"Pakai ikat pinggang." Jawab Dian lirih.
"Lah kenapa toh mbak masalahnya? maaf kepo maksimal aku," tanya Arinda.
"Ya apalagi Rin. Orang gila mabok, pasti yang dicari minuman haram itu. Yang buat mbak kesal dia minta uangnya sama mbak. Mbak nggak perduli kalau dia mabok, tapi cari uang sendiri buat beli barangnya." Jawab Dian.
"Jadi?" tanya Mia.
"Aku pecahkan saja bekas botol minuman ke lantai. Aku pikir aksiku itu cukup keren, tapi ternyata perutku hampir berlubang karena dia ingin menusukku dengan pecahan botol itu." Jawab Dian.
"Jadi nggak jadi nusuk pakai itu?" tanya Arinda sembari menggigit kembali pisang gorengnya yang sudah berangsur dingin.
"Hampir." Jawab Dian sembari kembali menyesap kopinya.
"Terus?" tanya Mia.
"Kalau nggak aku ancam, mungkin saat itu aku sudah innalillahi." Jawab Dian.
"Aku ancam saja dia buat cerai. Aku juga mengancam dia nggak bakal kasih uang lagi. Aku pikir nggak ampuh ancamanku itu, ternyata dia langsung melepaskan pecahan botolnya. Aku pikir dia nggak minta lagi uangnya, dan pergi. Tapi dasar orang gila, dia masih maksa minta duit untuk beli minunan itu."
"Tentu saja aku pertahankan uangku. Apesnya dia langsung melepaskan ikat pinggangnya dan menghajarku habis-habisan. Dan naasnya lagi, uangku tetap digarap sama dia," sambung Dian.
"Jadi kayaknya cuma mbak Mia yang paling santai hidupnya. Lo*te jaman sekarang nggak gitu banyak ngabisin duit. Satus ewu aja ada buat sekali ge*jot," ujar Arinda.
"Itukan menurut pikiranmu. Satus ewu juga kalau yang di genjot 10 dalam sebulan, ya habis juga uang mbakmu ini." Jawab Mia.
"Opo mas Ridwan nggak merasa jijik ya? kan itu lobang sering dimasukin banyak batang?" tanya Arinda.
"Namanya juga kadung nafsu Rin." Jawab Mia.
"Padahal nama suami sampeyan apik loh mbak. Ridwan, penjaga pintu Surga. Tapi kelakuane nggragas," ucap Arinda sembari terkekeh.
"Yo bener penjaga pintu surga. Surgane para lobang kesepian," timpal Mia.
"Itu luka sampeyan sudah diobati pakai apa mbak?" tanya Arinda pada Dian.
"Belum tak obati apa-apa. Paling pulang besok tak belikan anti biotik sama pereda rasa nyeri saja di apotik." Jawab Dian.
"Kuat sekali sampeyan mbak. Kalau aku dapat luka separah itu, sudah pasti demam selama seminggu," ujar Arinda.
"Ya mau gimana lagi Rin. Mungkin juga kulit mbak sudah tebal bin kebal. Sudah terlalu sering dia ngelakuin ini sama mbak." Jawab Dian.
"Yang mbak pusing sekarang, dimana nyimpan duit yang aman. Disegala tempat sudah mbak coba, termasuk dalam gulungan cel*na dalam. Tapi mbak heran masih bisa ketemu. Apa karena dia punya hidung seperti kerbau? hingga dia bisa mencium bau uang," sambung Dian.
"Hidung suamiku kecil. Tapi bisa tahu juga aku nyimpan duit dimana," timpal Arinda.
"Ho'oh sama. Hidung suamiku juga kecil. Cuma anunya yang besar, makanya dia percaya diri buat ge*jot banyak lobang," ucap Mia.
"Anjrit. 3 tahun berteman, baru kali ini kamu kebuka soal besar kecil perburungan," ujar Dian sembari terkekeh.
"Apapun itu. Kita jangan pernah menyerah jadi calon janda dimasa depan," ucap Arinda.
"Ho'oh. Terus terang baru kali ini aku ngebet banget pengen jadi janda. Serasa bangga banget kalau cita-cita jadi janda kesampaian," timpal Mia.
"Mungkin karena kita sudah kebanyakkan makan hati selama bertahun-tahun. Sekarang sudah mulai bosan, jadi tinggal muntahnya saja," ujar Dian.
Teng
Suara besi tebal yang dipukul, menggema ditengah malam. Tidak hanya sebagai tanda menunjukkan pukul 1 malam, itu juga pertanda waktu istirahat sudah selesai. Arinda, Dian dan Mia bergegas menyesap kopi mereka hingga tetes terakhir. Masih ditambah dengan segelas air putih, untuk membilas kerongkongan mereka setelah meminum air yang mengandung cafein itu.
"Sial.Sepertinya kata-katamu manjur Rin," ucap Dian saat mereka berjalan menuju pabrik.
"Kenapa mbak?" tanya Arinda.
"Badanku mulai rasa nggak enak. Kayaknya aku beneran mau deman ini." Jawab Dian.
"Kalau mbak nggak sanggup, lebih baik izin pulang saja mbak ," ucap Arinda.
"Ho'oh Di. Daripada kamu pingsan disini," timpak Mia.
"Edun. Lebih baik aku tahankan. Izin pulang dijam segini, bukannya istirahat. Ntar aku di gondol wewe gombel. Mana malam jum'at lagi," ujar Dian.
"Yang ada wewe gombel yang takut sama kamu Di. Wajahmu lebih seram dari dia. Mending kamu izin pulang saja," ucap Mia sembari terkekeh.
"Nggaklah! Eman-Eman. Takut dipotong gaji. Lumayan buat jajan anakku," ujar Dian yang memutuskan tetap bekerja meski suhu tubuhnya sedikit demi sedikit merambat naik.
Untuk jam-jam selanjutnya mereka kembali bekerja seperti biasa. Meski sudah menghabiskan satu gelas kopi, namun tetap saja rasa kantuk itu terkadang suka menyerang. Mungkin satu gelas kopi tidak lagi ngefek pada tubuh mereka, karena mereka meminum kopi sejak awal mereka bekerja disana. Tidak hanya berfungsi membuat mata tetap terjaga, kopi juga bisa membuat tubuh mereka hangat karena terpaan angin malam.
Dan pekerjaan itu terhenti ketika waktu sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Namun setelah mesin pabrik terhenti, bukan berarti mereka bebas melenggang pulang. Mereka juga harus tetap bersih-bersih, agar saat karyawan yang mendapat shif pagi tetap nyaman dan bersih saat memasuki ruangan.
Mesin itu juga harus istirahat beberapa jam. Dan baru beroperasi kembali ketika waktu sudah menunjukkan pukul 8 pagi.
"Wajah sampeyan pucat sekali mbak Di. Sebaiknya nanti mampir ke puskesmas saja. Jangan lupa minta surat sakit. Sampeyan jangan mikir gaji yang kena potong. Nyawa sampeyan lebih penting dari uang," ucap Arinda yang merasa cemas saat melihat Dian yang berwajah pucat.
"Ho'oh Di. Kalau kamu mati, keenakan suamimu. Paling nangisin kamu cuma seminggu, setelah itu dia sudah mulai cari istri baru. Ingat loh, cita-cita kita jadi janda belum kesampaian," timpal Mia.
"Sekarang yang jadi masalahnya gimana caranya aku sampai ke puskesmas. Kepalaku sakit sekali ini," ucap Dian yang mulai merasakan badannya meriang dengan kepala sedikit pusing.
"Ya sudah kamu aku antar saja Di. Toh rumah kita satu arah juga kan?" ujar Mia.
"Lalu motorku bagaimana?" tanya Dian.
"Maaf ya Rin. Motormu kan lebih butut dari kita. Jadi aku rasa nggak masalah kalau ditinggal di parkiran pabrik. Kamu ntar malam shif malam lagi kan? jadi sebaiknya motor Dian kamu saja yang bawa," ucap Mia.
"Aku malah khawatir kalau motor mbak Dian sampai kubawa pulang mbak. Takutnya malah di gadai sama mas Adit, buat modal judi. Masih aman titip diparkiran sini, ntar pas shif malam aku bawakan gembok yang besar buat motor mbak Dian." Jawab Arinda.
"Ya sudahlah kalau memang lebih aman disini, lebih baik motornya tinggal disini saja. Bisa gawat kalau motornya sampai hilang atau digadai. Ini nyawaku buat bekerja. Nggak ada motor, maka tamat pula riwayatku," ujar Dian.
"Yo wes sing ati-ati sampeyan boncengin mbak Dian. Ingat! jangan lupa minta surat sakitnya," ucap Arinda.
"Kami duluan ya Rin?" ujar Mia setelah Dian sudah naik keatas motornya.
Arin kemudian memutar kunci motornya searah jarum jam, dan mulai mengengkol kembali motor bututnya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Nm@
Kasihan sekali mereka
2023-07-25
0
Srix Diani
ini kok kayak kisah hidupku thor😁😁
2023-06-07
0
Alivaaaa
punya suami kaya gitu, mending dikarungin buang kelaut, biar dimakan hiu 🤭😂😂
2022-10-10
0