Ini kalau nggak salah hitung, ini adalah perkataanmu yang ke-99 kamu ingin meminta cerai. Aku sampai kurang kerjaan melingkari tiap angka dikalender, hanya karena ingin tahu jumlah ucapanmu itu," ujar Aditia sembari menunjuk-nunjuk sebuah kalender yang tergantung disebuah paku yang tertancap di dinding.
"Memang pada kenyataanya kamu itu kurang kerjaan mas. Selain menjadikan istrimu sebagai tulang punggung, kamu juga menjadikan istrimu sebagai mesin pencentak anak," ucap Arinda sembari membenahi lengan daster dan tali penyangga dada yang terlanjur robek dan putus akibat aksi saling tarik menarik dengan Aditia.
"Itu memang sudah kodratmu sebagai seorang wanita. Jangan kira cuma kamu yang bisa ngancam, aku juga bisa ngancam kamu," ucap Aditia tidak kalah sengit.
"Mau sampeyan iku opo sih mas? kerja nggak mau tapi kamu juga ndak mau disalahkan. Kamu bisa menyadari kodratku sebagai perempuan, tapi kamu sendiri nggak sadar kodrat kamu sebagai laki-laki itu apa?" Arinda mulai tersulut emosi.
"Kamu cuma bisa bikin anak doang mas. Mas itu malas cari kerja. Kerjamu cuma judi online. Nggak dikasih duit, malah ngajuin pinjaman online. Kamu sadar nggak sih mas? kita ini makan aja susah, kamu malah berani ngutang cuma buat hasrat judi kamu itu," ucap Arinda dengan berapi-api.
"Sekarang Mas mau ngancam aku apa mas? udahlah kalau kamu masih gila begini, jangan pernah berpikir buat nambah momongan. Kamu pikir anakmu cuma mau dikasih nasi putih dengan air putih doang? pengen anak banyak tapi nggak mau kerja. Itulah kalau otak sudah keblinger dengan judi online. Otakmu itu cuma dipenuhi oleh urusan perut dengan ************ aja." Arinda menjawab ucapan Aditia dengan nafas yang naik turun.
Entah mengapa hampir satu tahun belakangan ini, Arinda mulai berani menyuarakan isi hatinya. Selama ini dia hanya diam, itu karena dia merasa kasihan dengan kedua buah hatinya yang usianya hanya berjarak satu tahun saja. Aditia melarangnya menggunakan kontrasepsi, padahal Arinda melahirkan dengan cara bedah cesar.
"Kamu sudah tahu aku sedang keblinger, maka aku bisa melakukan hal yang lebih gila dari itu. Kalau kamu berani minta cerai denganku, aku bunuh kamu. Aku bunuh seluruh keluargamu. Atau aku pisahkan kamu dari anak-anak," ujar Aditia tanpa perasaan.
"Dikasih enak kok nolak. Jadi janda kok bangga," gerutu Aditia sembari keluar dari pintu kamar.
Brakkkkk
Adit menutup pintu dengan lumayan keras, hingga Arinda terjengkit kaget. Dan setiap ujung dari percekcokkan itu, Arinda selalu mengakhirinya dengan tangisan. Arinda melihat jam yang menempel di dinding kamarnya. Diapun bergegas membersihkan diri, karena hari ini dia kebagian shif sore.
Arinda bekerja disebuah pabrik sepatu. Dengan mengandalkan gaji UMR dan sedikit seseran lembur. Arinda harus menghidupi kedua anaknya, ibunya, dan juga suaminya. Entah dia harus bersedih atau senang, saat setahun yang lalu bapaknya meninggal dunia. Dan itu bisa mengurangi beban dipundaknya yang harus menanggung makan dan obat bapaknya yang sakit-sakitan.
Tapi tetap saja beban itu terasa berat. Kini putri sulungnya sudah mengerti jajan. Setiap ada yang jualan keliling, dia selalu menyuruhnya singgah. Beruntung mereka tidak menyewa rumah. Meskipun sederhana, rumah itu memang milik orang tuanya. Sudah hampir 3 tahun menikah, mereka tidak mengumpulkan harta secuilpun. Gaji yang dia terima tiap bulannya hanya cukup buat makan dan jajan anaknya.
Kadang Arinda menyesali kenapa dia harus menikah muda di usianya yang baru menginjak 19 tahun. Waktu itu Aditia memang bukan seorang pengangguran. Dia bekerja di salah satu bank yang cukup terkenal. Namun sampai detik ini Arinda tidak tahu alasan Aditia berhenti dari pekerjaannya. Adit juga tidak mau bekerja, dan menjadikan Arinda sebagai mesin pencetak uang dan mesin pencetak anak.
"Kamu shif sore ndok?" tanya Fatimah yang tengah menggendong sang cucu yang baru berusia 6 bulan.
"Iya buk'e. Mana si kutu kupret?" tanya Arinda yang langsung dipelototi oleh Fatimah.
"Kamu kalau ribut sama bojomu mbok jangan keras-keras suaranya. Rayana sampai takut," ucap Fatimah.
"Kalau nggak keras bukan ribut namanya buk'e." Jawab Arinda sembari mengikatkan tali sepatunya.
"Mana dia?" tanya Arinda yang dijawab Fatimah dengan moncongan bibir.
Arinda menoleh kearah luar pintu. Dari celah dinding setengah permanen, Arinda bisa melihat tubuh suaminya yang tidak mengenakan baju sedang asyik bermain ponsel sembari menghisap sebatang rokok.
"Heran yang begitu masa aktif umurnya lama sekali. Kalau dia minta makan jangan dikasih buk'e. Tumiskan saja itu puntung rokoknya, biar dia tahu harga beras sedang mahal," ujar Arinda dengan bibir bersunggut.
"Sudah berhenti ngomelnya, nanti kamu telat kerja. Berhenti menyesali perkawinanmu, lah wong itu pilihanmu sendiri," ucap Fatimah.
Arinda terdiam. Perkataan Fatimah memanglah benar. Padahal waktu di sekolah SMA, dia tergolong salah satu siswi tercantik. Hanya karena bertemu Adit yang seorang pegawai Bank, dirinya merasa Adit orang yang tampan dan keren.
"Arin berangkat kerja dulu buk'e," ucap Arinda sembari meraih tangan Fatimah untuk dia cium.
"Hati-Hati dijalan. Jangan ngebut, jangan banyak pikiran," ujar Fatimah yang kemudian dianggukki oleh Arinda.
Arinda kemudian melangkah keluar pintu dan berlalu dari hadapan Adit begitu saja.
"Mau jadi istri durhaka kamu?" tanya Adit yang membuat langkah Arinda terhenti.
"Mencium tangan suami sebelum keluar rumah, nggak membuat tangan dan bibirmu potel. Beruntung kamu aku ridhoi keluar rumah, jadi kamu nggak celaka dijalanan," sambung Aditia.
Arinda mengepalkan tangannya. Ada rasa sesak dan bergemuruh di dadanya, tiap kali mendengar ucapan Adit yang sok bijak. Namun pada kenyataannya dialah orang yang paling tidak bertanggung jawab dengan keluarga.
Arinda menghela nafas panjang. Pria yang berbeda usia 6 tahun itu memang selalu menguji kesabarannya. Kalau bukan kasihan dengan putra putrinya, mungkin dia tidak akan berpikir dua kali untuk melayangkan gugatan perceraian.
Arinda kemudian berbalik badan, dan memasang senyum palsu dibibirnya.
"Arin berangkat kerja dulu mas," ujar Arinda sembari meraih tangan Adit untuk dia cium.
"Bagi duit rokok dong," ucap Adit.
Arinda membuka sleting tasnya, dan meraih selembar uang 5 ribu yang kemudian dia sodorkan didepan wajah pria itu.
"5 ribu? kamu ngeledek suamimu ya?" tanya Aditia.
"Cukup buat beli 3 batang. Kalau nggak mau aku masukin tas lagi. Aku sudah malas berdebat sama kamu mas. Mbok jadi orang tahu diri dikit." Jawab Arinda.
Adit menyambar uang 5 ribu itu dan memasukkannya kedalam saku celana. Sementara Arinda mulai memasukkan kunci motor ke lubang kunci motor dan mengengkol motor yang hampir tak layak pakai itu.
"Jangan sombong kamu. Nanti kalau aku sudah jadi anggota DPR, pabrik rokokpun aku beli," ucap Adit yang masih bisa di dengar oleh Arinda disela bisingnya knalpot motor.
"Anggota DPR nggak ada yang romantis kayak kamu mas," Arinda menyahuti ucapan Adit.
"Apa hubungannya dengan romantis?" tanya Adit yang masih belum mengerti dengan kata sindiran dari Arinda.
"ROKOK, MAKAN, GRATISSSSS...." teriak Arinda sembari menancap gas motornya. Sementara Adit hanya bisa menahan marah, mendengar perkataan istrinya itu.
"Ah...kapan aku bisa ganti motor yang bisa ngebut sedikit," gumam Arinda yang saat ini sedang melewati jalanan yang lumayan sepi.
Bukan tanpa alasan dirinya menginginkan hal itu. Itu karena jalan menuju pabrik ada sebuah tikungan yang lumayan sepi, dan sering terjadi rawan kejahatan. Itulah sebabnya tiap kali dia melewati jalan itu, Arinda menarik gasnya dengan full sehingga menimbulkan kepulan asap yang menghitam dari knalpot motornya.
Arinda memutar kunci motor berlawanan dengan arah jarum jam. Hingga mesin motornya yang ngeradak tak lagi berbuat bising diparkiran. Tidak berapa lama kemudian kedua teman Arinda juga baru tiba di pabrik.
"Kalian Shif sore juga?" tanya Arinda.
"Ya. Baguskan? sudah 2 hari kita beda shif. Kali ini kita punya kesempatan buat curhat." Jawab Mia.
"Ho'oh. Bisa curhat sampai bosan," timpal Dian.
"Ckk...apalagi yang mau diceritakan. La wong yang diceritakan seputar suami-suami kita yang gila. Itu kenapa lagi? habis kena tabok lagi?" tanya Arinda sembari menunjuk kearah sudut bibir Dian yang terluka.
"Emang siapa lagi yang tega berbuat begini selain dia. Boleh nggak sih minta sama pak presiden agar undang-udang pembunuhan berencana dihapuskan aja?" tanya Dian.
"Kenapa?" tanya Mia.
"Aku mau berencana membunuh suamiku. Tahu nggak sih diperlakukan seperti ini tuh nggak hanya sakit fisik, tapi mentalku lama-lama juga sakit." Jawab Dian.
"Sabar Di. Banyak berdo'a saja, semoga suamimu cepat insyaf," ucap Mia yang dibarengi dengan kekehan.
"Kamu ngomong gitu kayak suamimu waras saja," ujar Arinda.
"Kalau aku mah selalu sumpah serapah aja dalam hati. Moga aja dia kena penyakit kelamin, terus mati." Jawab Mia.
"Gila. Suamimu kena gituan, otomatis kamu juga bisa kena," ucap Dian.
"Sekarang aku jarang gituan sama dia. Lagian buat apa? dia juga gila main perempuan diluar sana. Kalau dia mau gituan sama aku, aku pasangin dulu burungnya sama sarung pisang kulit," ujar Mia.
"Emang dia mau?" tanya Arinda.
"Harus mau. Atau tidak sama sekali. Lagian dia juga nggak bisa berkutik. Dia jajan di luar juga aku yang bayarin. Sudah nasib kita punya suami parasit." Jawab Mia.
"Sssttt....," Dian meringis kesakitan, dan sedikit melonggarkan bajunya yang ada dibelakang tubuh bagian belakangnya.
"Kamu kenapa Mbak Di?" tanya Arinda yang dijawab gelengan kepala oleh Dian.
"Coba aku lihat," ujar Mia yang kemudian menarik baju Dian hingga memar dibelakang tubuhnya terpampang nyata.
Arinda dan Mia menutup mulut mereka dengan tangan, saat melihat bilur dibelakang tubuh sahabatnya itu. Arinda bahkan bisa merasakan rasa sakit saat melihat kulit dian yang tekelupas dan memar.
Grepppp
"Mbak besok pagi-pagi kita temanin kamu buat visum dan lapor polisi. Ini sudah kelewatan mbak Di. Mbak punya kesempatan buat bebas dari laki-laki itu. Mungkin ini jalannya mbak," ucap Arinda yang berkata dengan penuh keyakinan sembari mencengkram kedua lengan sahabatnya itu.
"Iya Di. Ini sudah tindak KDRT namanya. Dia bisa dihukum berat, dan kamu bisa ngajuin perceraian saat dia dipenjara nanti," timpal Mia.
Dian terkekeh sembari melepaskan cengkraman tangan Arinda dari kedua lengannya.
"Kalian menyuruhku cerai semudah itu. Lalu bagaimana dengan kalian? kenapa sampai saat ini kalian juga tidak bercerai?" tanya Dian.
Mia dan Arinda terdiam. Tidak perlu menjawabpun mereka sudah tahu apa alasan dibalik keinginan mereka yang terpendam itu.
"Hanya satu alasan dibalik itu semua. Yaitu anak-anak. Kamu, alasan kamu juga cukup kuat buat bercerai. Suamimu jelas-jelas menggunakan uang gajimu untuk menikmati jasa *****. Padahal umumnya diselingkuhi dengan satu wanita saja kita akan merasa sakit hati dan menggugat cerai. Tapi kenapa kamu masih mau bertahan?" tanya Dian yang menujukan ucapannya pada Mia.
"Lalu kamu. Alasan kamu juga cukup kuat. Suamimu tukang judi, dan memakai uang gajimu hanya untuk kesenangannya itu. Lalu kenapa kamu tidak mau bercerai?" tanya Dian pada Arinda.
"Aku sudah mengajukannya sebanyak 99 kali, tapi ditolak." Jawab Arinda.
"Ditolak siapa? pengadilan?" tanya Mia.
"Ditolak mas Adit." Jawaban Arinda langsung mendapat cebikkan bibir dari Mia dan Dian.
"Mbak Dian benar. Alasan kita memang cuma karena anak. Hanya karena anak tidak ingin menjadi korban dari kegagalan orang tuanya, jadi kita mengorbankan diri sendiri. Lalu sampai kapan semua ini akan berakhir?" tanya Arinda.
"Mungkin setia adalah harga mati." Jawab Mia
"Tapi sebenarnya anak sulungku sangat mendukung aku bercerai dengannya. Mungkin karena dia terlalu sering menyaksikan penyiksaan yang dilakukan oleh mas Edi," ujar Dian.
"Tapi...." Mia sengaja menyambungkan kalimat Dian yang seolah masih ada lanjutannya.
"Tapi yaitu aku kasihan dengan anak keduaku. Dia sangat lulut dengan bapaknya. Paling tidak aku mau menunggu sampai anakku itu sedikit mengerti, sembari menunggu mas Edi insyaf juga dari kebiasaan mabuknya." Jawab Dian.
"Susah kalau nungguin suami kita insyaf. Soalnya mereka itu sudah dalam tahap kecanduan. Dan kita ini ibarat tiga serangkai yang mendapatkan paket lengkap. Yang satu gila judi, yang satu gila *****, dan yang satu gila mabok. Entah sampai kapan kita mengalami nasib seperti ini," ucap Arinda.
"Sudah jam 17.30. Sebentar lagi aplusan. Nanti absennya tutup, dan kita dikira nggak masuk kerja," ujar Mia.
"Iya. Kita lanjutkan saat ngopi malam saja," ucap Dian.
Merekapun melangkah masuk ke dalam pabrik. Arinda memang paling akrab dengan Dian dan Mia, dari sekian ribu karyawan yang ada di pabrik itu. Mungkin karena dia sering kebagian shif yang sama, atau karena nasib mereka yang memiliki kesamaan. Diantara mereka bertiga, Arindalah yang paling muda usianya. Saat ini Arinda baru berusia 22 tahun, sementara Dian dan Mia berusia sama yaitu 28 tahun.
Setelah melakukan absen secara manual dan elektronik, merekapun mulai memasuki kawasan tempat mereka biasa menyusun telapak sepatu. Agar mudah bagi mesin mengelem ataupun menjahit sepatu sesuai model yang diinginkan. Mereka juga terkadang kebagian tugas mengumpulkan sisa-sisa bahan yang tidak terpakai setelah proses pemotongan bahan dasar. Dan pekerjaan itu dilakukan hingga jam istirahat, yang biasa mereka sebut dengan kopi malam.
Arinda, Dian, dan Mia pergi ke kantin untuk menikmati kopi panas dan gorengan. Sekedar mengganjal perut yang keroncongan akibat begadang.
"Luka mbak Di kok bisa panjang begitu? apa mas Edi menggunakan cambuk saat melakukannya?" tanya Arinda sembari menggigit pisang goreng panas dan meniupnya setelah sampai di dalam mulut.
"Ah...edun. Ini mah terlalu panas. Bisa mati rasa ini lidahku," sambung Arinda sebelum mendapat jawaban dari Dian.
Dian dan Mia jadi terkekeh melihat Arinda meniup pisang goreng setelah berada didalam mulut ibu muda itu.
"Lagian masih panas Rin. Emang kamu itu the bush, bisa nyulap tuh pisang jadi dingin?" tanya Mia sembari terkekeh.
"Laper aku mbak. Nggak sempat makan pas berangkat kerja tadi." Jawab Arinda.
"Loh kenapa? kamu nggak masak?" tanya Dian sembari meletakkan cangkir kopi yang isinya baru saja dia sesap.
"Habis ribut sama mas Adit. Jadi nggak nafsu makan." Jawab Arinda sembari meraih cangkir kopinya.
"Kali ini apalagi yang diributkan?" tanya Mia.
"Namanya suami kurang kerjaan mbak. Maksa aku ngangkang, pengen ngadon tapi kok nggak mau kerja. Apa dia pikir nyuruh aku beranak, anaknya cukup dikasih air tajin?" Arinda kembali emosi tiap kali menceritakan tentang suaminya.
"Terus kamu ngangkang?" tanya Dian.
"Yo ndaklah mbak. Ya itu akhirnya terjadi aksi saling tarik menarik. Dasterku jadi robek, tali kutangku jadi putus. Rasanya kesal sekali aku mbak." Jawab Arinda.
"Sampeyan tadi belum jawab loh pertanyaan aku mbak," sambung Arinda.
Dian menghela nafas berat. Rasa sakit dan perih yang dia rasakan pada tubuh dan hatinya jadi berdenyut kembali saat mengingat kekejaman suaminya.
"Pakai ikat pinggang." Jawab Dian lirih.
"Lah kenapa toh mbak masalahnya? maaf kepo maksimal aku," tanya Arinda.
"Ya apalagi Rin. Orang gila mabok, pasti yang dicari minuman haram itu. Yang buat mbak kesal dia minta uangnya sama mbak. Mbak nggak perduli kalau dia mabok, tapi cari uang sendiri buat beli barangnya." Jawab Dian.
"Jadi?" tanya Mia.
"Aku pecahkan saja bekas botol minuman ke lantai. Aku pikir aksiku itu cukup keren, tapi ternyata perutku hampir berlubang karena dia ingin menusukku dengan pecahan botol itu." Jawab Dian.
"Jadi nggak jadi nusuk pakai itu?" tanya Arinda sembari menggigit kembali pisang gorengnya yang sudah berangsur dingin.
"Hampir." Jawab Dian sembari kembali menyesap kopinya.
"Terus?" tanya Mia.
"Kalau nggak aku ancam, mungkin saat itu aku sudah innalillahi." Jawab Dian.
"Aku ancam saja dia buat cerai. Aku juga mengancam dia nggak bakal kasih uang lagi. Aku pikir nggak ampuh ancamanku itu, ternyata dia langsung melepaskan pecahan botolnya. Aku pikir dia nggak minta lagi uangnya, dan pergi. Tapi dasar orang gila, dia masih maksa minta duit untuk beli minunan itu."
"Tentu saja aku pertahankan uangku. Apesnya dia langsung melepaskan ikat pinggangnya dan menghajarku habis-habisan. Dan naasnya lagi, uangku tetap digarap sama dia," sambung Dian.
"Jadi kayaknya cuma mbak Mia yang paling santai hidupnya. Lo*te jaman sekarang nggak gitu banyak ngabisin duit. Satus ewu aja ada buat sekali ge*jot," ujar Arinda.
"Itukan menurut pikiranmu. Satus ewu juga kalau yang di genjot 10 dalam sebulan, ya habis juga uang mbakmu ini." Jawab Mia.
"Opo mas Ridwan nggak merasa jijik ya? kan itu lobang sering dimasukin banyak batang?" tanya Arinda.
"Namanya juga kadung nafsu Rin." Jawab Mia.
"Padahal nama suami sampeyan apik loh mbak. Ridwan, penjaga pintu Surga. Tapi kelakuane nggragas," ucap Arinda sembari terkekeh.
"Yo bener penjaga pintu surga. Surgane para lobang kesepian," timpal Mia.
"Itu luka sampeyan sudah diobati pakai apa mbak?" tanya Arinda pada Dian.
"Belum tak obati apa-apa. Paling pulang besok tak belikan anti biotik sama pereda rasa nyeri saja di apotik." Jawab Dian.
"Kuat sekali sampeyan mbak. Kalau aku dapat luka separah itu, sudah pasti demam selama seminggu," ujar Arinda.
"Ya mau gimana lagi Rin. Mungkin juga kulit mbak sudah tebal bin kebal. Sudah terlalu sering dia ngelakuin ini sama mbak." Jawab Dian.
"Yang mbak pusing sekarang, dimana nyimpan duit yang aman. Disegala tempat sudah mbak coba, termasuk dalam gulungan cel*na dalam. Tapi mbak heran masih bisa ketemu. Apa karena dia punya hidung seperti kerbau? hingga dia bisa mencium bau uang," sambung Dian.
"Hidung suamiku kecil. Tapi bisa tahu juga aku nyimpan duit dimana," timpal Arinda.
"Ho'oh sama. Hidung suamiku juga kecil. Cuma anunya yang besar, makanya dia percaya diri buat ge*jot banyak lobang," ucap Mia.
"Anjrit. 3 tahun berteman, baru kali ini kamu kebuka soal besar kecil perburungan," ujar Dian sembari terkekeh.
"Apapun itu. Kita jangan pernah menyerah jadi calon janda dimasa depan," ucap Arinda.
"Ho'oh. Terus terang baru kali ini aku ngebet banget pengen jadi janda. Serasa bangga banget kalau cita-cita jadi janda kesampaian," timpal Mia.
"Mungkin karena kita sudah kebanyakkan makan hati selama bertahun-tahun. Sekarang sudah mulai bosan, jadi tinggal muntahnya saja," ujar Dian.
Teng
Suara besi tebal yang dipukul, menggema ditengah malam. Tidak hanya sebagai tanda menunjukkan pukul 1 malam, itu juga pertanda waktu istirahat sudah selesai. Arinda, Dian dan Mia bergegas menyesap kopi mereka hingga tetes terakhir. Masih ditambah dengan segelas air putih, untuk membilas kerongkongan mereka setelah meminum air yang mengandung cafein itu.
"Sial.Sepertinya kata-katamu manjur Rin," ucap Dian saat mereka berjalan menuju pabrik.
"Kenapa mbak?" tanya Arinda.
"Badanku mulai rasa nggak enak. Kayaknya aku beneran mau deman ini." Jawab Dian.
"Kalau mbak nggak sanggup, lebih baik izin pulang saja mbak ," ucap Arinda.
"Ho'oh Di. Daripada kamu pingsan disini," timpak Mia.
"Edun. Lebih baik aku tahankan. Izin pulang dijam segini, bukannya istirahat. Ntar aku di gondol wewe gombel. Mana malam jum'at lagi," ujar Dian.
"Yang ada wewe gombel yang takut sama kamu Di. Wajahmu lebih seram dari dia. Mending kamu izin pulang saja," ucap Mia sembari terkekeh.
"Nggaklah! Eman-Eman. Takut dipotong gaji. Lumayan buat jajan anakku," ujar Dian yang memutuskan tetap bekerja meski suhu tubuhnya sedikit demi sedikit merambat naik.
Untuk jam-jam selanjutnya mereka kembali bekerja seperti biasa. Meski sudah menghabiskan satu gelas kopi, namun tetap saja rasa kantuk itu terkadang suka menyerang. Mungkin satu gelas kopi tidak lagi ngefek pada tubuh mereka, karena mereka meminum kopi sejak awal mereka bekerja disana. Tidak hanya berfungsi membuat mata tetap terjaga, kopi juga bisa membuat tubuh mereka hangat karena terpaan angin malam.
Dan pekerjaan itu terhenti ketika waktu sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Namun setelah mesin pabrik terhenti, bukan berarti mereka bebas melenggang pulang. Mereka juga harus tetap bersih-bersih, agar saat karyawan yang mendapat shif pagi tetap nyaman dan bersih saat memasuki ruangan.
Mesin itu juga harus istirahat beberapa jam. Dan baru beroperasi kembali ketika waktu sudah menunjukkan pukul 8 pagi.
"Wajah sampeyan pucat sekali mbak Di. Sebaiknya nanti mampir ke puskesmas saja. Jangan lupa minta surat sakit. Sampeyan jangan mikir gaji yang kena potong. Nyawa sampeyan lebih penting dari uang," ucap Arinda yang merasa cemas saat melihat Dian yang berwajah pucat.
"Ho'oh Di. Kalau kamu mati, keenakan suamimu. Paling nangisin kamu cuma seminggu, setelah itu dia sudah mulai cari istri baru. Ingat loh, cita-cita kita jadi janda belum kesampaian," timpal Mia.
"Sekarang yang jadi masalahnya gimana caranya aku sampai ke puskesmas. Kepalaku sakit sekali ini," ucap Dian yang mulai merasakan badannya meriang dengan kepala sedikit pusing.
"Ya sudah kamu aku antar saja Di. Toh rumah kita satu arah juga kan?" ujar Mia.
"Lalu motorku bagaimana?" tanya Dian.
"Maaf ya Rin. Motormu kan lebih butut dari kita. Jadi aku rasa nggak masalah kalau ditinggal di parkiran pabrik. Kamu ntar malam shif malam lagi kan? jadi sebaiknya motor Dian kamu saja yang bawa," ucap Mia.
"Aku malah khawatir kalau motor mbak Dian sampai kubawa pulang mbak. Takutnya malah di gadai sama mas Adit, buat modal judi. Masih aman titip diparkiran sini, ntar pas shif malam aku bawakan gembok yang besar buat motor mbak Dian." Jawab Arinda.
"Ya sudahlah kalau memang lebih aman disini, lebih baik motornya tinggal disini saja. Bisa gawat kalau motornya sampai hilang atau digadai. Ini nyawaku buat bekerja. Nggak ada motor, maka tamat pula riwayatku," ujar Dian.
"Yo wes sing ati-ati sampeyan boncengin mbak Dian. Ingat! jangan lupa minta surat sakitnya," ucap Arinda.
"Kami duluan ya Rin?" ujar Mia setelah Dian sudah naik keatas motornya.
Arin kemudian memutar kunci motornya searah jarum jam, dan mulai mengengkol kembali motor bututnya itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!