"Baiklah, kita main itu." Ujar Cahya pada akhirnya menyetujui perkataan Vino.
Setelah mengatakan hal itu, Vino tersenyum cerah dan kembali mendekati Cahya. Cahya pun tidak lagi mengurai jarak diantara mereka, ia hanya pasrah dan berdiam diri di tempatnya.
"Kemarikan tanganmu." pinta Vino yang dibalas uluran tangan Cahya.
Cahya sudah mempersiapkan diri tuk menerima rasa sakit yang akan mendera tangannya itu.
Tak berselang lama erangan kesakitan mulai lolos dari bibir Cahya.
Argh..
"Argh..Sakit Vino." mencoba menahan rasa sakit, Cahya menatap kearah Vino.
Seketika Vino melepaskan jarum suntik yang ditancapkannya tadi ketangan Cahya.
"Maafkan Vino, Vino kurang hati-hati." ucapnya tanpa berani menatap kearah Cahya.
Cahya yang awalnya ingin memarahi Vino malah tidak jadi setelah mendengar permintaan maaf yang terdengar tulus ditelinganya itu.
"Maafkan Vino. Vino janji tidak akan melakukannya lagi." mohonnya dengan suara lirih dengan wajah seperti ingin menangis.
Cahya mendekati Vino yang ada di depannya, lalu ia mengusap bahu Vino serta berucap.
"Sudahlah, aku tidak apa-apa. Jangan menangis lagi, ya."
Setelah mengetahui bahwa lawan bicaranya itu tidak marah, maka Vino mengangkat wajahnya untuk menatap kearah Cahya.
"Benarkah, Vino sudah dimaafkan?" Tanyanya kembali.
"Iya, Cahya sudah memaafkan. Jadi jangan sedih lagi ya. Tadi itu Cahya hanya kaget saja." tutur Cahya sambil tersenyum manis.
"Terima kasih, Vino seneng Cahya tidak marah dengan Vino."
Balas Vino sambil tersenyum bahagia. Tak lupa pelukan hangat darinya untuk Cahya yang kembali membeku.
Keterkejutannya tak sampai situ, tiba -tiba Vino sudah mengecup pipi Cahya dengan cepat membuat Cahya kembali membeku.
"Kalau begitu Vino kebawah dulu, mau ngambil minum buat Vino." Tanpa mendengar jawaban dari Cahya, Vino melesat keluar dari kamar.
Selepas keterkejutannya hilang, Cahya memegang pipinya yang bekas kecupan dari Vino tadi. Tanpa sadar seluas senyum terbit diwajah Cahya.
"Apa yang kau pikirkan?" Tanyanya pada diri sendiri dan kembali tersenyum tanpa henti. Hingga suara deritan pintu membuyarkan lamunannya itu.
....''....''...."...."...."....
"Apa yang kau pikirkan?" Tanyanya pada diri sendiri dan kembali tersenyum tanpa henti. Hingga suara deritan pintu membuyarkan lamunannya itu.
....''....''...."...."...."....
"Eh Ma..ma." ucap Cahya terkejut karena yang membuka pintu adalah ibu dari Vino.
Segera saja Cahya menghampiri ibu Vino itu dan mengajaknya untuk segera masuk.
Setelah duduk di tepi ranjang, ibu dari Vino itu memulai pembicaraan.
"Bagaimana Vino tadi nak Cahya?" Mendengar lontaran pertanyaan itu membuat Cahya gugup untuk menjawabnya.
"Vino baik kok, ma. Hanya saja..." Cahya menggantungkan ucapannya.
"Hanya apa?" Ulang bu Irena, ibunda Vino itu.
Cahya tidak berani menatap kearah bu Irena, karena ia takut untuk menjawab pertanyaan itu.
"Sudah tidak perlu ditutup tutupi, nak Cahya. Ceritakan apa yang tadi terjadi pada mama." Elusan di kepalanya membuat Cahya menoleh menatap kearah mama Irena.
"Tapi Vino sempat bertingkah agak aneh, ma." ucap Cahya yang masih kikuk saat memanggil Irena dengan panggilan mama itu dan sepertinya mama Irena dapat memakluminya.
"Aneh bagaimana?" Ucap mama Irena yang belum paham akan perkataan dari Cahya itu.
"Sebenarnya tadi Vino mengira Cahya ini temannya, setelah itu ia mengajak masuk Cahya kedalam kamarnya"
Mendengar hal itu membuat Irena tersenyum menggoda, melihat hal itu buru buru Cahya melanjutkan ceritanya.
"Tidak terjadi apa apa kok ma." gugup Cahya malu karena diperhatikan seperti itu oleh bu Irena.
"Tidak perlu malu, lanjutkan saja ceritanya." ujar bu Irena sambil tersenyum tulus.
"Tadi Vino sempat marah saat Cahya tak sengaja memanggilnya dengan sebutan Bryan."
Perkataan dari Cahya membuat bu Irena menghela nafas panjang.
"Sebenarnya ada yang ingin mama sampaikan ke kamu nak. Maka dari itu mama kesini saat tahu Vino sedang diluar kamar." mendengar balasan itu Cahya menatap bu Irena.
"Vino itu sempat mengalami trauma terhadap masa lalunya yang membuatnya seperti ini." ucap bu Irena sambil memandang kosong kearah depannya itu.
Dan Cahya hanya mendengarkan tanpa menyela sama sekali.
"Dulu Vino pernah jatuh cinta sama teman sekolahnya. Dia bahkan sering mengajak orang itu datang kerumah ini. Dan kamu tahu nak, setiap ia dekat dengan orang itu Vino jadi orang yang murah senyum, bahagia dan juga sangat perhatian." Ucap mama Irena sambil tersenyum.
"Kelihatan sekali kalau Vino sangat mencintai gadis itu. Tapi ironisya, gadis itu tidak mencintai Vino. Ia dekat dengan Vino karena ia suka dengan sahabat Vino bukan dengan Vino."
"Dari situlah Vino merasa tidak terima, ia selalu saja marah marah dan suka membanting apapun yang ada di dekatnya." Pandangan mata Irena terlihat jelas bahwa ia menahan tangisannya.
Mengerti akan hal itu, segera saja Cahya berucap "Kalau ibu belum siap untuk menjelaskannya, Cahya bisa mengerti."
Bu Irena menatap Cahya dengan senyum tulusnya.
"Tidak apa apa, akan ibu ceritakan."
"Entah apa yang terjadi di sekolah, saat jam pulang sekolah ibu mendapat telepon dari pihak sekolah bahwa Vino dilarikan ke rumah sakit."
"Ibu yang saat itu panik tidak sempat menghubungi ayah dan ibu langsung saja ke rumah sakit tempat Vino dirawat. Tiba disana ibu melihat Vino lewat kaca ruang ICU. Ibu tidak kuat melihatnya, nak." ucap bu Irena sambil menangis.
Cahya yang masih setia mendengarkan itupun segera mengambil tisue yang ada didalam tasnya Cahya memberikannya ke mama Irena.
"Terimakasih." Ucap mama Irena disela tangisnya.
Hening selama beberapa menit,
"Karena peristiwa itu, Vino mengalami trauma yang sangat berat. Dia akan marah apabila ia dipanggil dengan sebutan Bryan. Entah siapapun yang memanggilnya ia tak akan segan untuk melukainya."
"Maka dari itu, nak Cahya jangan memanggilnya dengan sebutan Bryan, ya. Ibu takut Vino lepas kontrol dan malah membuat kamu terluka." ucapan itu hanya diangguki oleh Cahya sebagai balasannya.
"Cahya tidak akan lagi memanggil Vino dengan sebutan Bryan, ma." ucapnya dengan senyuman.
"Terima kasih sudah mau menerima Vino setelah mendengar semua peristiwa yang terjadi padanya itu."
Pelukan itu membuat Cahya lagi lagi terdiam. Entah kenapa pelukan itu terasa sangat nyaman untuk Cahya rasakan.
"Sama sama, ma." balas Cahya sambil membalas pelukan bu Irena itu.
Keduanya larut akan suasana hingga tak menyadari bahwa ada sosok lain yang memperhatikan keduanya itu.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments
Red Fruit
thor.. bukannya klo bipolar itu perubahan suasana hati yg fluktuatif dr yg seneng tiba2 sedih. klo dlm cerita ini kan, si character bkn hny suasana hatinya aja yg berubah, tp dia jg merubah identitasnya.. dari Bryan ke Vino, ini lebih ke DID deh.. smoga bsa jd masukan buat author.. heheheh
Semangat thor!
2020-07-07
12
Erni Anisa
vino usianya berapa thor??
2020-04-16
3
🐇🐇Lara Hati♋♋
suka thor lanjutkan semangattttt
2019-10-21
1