Kegugupan yang dirasakan oleh Cahya perlahan menghilang. Namun perkataan dari kedua orang di depannya itu membuat Cahya menahan nafasnya.
"Panggil kami ayah dan mama" ucap sang kepala keluarga.
"............"
Tak mendengar respon dari Cahya membuat kedua orang di depannya menoleh kearah Cahya bingung.
"Kenapa kau diam begitu?"
Mendengar perkataan itu lantas membuat Cahya menatap kearah pasangan suami istri itu.
"Maafkan saya. Apa saya pantas memanggil anda berdua dengan sebutan itu?" Ujar Cahya sambil bersikap biasa.
Jawaban yang baru saja terdengar itu membuat nyonya rumah mengerutkan dahinya menandakan ia sedang bingung.
"Kenapa malah kau tanyakan hal itu? Tentu saja kau boleh memanggil kami dengan sebutan itu. Malahan kami yang meminta kamu tuk memanggil kami ayah dan ibu".
Suara lembut kembali menanggapi perkataan Cahya dengan halus, bahkan tanpa sadar Cahya menatap kearah suara tersebut.
"Benarkah?" Tanyanya seolah tak percaya.
"Iya. Kau boleh memanggil kami begitu." Balas sang suara barito tegas namun menenangkan.
Sedikit menghela nafas, Cahya mulai memberanikan diri untuk memanggil mereka berdua.
"Aa..Ayah...ma...ma"
Jawab Cahya terbata-bata.
"Jangan gugup nak. Kami tak akan menyakitimu."
"Iya. Kami tak akan mengapa-apakan kamu. Jadi santai saja."
Jawaban beriringan itu kian mendominasi sikap diamnya dari Cahya itu.
"Baiklah, Ayah, mama" ucap Cahya yang mulai bisa mengatasi kegugupannya itu.
,,,,,,,,,,,,,,
Setelah mengobrol cukup banyak dan kebanyakan hanya diisi oleh suara kedua perempuan itu, sang laki laki mengakhirinya dengan berkata.
"Nak, sebaiknya kau temui calon suamimu dulu. Sepertinya ia sedang menunggumu."
Deg. Deg. Deg
Pacuan detak jantung itu kedengaran meningkat saat lontaran perkataan itu terucap.
Kegugupan kembali menyerang sang pemilik detak jantung tadi.
Mengerti akan situasi, sang nyonya atau Ibu Irena membuka suaranya.
"Tidak apa-apa nak, temuilah calon suamimu itu. Ia berada di lantai 2 dikamar sebelah kanan."
Mendengar perkataan itu membuat Cahya menghela nafas. Dilihatnya kedua 'orangtua' barunya itu.
"Baiklah. Cahya permisi dulu."
Setelah mengucapkan hal itu, dengan langkah pelan Cahya mulai meninggalkan ruang keluarga itu.
Setiap langkah dirasa kian memberat kala mendekati ruangan yang disebutkan oleh 'ibu' barunya itu.
Perlahan namun pasti ia telah sampai diujung teratas tangga yang melingkar itu. Dilihatnya sebuah kamar disebelah kanannya dari posisinya berada.
Didekatinya sebuah pintu bercorak naga berwarna coklat keemasan yang melekat pada pintu kaya itu.
Dengan ragu diketuknya pintu tersebut hingga menimbulkan bunyi yang nyaring telinganya itu.
Satu ketukan..
Dua ketukan..
Tiga ketukan..
Em...
Belum sampai hitungan ke 4 pintu itu telah terbuka dan menampilkan seseorang berdiri tegap menatap kearah Cahya.
"Ini benar kamarnya Br.."
Belum sempat selesai, sebuah pelukan mendarat ditubuh Cahya, membuatnya seketika mematung.
Sebuah pelukan mendarat tepat ditubuh Cahya membuatnya mematung seketika. Bahkan keterkejutannya tidak sampai disitu saja. Ia dapat merasakan hembusan nafas di depan wajahnya.
"Kau itu yang dibilang ayah dan ibu, kan?"
Tersadar akan keterkejutannya, Cahya mendongak menatap kearah orang di depannya itu.
"Iya" Balasnya singkat.
"Benarkan, kau itu teman yang ingin diberikan ayah padaku"
Ucapan dari orang itu menyadarkan Cahya akan suatu hal.
"Aku ingat, ternyata ia menganggapku sebagai temannya bukan calon istrinya. Sama seperti perkataan ayah dan ibu. Syukurlah."
Tampak sebuah senyuman tipis menghiasi bibir Cahya, hal itu tak luput dari pandangan seseorang di depannya itu.
"Kau kenapa?"
Pertanyaan itu menyadarkan Cahya akan lamunannya.
"Tidak apa apa" jawab Cahya sambil menatap kearah orang itu.
"Apakah aku boleh masuk?" Tanya Cahya pada calon sua- ets temannya itu.
"Boleh, silahkan masuk" sambil membukakan pintu lebih lebar untuk memudahkan tamunya lewat.
"Terimakasih" balas Cahya tulus.
Setelah berada di dalam, orang itu lantas menutup pintu sambil mengunci pintu. Hal tersebut tak luput dari pendengaran Cahya akan bunyi pintu dikunci.
"Kenapa pintunya dikunci?"
Pertanyaan dari Cahya tak mendapat respon dari orang yang ditanyainya itu.
"Kenapa?" Sekali lagi pertanyaan itu terucap.
".............."
Tak lagi mendapat respon, membuat Cahya nampak gusar.
Perlahan orang itu berjalan menuju kearah Cahya. Dan otomatis Cahya melangkah mundur.
"Kau mau apa Bryan".
Mendengar nama itu membuat orang tadi menatap tajam kearah Cahya. Sorot matanya menunjukkan bahwa ia tak menyukai perkataan dari Cahya barusan.
"Kenapa kau diam saja? Apa kau sakit?" Kembali lagi pertanyaan dari Cahya tak mendapat respon dari orang yang ditanyai itu.
Duk
Tubuh Cahya mengenai nakas yang berada dibelakangnya sehingga menimbulkan bunyi yang cukup didengar oleh orang di depannya itu.
"Apa aku tadi salah bicara, sehingga kau tampak marah?. Atau kau marah karena aku ada disini, Bry--"
Brak
Tubuh Cahya kembali menekan nakas, namun kali ini jauh lebih keras.
"A..pa ya..ng ka..u la.ku.kan" ucap Cahya terbata bata karena merasakan cekikan kuat di lehernya. Cahya berusaha mengambil nafas dengan susah payah.
Tubuh Cahya gemetaran dan rasa panas dingin kian menghujamnya. Dan tangannya tak henti menarik tangan lain yang menumpu pada lehernya itu.
"To..long le..pas.kan. Aa..ku mo..hon" dengan susah payah ia mengatakan hal tersebut, bermaksud agar dilepaskan dari tangan yang menjeratnya itu.
"Dengar, jangan panggil nama itu lagi. Atau kau akan mati!"
Nada ancaman terdengar jelas dari perkataan itu, membuat Cahya menganggukan kepalanya.
Seketika itu tangan yang menjerat leher Cahya terlepas saat sang pemilik tangan melepaskan jeratannya itu.
Hah...Hah...Hah
Dengan segera Cahya meraup udara yang berada disekitarnya itu dengan rakus.
Selang beberapa menit nafas Cahya kembali normal, diedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan yang bernuansa Hitam keabuan itu.
Pandangannya terhenti pada seseorang didepanya yang tengah menetap ke arahnya itu.
"Apa yang baru saja kau lakukan, Vino?" Panggil Cahya menatap orang itu.
Tiba tiba atmosfir dalam ruangan itu berubah. Dari yang semulanya mencengkam berganti menjadi ceria.
Perubahan ini juga turut dirasakan oleh Cahya.
"Kenapa kau duduk disitu? Sini duduk disamping Vino" ucap orang itu dengan polosnya, Seolah tak terjadi apa apa.
Sedangkan Cahya hanya membulatkan matanya seolah tak percaya. Rasa kaget kembali menyerangnya kala orang itu menampakkan sebuah senyuman manis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments
Fa Rel
alter ego kah
2022-02-12
0
ciby😘
menarik....buat spotr jantung kak...aku mampir
2021-02-08
0
Bee Bonding
emang tadi udah kenalan ya, kok tau namanya brian / vano
2020-12-22
0