Kuingin Menemukan Dirinya
Aku terbangun dari tidurku. Barusan itu adalah mimpi yang sama dengan sebelumnya. Aku mengusapkan tanganku ke wajah sampai ke kepala. Aku bertahan dalam posisi itu dalam beberapa detik, dan melepas tanganku ketika suatu hal terlintas di otakku. Pandanganku beralih pada sebuah meja yang berada di samping pintu masuk. Di atas meja itu terdapat banyak arsip yang tersusun rapi dalam kotak-kotak. Dan di sisi bawahnya terdapat beberapa laci kecil yang di tutup dengan rapat.
Aku pun mendekati meja itu. Kemudian meneliti deretan laci-laci yang ada di bawahnya. Aku ingin membukanya, tetapi tangan ku terasa berat untuk di angkat. Aku mencoba mengumpulkan keberanian untuk bisa membuka salah satu laci itu. Dan bersiap untuk melihat sesuatu yang ada di dalamnya. Aku mengangkat tanganku yang terasa di penuhi keringat dingin. Begitu berat dan kaku. Namun, akhirnya tangan itu berhasil memegang gagang laci tersebut.
Tanganku berhasil menarik gagang laci hingga kotaknya keluar setengah. Di dalamnya terdapat sebuah buku tebal yang bersampul warna dominan putih. Di atas sampulnya tertulis judulnya yaitu, "KIMIA". Aku mengambil buku itu dari dalam laci tersebut. Kemudian menatapnya agak lama hingga membalik sampul buku itu. Di halaman pertamanya terdapat sebuah tulisan yang tidak ingin ku baca lagi. Namun, aku begitu rindu untuk membacanya. Bulir bening pun berhasil lolos dari pelupuk mataku. Aku menutup kembali buku itu dan memeluknya dengan erat.
...'Kalau saja bukan karna-nya, aku mungkin tidak akan pernah menyukai KIMIA. Dan sekarang, KIMIA adalah tujuan hidupku'...
...(AKu Ingin Menemukan DirInyA)...
...----------------...
^^^Pekanbaru,^^^
^^^Tujuh tahun yang lalu..^^^
Ruangan itu benar-benar hening. Tanpa suara mahluk hidup maupun benda mati. Yang terdengar hanya suara berisik yang berasal dari ke jauhan. Aku mengalihkan pandangan ke arah pintu kelas. Tidak ada orang yang nongkrong maupun berlalu lalang. Semua orang sedang menyaksikan pertandingan futsal antar kelas. Sedangkan aku, terjebak dengan puluhan soal yang menjengkelkan.
Aku menggoyangkan pulpen yang terjepit di antara dua jariku. Sambil menatap puluhan soal yang selurus dengan retina mataku. Aku sudah mulai merasa bosan. Karena, sudah hampir setengah jam aku menatapnya tanpa menulis apa pun di atas bukuku.
"Ya Allah.. Aku sama sekali enggak ngerti." Aku mengusap wajahku hingga membuat jilbab ku sedikit berantakan. "Gimana nih, kalau enggak selesai hari ini, nilai ku bisa anjlok beneran." Aku menyandarkan kepalaku pada meja. Mencoba untuk menenangkan pikiranku yang kacau. Aku benar-benar tidak bisa berpikir lagi. Kimia memang bukan keahlian ku.
Tak sengaja pulpen ku jatuh dari tanganku. Pulpen itu pun mengelinding entah kemana. Aku pun bangun dari tempat duduk ku dan mengambil pulpen itu kembali. Tiba-tiba aku merasa melihat seseorang dari sudut mataku. Aku pun mengalihkan pandangan untuk menangkap bayangan itu supaya lebih jelas. Dan ternyata benar. Di sana ada seseorang.
Aku tertegun melihat orang yang ada di samping pintu. Dia sedang menatapku sambil bersandar di kusen pintu dengan tangan yang di lipatnya di bawah dada. Sejenak aku berpikir apakah dia benar orang atau bukan. Namun, pikiran itu di tepis dengan sapaan dari-Nya.
"Hai Hany! Eh, nama kamu Hany, kan?" Ujarnya.
Hah, kok dia tahu namaku? "Ii.. Iya." Jawabku dengan kikuk.
Tiba-tiba aku teringat akan laki-laki yang ada di depanku ini. Dia adalah perwakilan Olimpiade Sains Nasional bidang Kimia tahun lalu. Aku pernah melihatnya mengajar para peserta OSN Kimia tahun ini. Dan namanya adalah..
"FATHANA JORDI!"
Tiba-tiba kata itu keluar dari mulutku. Aku pun segera menutup mulutku itu dengan kesepuluh jemariku. Aku benar-benar malu sekarang. Aku pun melihat kondisi kak Fatha di sana. Dia hanya tersenyum sambil memperhatikan ku.
"Ehm.. Nama kakak Fathana Jordi, kan?" Tanyaku dengan ekspresi gugup.
"Iya. Kok tau?" Jawabnya dengan senyum yang masih menempel di bibirnya.
"I-iya. Aku pernah dengar cerita orang tentang kakak."
"Oh, gitu, ya.." Dia mengangguk tanda mengerti. Ia pun mengalihkan pandangannya ke arah buku tugasku yang tergeletak di atas meja. "Lagi bikin tugas kimia, ya?" Tanya kak Fatha.
Aku pun menoleh ke arah buku itu. "Oh, iya. Kok kakak tau?"
"Tadi di luar kakak dengar kamu menggerutu tentang kimia." Katanya, "Ehm.. Boleh kakak bantu?" Tawar kak Fatha.
"Hah? Kakak serius?" Tanyaku sambil terbelalak.
Kak Fatha menjawab dengan senyum di sertai anggukan kepala.
Dia pun beranjak dari pintu menuju meja ku. Sedangkan aku masih terpaku di tempat ku berdiri sebelumnya. Kak Fatha pun mengambil lembaran soal yang ada di atas meja dan kemudian membacanya.
"Tentang Termokimia, ya?" Tanyanya.
"I-iya." Jawabku yang masih gugup.
"Waahh.. Materi ini memang lumayan, sih. Kita itu harus sedikit mengasah pikiran kita agar dapat menyelesaikan soal-soal nya." Jelas kak Fatha.
"Ehmm.. Maksudnya gimana, kak?"
"Ya.. Kamu harus menggunakan sedikit logika." Ujarnya. Dia pun membawa lembaran soal itu ke arah ku. "Kayak yang ini, nih. Kamu harus berpikir bagaimana cara mendapatkan nilai deltha H yang ini, jika yang di ketahui deltha H reaksi ini." Dia menerangkan sambil menunjukkan diagram Hukum Hess yang tertera di soal. Aku benar-benar tidak mengerti. Gimana caranya, ya? "Kamu nggak ngerti?" Tanya kak Fatha. Aku menggeleng. "Ya sudah, kakak akan ajarin kamu sampai mengerti."
Kak Fatha menjelaskannya dengan detail. Dia menjelaskan mulai dari yang dasar seperti reaksi antar unsur atau senyawa, hingga yang paling sulit yaitu menghitung perubahan entalpi setiap reaksi tersebut. Belajar dengan kak Fatha juga menyenangkan. Dia tidak pemarah dan juga selalu tersenyum ketika menjelaskan. Dan hal itu membuat ku lebih mengerti penjelasannya dari pada penjelasan guru kimia-ku yang tak pernah memasang emoticon smile ketika mengajar.
"Sudah ngerti sekarang?" Tanya kak Fatha.
"InsyaAllah sudah, kak." Jawabku.
"Bagus kalau begitu." Ujarnya sambil tersenyum.
Aku pun membalas senyumannya. "Ehm.. Makasih ya kak udah mau bantu aku. Aku benar-benar bersyukur kakak datang pas aku susah." Kataku dengan malu-malu.
Lagi-lagi dia tersenyum. Apa senyumnya tidak ada harganya sehingga ia dengan mudah mengumbarnya.
"Iya, sama-sama. Anggap saja ini pertolongan dari Allah buat kamu karna kamu sudah berusaha untuk mempelajarinya." Kata-Nya.
Aku pun mengangguk sambil tersenyum.
"Oh, iya. Kakak mau lihat pertandingan, Hany mau ikut?" Tawarnya.
Aku menggeleng, "Engga, kak. Aku mau nyelesain ini. Kan masih ada beberapa soal lagi."
"Baiklah kalau begitu. Kakak pergi dulu, ya."
Aku mengangguk. Dia pun berbalik menujuh arah pintu dan menghilang di balik pintu itu.
...----------------...
Setelah merasa lelah dengan tugas kimia-ku, aku pun memutuskan untuk menyegarkan otakku. Aku pun pergi menuju lapangan tempat pertandingan berlangsung. Sesampainya di sana aku langsung menemukan teman-temanku yang telah duduk mengelompok di salah satu tempat menonton. Aku pun langsung bergabung dengan mereka.
"Eh, yang dapat tugas tambahan udah nongol aja, nih. Udah kelar tugasnya, neng?" Ujar Rasel salah satu temanku yang mulutnya selalu berceloteh.
"Kalau di lihat dari ekspresi wajahnya, kayaknya buku tugasnya masih kosong, nih." Tambah Selfi.
Aku pun menyangkalnya, "Enak aja, sekarang aku udah pintar loh, belajar kimianya."
"Alah! Palingan sangkalan kamu aja. Pasti buku tugasnya masih kosong, kan?" Ujar Rasel.
"Ah, terserah kamu aja. Yang penting tugas ku hampir selesai." Kata-ku.
"Tapi rasanya mustahil deh, Han, kalau kamu hampir selesai. Kan kamu nggak pernah belajar kimia. Setiap bu guru masuk kamu kan, selalu tidur." Kata Melsi yang merasa heran.
Memang sih, yang di katakan Melsi itu fakta. Aku memang nggak pernah belajar kimia sejak kelas sepuluh. Lebih tepatnya sejak guru kimia-ku di ganti. Ada kisah di balik ketidaksukaan ku terhadap mata pelajaran yang satu ini dan hal itu berhubungan dengan orang yang mengajarnya.
"Iya sih, tapi tadi aku belajar makanya bisa jawab." Ucapku.
"Sama siapa? Kalau kamu bilang si nenek lampir aku nggak bakalan percaya." Kata Rasel.
"Ha ha ha.. Kalau dia yang ngajarin aku mah, ogah. Tadi aku di ajarin sama kak Fatha." Ujarku.
Sontak semua temanku terkejut, "Hah!?"
Mereka tidak percaya kalau kak Fatha mengajariku. Sebenarnya aku juga hampir tidak percaya. Karna itulah pas melihatnya bersandar di pintu aku berpikir kalau dia bukan manusia. Karna jangankan untuk berduaan dengannya, bertemu saja susah. Alasannya mudah, pertama dia salah satu pria yang banyak di naksir siswi sekolah. Tidak heran juga sih, dia itu kan anak orang kaya dan juga memiliki wajah tampan. Yang kedua, sebagai seorang murid yang memiliki prestasi, dia selalu menjadi murid yang super sibuk untuk aktif membantu guru dalam penyelenggaraan setiap perlombaan. Dan dia tambah lagi dia itu wakil ketua OSIS.
Kalau kamu berpikir aku menguntit tentangnya, kamu salah besar. Kamu akan mudah mendapatkan informasi ketika memasuki pekarangan sekolah ku. Karna di sekolah ku sumber pusat informasi. Di sini di bahas mulai dari hal yang sederhana sampai hal-hal yang menjadi pusat perbincangan global. Dan berita tentang Kak Fatha juga salah satu yang ter-update.
"Bagaimana ceritanya dia bisa ngajarin kamu?"
Aku pun menceritakan kepada mereka bagaimana Kak Fatha datang secara tiba-tiba ke kelasku. Aku menceritakan secara detail bagaimana dia mengajariku dengan sabar walau pun aku lama untuk mengerti. Bagaimana dia tersenyum kepadaku. Astagfirullah!! Kenapa berpikir tentang itu. Tapi jujur, aku sangat senang menceritakan momen tadi kepada teman-temanku. Entah kenapa aku senang. Aku pun tak tahu. Mungkin karna akhirnya aku bisa paham pelajaran Termokimia.
Di tengah bercerita tiba-tiba ada seseorang yang datang menghampiri kami. Sekarang aku benar-benar merasa tidak beruntung.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments