Arinda memutar kunci motor berlawanan dengan arah jarum jam. Hingga mesin motornya yang ngeradak tak lagi berbuat bising diparkiran. Tidak berapa lama kemudian kedua teman Arinda juga baru tiba di pabrik.
"Kalian Shif sore juga?" tanya Arinda.
"Ya. Baguskan? sudah 2 hari kita beda shif. Kali ini kita punya kesempatan buat curhat." Jawab Mia.
"Ho'oh. Bisa curhat sampai bosan," timpal Dian.
"Ckk...apalagi yang mau diceritakan. La wong yang diceritakan seputar suami-suami kita yang gila. Itu kenapa lagi? habis kena tabok lagi?" tanya Arinda sembari menunjuk kearah sudut bibir Dian yang terluka.
"Emang siapa lagi yang tega berbuat begini selain dia. Boleh nggak sih minta sama pak presiden agar undang-udang pembunuhan berencana dihapuskan aja?" tanya Dian.
"Kenapa?" tanya Mia.
"Aku mau berencana membunuh suamiku. Tahu nggak sih diperlakukan seperti ini tuh nggak hanya sakit fisik, tapi mentalku lama-lama juga sakit." Jawab Dian.
"Sabar Di. Banyak berdo'a saja, semoga suamimu cepat insyaf," ucap Mia yang dibarengi dengan kekehan.
"Kamu ngomong gitu kayak suamimu waras saja," ujar Arinda.
"Kalau aku mah selalu sumpah serapah aja dalam hati. Moga aja dia kena penyakit kelamin, terus mati." Jawab Mia.
"Gila. Suamimu kena gituan, otomatis kamu juga bisa kena," ucap Dian.
"Sekarang aku jarang gituan sama dia. Lagian buat apa? dia juga gila main perempuan diluar sana. Kalau dia mau gituan sama aku, aku pasangin dulu burungnya sama sarung pisang kulit," ujar Mia.
"Emang dia mau?" tanya Arinda.
"Harus mau. Atau tidak sama sekali. Lagian dia juga nggak bisa berkutik. Dia jajan di luar juga aku yang bayarin. Sudah nasib kita punya suami parasit." Jawab Mia.
"Sssttt....," Dian meringis kesakitan, dan sedikit melonggarkan bajunya yang ada dibelakang tubuh bagian belakangnya.
"Kamu kenapa Mbak Di?" tanya Arinda yang dijawab gelengan kepala oleh Dian.
"Coba aku lihat," ujar Mia yang kemudian menarik baju Dian hingga memar dibelakang tubuhnya terpampang nyata.
Arinda dan Mia menutup mulut mereka dengan tangan, saat melihat bilur dibelakang tubuh sahabatnya itu. Arinda bahkan bisa merasakan rasa sakit saat melihat kulit dian yang tekelupas dan memar.
Grepppp
"Mbak besok pagi-pagi kita temanin kamu buat visum dan lapor polisi. Ini sudah kelewatan mbak Di. Mbak punya kesempatan buat bebas dari laki-laki itu. Mungkin ini jalannya mbak," ucap Arinda yang berkata dengan penuh keyakinan sembari mencengkram kedua lengan sahabatnya itu.
"Iya Di. Ini sudah tindak KDRT namanya. Dia bisa dihukum berat, dan kamu bisa ngajuin perceraian saat dia dipenjara nanti," timpal Mia.
Dian terkekeh sembari melepaskan cengkraman tangan Arinda dari kedua lengannya.
"Kalian menyuruhku cerai semudah itu. Lalu bagaimana dengan kalian? kenapa sampai saat ini kalian juga tidak bercerai?" tanya Dian.
Mia dan Arinda terdiam. Tidak perlu menjawabpun mereka sudah tahu apa alasan dibalik keinginan mereka yang terpendam itu.
"Hanya satu alasan dibalik itu semua. Yaitu anak-anak. Kamu, alasan kamu juga cukup kuat buat bercerai. Suamimu jelas-jelas menggunakan uang gajimu untuk menikmati jasa *****. Padahal umumnya diselingkuhi dengan satu wanita saja kita akan merasa sakit hati dan menggugat cerai. Tapi kenapa kamu masih mau bertahan?" tanya Dian yang menujukan ucapannya pada Mia.
"Lalu kamu. Alasan kamu juga cukup kuat. Suamimu tukang judi, dan memakai uang gajimu hanya untuk kesenangannya itu. Lalu kenapa kamu tidak mau bercerai?" tanya Dian pada Arinda.
"Aku sudah mengajukannya sebanyak 99 kali, tapi ditolak." Jawab Arinda.
"Ditolak siapa? pengadilan?" tanya Mia.
"Ditolak mas Adit." Jawaban Arinda langsung mendapat cebikkan bibir dari Mia dan Dian.
"Mbak Dian benar. Alasan kita memang cuma karena anak. Hanya karena anak tidak ingin menjadi korban dari kegagalan orang tuanya, jadi kita mengorbankan diri sendiri. Lalu sampai kapan semua ini akan berakhir?" tanya Arinda.
"Mungkin setia adalah harga mati." Jawab Mia
"Tapi sebenarnya anak sulungku sangat mendukung aku bercerai dengannya. Mungkin karena dia terlalu sering menyaksikan penyiksaan yang dilakukan oleh mas Edi," ujar Dian.
"Tapi...." Mia sengaja menyambungkan kalimat Dian yang seolah masih ada lanjutannya.
"Tapi yaitu aku kasihan dengan anak keduaku. Dia sangat lulut dengan bapaknya. Paling tidak aku mau menunggu sampai anakku itu sedikit mengerti, sembari menunggu mas Edi insyaf juga dari kebiasaan mabuknya." Jawab Dian.
"Susah kalau nungguin suami kita insyaf. Soalnya mereka itu sudah dalam tahap kecanduan. Dan kita ini ibarat tiga serangkai yang mendapatkan paket lengkap. Yang satu gila judi, yang satu gila *****, dan yang satu gila mabok. Entah sampai kapan kita mengalami nasib seperti ini," ucap Arinda.
"Sudah jam 17.30. Sebentar lagi aplusan. Nanti absennya tutup, dan kita dikira nggak masuk kerja," ujar Mia.
"Iya. Kita lanjutkan saat ngopi malam saja," ucap Dian.
Merekapun melangkah masuk ke dalam pabrik. Arinda memang paling akrab dengan Dian dan Mia, dari sekian ribu karyawan yang ada di pabrik itu. Mungkin karena dia sering kebagian shif yang sama, atau karena nasib mereka yang memiliki kesamaan. Diantara mereka bertiga, Arindalah yang paling muda usianya. Saat ini Arinda baru berusia 22 tahun, sementara Dian dan Mia berusia sama yaitu 28 tahun.
Setelah melakukan absen secara manual dan elektronik, merekapun mulai memasuki kawasan tempat mereka biasa menyusun telapak sepatu. Agar mudah bagi mesin mengelem ataupun menjahit sepatu sesuai model yang diinginkan. Mereka juga terkadang kebagian tugas mengumpulkan sisa-sisa bahan yang tidak terpakai setelah proses pemotongan bahan dasar. Dan pekerjaan itu dilakukan hingga jam istirahat, yang biasa mereka sebut dengan kopi malam.
Arinda, Dian, dan Mia pergi ke kantin untuk menikmati kopi panas dan gorengan. Sekedar mengganjal perut yang keroncongan akibat begadang.
"Luka mbak Di kok bisa panjang begitu? apa mas Edi menggunakan cambuk saat melakukannya?" tanya Arinda sembari menggigit pisang goreng panas dan meniupnya setelah sampai di dalam mulut.
"Ah...edun. Ini mah terlalu panas. Bisa mati rasa ini lidahku," sambung Arinda sebelum mendapat jawaban dari Dian.
Dian dan Mia jadi terkekeh melihat Arinda meniup pisang goreng setelah berada didalam mulut ibu muda itu.
"Lagian masih panas Rin. Emang kamu itu the bush, bisa nyulap tuh pisang jadi dingin?" tanya Mia sembari terkekeh.
"Laper aku mbak. Nggak sempat makan pas berangkat kerja tadi." Jawab Arinda.
"Loh kenapa? kamu nggak masak?" tanya Dian sembari meletakkan cangkir kopi yang isinya baru saja dia sesap.
"Habis ribut sama mas Adit. Jadi nggak nafsu makan." Jawab Arinda sembari meraih cangkir kopinya.
"Kali ini apalagi yang diributkan?" tanya Mia.
"Namanya suami kurang kerjaan mbak. Maksa aku ngangkang, pengen ngadon tapi kok nggak mau kerja. Apa dia pikir nyuruh aku beranak, anaknya cukup dikasih air tajin?" Arinda kembali emosi tiap kali menceritakan tentang suaminya.
"Terus kamu ngangkang?" tanya Dian.
"Yo ndaklah mbak. Ya itu akhirnya terjadi aksi saling tarik menarik. Dasterku jadi robek, tali kutangku jadi putus. Rasanya kesal sekali aku mbak." Jawab Arinda.
"Sampeyan tadi belum jawab loh pertanyaan aku mbak," sambung Arinda.
Dian menghela nafas berat. Rasa sakit dan perih yang dia rasakan pada tubuh dan hatinya jadi berdenyut kembali saat mengingat kekejaman suaminya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Suci Fatana
sumpah critanya bikin gregett...
2023-06-15
0
Alivaaaa
ya ampun kasihan sekali tiga serangkai ini 😔
suami mereka bener² gila 😒
2022-10-10
0
Putri Minwa
betul itu Arinda
2022-10-01
0