SALAHKAH AKU SELINGKUH?
Ini kalau nggak salah hitung, ini adalah perkataanmu yang ke-99 kamu ingin meminta cerai. Aku sampai kurang kerjaan melingkari tiap angka dikalender, hanya karena ingin tahu jumlah ucapanmu itu," ujar Aditia sembari menunjuk-nunjuk sebuah kalender yang tergantung disebuah paku yang tertancap di dinding.
"Memang pada kenyataanya kamu itu kurang kerjaan mas. Selain menjadikan istrimu sebagai tulang punggung, kamu juga menjadikan istrimu sebagai mesin pencentak anak," ucap Arinda sembari membenahi lengan daster dan tali penyangga dada yang terlanjur robek dan putus akibat aksi saling tarik menarik dengan Aditia.
"Itu memang sudah kodratmu sebagai seorang wanita. Jangan kira cuma kamu yang bisa ngancam, aku juga bisa ngancam kamu," ucap Aditia tidak kalah sengit.
"Mau sampeyan iku opo sih mas? kerja nggak mau tapi kamu juga ndak mau disalahkan. Kamu bisa menyadari kodratku sebagai perempuan, tapi kamu sendiri nggak sadar kodrat kamu sebagai laki-laki itu apa?" Arinda mulai tersulut emosi.
"Kamu cuma bisa bikin anak doang mas. Mas itu malas cari kerja. Kerjamu cuma judi online. Nggak dikasih duit, malah ngajuin pinjaman online. Kamu sadar nggak sih mas? kita ini makan aja susah, kamu malah berani ngutang cuma buat hasrat judi kamu itu," ucap Arinda dengan berapi-api.
"Sekarang Mas mau ngancam aku apa mas? udahlah kalau kamu masih gila begini, jangan pernah berpikir buat nambah momongan. Kamu pikir anakmu cuma mau dikasih nasi putih dengan air putih doang? pengen anak banyak tapi nggak mau kerja. Itulah kalau otak sudah keblinger dengan judi online. Otakmu itu cuma dipenuhi oleh urusan perut dengan ************ aja." Arinda menjawab ucapan Aditia dengan nafas yang naik turun.
Entah mengapa hampir satu tahun belakangan ini, Arinda mulai berani menyuarakan isi hatinya. Selama ini dia hanya diam, itu karena dia merasa kasihan dengan kedua buah hatinya yang usianya hanya berjarak satu tahun saja. Aditia melarangnya menggunakan kontrasepsi, padahal Arinda melahirkan dengan cara bedah cesar.
"Kamu sudah tahu aku sedang keblinger, maka aku bisa melakukan hal yang lebih gila dari itu. Kalau kamu berani minta cerai denganku, aku bunuh kamu. Aku bunuh seluruh keluargamu. Atau aku pisahkan kamu dari anak-anak," ujar Aditia tanpa perasaan.
"Dikasih enak kok nolak. Jadi janda kok bangga," gerutu Aditia sembari keluar dari pintu kamar.
Brakkkkk
Adit menutup pintu dengan lumayan keras, hingga Arinda terjengkit kaget. Dan setiap ujung dari percekcokkan itu, Arinda selalu mengakhirinya dengan tangisan. Arinda melihat jam yang menempel di dinding kamarnya. Diapun bergegas membersihkan diri, karena hari ini dia kebagian shif sore.
Arinda bekerja disebuah pabrik sepatu. Dengan mengandalkan gaji UMR dan sedikit seseran lembur. Arinda harus menghidupi kedua anaknya, ibunya, dan juga suaminya. Entah dia harus bersedih atau senang, saat setahun yang lalu bapaknya meninggal dunia. Dan itu bisa mengurangi beban dipundaknya yang harus menanggung makan dan obat bapaknya yang sakit-sakitan.
Tapi tetap saja beban itu terasa berat. Kini putri sulungnya sudah mengerti jajan. Setiap ada yang jualan keliling, dia selalu menyuruhnya singgah. Beruntung mereka tidak menyewa rumah. Meskipun sederhana, rumah itu memang milik orang tuanya. Sudah hampir 3 tahun menikah, mereka tidak mengumpulkan harta secuilpun. Gaji yang dia terima tiap bulannya hanya cukup buat makan dan jajan anaknya.
Kadang Arinda menyesali kenapa dia harus menikah muda di usianya yang baru menginjak 19 tahun. Waktu itu Aditia memang bukan seorang pengangguran. Dia bekerja di salah satu bank yang cukup terkenal. Namun sampai detik ini Arinda tidak tahu alasan Aditia berhenti dari pekerjaannya. Adit juga tidak mau bekerja, dan menjadikan Arinda sebagai mesin pencetak uang dan mesin pencetak anak.
"Kamu shif sore ndok?" tanya Fatimah yang tengah menggendong sang cucu yang baru berusia 6 bulan.
"Iya buk'e. Mana si kutu kupret?" tanya Arinda yang langsung dipelototi oleh Fatimah.
"Kamu kalau ribut sama bojomu mbok jangan keras-keras suaranya. Rayana sampai takut," ucap Fatimah.
"Kalau nggak keras bukan ribut namanya buk'e." Jawab Arinda sembari mengikatkan tali sepatunya.
"Mana dia?" tanya Arinda yang dijawab Fatimah dengan moncongan bibir.
Arinda menoleh kearah luar pintu. Dari celah dinding setengah permanen, Arinda bisa melihat tubuh suaminya yang tidak mengenakan baju sedang asyik bermain ponsel sembari menghisap sebatang rokok.
"Heran yang begitu masa aktif umurnya lama sekali. Kalau dia minta makan jangan dikasih buk'e. Tumiskan saja itu puntung rokoknya, biar dia tahu harga beras sedang mahal," ujar Arinda dengan bibir bersunggut.
"Sudah berhenti ngomelnya, nanti kamu telat kerja. Berhenti menyesali perkawinanmu, lah wong itu pilihanmu sendiri," ucap Fatimah.
Arinda terdiam. Perkataan Fatimah memanglah benar. Padahal waktu di sekolah SMA, dia tergolong salah satu siswi tercantik. Hanya karena bertemu Adit yang seorang pegawai Bank, dirinya merasa Adit orang yang tampan dan keren.
"Arin berangkat kerja dulu buk'e," ucap Arinda sembari meraih tangan Fatimah untuk dia cium.
"Hati-Hati dijalan. Jangan ngebut, jangan banyak pikiran," ujar Fatimah yang kemudian dianggukki oleh Arinda.
Arinda kemudian melangkah keluar pintu dan berlalu dari hadapan Adit begitu saja.
"Mau jadi istri durhaka kamu?" tanya Adit yang membuat langkah Arinda terhenti.
"Mencium tangan suami sebelum keluar rumah, nggak membuat tangan dan bibirmu potel. Beruntung kamu aku ridhoi keluar rumah, jadi kamu nggak celaka dijalanan," sambung Aditia.
Arinda mengepalkan tangannya. Ada rasa sesak dan bergemuruh di dadanya, tiap kali mendengar ucapan Adit yang sok bijak. Namun pada kenyataannya dialah orang yang paling tidak bertanggung jawab dengan keluarga.
Arinda menghela nafas panjang. Pria yang berbeda usia 6 tahun itu memang selalu menguji kesabarannya. Kalau bukan kasihan dengan putra putrinya, mungkin dia tidak akan berpikir dua kali untuk melayangkan gugatan perceraian.
Arinda kemudian berbalik badan, dan memasang senyum palsu dibibirnya.
"Arin berangkat kerja dulu mas," ujar Arinda sembari meraih tangan Adit untuk dia cium.
"Bagi duit rokok dong," ucap Adit.
Arinda membuka sleting tasnya, dan meraih selembar uang 5 ribu yang kemudian dia sodorkan didepan wajah pria itu.
"5 ribu? kamu ngeledek suamimu ya?" tanya Aditia.
"Cukup buat beli 3 batang. Kalau nggak mau aku masukin tas lagi. Aku sudah malas berdebat sama kamu mas. Mbok jadi orang tahu diri dikit." Jawab Arinda.
Adit menyambar uang 5 ribu itu dan memasukkannya kedalam saku celana. Sementara Arinda mulai memasukkan kunci motor ke lubang kunci motor dan mengengkol motor yang hampir tak layak pakai itu.
"Jangan sombong kamu. Nanti kalau aku sudah jadi anggota DPR, pabrik rokokpun aku beli," ucap Adit yang masih bisa di dengar oleh Arinda disela bisingnya knalpot motor.
"Anggota DPR nggak ada yang romantis kayak kamu mas," Arinda menyahuti ucapan Adit.
"Apa hubungannya dengan romantis?" tanya Adit yang masih belum mengerti dengan kata sindiran dari Arinda.
"ROKOK, MAKAN, GRATISSSSS...." teriak Arinda sembari menancap gas motornya. Sementara Adit hanya bisa menahan marah, mendengar perkataan istrinya itu.
"Ah...kapan aku bisa ganti motor yang bisa ngebut sedikit," gumam Arinda yang saat ini sedang melewati jalanan yang lumayan sepi.
Bukan tanpa alasan dirinya menginginkan hal itu. Itu karena jalan menuju pabrik ada sebuah tikungan yang lumayan sepi, dan sering terjadi rawan kejahatan. Itulah sebabnya tiap kali dia melewati jalan itu, Arinda menarik gasnya dengan full sehingga menimbulkan kepulan asap yang menghitam dari knalpot motornya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Nm@
Hadir, Kak
2023-07-05
0
Diana Susanti
lanjut kak
2022-11-08
2
Nazwaputri Salmani
Aku hadir kak
2022-10-16
0