“Sas! berhenti!” seru wanita yang menjadi pelanggannya.
“Disini, Mbak Dewi?”
“Iya, pelangganku disini menunggunya. nih,” uang sebesar 100 ribu terpampang nyata di depan wajahnya.
“Kebanyakan!” tolaknya.
“Ambil saja. Aku tahu kamu butuh banyak uang buat modal ‘kan. dah ambil,” uang bergambar proklamator itu diambilnya dengan tangan yang gemetar. Ucapan syukur tak henti-hentinya ia ucapkan di dalam lubuk hatinya.
Wanita bernama Dewi itu mengulas senyum melihat rona wajah perempuan di hadapannya ini kembali ceria. Tak ingin mengganggu momen itu, ia langsung beranjak memasuki sebuah hotel yang cukup mewah di kawasan jalan Solo yang sudah biasa menjadi tempat mbak Dewi menemui para pelangganya.
Dengan hati berkobar, uang berwarna merah itu ia masukan ke dompet kecil usang yang sudah menemani perjalanannya menjadi tukang ojek setelah ia diceraikan oleh suaminya. Jika di ingat, sudah hampir 4 tahun ia menjadi seorang janda dan orang tua tunggal untuk anak semata wayangnya, Aslan.
Tak ingin membuang waktu, kendaraan roda dua itu ia hidupkan kembali dan mulai berputar mengelilingi kota Yogyakarta tempat ia memulai hidup baru setelah perceraiannya empat tahun yang lalu.
Hampir satu jam berkeliling dan mengantar pelanggan yang lain, wanita berparas cantik ini berhenti di sebuah masjid untuk menunaikan kewajibannya dan beristirahat sebentar, setelah sayup-sayup ia mendengar seruan adzan dari salah satu masjid yang ia lewati.
Aryani Sasmita. Wanita berusia 30 tahun ini mulai melepas kedua sepatunya dan memasuki area tempat wudhu perempuan untuk melakukan langkah pertama sebelum akhirnya ia menunaikan sholat dzuhur empat rakaat.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
“Alhamdulillah.”
Sasi nama panggilannya, wanita bersurai sepinggang ini mulai menengadahkan kedua tangannya meminta ampun atas segala kesalahan yang dilakukannya dengan sengaja ataupun tidak. Tak lupa dia juga meminta agar hati serta raga semakin kuat agar bisa mengurus dirinya dan sang anak dengan lebih baik lagi.
“Amin!”
****
Malam di kediamannya. Kontrakan yang sudah ia sewa beberapa tahun ini ramai dengan teman-teman sang anak yang sedang mengerjakan tugas kelompok. Aslan yang cukup terkenal dengan kepintarannya selalu dijadikan guru bagi kawan-kawannya yang tak memiliki kepandaian sepertinya.
“Podo ngerti ora?” (mengerti apa, nggak?”)
“Aku isih ra paham, Lan!” ujar salah satunya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Mangan wae sih!”( makan terus!”)
Temannya yang bernama Candra itu nyengir bagai kuda, “masakan Ibumu enak, nggak seperti Ibuku!” paparnya.
Sasi yang mendengar celoteh para sahabat anaknya itu hanya menggeleng seraya tertawa, melihat kepolosan mereka. Terkadang Sasi menyesal membawa Aslan jauh dari sang ayah, namun jika melihat Aslan selalu tersenyum dan bahagia membuatnya sungguh tak ingin kembali ke kota metropolitan.
“Aku hanya ingin, Aslan bahagia.” Benak Sasi.
Suami atau lebih tepat mantan suami, walau ia belum sah secara hukum bercerai dengan pria bernama Galih itu, namun secara agama mereka tak lagi memiliki jalinan sebagai suami dan istri setelah kata talak terucap dengan lantang dari bibir pria yang sangat ia puja dan cintai itu.
Empat tahun lalu, setelah ia mengetahui jika perubahan sikap suaminya dikarenakan sang suami diam-diam berselingkuh sampai menghasilkan seorang anak perempuan dari wanita lain. Sasi yang tak terima atas perilaku abai serta kekerasan yang sering dilakukan sang mantan membuatnya memilih mundur dan meminta bercerai. Tetapi sayangnya hingga saat ini sang suami tetap tak ingin menceraikannya. Sasi yang tak memiliki kekayaan yang bisa dibandingkan dengan sang mantan memilih mengalah hanya demi tetap bisa memiliki Aslan. Karena jika Sasi meminta bercerai secara hukum sang mantan akan memperkarakan hak asuh atas Aslan. Dan sudah dipastikan dia pasti kalah.
“Tante, kita pamit ya!” suara lantang dari kawan-kawan Aslan membangunkan Sasi dari lamunannya. Dia beranjak dari duduknya dan melangkahkan kakinya menuju ke ruang tamu.
“Kita pamit, ya Tan. Sudah malam,” pamit mereka bersamaan.
“Ya sudah. Hati-hati loh pulangnya,” ujar Sasi dan di angguki oleh mereka.
“Kita pulang ya, Lan.” Aslan anak lelaki berusia 8 tahun itu mengangguk dan menepuk pundak temannya meminta mereka agar berhati-hati.
Satu-persatu mereka mulai mengayuh sepeda mereka dan melaju kerumah mereka masing-masing yang tidak terlalu jauh dari kediaman Aslan.
“Mah!” panggil Aslan.
“Kenapa, Nak?”
“Apa, Mama nggak cari pekerjaan yang lain saja, Bukannya Mama lulusan S1,” ujar Aslan.
Sasi sang ibu meraih tangan Aslan dan mengusapnya lembut, “Bukan tidak mau sayang, tapi Mama lebih nyaman seperti ini, setiap hari berjalan kesana kemari bertemu dengan orang-orang yang beragam membuat Mama bahagia. Apa, kamu malu dengan pekerjaan Mama?” tanya Sasi dan langsung mendapat gelengan dari Aslan.
“Pekerjaan Mama halal, tidak berhak bukan jika Aslan malu. Dari pekerjaan yang Mama lakukan dari situ Aslan bisa makan dan bersekolah. Hanya saja…
Sasi mendekap Aslan kedalam pelukannya, ia tahu bukan karena pekerjaan atau uang yang dihasilkan tidak banyak, namun Aslan memikirkan kesehatannya. Ia tahu betul jika pekerjaan sang ibu cukup menguras tenaga.
“Cukup doakan Mama saja, dan kamu belajar dan mengaji dengan baik dan giat, itu sudah lebih dari cukup.”
Aslan mengangguk, dan mendekap ibunya dengan erat. Sudah hampir empat tahun ini dia tak lagi mengetahui kabar ayahnya, bukan ia tak mencari tahu. Namun setiap ia berusaha menghubungi sang ayah, selalu mendapat jawaban yang membuat hatinya sakit. Padahal jika ia mau, Aslan bisa saja meminta haknya agar ia bisa sekolah dan makan enak setiap hari, tetapi setiap melihat ibunya yang lelah sehabis bekerja membuat Aslan tak tega. Jika harus meninggalkan ibunya sendirian di kota ini. Karena syarat yang kakek neneknya berikan selalu membuat Aslan akhirnya memilih menyerah dan menganggap hanya ibunya yang kini bisa dia andalkan.
***
Kokokan ayam jantan di samping kontrakannya cukup nyaring memekakan telinga Aslan. Bocah 8 tahun itu mencari jam wekernya dan melihat sudah pukul berapa sekarang.
“Jam 5.07.” gumamnya.
“Ha? jam 5! ya ampun!” Aslan terkejut dan bergegas bangun. Dia keluar dari dalam kamarnya menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
“Kok, Mama nggak bangunin sih?” tanya Aslan yang berpapasan dengan sang ibu di dapur.
“Makanya kalau tidur jangan ditutup telinganya, Mama sampai capek bangunin kamu!” kesal sang ibu. Aslan yang mendengar alasan ibunya tersenyum bodoh merasa bersalah telah menyalahkan sang ibu karena kelalaiannya sendiri.
Sasi yang sedang memasak tak menghiraukan Aslan yang terburu-buru. Tadi malam Sasi yang tak sengaja melihat sang anak masih melamun hingga pukul 12. Sengaja membiarkan Aslan bangun sedikit terlambat karena ia tahu jika sang anak pastilah masih mengantuk.
Sarapan sudah tersaji di meja makan, Aslan yang sudah tak lagi bisa berkompromi dengan perutnya yang meminta di isi langsung melebarkan langkahnya ke ruang makan meninggalkan buku-buku yang masih berserakan di atas meja.
“Wah, Mama masak enak hari ini?” tanya Aslan sambil menelan ludahnya melihat lauk pauk yang cukup banyak.
“Bukan masak enak, ini semua pesanan Aslan.”
“Loh, Mama nerima pesanan lagi?” tanya Aslan, karena sudah lama ibunya itu tak menerima pesanan catering seperti ini.
“Alhamdulillah Mama ada modal lagi. Dan ini,” Sasi mengulurkan tangannya menyerahkan uang lembaran merah untuk Aslan.
“Apa ini?”
“Bayar uang bulananmu, untuk tiga bulan kedepan. Alhamdulillah uang yang Mama kumpulkan bisa buat modal catering lagi dan bisa bayar uang bulananmu sekaligus,” Aslan mengambil uang itu dengan penuh kebahagian, dia bersyukur selama tiga bulan kedepan tak perlu lagi dipanggil oleh staf TU karena dia terlambat membayar uang sekolah.
Di sebuah Rumah sederhana. Pria dengan tinggi 185 sentimeter. Wajah cool dengan sedikit brewok tipis membuat kesan dewasa yang ada padanya sungguh membuat para wanita akan menjerit dengan memandangnya sekilas saja.
Tubuh berotot serta ketampanan yang tak lagi diragukan selalu membuatnya percaya jika tak ada satu wanitapun yang akan menolaknya. Namun sayangnya, semua itu kini tak lagi berarti. Setelah semua kesempurnaan itu tercoreng dengan sebuah kekurangan yang selalu menjadi aib bagi seorang pria.
Sambil tersenyum melihat pantulan dirinya di kaca dia bergumam seperti membaca mantra. Daripada terlihat seperti pria normal dia lebih seperti pria tidak waras. Saat dia masih menikmati wajah tampannya. Dering ponselnya membuat ia tersadar.
“Iya?”
“...”
“Oh ya, Mbak. Tunggu sebentar ya!” serunya.
Dengan langkah lebarnya dia meraih tas dan mengambil sepatu sneakers yang terdapat di bawah meja yang selalu ia gunakan untuk mengerjakan tugas - tugasnya sebagai staf keuangan di sebuah rumah sakit.
“Mas, Nathan ‘kan?” tanya wanita yang sedang berdiri didepan pintu gerbang rumahnya.
“Iya, Mbak.” Jawabnya sambil tersenyum.
Wanita manis berlesung pipi itu mengambil helm untuk pria yang ada di hadapannya. Setelah siap, kendaraan roda dua itu berjalan sesuai petunjuk dari arah yang ada di ponsel. Dengan cukup hati - hati si wanita mengendalikan stang motornya membawa pria yang jauh lebih besar dari tubuhnya hingga ke tujuan.
Pria bernama Nathan yang fokus melihat jalan tiba - tiba merasa sedikit terganggu dengan bau harum dari wanita di depannya. Bau keringat bercampur dengan wangi parfum yang pernah diciumnya itu seketika membuat jantung Nathan berdebar begitu saja. Dengan segenap kekuatan ia memberanikan diri untuk bertanya.
“Mbak!” panggil Nathan sedikit keras.
“Iya, Mas!” seru wanita itu.
Angin yang berhembus cukup membuatnya saling berteriak. Karena jika tidak seperti itu suara mereka tak terdengar justru malah terbawa oleh angin.
“Mbak, pakai parfum ya?” tanya Natha.
Wanita di depannya ini mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan dari pelanggannya itu. Dengan sedikit malu - malu si wanita pun menjawab.
“Tidak, Mas. Saya tidak suka pakai parfum. Saya hanya memakai minyak telon saja. Maaf ya kalau bau badan saya mengganggu Mas. Sudah beberapa kali pelanggan saya juga mengatakan itu.”
Nathan yang mendengar itu terkejut. “Minyak telon?” tanya Nathan dalam benaknya. Tanpa sadar sesuatu yang ada padanya bergejolak mengingatkan dia pada kejadian yang telah lalu.
“Wanginya sama,” lirih Nathan namun tak terdengar oleh wanita di depannya.
Laju kendaraan roda dua itu pun berhenti disebuah gerbang rumah sakit bertuliskan RS. Panti Medika Pratama.
“Sudah sampai. Mas.”
Nathan yang masih fokus dengan pikirannya tak mendengar perkataan sang driver.
“Mas!” ucapnya sedikit lantang agar Nathan segera turun dari atas motornya. Namun tanpa menjawab seruan itu, Nathan turun dari atas motor dan langsung melepas helm yang dipakainya.
“Nih, Mbak.” Nathan menyerahkan helm dengan wajah dinginnya.
Sedangkan wanita dihadapannya mengerutkan kening melihat Nathan ketus padanya berbeda seperti pertama saat bertemu tadi sebelum berangkat.
“Mbak, siapa namanya?” tanya Nathan sambil mengulurkan tangannya.
Wanita itu bingung, menatap Nathan yang mengulurkan tangannya. Dengan hati - hati wanita itu mengulurkan tangannya menyambut tangan kekar itu.
“Nama saya Sasi, Mas.” Nathan mengangguk.
Nathan merogoh saku celananya dan memberikan uang selembar 100 ribu pada Sasi. Sasi menerima uang itu dan membuka jaketnya untuk mencari kembalian.
“Mas, ini~~
“Loh, Mas!” panggil Sasi sedikit berteriak melihat Nathan berjalan masuk ke dalam area rumah sakit tanpa menunggu kembaliannya.
Sasi yang tak ingin mengambil kembalian itu begitu saja mencoba mengejar Nathan hingga masuk ke dalam rumah sakit.
“Maaf ada apa, Mbak?” tanya Satpam yang berjaga.
“Saya, em itu, Pak.” Sasi terdiam tak bisa mengatakan apapun karena ia tak begitu paham dengan ciri - ciri tubuh atau wajah Nathan.
“Tadi itu..."
“Jika tidak ada hal penting silahkan pergi, Mbak!” tegas sang Satpam. Tak ingin mendapat masalah Sasi memilih pergi dan kembali ke motornya. Dari lantai dua seorang pria memandang Sasi dengan ekspresi yang tak bisa di baca. Hingga seseorang di belakangnya menepuk pundaknya agar sang kawan terbangun dari lamunannya.
“Kenapa?” tanya pria berusia lebih matang darinya.
“Aku bertemu seseorang dan dia mengingatkanku pada seseorang." Paparnya.
“Seseorang - seseorang, siapa?” tanyanya.
“Daripada kamu ngalamun yang nggak - nggak, mending ngerjain ini.” Titahnya.
Dua map berwarna biru dilempar dengan mengenaskan di atas meja kerja Nathan. “apa ini?” tanyanya.
“Itu laporan yang harus kamu kerjakan hari ini dan tidak boleh ditunda,” ucap pria di hadapan Nathan yang merupakan atasannya untuk sementara.
Nathan yang sedang dalam mood yang buruk hanya bisa menghela nafas. Pasrah akan pekerjaan yang harus ia lakoni sekarang.
“Oke, aku serahkan setelah makan siang.”
“Baik, aku tunggu di ruangan ku, ya,” Nathan mengangguk dan langsung membuka komputer yang ada di hadapannya.
***
Adzan ashar berkumandang saat Sasi baru sampai di kontrakannya. Dengan tubuh yang cukup lelah Sasi mendorong motornya dan meletakkan di teras kontrakannya yang tak begitu luas.
“Assalamualaikum,” ucap Sasi sambil melepas sepatu yang dipakainya.
Aslan sang anak yang sedang berada dikamar langsung keluar kamar untuk menyambut sang ibu. Tangan kecilnya ia ulurkan dengan takzim ia sentuh punggung tangan sang ibu dan satu kecupan hangat tak lupa ia sematkan disana.
“Kok tumben udah pulang, Ma?” tanya Aslan.
“Capek, mau datang bulan sepertinya, perut Mama sedikit nggak nyaman, sayang.”
Aslan yang sudah terbiasa membantu dan mengurus sang ibu hanya bisa mengangguk. Tak perlu berlama - lama. Aslan segera ke dapur dan memasak air untuk sang ibu mandi.
“Mau dibuatkan teh panas, Mah?” tanya anak berusia hampir sembilan tahun itu. Walau usianya hampir sembilan namun tubuh Aslan lebih besar dari anak seusianya. Bahkan sebentar lagi tingginya akan melebihi sang ibu yang notabene memiliki tinggi yang tak seberapa.
“Boleh, sayang.”
Dengan cekatan ia menghidupkan kompor di sebelahnya untuk membuatkan sang ibu minuman manis berwarna coklat itu.
“Aslan,” panggil Sasi sang ibu.
“Kenapa, Mah?” Jawab Aslan.
“Coba sini deh, mendekat ke Mama.”
Aslam meninggalkan kompor dan mendatangi sang ibu yang berada di meja makan, “Menurutmu, bau badan Mama, aneh nggak?” Aslan mengerutkan dahinya. Bukan heran, tapi ini adalah pertanyaan yang sudah beberapa kali ditanyakan sang ibu.
“Mama wangi, kenapa sih? Ada yang nanya lagi Mama pakai parfum apa?” tanya Aslan dan di angguki sang ibu.
“Tapi yang kali ini aneh,” ujar Sasi.
“Apa yang aneh?” tanya Aslan.
“Biasanya kalau pelanggan pria yang naik, mereka langsung minta kenalan dengan sejuta rayuan. Tapi kali ini lain,” pungkas sang ibu.
“Lain, apanya? rayuannya?”
“Ish, bukan. Dia justru nggak rayu Mama, tapi kaya kesel gitu. Tapi herannya Mama, dia juga melupakan uang kembaliannya.”
Aslan tampak bingung, karena biasanya jika sang ibu mendapat pelanggan yang genit mereka langsung menghubungi sang ibu terus menerus bahkan ada yang nekat datang kerumah hanya ingin berkenalan.
Aslan yang tak terlalu paham akan masalah dan sifat orang dewasa memilih menuntaskan pekerjaannya agar sang ibu bisa segera membersihkan diri dan beristirahat.
Setelah air mendidih dan sang ibu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Aslan pun kembali ke kamarnya untuk menyelesaikan tugas sekolahnya.
Tak lama sayup - sayup adzan maghrib terdengar di telinga Aslan. Pria kecil berusia hampir sembilan tahun itu meletakkan pensil dan menutup bukunya. Dia menggeser kursi yang didudukinya melangkah meraih sarung dan kopiahnya untuk berangkat ke surau yang tidak jauh dari rumahnya.
“Mah, aku ke masjid dulu!” teriak Aslan dari pintu depan. Bergegas dia meraih sepedanya dan mengayuh perlahan agar tak terjatuh.
Sedangkan Sasi yang sedang di dalam kamar hanya mengangkat dagunya sedikit mendengar teriakan sang anak.
“Apa nggak bisa sih, nggak teriak. Kebiasaan!” seru Sasi sambil mendengus.
Sasi yang ternyata kedatangan tamu bulanannya memilih langsung memasak untuk makan malam. Sasi sebenarnya ingin seperti teman - teman driver lainnya yang bisa bekerja hingga malam. Karena kalau malam pesanan makanan pasti sangat ramai. Tetapi jika ia menghabiskan seluruh waktunya untuk bekerja lalu bagaimana dia bisa mengurus sang anak. Sasi yang tak ingin Aslan merasa tidak dipedulikan memilih mencari rezeki yang lain, seperti kemarin menerima pesanan nasi kuning dan alhamdulillah hasilnya cukup memuaskan.
“Assalamualaikum!” teriak Aslan.
“Waalaikumsalam!” balas sang ibu tak kalah bersemangat.
Aslan yang mencium bau masakan terenak sedunia langsung bergegas masuk tanpa memperdulikan sepedanya yang teronggok begitu saja.
“Hum, wangi banget sih!” seru Aslan yang langsung mendapat tatapan tajam dari sang ibu.
“Pasti sepedanya ditaruh nggak benar.”
“Nggak tahan kalau sudah bau masakan Mama,” Aslan tersenyum lebar dan langsung memeluk sang ibu tak lupa ciuman di pipi kanan dan kiri itu tersemat begitu indahnya, membuat Sasi sang ibu tertawa kegelian.
“Sudah, ih. Nggak malu, sudah besar, Lan.”
“Biarkan saja, Mama Aslan sendiri. Kalau bukan Aslan, siapa yang mau cium? ucup?”
“Yah kok ucup sih, ucup kan ada Ibunya.”
Aslan tertawa keras sambil melepaskan pelukannya di tubuh sang ibu tangan kecil itu meraih kursi dan menariknya.
“Tapi Aslan yakin, suatu saat pasti ada seseorang yang akan mencium Mama selain aku,” ujarnya.
Sasi menatap heran sang anak sambil mengerutkan kedua alisnya, “Siapa?”
“Jodoh Mama, siapa lagi!” tegas Aslan.
Sasi yang mendengar perkataan sang anak terkejut. Kenapa Aslan bisa berpikir seperti itu. Selama ini anak kesayangannya itu tak pernah sekalipun membahas tentang jodoh atau lebih tepatnya ayah sambung untuknya.
“Memang siapa yang mau?” tanya Sasi sambil menyendokkan nasi itu ke piring Aslan.
“Mama itu cantik, dan satu - satunya yang tercantik.”
Sasi yang mendengar itu tertawa geli. Aslan yang dingin terhadap wanita bisa berkata seperti itu padanya. Apakah sang anak sudah belajar menjadi remaja pada umumnya, pikir Sasi.
“Sejak kapan, Aslan yang dingin ini pintar merayu?” Sasi mencubit pipi Aslan gemas.
“Dingin apa sih, Mah? Memangnya aku kulkas!” sinis Aslan membuat Sasi melipat bibirnya menahan tawa.
Menu ala kadarnya buatan sang ibu, Aslan lahap hingga tandas. Walau hanya sayur kangkung dan tempe goreng tapi bagi Aslan makanan sederhana ini akan terus menjadi ingatan bahwa sang ibu selalu mengurusnya dengan baik menggunakan kedua tangannya sendiri. Tak adanya sang ayah bukan berarti dia tidak merasa kurang. Namun, karena Sasi sang ibu selalu bisa memenuhi kasih sayang dan hampir meluap jika bisa digambarkan.
Setelah selesai makan. Aslan seperti biasa membantu sang ibu membersihkan meja makan dan mencuci piring agar esok hari bisa sedikit bersantai dan bisa mengerjakan pekerjaan yang lain.
Sasi memang selalu mengajarkan kepada Aslan. Bahwa laki - laki itu tidak hanya bisa mencari uang saja. Namun, pekerjaan rumah juga harus bisa melakukan semuanya dengan baik. Dan yang tak kalah penting, jangan bergantung kepada sesama manusia karena hanya akan luka yang kamu dapat. Pesan yang selalu Sasi gaungkan di telinga Aslan setiap harinya.
“Aslan,” panggil lembut sang ibu.
Aslan yang hampir saja meletakkan punggungnya di kursi belajarnya kembali menoleh ke arah pintu kamar.
“Ya, Mah?”
“Mulai besok Mama akan menerima beberapa pesanan kotak nasi lagi. Jadi bisakah kamu mengurus dirimu, mungkin sebelum jam 6 pagi Mama sudah tidak ada dirumah. Mungkin mulai lusa Mama akan memulainya, alhamdulillah tadi Mbak Dewi bilang kalau kantor dimana temannya bekerja membutuhkan nasi kotak untuk para pekerja bangunan.”
“Kenapa harus kotak nasi, Mah. Mama kan bisa bikin kue lagi. Itu lebih ringan ‘kan?”
“Tapi kan barang - barangnya udah nggak ada Lan. Mama butuh modal untuk membeli perlengkapan serta alat - alat penunjangnya,” ucapnya sendu. Aslan hanya bisa menghela nafas melihat sang ibu bersedih.
“Maaf ya, Mah. Gara - gara Aslan Mama harus kehilangan banyak hal di usia Mama yang masih muda. Bahkan hingga hari ini title sarjana Mama masih tidak bisa Mama gunakan.”
“Bukan tidak digunakan, Lan. Tapi~~
“Tapi karena disita oleh Ayah ‘kan?”
Sasi terdiam. Kenapa Aslan bisa mengatakan itu, pikirnya.
“Bukan be begitu, sayang. Tapi memang Mama ~~
“Mama nggak perlu berbohong lagi. Aslan tahu kok.”
Sasi menghela nafasnya, “Darimana kamu tahu?” tanya sang ibu.
“Karena di berkas yang Mama miliki tidak ada semua itu. Bahkan ijazah SMA mama juga tidak ada, dimana lagi jika bukan Ayah pelakunya. Tahun lalu saat Kakek dan Nenek membawaku ke Jakarta. Aslan tak sengaja mendengar Kakek mengatakan banyak hal tentang Mama. Dari sana Aslan juga tahu jika Ayah …”
“Jika bukan karena anakmu itu selingkuh dan memiliki anak dengan Ranti, sekarang Aslan akan bersama dengan kita. Dia terlalu bodoh hanya karena bujuk rayu perempuan matre itu dia meninggalkan Sasi yang jelas- jelas memberikan anak laki - laki yang cerdas sepertinya.”
Ingatan akan perkataan sang kakek terngiang kembali di telinganya. Seakan suara itu menggema di sekujur tubuhnya.
“Aslan!” panggil sang ibu yang melihat sang anak terdiam dan menunduk.
“Kamu mendengar apa?” tanya Sasi ingin tahu.
Aslan menarik kepalanya menatap sang Ibu penuh kesedihan. Dia tak mengerti kenapa sang ayah yang dulu sangat ia banggakan dan cintai bisa melukai hati dan raga ibunya hingga seperti ini. Jika sebuah hubungan dimulai dengan saling mencintai saja bisa saling melukai bagaimana jika sebaliknya. Aslan sungguh tak mengerti kenapa sang ayah yang terlihat sangat mencintai sang ibu bisa setega itu.
Aslam menarik tangan sang ibu. Dia usap punggung tangan yang terasa sedikit kasar di sebaliknya itu perlahan.
"Aslan tak mendengar apapun, bagi Aslan itu sudah tidak berguna. Tidak penting. Karena bagi Aslan hanya senyum Mama yang terpenting."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!