Di sebuah Rumah sederhana. Pria dengan tinggi 185 sentimeter. Wajah cool dengan sedikit brewok tipis membuat kesan dewasa yang ada padanya sungguh membuat para wanita akan menjerit dengan memandangnya sekilas saja.
Tubuh berotot serta ketampanan yang tak lagi diragukan selalu membuatnya percaya jika tak ada satu wanitapun yang akan menolaknya. Namun sayangnya, semua itu kini tak lagi berarti. Setelah semua kesempurnaan itu tercoreng dengan sebuah kekurangan yang selalu menjadi aib bagi seorang pria.
Sambil tersenyum melihat pantulan dirinya di kaca dia bergumam seperti membaca mantra. Daripada terlihat seperti pria normal dia lebih seperti pria tidak waras. Saat dia masih menikmati wajah tampannya. Dering ponselnya membuat ia tersadar.
“Iya?”
“...”
“Oh ya, Mbak. Tunggu sebentar ya!” serunya.
Dengan langkah lebarnya dia meraih tas dan mengambil sepatu sneakers yang terdapat di bawah meja yang selalu ia gunakan untuk mengerjakan tugas - tugasnya sebagai staf keuangan di sebuah rumah sakit.
“Mas, Nathan ‘kan?” tanya wanita yang sedang berdiri didepan pintu gerbang rumahnya.
“Iya, Mbak.” Jawabnya sambil tersenyum.
Wanita manis berlesung pipi itu mengambil helm untuk pria yang ada di hadapannya. Setelah siap, kendaraan roda dua itu berjalan sesuai petunjuk dari arah yang ada di ponsel. Dengan cukup hati - hati si wanita mengendalikan stang motornya membawa pria yang jauh lebih besar dari tubuhnya hingga ke tujuan.
Pria bernama Nathan yang fokus melihat jalan tiba - tiba merasa sedikit terganggu dengan bau harum dari wanita di depannya. Bau keringat bercampur dengan wangi parfum yang pernah diciumnya itu seketika membuat jantung Nathan berdebar begitu saja. Dengan segenap kekuatan ia memberanikan diri untuk bertanya.
“Mbak!” panggil Nathan sedikit keras.
“Iya, Mas!” seru wanita itu.
Angin yang berhembus cukup membuatnya saling berteriak. Karena jika tidak seperti itu suara mereka tak terdengar justru malah terbawa oleh angin.
“Mbak, pakai parfum ya?” tanya Natha.
Wanita di depannya ini mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan dari pelanggannya itu. Dengan sedikit malu - malu si wanita pun menjawab.
“Tidak, Mas. Saya tidak suka pakai parfum. Saya hanya memakai minyak telon saja. Maaf ya kalau bau badan saya mengganggu Mas. Sudah beberapa kali pelanggan saya juga mengatakan itu.”
Nathan yang mendengar itu terkejut. “Minyak telon?” tanya Nathan dalam benaknya. Tanpa sadar sesuatu yang ada padanya bergejolak mengingatkan dia pada kejadian yang telah lalu.
“Wanginya sama,” lirih Nathan namun tak terdengar oleh wanita di depannya.
Laju kendaraan roda dua itu pun berhenti disebuah gerbang rumah sakit bertuliskan RS. Panti Medika Pratama.
“Sudah sampai. Mas.”
Nathan yang masih fokus dengan pikirannya tak mendengar perkataan sang driver.
“Mas!” ucapnya sedikit lantang agar Nathan segera turun dari atas motornya. Namun tanpa menjawab seruan itu, Nathan turun dari atas motor dan langsung melepas helm yang dipakainya.
“Nih, Mbak.” Nathan menyerahkan helm dengan wajah dinginnya.
Sedangkan wanita dihadapannya mengerutkan kening melihat Nathan ketus padanya berbeda seperti pertama saat bertemu tadi sebelum berangkat.
“Mbak, siapa namanya?” tanya Nathan sambil mengulurkan tangannya.
Wanita itu bingung, menatap Nathan yang mengulurkan tangannya. Dengan hati - hati wanita itu mengulurkan tangannya menyambut tangan kekar itu.
“Nama saya Sasi, Mas.” Nathan mengangguk.
Nathan merogoh saku celananya dan memberikan uang selembar 100 ribu pada Sasi. Sasi menerima uang itu dan membuka jaketnya untuk mencari kembalian.
“Mas, ini~~
“Loh, Mas!” panggil Sasi sedikit berteriak melihat Nathan berjalan masuk ke dalam area rumah sakit tanpa menunggu kembaliannya.
Sasi yang tak ingin mengambil kembalian itu begitu saja mencoba mengejar Nathan hingga masuk ke dalam rumah sakit.
“Maaf ada apa, Mbak?” tanya Satpam yang berjaga.
“Saya, em itu, Pak.” Sasi terdiam tak bisa mengatakan apapun karena ia tak begitu paham dengan ciri - ciri tubuh atau wajah Nathan.
“Tadi itu..."
“Jika tidak ada hal penting silahkan pergi, Mbak!” tegas sang Satpam. Tak ingin mendapat masalah Sasi memilih pergi dan kembali ke motornya. Dari lantai dua seorang pria memandang Sasi dengan ekspresi yang tak bisa di baca. Hingga seseorang di belakangnya menepuk pundaknya agar sang kawan terbangun dari lamunannya.
“Kenapa?” tanya pria berusia lebih matang darinya.
“Aku bertemu seseorang dan dia mengingatkanku pada seseorang." Paparnya.
“Seseorang - seseorang, siapa?” tanyanya.
“Daripada kamu ngalamun yang nggak - nggak, mending ngerjain ini.” Titahnya.
Dua map berwarna biru dilempar dengan mengenaskan di atas meja kerja Nathan. “apa ini?” tanyanya.
“Itu laporan yang harus kamu kerjakan hari ini dan tidak boleh ditunda,” ucap pria di hadapan Nathan yang merupakan atasannya untuk sementara.
Nathan yang sedang dalam mood yang buruk hanya bisa menghela nafas. Pasrah akan pekerjaan yang harus ia lakoni sekarang.
“Oke, aku serahkan setelah makan siang.”
“Baik, aku tunggu di ruangan ku, ya,” Nathan mengangguk dan langsung membuka komputer yang ada di hadapannya.
***
Adzan ashar berkumandang saat Sasi baru sampai di kontrakannya. Dengan tubuh yang cukup lelah Sasi mendorong motornya dan meletakkan di teras kontrakannya yang tak begitu luas.
“Assalamualaikum,” ucap Sasi sambil melepas sepatu yang dipakainya.
Aslan sang anak yang sedang berada dikamar langsung keluar kamar untuk menyambut sang ibu. Tangan kecilnya ia ulurkan dengan takzim ia sentuh punggung tangan sang ibu dan satu kecupan hangat tak lupa ia sematkan disana.
“Kok tumben udah pulang, Ma?” tanya Aslan.
“Capek, mau datang bulan sepertinya, perut Mama sedikit nggak nyaman, sayang.”
Aslan yang sudah terbiasa membantu dan mengurus sang ibu hanya bisa mengangguk. Tak perlu berlama - lama. Aslan segera ke dapur dan memasak air untuk sang ibu mandi.
“Mau dibuatkan teh panas, Mah?” tanya anak berusia hampir sembilan tahun itu. Walau usianya hampir sembilan namun tubuh Aslan lebih besar dari anak seusianya. Bahkan sebentar lagi tingginya akan melebihi sang ibu yang notabene memiliki tinggi yang tak seberapa.
“Boleh, sayang.”
Dengan cekatan ia menghidupkan kompor di sebelahnya untuk membuatkan sang ibu minuman manis berwarna coklat itu.
“Aslan,” panggil Sasi sang ibu.
“Kenapa, Mah?” Jawab Aslan.
“Coba sini deh, mendekat ke Mama.”
Aslam meninggalkan kompor dan mendatangi sang ibu yang berada di meja makan, “Menurutmu, bau badan Mama, aneh nggak?” Aslan mengerutkan dahinya. Bukan heran, tapi ini adalah pertanyaan yang sudah beberapa kali ditanyakan sang ibu.
“Mama wangi, kenapa sih? Ada yang nanya lagi Mama pakai parfum apa?” tanya Aslan dan di angguki sang ibu.
“Tapi yang kali ini aneh,” ujar Sasi.
“Apa yang aneh?” tanya Aslan.
“Biasanya kalau pelanggan pria yang naik, mereka langsung minta kenalan dengan sejuta rayuan. Tapi kali ini lain,” pungkas sang ibu.
“Lain, apanya? rayuannya?”
“Ish, bukan. Dia justru nggak rayu Mama, tapi kaya kesel gitu. Tapi herannya Mama, dia juga melupakan uang kembaliannya.”
Aslan tampak bingung, karena biasanya jika sang ibu mendapat pelanggan yang genit mereka langsung menghubungi sang ibu terus menerus bahkan ada yang nekat datang kerumah hanya ingin berkenalan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Santi Haryanti
semangat berkarya thorrrr💪💪
2023-08-20
0