Gradakkk
Grraadakkk
Gradakkkkk
Dddrruupp
Belum hilang efek bising dari suara knalpot motor bututnya, Arinda pulang juga disambut dengan jerit tangis putri sulungnya. Arinda bergegas memasuki rumah untuk mengetahui apa yang terjadi. Arinda takut terjadi sesuatu pada putrinya itu.
Arinda melihat Fatimah tengah mengendong putra bungsunya, sementara tangannya yang lain merangkul Rayana yang sedang menangis histeris akibat dibentak oleh Raditia. Arindapun bergegas melepas sepatunya tanpa melepas tali sepatunya lebih dulu.
Arinda kemudian menggendong Rayana agar putrinya itu berhenti menangis.
"Cup, cup, cup. Jangan nangis lagi ya cantik? kangen ibu ya? ini ibu sudah pulang. Nanti kita jajan sosis lagi ya?" bujuk Arinda.
Arinda bisa melihat kalau putri dan putranya itu belum ada yang dimandikan. Padahal jam dinding sudah menunjukkan pukul 8 pagi.
"Biasa. Rayana kalau bangun suka nyariin kamu. Karena kamu nggak ada, makannya dia menangis. Pengen digendong ayahnya, tapi Adit memarahinya karena mengganggu suamimu yang lagi tidur." Fatimah menjelaskan.
Gigi Arinda bergemeratuk. Rasa lelahnya yang belum hilang, membuat dia jadi cepat tersulut emosi.
"Jadi manusia nggak guna itu masih suka bangun siang? buk'e tolong mandikan saja anak-anak. Aku mau buat perhitungan dengan benalu itu," ucap Arinda.
"Mulutmu itu kalau ngomong mbok jangan suka ngasal. Gitu-Gitu itu tetap suamimu. Jangan ribut-ribut terus toh. Malu didengar tetangga," ucap Fatimah sembari menepuk-nepuk pantat cucu kecilnya.
"Nggak bisa lagi ngomong baik-baik kalau sama dia buk'e. Dikerasin, diancam cerai aja dia nggak mau berubah." Jawab Arinda yang kemudian meletakkan tas selempangnya begitu saja dikursi kayu berwarna coklat.
Brakkkkkk
Brakkkkkk
Arinda membuka dan menutup pintu kamar dengan cukup keras. Aditia yang tengah lelap tidurpun jadi terjengkit kaget, dan duduk seketika.
"Mau sampeyan iku opo sih mas? kerja ndak mau, ngurus anak ndak mau? kamu nyuruh buk'e ngurus anak kita sendirian, buk'e itu sudah tua. Kamu itu punya hati ndak sih mas? aku pulang kerja bukannya badan disuruh istirahat, kok malah disambut tangisan anak-anak. Opo sih mau sampeyan iku?" tanya Arinda dengan nafas naik turun.
"Kamu sendiri kenapa datang-datang langsung marahin suamimu begitu? mau jadi istri durhaka kamu?" Aditia tanpa perasaan malah balik memarahi Arinda.
"Jadi istri durhaka juga lihat kelakuan suaminya dulu mas. Kamu kayak fir'aun gini mau minta dihormati. Kamu terus aja kayak gini ya mas? jangan salahin aku kalau lain kali siram kamu pakai air panas," Arinda seperti hilang rasa takut saat ini. Mungkin karena lelah, dia tidak lagi berpikir panjang akibat melawan suaminya itu.
"Jaga mulut kamu, kalau nggak mau aku tabok. Jangan mentang-mentang sekarang kamu yang cari uang, terus kamu seenaknya saja kurang ajar sama suami. Kamu beruntung kalau aku nggak pernah main tangan sama kamu. Kalau nggak...."
"Aku malah berharap kamu begitu sama aku. Agar aku bisa cerai tanpa ragu dari kamu. Sekarang gini aja deh mas, mending kamu pulang aja gih ke rumah orang tua kamu. Kamu disini cuma jadi beban buat aku tahu nggak?"
Arinda sadar betul perkataannya itu sangat kasar. Tapi dia ingin suaminya itu sadar, kalau dia sungguh-sungguh keberatan dengan sikap Aditia selama ini.
"Kamu ngusir aku? berani kamu ngusir aku?" tanya Aditia sembari menghampiri Arinda.
"Kenapa aku nggak berani? kamu memang pantas digituan," ucap Arinda.
"Kamu...."
Tok
Tok
Tok
"Rin. Ini bantuin buk'e pakaikan baju Rayana. Sekalian ambilkan baju buat Radit," ucap Fatimah yang sengaja mencari alasan agar pertengkaran anak dan menantunya itu mereda. Pasalnya para tetangga nyaris tiap hari menggunjingkan mereka yang sering membuat keributan.
Arinda menghela nafas saat mendengar permintaan Fatimah dari arah luar pintu.
"Kamu dengar itu mas? aku bahkan belum sempat mengganti pakaianku. Aku capek, aku ngantuk, tapi masih juga harus mengurus rumah dan anak. Aku harap pakai nurani kamu sedikit saja mas, tapi kalau memang nggak bisa dipakai lagi mendingan cepat angkat kaki dari sini," ucap Arinda sembari berbalik badan menuju pintu kamar.
"Kamu benar-benar mau ngusir aku?" tanya Aditia.
"Anggap aja begitu. Nggak guna melihara manusia MAGADIR kayak kamu." Jawab Arinda sembari membuka pintu dan membantingnya.
Brakkkkk
Aditia tahu persis arti Magadir yang Arinda maksud. Karena itu bukan kali pertama Arinda mengatakan dirinya sebagai Manusia nggak tahu diri, alias magadir.
"Wanita jaman sekarang. Baru ngerasa ngasilin duit dikit udah berani kurang ajar sama suami. Lihat saja kalau aku menang judi ratusan juta. Aku juga akan cari wanita yang lebih cantik dari dia. Ini apaan, status punya istri tapi jarang bisa dipake," gerutu Aditia yang kemudian kembali berbaring diatas tempat tidur dan memejamkan mata.
Sementara Arinda membantu Fatimah mengurus kedua buah hatinya.
"Kamu kalau mau mandi dan sarapan silahkan. Kasih aja buk'e uang 20 ribu buat beli tahu tempe sama cabe di mas Barja. Nanti buk'e jagain dulu anak kamu. Setelah kamu mandi, kamu ajak tidur aja dulu anak-anakmu sampai buk'e selesai masak," ujar Fatimah.
"Iya buk'e." Jawab Arinda dengan nada lesu.
"Sudahlah. Kamu nggak usah lagi meladeni suami kamu bertengkar. Mau bagaimana lagi, sudah takdirmu dapat suami seperti itu. Kamu banyak berdo'a saja suatu saat dia akan berubah," Fatimah seolah mengerti kesedihan yang ada di raut wajah putrinya itu.
"Arinda capek buk'e. Sampai kapan Arinda seperti ini terus. Hiks...." Arinda terisak dengan tubuh yang bergetar.
Arinda sebenarnya masih merasa beruntung, karena punya Fafimah yang bisa membantu menjaga anak-anaknya. Mungkin kalau Fatimah tidak ada, dia juga tidak tahu akan jadi seperti apa nasibnya. Tentunya Arinda tidak bisa bekerja, karena harus mengurus buah hatinya.
Sementara mertua dan saudara iparnya sama sekali tidak bisa di andalkan. Karena sejak pertama dia menikah dengan aditia, keluarga mertuanya memang tidak setuju Aditia menikahi dirinya. Bukan tanpa alasan mereka tidak setuju. Itu karena Arinda hanya gadis tamatan SMA, sementaa Aditia seorang lulusan sarjana.
Keluarga Aditia memang memiliki latar belakang pendidikkan yang tinggi. Kedua orang tuanya semua pensiunan PNS. Sementara kedua adik Aditia juga lulusan sarjana dan sudah bekerja.
Ceklek
Arinda menekan handle pintu. Maksud hati ingin mengambil handuk untuk mandi, namun giginya kembali bergemeratuk saat melihat Aditia yang kembali pulas tertidur.
"Ya Tuhan...berilah aku kesabaran agar tidak membunuh manusia durjana ini. Berikan aku keadilanmu ya Tuhan," batin Arinda dengan dada bergemuruh.
Arinda bergegas menyambar handuknya dan keluar dari kamarnya. Dia sangat takut kalau berada lama-lama di dalam kamar itu, akan membangkitkan sisi gelap dalam dirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Dewi Nuraeni
buat apa lulusan sarjana jga klo ga digunain mh itu ijazahnya..klo cuma buat jdi tukang judol mh ga usah jdi sarjana aja/Grin/
2025-01-30
0
abdan syakura
Hello Aditia...
Coba Cek Arin...
Msh hidup gak tu suami Lo?
🤣🤣🤣✌️
2023-04-15
0
Putri Minwa
ceritanya bikin kk kesal, tau nggak
2022-10-01
0