Aku terbangun dari tidurku. Barusan itu adalah mimpi yang sama dengan sebelumnya. Aku mengusapkan tanganku ke wajah sampai ke kepala. Aku bertahan dalam posisi itu dalam beberapa detik, dan melepas tanganku ketika suatu hal terlintas di otakku. Pandanganku beralih pada sebuah meja yang berada di samping pintu masuk. Di atas meja itu terdapat banyak arsip yang tersusun rapi dalam kotak-kotak. Dan di sisi bawahnya terdapat beberapa laci kecil yang di tutup dengan rapat.
Aku pun mendekati meja itu. Kemudian meneliti deretan laci-laci yang ada di bawahnya. Aku ingin membukanya, tetapi tangan ku terasa berat untuk di angkat. Aku mencoba mengumpulkan keberanian untuk bisa membuka salah satu laci itu. Dan bersiap untuk melihat sesuatu yang ada di dalamnya. Aku mengangkat tanganku yang terasa di penuhi keringat dingin. Begitu berat dan kaku. Namun, akhirnya tangan itu berhasil memegang gagang laci tersebut.
Tanganku berhasil menarik gagang laci hingga kotaknya keluar setengah. Di dalamnya terdapat sebuah buku tebal yang bersampul warna dominan putih. Di atas sampulnya tertulis judulnya yaitu, "KIMIA". Aku mengambil buku itu dari dalam laci tersebut. Kemudian menatapnya agak lama hingga membalik sampul buku itu. Di halaman pertamanya terdapat sebuah tulisan yang tidak ingin ku baca lagi. Namun, aku begitu rindu untuk membacanya. Bulir bening pun berhasil lolos dari pelupuk mataku. Aku menutup kembali buku itu dan memeluknya dengan erat.
...'Kalau saja bukan karna-nya, aku mungkin tidak akan pernah menyukai KIMIA. Dan sekarang, KIMIA adalah tujuan hidupku'...
...(AKu Ingin Menemukan DirInyA)...
...----------------...
^^^Pekanbaru,^^^
^^^Tujuh tahun yang lalu..^^^
Ruangan itu benar-benar hening. Tanpa suara mahluk hidup maupun benda mati. Yang terdengar hanya suara berisik yang berasal dari ke jauhan. Aku mengalihkan pandangan ke arah pintu kelas. Tidak ada orang yang nongkrong maupun berlalu lalang. Semua orang sedang menyaksikan pertandingan futsal antar kelas. Sedangkan aku, terjebak dengan puluhan soal yang menjengkelkan.
Aku menggoyangkan pulpen yang terjepit di antara dua jariku. Sambil menatap puluhan soal yang selurus dengan retina mataku. Aku sudah mulai merasa bosan. Karena, sudah hampir setengah jam aku menatapnya tanpa menulis apa pun di atas bukuku.
"Ya Allah.. Aku sama sekali enggak ngerti." Aku mengusap wajahku hingga membuat jilbab ku sedikit berantakan. "Gimana nih, kalau enggak selesai hari ini, nilai ku bisa anjlok beneran." Aku menyandarkan kepalaku pada meja. Mencoba untuk menenangkan pikiranku yang kacau. Aku benar-benar tidak bisa berpikir lagi. Kimia memang bukan keahlian ku.
Tak sengaja pulpen ku jatuh dari tanganku. Pulpen itu pun mengelinding entah kemana. Aku pun bangun dari tempat duduk ku dan mengambil pulpen itu kembali. Tiba-tiba aku merasa melihat seseorang dari sudut mataku. Aku pun mengalihkan pandangan untuk menangkap bayangan itu supaya lebih jelas. Dan ternyata benar. Di sana ada seseorang.
Aku tertegun melihat orang yang ada di samping pintu. Dia sedang menatapku sambil bersandar di kusen pintu dengan tangan yang di lipatnya di bawah dada. Sejenak aku berpikir apakah dia benar orang atau bukan. Namun, pikiran itu di tepis dengan sapaan dari-Nya.
"Hai Hany! Eh, nama kamu Hany, kan?" Ujarnya.
Hah, kok dia tahu namaku? "Ii.. Iya." Jawabku dengan kikuk.
Tiba-tiba aku teringat akan laki-laki yang ada di depanku ini. Dia adalah perwakilan Olimpiade Sains Nasional bidang Kimia tahun lalu. Aku pernah melihatnya mengajar para peserta OSN Kimia tahun ini. Dan namanya adalah..
"FATHANA JORDI!"
Tiba-tiba kata itu keluar dari mulutku. Aku pun segera menutup mulutku itu dengan kesepuluh jemariku. Aku benar-benar malu sekarang. Aku pun melihat kondisi kak Fatha di sana. Dia hanya tersenyum sambil memperhatikan ku.
"Ehm.. Nama kakak Fathana Jordi, kan?" Tanyaku dengan ekspresi gugup.
"Iya. Kok tau?" Jawabnya dengan senyum yang masih menempel di bibirnya.
"I-iya. Aku pernah dengar cerita orang tentang kakak."
"Oh, gitu, ya.." Dia mengangguk tanda mengerti. Ia pun mengalihkan pandangannya ke arah buku tugasku yang tergeletak di atas meja. "Lagi bikin tugas kimia, ya?" Tanya kak Fatha.
Aku pun menoleh ke arah buku itu. "Oh, iya. Kok kakak tau?"
"Tadi di luar kakak dengar kamu menggerutu tentang kimia." Katanya, "Ehm.. Boleh kakak bantu?" Tawar kak Fatha.
"Hah? Kakak serius?" Tanyaku sambil terbelalak.
Kak Fatha menjawab dengan senyum di sertai anggukan kepala.
Dia pun beranjak dari pintu menuju meja ku. Sedangkan aku masih terpaku di tempat ku berdiri sebelumnya. Kak Fatha pun mengambil lembaran soal yang ada di atas meja dan kemudian membacanya.
"Tentang Termokimia, ya?" Tanyanya.
"I-iya." Jawabku yang masih gugup.
"Waahh.. Materi ini memang lumayan, sih. Kita itu harus sedikit mengasah pikiran kita agar dapat menyelesaikan soal-soal nya." Jelas kak Fatha.
"Ehmm.. Maksudnya gimana, kak?"
"Ya.. Kamu harus menggunakan sedikit logika." Ujarnya. Dia pun membawa lembaran soal itu ke arah ku. "Kayak yang ini, nih. Kamu harus berpikir bagaimana cara mendapatkan nilai deltha H yang ini, jika yang di ketahui deltha H reaksi ini." Dia menerangkan sambil menunjukkan diagram Hukum Hess yang tertera di soal. Aku benar-benar tidak mengerti. Gimana caranya, ya? "Kamu nggak ngerti?" Tanya kak Fatha. Aku menggeleng. "Ya sudah, kakak akan ajarin kamu sampai mengerti."
Kak Fatha menjelaskannya dengan detail. Dia menjelaskan mulai dari yang dasar seperti reaksi antar unsur atau senyawa, hingga yang paling sulit yaitu menghitung perubahan entalpi setiap reaksi tersebut. Belajar dengan kak Fatha juga menyenangkan. Dia tidak pemarah dan juga selalu tersenyum ketika menjelaskan. Dan hal itu membuat ku lebih mengerti penjelasannya dari pada penjelasan guru kimia-ku yang tak pernah memasang emoticon smile ketika mengajar.
"Sudah ngerti sekarang?" Tanya kak Fatha.
"InsyaAllah sudah, kak." Jawabku.
"Bagus kalau begitu." Ujarnya sambil tersenyum.
Aku pun membalas senyumannya. "Ehm.. Makasih ya kak udah mau bantu aku. Aku benar-benar bersyukur kakak datang pas aku susah." Kataku dengan malu-malu.
Lagi-lagi dia tersenyum. Apa senyumnya tidak ada harganya sehingga ia dengan mudah mengumbarnya.
"Iya, sama-sama. Anggap saja ini pertolongan dari Allah buat kamu karna kamu sudah berusaha untuk mempelajarinya." Kata-Nya.
Aku pun mengangguk sambil tersenyum.
"Oh, iya. Kakak mau lihat pertandingan, Hany mau ikut?" Tawarnya.
Aku menggeleng, "Engga, kak. Aku mau nyelesain ini. Kan masih ada beberapa soal lagi."
"Baiklah kalau begitu. Kakak pergi dulu, ya."
Aku mengangguk. Dia pun berbalik menujuh arah pintu dan menghilang di balik pintu itu.
...----------------...
Setelah merasa lelah dengan tugas kimia-ku, aku pun memutuskan untuk menyegarkan otakku. Aku pun pergi menuju lapangan tempat pertandingan berlangsung. Sesampainya di sana aku langsung menemukan teman-temanku yang telah duduk mengelompok di salah satu tempat menonton. Aku pun langsung bergabung dengan mereka.
"Eh, yang dapat tugas tambahan udah nongol aja, nih. Udah kelar tugasnya, neng?" Ujar Rasel salah satu temanku yang mulutnya selalu berceloteh.
"Kalau di lihat dari ekspresi wajahnya, kayaknya buku tugasnya masih kosong, nih." Tambah Selfi.
Aku pun menyangkalnya, "Enak aja, sekarang aku udah pintar loh, belajar kimianya."
"Alah! Palingan sangkalan kamu aja. Pasti buku tugasnya masih kosong, kan?" Ujar Rasel.
"Ah, terserah kamu aja. Yang penting tugas ku hampir selesai." Kata-ku.
"Tapi rasanya mustahil deh, Han, kalau kamu hampir selesai. Kan kamu nggak pernah belajar kimia. Setiap bu guru masuk kamu kan, selalu tidur." Kata Melsi yang merasa heran.
Memang sih, yang di katakan Melsi itu fakta. Aku memang nggak pernah belajar kimia sejak kelas sepuluh. Lebih tepatnya sejak guru kimia-ku di ganti. Ada kisah di balik ketidaksukaan ku terhadap mata pelajaran yang satu ini dan hal itu berhubungan dengan orang yang mengajarnya.
"Iya sih, tapi tadi aku belajar makanya bisa jawab." Ucapku.
"Sama siapa? Kalau kamu bilang si nenek lampir aku nggak bakalan percaya." Kata Rasel.
"Ha ha ha.. Kalau dia yang ngajarin aku mah, ogah. Tadi aku di ajarin sama kak Fatha." Ujarku.
Sontak semua temanku terkejut, "Hah!?"
Mereka tidak percaya kalau kak Fatha mengajariku. Sebenarnya aku juga hampir tidak percaya. Karna itulah pas melihatnya bersandar di pintu aku berpikir kalau dia bukan manusia. Karna jangankan untuk berduaan dengannya, bertemu saja susah. Alasannya mudah, pertama dia salah satu pria yang banyak di naksir siswi sekolah. Tidak heran juga sih, dia itu kan anak orang kaya dan juga memiliki wajah tampan. Yang kedua, sebagai seorang murid yang memiliki prestasi, dia selalu menjadi murid yang super sibuk untuk aktif membantu guru dalam penyelenggaraan setiap perlombaan. Dan dia tambah lagi dia itu wakil ketua OSIS.
Kalau kamu berpikir aku menguntit tentangnya, kamu salah besar. Kamu akan mudah mendapatkan informasi ketika memasuki pekarangan sekolah ku. Karna di sekolah ku sumber pusat informasi. Di sini di bahas mulai dari hal yang sederhana sampai hal-hal yang menjadi pusat perbincangan global. Dan berita tentang Kak Fatha juga salah satu yang ter-update.
"Bagaimana ceritanya dia bisa ngajarin kamu?"
Aku pun menceritakan kepada mereka bagaimana Kak Fatha datang secara tiba-tiba ke kelasku. Aku menceritakan secara detail bagaimana dia mengajariku dengan sabar walau pun aku lama untuk mengerti. Bagaimana dia tersenyum kepadaku. Astagfirullah!! Kenapa berpikir tentang itu. Tapi jujur, aku sangat senang menceritakan momen tadi kepada teman-temanku. Entah kenapa aku senang. Aku pun tak tahu. Mungkin karna akhirnya aku bisa paham pelajaran Termokimia.
Di tengah bercerita tiba-tiba ada seseorang yang datang menghampiri kami. Sekarang aku benar-benar merasa tidak beruntung.
...----------------...
Di tengah bercerita tiba-tiba ada seseorang yang datang menghampiri kami. Sekarang aku benar-benar merasa tidak beruntung karena wajah yang hampir tidak ingin ku lihat sekarang berada di hadapanku. Kami semua terdiam menatap wanita itu. Dan menunggu akan hal apa yang ingin dia sampaikan.
"Hany, kepala sekolah ingin kamu segera menemuinya di kantor-nya." Ujar wanita itu.
Aku pun berdiri sambil menatap wanita yang sudah berumur itu. "Baiklah." Jawabku. Aku pun pergi meninggalkan teman-teman ku setelah berpamitan.
Setelah berjalan beberapa menit, aku pun sampai di kantor kepala sekolah. Aku pun mengucapkan salam dan langsung masuk ke dalam ruangan itu. Disana tidak ada orang sama sekali, kecuali seorang laki-laki yang berambut putih dan mengenakan seragam LINMAS-nya.
"Ada apa, Kek?" Tanya ku kepada kakekku selaku Kepala Sekolah sekaligus kepala yayasan SMA Garuda Sakti Pekanbaru.
"Duduklah dulu, Hany. Kakek mau bicara sama kamu."
Aku pun duduk di kursi yang ada di depanku. Dan sekarang aku sudah benar-benar berhadapan dengan kakek. Kakek pun mulai menatapku dengan serius. Aku merasa sedikit gugup. Sejenak aku berpikir, apakah aku membuat kesalahan? Namun, tiba-tiba ucapannya keluar dengan nada lembut. Aku pun merasa tenang sekarang.
"Hany, apa benar kamu tidak tuntas dalam pelajaran kimia?" Tanya Kakek.
Aku pun menunduk dan dilanjutkan dengan anggukan.
"Kenapa lagi? Apa kamu marah sama Bu Mega? Atau sama Kakek?" Lanjutnya.
"Enggak, kok, Kek." Jawabku datar.
"Lalu, kenapa nilai kamu bisa tidak tuntas? Dan juga Kakek dapat informasi dari Bu Mega kamu sering tidur saat kelasnya."
Aku pun mengangkat wajahku sedikit untuk melihat wajah kakek. Dia terlihat senang namun sedih. Aku pun kembali menundukkan kepala. "Dia cerita, ya, Kek. Aku minta maaf, Kek. Aku benar-benar masih belum bisa menerimanya, Kek." Ujarku.
Kakek terdengar menghela napas, "Tidak apa-apa. Kakek bisa mengerti. Tapi, Kakek sarankan kamu jangan begitu lagi. Kalau kamu tidak suka Bu Mega, paling tidak kamu sukai pelajarannya. Kakek tidak mau hanya gara-gara itu prestasi kamu jadi menurun. Jadi, kamu harus usahakan, ya, agar bisa menyukai pelajaran kimia. Karna Kakek yakin kamu pasti bisa. Kakek sangat sayang sekali sama kamu."
Aku pun mengangkat wajahku dan tersenyum ke arah Kakek. Aku benar-benar melihat kasih sayang terpancar di matanya. Aku sangat bahagia karna Kakekku masih kakek yang dulu. Yang selalu menyayangiku setulus hati.
Setelah hampir satu jam berbincang di kantor Kepala Sekolah, aku pun memutuskan untuk kembali ke teman-temanku. Ternyata mereka masih setia menungguku di tempat terakhir aku meninggalkan mereka. Sekarang mereka sedang sibuk memaksaku untuk menceritakan semua hal yang terjadi di kantor Kepala Sekolah. Setelah bersikeras beberapa saat, aku pun bersedia untuk menceritakan semuanya kepada mereka.
...----------------...
Seperti biasanya, setiap kali aku di tinggalkan orang tua ku keluar kota, aku selalu pergi keluar untuk mencari ketenangan. Kalau aku di rumah aku akan bosan hanya berdua dengan Kak Ina selaku Asisten Rumah Tangga-ku. Dia itu masih muda. Umurnya sekitar dua puluh lima tahun. Tapi dia itu sudah jadi janda sejak kematian suaminya beberapa tahun yang lalu.
Dia itu bagaikan kakak buat aku. Dia selalu menjadi temanku kalau sedang di rumah. Sebenarnya ngobrol dengan Kak Ina asyik juga. Tapi, belakangan ini dia selalu sibuk dengan Handphone-nya. Jadi, saat kita ngobrol dia selalu saja tidak pernah nyambung dengan apa yang sedang kita obrolkan. Aku pun mengerti dengan keadaannya. Dan juga terkadang merasa bodoh kalau bicara dengan orang yang sedang dimabuk cinta.
Aku menarik gagang pintu kaca yang ada di depanku. Seketika bau menggoda selera menerobos masuk ke dalam lubang hidungku. Aku pun memilih tempat duduk yang menurutku nyaman, dan yang terpilih adalah sebuah meja yang ada di pojok kafe. Aku pun duduk dan meletakkan barang-barangku di meja. Buku, pena, laptop dan tas sudah memenuhi meja. Setelah itu, aku pun memanggil seorang pelayan untuk memesan minuman.
"Cappucino dengan sedikit gula ya, Mbak!" Ujarku pada pelayanan itu. Setelah memesan, pelayan itu pun pergi.
Aku pun mulai membuka buku kimia yang ada di meja. Membaca bagian pelajaran yang telah ku lewati dalam beberapa bulan belakangan ini. Kalau di lihat pelajaran nya agak susah. Mungkin karna aku belum pernah mengenal pelajaran ini sebelumnya. Aku pun terus membalik setiap kali selesai membacanya. Sesekali aku berhenti untuk mengerjakan soal yang di sajikan oleh buku itu. Aku benar-benar antusias untuk mengerjakannya. Harapannya aku bisa memperbaiki nilaiku demi kakek.
Secangkir Cappucino tiba di mejaku. Baunya sangat harum dan membuatku tidak sabar untuk meminumnya.
"Maaf atas keterlambatannya, Dek. Kami agak sibuk." Ujar si pelayan.
"Oh, nggak apa-apa, Mbak." Ucapku. "Ngomong-ngomong tumben layanannya lambat. Biasanya sebanyak apapun pelanggannya pasti nggak pernah telat. Memangnya ada apa?" Tanya ku dengan penasaran.
"Oh, itu, Dek. Ada yang merayakan ulang tahun anaknya." Pelayan itu menunjuk ke arah bagian tengah kafe.
Aku pun menoleh ke arah yang di tunjukkan si pelayan. Meja itu begitu rameh di kelilingi orang-orang. Sampai-sampai orang yang berulang tahun sama sekali tidak terlihat. Aku kembali menoleh ke arah pelayan, "Makasih, Mbak." Ucapku.
"Iya, sama-sama." Pelayan itu pun pergi dengan membawa napan-nya.
Aku pun kembali fokus pada pelajaran. Beberapa jawaban dari soal yang tadi ku kerjakan sudah tersalin di buku catatan-ku. Aku harus menyelesaikan semua latihan bab dua malam ini. Meskipun aku akan pulang agak larut malam. Sambil mengerjakan soal aku terus menyeruput cappuccino-ku. Rasanya benar-benar membuatku tenang. Rasanya aku semakin bersemangat untuk bergadang.
Merasa sudah lama menghabiskan waktu, aku pun memutuskan untuk melihat jam di laptop-ku. Jam sudah menunjukan pukul sembilan lewat tiga puluh WIB. Aku pun merasa sudah lelah. Akhirnya aku memutuskan untuk menyudahi pelajaranku dan mengemas semua barang-barang ku serta tak lupa meninggalkan uang minumanku di meja.
Aku pun meninggalkan tempat ku duduk sebelumnya dan berjalan menuju pintu keluar. Aku pun menoleh ke arah meja tempat di adakan ulang tahun. Tiba-tiba sepintas wajah kakek ku muncul di sana. Dia tersenyum bahagia bersama istri dan anak tirinya yang ternyata sedang berulang tahun.
Aku memalingkan wajah ke arah yang lain. Berusaha untuk menahan air mata yang sekarang terbendung di pelupuk mataku. Aku benar-benar sedih dan sakit hati. Rasa cemburu dan iri menggejolak di dadaku. Air mataku tidak dapat di bendung lagi. Dia pun meluncur mulus di pipiku yang memanas. Aku sudah tidak sanggup lagi berada di sini dan menyaksikan kejadian yang ada di depanku. Aku pun memilih untuk berlari dan meninggalkan tempat ini.
Aku berlari keluar kafe dengan air mata berlinangan. Aku pun berhenti dan menumpahkan semua emosiku. Sekarang aku merasa sangat lemah dan tidak berdaya. Hatiku sangat hancur saat melihat mereka tertawa bersama. Aku sangat membencinya dan tidak ingin melihat mereka lagi.
"Aku benci! Benci! Benci! Benci!" Teriakku.
Aku pun semakin menangis dengan keras tanpa memperdulikan sekitarku. Namun, tiba-tiba aku merasa pundakku di pegang oleh seseorang. Dia mengelus pundakku dengan lembut untuk membuatku lebih tenang.
"Hany!" Panggilnya.
Aku pun menoleh dan mendapati bobot seorang pria bertubuh tinggi di depanku.
...----------------...
"Hany!" Panggilnya.
Aku pun menoleh dan mendapati bobot seorang pria bertubuh tinggi di depanku. Pria itu adalah Rain.
Secara spontan aku pun mendorongnya hingga jatuh ke tanah. Dia terduduk sambil menatapku dengan rasa bersalah. Aku sama sekali tidak ingin membantunya karna hal itu layak untuk dia dapatkan. Rain pun bangkit dari tanah. Dia pun mendekatiku.
"Han, aku benar-benar minta maaf. Aku nggak--"
"Udah, deh, Rain!" Selah ku di tengah kata-kata Rain. "Aku sudah muak dengan semua yang kamu katakan. Dulu kamu janji untuk membuat kedua orang tua kamu rujuk kembali. Tapi, sekarang apa? Kamu malah bahagia dengan keluarga baru mu." Tukasku pada-nya.
Aku pun segerah berlari meninggalkan Rain dengan rasa bersalah yang bergejolak di dada-nya. Aku terus berlari hingga sampai ke rumah. Rasa penat tidak terasa, karna hatiku lebih terpusat pada luka yang ada padanya.
"Eh, Dek Hany kenapa?" Tanya Kak Ina yang mendapati kondisi ku sangat buruk ketika sampai di rumah.
Aku menatap matanya dalam-dalam. Dengan air mata yang kembali terurai aku pun memeluk Kak Ina, "Kak.. Aku rindu Nenek." ucapku.
...----------------...
Terpaan sinar matahari yang menerobos melalui jendela berhasil membuatku terbangun. Aku pun bangkit dari posisi tidur dan mulai bersandar pada bantal. Aku pun melamun untuk beberapa saat. Dan seketika peristiwa tadi malam terlintas di kepalaku.
Aku pun kembali menangis. Hal yang ku harapkan sebagai mimpi buruk bukanlah sebuah mimpi, melainkan kenyataan pahit yang harus ku telan. Aku sangat menyayangi nenek-ku. Dan di satu sisi aku tidak bisa mencegah perasaan kakek pada wanita itu.
Aku mengambil foto nenek yang terbingkai bagus di atas meja lampu. Aku pun menatap wajahnya yang tersenyum kaku di dalam bingkai kecil itu. Seketika semua ingatanku bersama nenek tergambar di depan mataku. Dan hal itu bisa membuatku lebih tenang.
Ketukan pintu dari Kak Ina berhasil membuyarkan semua ingatan itu. Dia memanggilku dengan pelan dari balik pintu kamar. Aku pun beranjak dari tempat tidur dan membuka kan pintu untuk Kak Ina.
"Ada apa, Kak?" Tanya ku ketika wajah Kak Ina muncul di balik pintu.
"Ada tamu, Dek." Ujarnya.
"Siapa, Kak?" Tanyaku dengan penasaran.
"Adek lihat saja sendiri. Dia sudah menunggu di ruang tamu."
"Oh. Ya sudah kalau begitu, Kak. Bilang sama tamunya aku bakalan turun lima menit lagi." Kataku.
"Siap, Dek!" Kak Ina pun pergi meninggalkan ku.
Lima menit kemudian aku baru turun ke ruang tamu. Di sana sudah ada Rain yang duduk berbincang dengan Kak Ina. Aku pun menghampirinya dengan wajah kesal.
"Eh, ini Dek Hany-nya." Ujar Kak Ina ketika melihat aku hadir di tengah perbincangan mereka. "Kalau begitu Kakak kebelakang dulu, ya, masih ada kerjaan di belakang." Kak Ina pun meninggalkan kami berdua di ruang tamu.
Aku pun duduk di kursi yang tadinya di duduki Kak Ina. Aku menatap wajah Rain yang sedikit berubah dari terakhir kali kami bertemu. Sekarang dia sudah terlihat lebih dewasa.
"Bagaimana keadaan kamu sekarang?" Tanya Rain dengan gugup.
Aku sedikit mendengus, "Rain langsung saja, apa tujuan kamu ke sini?" Ujarku tanpa basa-basi.
"Kamu tahu, kan, kalau aku sudah mengenal kamu dari dulu. Aku tahu berapa terguncangnya hati kamu setelah kejadian tadi malam. Dan aku juga tahu, kamu tidak akan datang ke sekolah jika kondisi kamu seperti ini. Jadi.. Karna itulah aku datang ke sini untuk mintak maaf sama kamu." Jelas Rain dengan wajah bersalahnya.
Sejenak aku berpikir tidak ingin memberi kemaafan untuk Rain. Namun, aku sadar kalau ini sepenuhnya bukan salahnya. Dan tidak sepantasnya aku membenci orang yang telah menemaniku untuk tumbuh bersama. Ketulusan pun datang dari lubuk hatiku.
"Aku memaafkan kamu. Aku sadar tidak sepantasnya aku marah sama kamu." Ujarku.
Rain tersenyum, "Makasih Han, aku merasa tenang sekarang. Ini aku bawakan oleh-oleh dari Thailand." Rain pun memberikan sebuah totebag yang sedari tadi tergeletak di atas meja.
Aku pun menerimanya. "Makasih, Rain." Ucapku dengan senyuman.
Rain pun membalas senyumanku, " Iya sama-sama."
...----------------...
^^^Beberapa minggu kemudian..^^^
Aku melamun sambil menatap sepatu ku yang sedari tadi ku goyangkan. Pikiran ku terasa sangat kacau. Jujur, ini tidak ada hubungannya dengan kejadian malam itu. Karena tentang hal itu sudah di tutupi Rain dengan kenangan manis dari-nya.
Sebenarnya aku sedang memikirkan Rain. Sejak kepergiannya seminggu yang lalu aku merasa sangat merindukannya. Jujur saja, rasanya aku mulai menyukainya. Astagfirullahalazim!!
Aku menggelengkan kepala ku sambil menutup mata. Berusaha untuk tidak berpikiran tentang Rain lagi. Jika di teruskan dia bisa membuatku gila. Bagaimana mungkin aku bisa jatuh cinta padanya, secarakan dia masih menjadi musuh ku?
Karena tidak ingin memikirkan hal tentang Rain, aku pun memutuskan untuk melihat jam yang tertempel di dinding katin. Lima menit lagi jam pelajaran kimia akan habis. Aku pun segera meninggalkan kantin dan berlari menuju kelas. Aku sedikit mengendap-endap ketika hampir sampai di kelas. Namun, ketika aku sampai di pintu kelas, semua orang berteriak menyerukan namaku.
"Ada apa?"
Aku pun menengok ke arah meja guru. Di sana ada Bu Mega dan Kakekku yang sedang menatapku dengan serius. Aku merasa bingung untuk berbuat apa sekarang. Untuk ke sekian kalinya aku tertangkap basah cabut di jam Kimia.
"Hany! Ikut ke kantor sama Bapak sekarang!" Ujar Kakek dengan tegas.
Aku hanya mengangguk menuruti perintahnya. Setidaknya aku yakin Kakek tidak akan memarahiku dengan serius.
Sesampainya di kantor kepala sekolah, aku terkejut melihat sosok Kak Fatha di sana. Dia duduk di salah satu kursi yang berhadapan dengan meja kerja Kakek. Dia pun tersenyum ke arah ku. Aku hanya membalas dengan sedikit senyuman.
Kakek pun duduk di kursinya. Dia pun mulai memasang wajah seriusnya.
"Fatha, ini Hany cucu saya. Dia itu suka cabut di jam Kimia dan bermasalah dengan pelajaran itu. Dia bahkan selalu remedial ketika ulangan dan mendapatkan nilai nol." Jelas Kakek pada Kak Fatha. Kakek berhasil membuatku sangat malu di depan Kak Fatha.
"Jadi, bapak ingin saya mengajarkan Hany pelajaran Kimia?" Tanya Kak Fatha yang berhasil membuatku terkejut.
Apa? Kak Fatha jadi guru privat aku? Yang benar saja, bisa-bisa aku jadi trending topic nanti di sekolah.
"Duh, Kakek apa-apaan, sih! Aku bisa belajar sendiri, kok. Nggak perlu guru privat segala." Tukasku.
"Nggak bisa, pokoknya kamu harus belajar Kimia sama Fatha!"
Kakek bersikeras dengan keputusannya. Ya sudah, apa yang mau di perbuat. Dia itu kepala sekolah dan aku murid. Sekali pun aku di suruh bersihkan toilet hal itu harus ku lakukan.
...----------------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!