih ringan ‘kan?”
“Tapi kan barang - barangnya udah nggak ada Lan. Mama butuh modal untuk membeli perlengkapan serta alat - alat penunjangnya,” ucapnya sendu. Aslan hanya bisa menghela nafas melihat sang ibu bersedih.
“Maaf ya, Mah. Gara - gara Aslan Mama harus kehilangan banyak hal di usia Mama yang masih muda. Bahkan hingga hari ini title sarjana Mama masih tidak bisa Mama gunakan.”
“Bukan tidak digunakan, Lan. Tapi~~
“Tapi karena disita oleh Ayah ‘kan?”
Sasi terdiam. Kenapa Aslan bisa mengatakan itu, pikirnya.
“Bukan be begitu, sayang. Tapi memang Mama ~~
“Mama nggak perlu berbohong lagi. Aslan tahu kok.”
Sasi menghela nafasnya, “Darimana kamu tahu?” tanya sang ibu.
“Karena di berkas yang Mama miliki tidak ada semua itu. Bahkan ijazah SMA mama juga tidak ada, dimana lagi jika bukan Ayah pelakunya. Tahun lalu saat Kakek dan Nenek membawaku ke Jakarta. Aslan tak sengaja mendengar Kakek mengatakan banyak hal tentang Mama. Dari sana Aslan juga tahu jika Ayah …”
“Jika bukan karena anakmu itu selingkuh dan memiliki anak dengan Ranti, sekarang Aslan akan bersama dengan kita. Dia terlalu bodoh hanya karena bujuk rayu perempuan matre itu dia meninggalkan Sasi yang jelas- jelas memberikan anak laki - laki yang cerdas sepertinya.”
Ingatan akan perkataan sang kakek terngiang kembali di telinganya. Seakan suara itu menggema di sekujur tubuhnya.
“Aslan!” panggil sang ibu yang melihat sang anak terdiam dan menunduk.
“Kamu mendengar apa?” tanya Sasi ingin tahu.
Aslan menarik kepalanya menatap sang Ibu penuh kesedihan. Dia tak mengerti kenapa sang ayah yang dulu sangat ia banggakan dan cintai bisa melukai hati dan raga ibunya hingga seperti ini. Jika sebuah hubungan dimulai dengan saling mencintai saja bisa saling melukai bagaimana jika sebaliknya. Aslan sungguh tak mengerti kenapa sang ayah yang terlihat sangat mencintai sang ibu bisa setega itu.
Aslam menarik tangan sang ibu. Dia usap punggung tangan yang terasa sedikit kasar di sebaliknya itu perlahan.
"Aslan tak mendengar apapun, bagi Aslan itu sudah tidak berguna. Tidak penting. Karena bagi Aslan hanya senyum Mama yang terpenting."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
MissHaluuu ❤🔚 "NingFitri"
uhhh ada bawangx thor 🥺😭
2022-10-02
1